Puasa – Menjaga Lisan dan Hati dari Perbuatan Sia-Sia

Puasa – Menjaga Lisan dan Hati dari Perbuatan Sia-Sia

Mukadimah

الحمد لله الذي هدانا للإسلام، وفرض علينا الصيام ليزكينا من الذنوب والآثام، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله، اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

Hadirin yang dirahmati Allah,

Marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan kita nikmat Islam dan Iman, serta kesempatan untuk kembali bertemu dengan bulan suci Ramadhan, bulan penuh keberkahan dan ampunan.

Shalawat serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, suri teladan terbaik yang mengajarkan kita bagaimana menjalani ibadah puasa dengan sempurna.

Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas pentingnya menjaga lisan dan hati dari perbuatan sia-sia saat berpuasa agar ibadah kita benar-benar bernilai di sisi Allah.

1. Makna Puasa yang Sebenarnya

Puasa dalam bahasa Arab disebut "as-shaum" (الصَّوْمُ) yang berarti menahan diri. Dalam Islam, puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga menjaga diri dari segala hal yang bisa merusak pahala puasa.

Rasulullah ﷺ bersabda:

"لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صَائِمٌ"

"Puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari perkataan dan perbuatan sia-sia. Jika seseorang mencacimu atau bersikap bodoh kepadamu, katakanlah: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa, sesungguhnya aku sedang berpuasa.’"
(HR. Ibnu Majah)

Hadis ini mengajarkan bahwa puasa sejati bukan hanya secara fisik, tetapi juga menahan lisan dan hati dari hal-hal yang tidak bermanfaat.

2. Pentingnya Menjaga Lisan Saat Berpuasa

Lisan adalah bagian tubuh yang paling mudah melakukan dosa, seperti berkata kasar, berbohong, menggunjing, atau menyebarkan fitnah. Jika kita tidak berhati-hati, lisan bisa merusak pahala puasa kita.

2.1 Bahaya Perkataan yang Tidak Terjaga

Rasulullah ﷺ bersabda:

"مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ"

"Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan buruk, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya."
(HR. Bukhari)

Hadis ini menegaskan bahwa jika puasa kita hanya sekadar menahan lapar dan haus tetapi masih melakukan perkataan buruk, maka Allah tidak akan menerima ibadah kita.

2.2 Contoh Perbuatan Lisan yang Merusak Puasa

Beberapa bentuk perbuatan lisan yang harus kita hindari saat berpuasa:

1. Berkata Dusta – Rasulullah ﷺ bersabda bahwa salah satu tanda orang munafik adalah berbohong.

2. Ghibah (Menggunjing) – Allah melarang kita menggunjing orang lain, sebagaimana firman-Nya:
"Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah salah seorang di antara kamu suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya." (QS. Al-Hujurat: 12)

3. Berkata Kasar atau Kotor – Perkataan kasar bisa menimbulkan pertengkaran dan kebencian.

2.3 Cara Menjaga Lisan

Berbicara yang baik atau diam, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim)

Banyak berzikir dan membaca Al-Qur’an untuk menjaga lisan tetap dalam kebaikan.

Menahan emosi dan tidak mudah marah, sebagaimana Nabi ﷺ mengajarkan kita untuk berkata "Aku sedang berpuasa" jika ada yang memancing emosi.

3. Menjaga Hati dari Perbuatan Sia-Sia

Selain menjaga lisan, kita juga harus menjaga hati dari niat buruk, iri dengki, atau perbuatan sia-sia yang bisa mengurangi keberkahan puasa.

3.1 Bahaya Penyakit Hati

Allah berfirman:

"يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌۭ وَلَا بَنُونَ ٨٩ إِلَّا مَنْ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلْبٍۢ سَلِيمٍۢ ٩٠"

"Pada hari (Kiamat), harta dan anak-anak tidak lagi berguna, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih."
(QS. Asy-Syu’ara: 88-89)

Hati yang kotor dengan sifat iri, dengki, dan sombong bisa menghalangi kita mendapatkan rahmat Allah, meskipun kita berpuasa.

3.2 Cara Menjaga Hati Saat Berpuasa

Ikhlas dalam beribadah – Jangan berpuasa hanya karena kebiasaan atau sekadar ikut-ikutan, tetapi niatkan karena Allah.

Menjauhi sifat iri dan dengki – Rasulullah ﷺ bersabda:
"Janganlah kalian saling mendengki, saling membenci, atau saling membelakangi, tetapi jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara." (HR. Muslim)

Bersabar dan memperbanyak istighfar – Saat merasa marah atau tergoda berbuat dosa, ingatlah bahwa Allah memberikan pahala besar bagi orang yang sabar.



---

4. Penutup: Puasa yang Berkualitas

Hadirin yang dirahmati Allah,

Puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan lisan dan hati dari perkataan serta perbuatan sia-sia. Jika kita ingin mendapatkan pahala yang sempurna, kita harus menjaga diri dari dosa-dosa yang dapat mengurangi keberkahan puasa kita.

Sebagai penutup, mari kita ingat sabda Rasulullah ﷺ:

"Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain rasa lapar dan haus."
(HR. Ahmad)

Semoga kita semua bisa menjalani puasa dengan penuh kesabaran, keikhlasan, dan menjaga lisan serta hati dari segala perbuatan sia-sia. Semoga Allah menerima amal ibadah kita dan menjadikan kita pribadi yang lebih baik setelah Ramadhan.

وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ وَالْهُدَى، وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Ramadhan sebagai Momentum Hijrah Menuju Kebaikan

Ramadhan sebagai Momentum Hijrah Menuju Kebaikan

Mukadimah

الحمد لله الذي أحيانا وأمدَّ في أعمارنا حتى بلغنا شهر رمضان، وجعل فيه أبواب الرحمة مفتوحة، والذنوب مغفورة، والعتق من النار. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله، اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

Hadirin sekalian yang dirahmati Allah,

Marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang telah memberikan kita kesempatan untuk bertemu kembali dengan bulan suci Ramadhan, bulan penuh berkah dan ampunan.

Shalawat serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, suri teladan terbaik yang membawa kita dari kegelapan menuju cahaya Islam.

Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas "Ramadhan sebagai Momentum Hijrah Menuju Kebaikan". Ramadhan bukan sekadar bulan puasa, tetapi juga saat yang tepat bagi kita untuk berhijrah dari keburukan menuju kebaikan.

1. Makna Hijrah dalam Islam

Secara bahasa, hijrah berarti berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dalam Islam, hijrah tidak hanya berarti berpindah secara fisik, tetapi juga berpindah dari kondisi buruk menuju kondisi yang lebih baik.

Rasulullah ﷺ bersabda:

"وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ"

"Seorang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Maka, hijrah yang kita lakukan di bulan Ramadhan adalah meninggalkan dosa dan keburukan menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih taat kepada Allah.

2. Ramadhan: Waktu Terbaik untuk Berubah

Allah telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai waktu yang istimewa untuk memperbaiki diri. Mengapa Ramadhan adalah waktu terbaik untuk berhijrah?

2.1 Setan Dibelenggu

Rasulullah ﷺ bersabda:

"إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ"

"Ketika datang bulan Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ini berarti kita memiliki kesempatan besar untuk memperbaiki diri tanpa gangguan dari setan.

2.2 Bulan Penuh Ampunan

Allah memberikan banyak kesempatan bagi kita untuk bertaubat dan kembali kepada-Nya di bulan Ramadhan. Rasulullah ﷺ bersabda:

"مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ"

"Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Jangan sia-siakan kesempatan ini untuk membersihkan diri dari dosa dan memulai kehidupan yang lebih baik.

3. Hijrah Menuju Kebaikan: Apa yang Harus Kita Lakukan?

Hijrah di bulan Ramadhan berarti meninggalkan kebiasaan buruk dan menggantinya dengan kebiasaan baik. Beberapa bentuk hijrah yang bisa kita lakukan:

3.1 Hijrah dari Kemalasan Menuju Kesungguhan dalam Ibadah

Bulan Ramadhan mengajarkan kita untuk disiplin dalam ibadah, seperti shalat tepat waktu, membaca Al-Qur’an, dan memperbanyak doa. Mari kita manfaatkan kesempatan ini untuk membangun kebiasaan ibadah yang lebih baik.

3.2 Hijrah dari Lisan yang Buruk Menuju Lisan yang Baik

Rasulullah ﷺ bersabda:

"مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ"

"Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan buruk, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya."
(HR. Bukhari)

Puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menjaga lisan dari perkataan yang sia-sia, dusta, dan gibah.

3.3 Hijrah dari Sifat Kikir Menuju Sifat Dermawan

Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan. Mari kita manfaatkan bulan ini untuk lebih banyak bersedekah kepada yang membutuhkan.

3.4 Hijrah dari Dosa Menuju Taubat yang Sebenar-benarnya

Ramadhan adalah bulan pengampunan, maka mari kita manfaatkan dengan banyak beristighfar dan bertaubat. Allah berfirman:

"إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ"

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri."
(QS. Al-Baqarah: 222)

Mari kita jadikan Ramadhan sebagai titik balik untuk memperbaiki diri dan meninggalkan segala dosa yang selama ini kita lakukan.

4. Menjaga Hijrah Setelah Ramadhan

Setelah Ramadhan berakhir, kita harus berusaha menjaga hijrah kita agar tidak kembali kepada kebiasaan buruk. Beberapa cara untuk menjaga istiqamah setelah Ramadhan:

1. Tetap menjaga ibadah yang sudah dibangun di bulan Ramadhan, seperti shalat malam, membaca Al-Qur’an, dan sedekah.

2. Mencari lingkungan yang baik, berteman dengan orang-orang yang dapat menguatkan iman kita.

3. Terus memperbaiki diri dan tidak cepat puas dengan amal yang telah dilakukan.

4. Memperbanyak doa agar Allah memberikan keistiqamahan dalam kebaikan. Rasulullah ﷺ mengajarkan doa:

اللَّهُمَّ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

"Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu."
(HR. Tirmidzi)

Penutup

Hadirin yang dirahmati Allah,

Ramadhan adalah momentum terbaik untuk berhijrah menuju kehidupan yang lebih baik. Jangan sampai Ramadhan berlalu tanpa perubahan dalam diri kita. Jadikan bulan ini sebagai titik balik untuk menjadi pribadi yang lebih taat kepada Allah.

Semoga kita semua dapat mengambil manfaat dari bulan yang penuh berkah ini dan mampu menjaga hijrah kita hingga akhir hayat.

وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ وَالْهُدَى، وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Peran Sedekah di Bulan Ramadhan – Investasi untuk Akhirat

Peran Sedekah di Bulan Ramadhan – Investasi untuk Akhirat

Mukadimah

الحمد لله الذي جعل شهر رمضان شهرَ البركات والخيرات، وفضَّله على سائر الشهور بليلة القدر والمغفرة والرحمات، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله، اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

Hadirin yang dirahmati Allah,

Marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mempertemukan kita kembali dengan bulan suci Ramadhan, bulan penuh berkah, ampunan, dan rahmat.

Shalawat serta salam kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad ﷺ, yang telah mengajarkan kita bagaimana menjalani kehidupan yang penuh keberkahan, termasuk dalam hal bersedekah.

Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas "Peran Sedekah di Bulan Ramadhan: Investasi untuk Akhirat". Ramadhan adalah bulan di mana kita diajarkan untuk meningkatkan kepedulian terhadap sesama, dan salah satu bentuk kepedulian itu adalah dengan memperbanyak sedekah.

1. Keutamaan Sedekah di Bulan Ramadhan

Sedekah merupakan salah satu amalan utama yang dianjurkan dalam Islam. Di bulan Ramadhan, sedekah menjadi lebih istimewa karena pahalanya berlipat ganda. Rasulullah ﷺ bersabda:

"أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ صَدَقَةٌ فِي رَمَضَانَ"

"Sedekah yang paling utama adalah sedekah di bulan Ramadhan."
(HR. Tirmidzi)

Hadis ini menunjukkan bahwa memberi sedekah di bulan Ramadhan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan sedekah di bulan lainnya.

2. Rasulullah ﷺ sebagai Teladan dalam Bersedekah

Rasulullah ﷺ adalah manusia yang paling dermawan, dan beliau menjadi lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

"كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَجْوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ، وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ، فَلَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ"

"Rasulullah ﷺ adalah manusia yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan ketika Jibril menemuinya. Jibril menemui beliau setiap malam di bulan Ramadhan untuk mengajarkan Al-Qur'an, dan kedermawanan Rasulullah ﷺ melebihi angin yang berhembus."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memperbanyak sedekah di bulan Ramadhan, mengajarkan kita untuk melakukan hal yang sama.

3. Manfaat Sedekah di Bulan Ramadhan

3.1 Menghapus Dosa

Sedekah adalah salah satu amalan yang dapat menghapus dosa. Rasulullah ﷺ bersabda:

"وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ"

"Sedekah itu dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api."
(HR. Tirmidzi)

Di bulan Ramadhan, ketika kita berusaha untuk membersihkan diri dari dosa, sedekah menjadi salah satu amalan yang dapat membantu kita mendapatkan ampunan Allah.

3.2 Melipatgandakan Pahala

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

"مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنبُلَةٍۢ مِّا۟ئَةُ حَبَّةٍۢ ۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ"

"Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui."
(QS. Al-Baqarah: 261)

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah melipatgandakan pahala bagi orang-orang yang bersedekah, terutama di bulan Ramadhan.

3.3 Menyucikan Harta dan Jiwa

Sedekah juga menjadi sarana penyucian harta dan jiwa. Allah berfirman:

"خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا"

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka."
(QS. At-Taubah: 103)

Harta yang kita miliki bukan hanya untuk kita sendiri, tetapi juga ada hak orang lain di dalamnya. Dengan bersedekah, kita membersihkan harta kita dari sifat kikir dan tamak

4. Bentuk-Bentuk Sedekah di Bulan Ramadhan

Sedekah di bulan Ramadhan bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, di antaranya:

1. Memberi makanan untuk berbuka puasa
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barang siapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun." (HR. Tirmidzi)

2. Menyantuni anak yatim dan fakir miskin

3. Membantu kaum dhuafa dengan harta atau tenaga

4. Memberikan wakaf untuk masjid, pesantren, atau lembaga pendidikan Islam

5. Bersedekah dengan senyuman dan akhlak yang baik

5. Sedekah sebagai Investasi Akhirat

Sedekah yang kita berikan di dunia tidak akan sia-sia. Rasulullah ﷺ bersabda:

"إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ"

"Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya."
(HR. Muslim)

Dengan bersedekah, kita menabung pahala untuk kehidupan setelah mati.

Penutup

Hadirin yang dirahmati Allah,

Sedekah di bulan Ramadhan adalah amalan yang sangat dianjurkan dan memiliki banyak manfaat. Mari kita manfaatkan bulan suci ini untuk memperbanyak sedekah sebagai investasi akhirat.

Semoga Allah menerima amal ibadah kita dan menjadikan kita hamba yang dermawan seperti Rasulullah ﷺ.

وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ وَالْهُدَى، وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Menjadikan Ramadhan sebagai Bulan Pendidikan untuk Anak-Anak

Menjadikan Ramadhan sebagai Bulan Pendidikan untuk Anak-Anak

Mukadimah

الحمد لله الذي بلغنا شهر رمضان، وجعله شهر الرحمة والمغفرة والتربية الإيمانية، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله، اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

Hadirin yang dirahmati Allah,

Marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang telah memberikan kita kesempatan untuk bertemu kembali dengan bulan suci Ramadhan, bulan yang penuh dengan rahmat, maghfirah, dan pembelajaran.

Shalawat serta salam kita curahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, teladan terbaik dalam mendidik umatnya, yang telah mengajarkan kita bagaimana mendidik anak-anak dengan nilai-nilai Islam.

Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas tema "Menjadikan Ramadhan sebagai Bulan Pendidikan untuk Anak-Anak." Ramadhan bukan sekadar bulan ibadah, tetapi juga momen emas untuk mendidik anak-anak agar mencintai Islam dan membentuk karakter mereka sejak dini.

1. Ramadhan: Waktu Terbaik untuk Mendidik Anak

Allah telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan penuh berkah, di mana kita bisa lebih mudah menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada anak-anak.

Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

"يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ"

"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
(QS. Al-Baqarah: 183)

Ayat ini menunjukkan bahwa tujuan utama puasa adalah membentuk ketakwaan, yang juga harus kita tanamkan dalam diri anak-anak sejak dini.

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

"مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ"

"Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika meninggalkan shalat) ketika mereka berusia sepuluh tahun."
(HR. Abu Dawud)

Dari hadis ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa pendidikan agama harus dimulai sejak dini, dan Ramadhan adalah waktu terbaik untuk melatih anak-anak dalam beribadah.

2. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Ramadhan untuk Anak-Anak

Ada banyak nilai yang bisa kita tanamkan kepada anak-anak selama bulan Ramadhan, di antaranya:

2.1 Belajar tentang Kedisiplinan

Di bulan Ramadhan, anak-anak bisa belajar tentang kedisiplinan melalui:

Menjaga waktu sahur dan berbuka.

Mengerjakan shalat tepat waktu.

Membaca Al-Qur’an setiap hari.

2.2 Melatih Kesabaran dan Pengendalian Diri

Puasa mengajarkan anak untuk bersabar dalam menahan lapar, haus, dan amarah. Rasulullah ﷺ bersabda:

"وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ"

"Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka jangan berkata buruk dan jangan berbuat kejahatan. Jika seseorang mencacinya atau mengajaknya bertengkar, hendaklah ia mengatakan: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’"
(HR. Bukhari dan Muslim)

2.3 Membangun Kepedulian Sosial

Ramadhan adalah bulan berbagi. Ajarkan anak-anak untuk:

Memberikan sedekah kepada fakir miskin.

Berbagi makanan saat berbuka.

Membantu pekerjaan rumah sebagai bentuk kepedulian kepada keluarga.

2.4 Menanamkan Rasa Syukur

Puasa mengajarkan anak untuk bersyukur atas nikmat Allah, seperti makanan dan kesehatan. Kita bisa mengajak anak-anak untuk berdoa sebelum dan sesudah makan serta berbicara tentang pentingnya bersyukur.

3. Cara Efektif Mendidik Anak di Bulan Ramadhan

Agar pendidikan Ramadhan bagi anak-anak lebih efektif, kita bisa melakukan beberapa hal berikut:

3.1 Memberikan Contoh yang Baik

Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat. Jika kita rajin beribadah, membaca Al-Qur’an, dan bersedekah, mereka akan meniru kita.

3.2 Mengajak Anak Berpartisipasi dalam Ibadah

Melatih anak-anak untuk berpuasa sesuai usia mereka. Misalnya, puasa setengah hari untuk anak-anak yang masih kecil.

Mengajak mereka ke masjid untuk shalat berjamaah.

Membacakan kisah-kisah nabi dan sahabat sebelum tidur.


3.3 Memberikan Motivasi dan Penghargaan

Beri anak-anak hadiah atau pujian ketika mereka berhasil menjalankan ibadah di bulan Ramadhan, seperti:

Memberikan hadiah kecil jika mereka berhasil puasa penuh sehari.

Memberikan apresiasi jika mereka rajin membaca Al-Qur’an.


3.4 Membuat Suasana Ramadhan Menyenangkan

Menghias rumah dengan tema Ramadhan.

Mengajak anak memasak makanan berbuka puasa.

Bermain permainan edukatif bertema Islam.

4. Menjaga Pendidikan Anak Setelah Ramadhan

Pendidikan anak tidak berhenti di bulan Ramadhan. Setelah Ramadhan, kita harus tetap:

Membiasakan mereka shalat tepat waktu.

Melanjutkan kebiasaan membaca Al-Qur’an.

Menanamkan semangat berbagi dan bersedekah.

Allah berfirman:

"وَٱعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ ٱلْيَقِينُ"

"Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan (kematian)."
(QS. Al-Hijr: 99)

Ayat ini mengajarkan bahwa ibadah dan pendidikan Islam harus terus dilakukan sepanjang hidup, tidak hanya di bulan Ramadhan.

Penutup

Hadirin yang dirahmati Allah,

Ramadhan adalah waktu yang sangat berharga untuk membentuk karakter anak-anak kita. Dengan menjadikan Ramadhan sebagai bulan pendidikan, kita bisa menanamkan nilai-nilai Islam yang akan menjadi bekal mereka di masa depan.

Semoga kita semua diberikan kekuatan oleh Allah untuk mendidik anak-anak kita agar menjadi generasi yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.

وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ وَالْهُدَى، وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Puasa dan Kesehatan – Hikmah di Balik Menahan Diri

Puasa dan Kesehatan – Hikmah di Balik Menahan Diri

Mukadimah

الحمد لله الذي فرض علينا الصيام وجعله سببًا في kesehatan tubuh dan ketakwaan, وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له, وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله, اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

Hadirin yang dirahmati Allah,

Marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang telah memberikan kita nikmat iman, Islam, dan kesehatan sehingga kita bisa bertemu kembali dengan bulan suci Ramadhan.

Shalawat serta salam kita curahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad ﷺ, yang telah mengajarkan kepada kita berbagai hikmah di balik ibadah, termasuk puasa.

Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas "Puasa dan Kesehatan: Hikmah di Balik Menahan Diri." Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga memberikan panduan agar hidup lebih sehat. Salah satunya adalah dengan berpuasa.

1. Perintah Puasa dalam Al-Qur’an

Allah mewajibkan puasa kepada umat Islam sebagaimana firman-Nya:

"يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ"

"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
(QS. Al-Baqarah: 183)

Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama puasa adalah membentuk ketakwaan, tetapi di dalamnya juga terdapat manfaat besar bagi kesehatan tubuh.

2. Puasa sebagai Sarana Menjaga Kesehatan

Rasulullah ﷺ bersabda:

"صُومُوا تَصِحُّوا"

"Berpuasalah, maka kamu akan sehat."
(HR. Thabrani)

Hadis ini menunjukkan bahwa puasa bukan hanya ibadah, tetapi juga memiliki manfaat medis yang telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern.

3. Hikmah Kesehatan di Balik Puasa

3.1 Detoksifikasi dan Pembersihan Racun dalam Tubuh

Saat berpuasa, tubuh memiliki waktu untuk membersihkan racun yang menumpuk dari makanan dan minuman yang dikonsumsi setiap hari. Selama puasa, sistem pencernaan beristirahat dan sel-sel tubuh mulai bekerja untuk memperbaiki dirinya sendiri.

3.2 Menjaga Berat Badan dan Mencegah Obesitas

Puasa dapat membantu mengontrol pola makan dan mengurangi risiko obesitas. Dengan puasa, tubuh membakar lemak yang tersimpan sebagai energi, sehingga berat badan menjadi lebih stabil.

3.3 Meningkatkan Sensitivitas Insulin dan Mencegah Diabetes

Penelitian menunjukkan bahwa puasa dapat meningkatkan sensitivitas insulin, yang sangat penting dalam mencegah diabetes tipe 2. Dengan mengurangi frekuensi makan, kadar gula darah lebih terkontrol.

3.4 Meningkatkan Fungsi Otak dan Mencegah Penyakit Neurodegeneratif

Puasa dapat meningkatkan produksi protein otak yang disebut brain-derived neurotrophic factor (BDNF), yang berperan dalam meningkatkan daya ingat dan mencegah penyakit Alzheimer serta Parkinson.

3.5 Meningkatkan Sistem Kekebalan Tubuh

Puasa membantu tubuh memperbarui sel-sel imun, sehingga meningkatkan ketahanan tubuh terhadap penyakit. Saat berpuasa, tubuh lebih fokus untuk memperbaiki sel-sel yang rusak.

4. Pola Makan Sehat Selama Puasa

Agar manfaat kesehatan dari puasa dapat diperoleh dengan maksimal, kita harus menjaga pola makan yang sehat. Rasulullah ﷺ telah memberikan contoh pola makan yang baik saat berbuka dan sahur.

4.1 Makan Sahur untuk Kekuatan Seharian

Rasulullah ﷺ bersabda:

"تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً"

"Makan sahurlah, karena dalam sahur terdapat keberkahan."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Sahur memberikan energi agar tubuh tetap kuat sepanjang hari. Sebaiknya makan makanan yang mengandung karbohidrat kompleks, protein, dan serat agar kenyang lebih lama.

4.2 Berbuka dengan Sunnah Rasul

Nabi Muhammad ﷺ menganjurkan berbuka dengan kurma, sebagaimana hadis berikut:

"كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتَمَرَاتٌ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَمَرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ"

"Rasulullah ﷺ biasa berbuka dengan beberapa butir kurma sebelum shalat, jika tidak ada kurma maka beliau berbuka dengan air."
(HR. Abu Dawud)

Kurma kaya akan gula alami yang cepat mengembalikan energi tubuh setelah seharian berpuasa.

4.3 Menghindari Makanan Berlebihan

Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

"وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ"

"Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan."
(QS. Al-A’raf: 31)

Hindari makan berlebihan saat berbuka, karena dapat menyebabkan gangguan pencernaan dan mengurangi manfaat kesehatan dari puasa.

5. Kesabaran dan Pengendalian Diri dalam Puasa

Selain manfaat fisik, puasa juga mengajarkan kesabaran dan pengendalian diri. Rasulullah ﷺ bersabda:

"الصِّيَامُ جُنَّةٌ"

"Puasa adalah perisai (dari perbuatan maksiat)."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan menahan lapar, haus, dan hawa nafsu, kita belajar untuk lebih disiplin dan menjauhi perbuatan yang merusak kesehatan fisik maupun mental, seperti marah, ghibah, dan kebiasaan makan tidak sehat.

6. Menjaga Kesehatan setelah Ramadhan

Setelah Ramadhan, kita dianjurkan untuk tetap menjaga kebiasaan sehat, seperti:

Melanjutkan puasa sunnah, seperti puasa Senin-Kamis dan puasa Syawal.

Menjaga pola makan sehat.

Tetap aktif berolahraga dan menjaga keseimbangan tubuh.

Rasulullah ﷺ bersabda:

"أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ"

"Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dilakukan secara terus-menerus, meskipun sedikit."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Penutup

Hadirin yang dirahmati Allah,

Puasa bukan hanya sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga memiliki hikmah luar biasa dalam menjaga kesehatan fisik dan mental kita.

Semoga kita dapat menjalani puasa dengan baik, mengambil hikmah dari ibadah ini, dan tetap menjaga kesehatan setelah Ramadhan.

وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ وَالسَّدَادُ، وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Puasa dan Keikhlasan – Ibadah yang Hanya Diketahui oleh Allah

Puasa dan Keikhlasan – Ibadah yang Hanya Diketahui oleh Allah

Mukadimah

الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، اللهم صل وسلم وبارك على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

Hadirin sekalian yang dirahmati Allah,

Marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala nikmat yang telah diberikan, terutama nikmat iman, Islam, dan kesempatan untuk kembali bertemu dengan bulan suci Ramadhan.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.

Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas "Puasa dan Keikhlasan: Ibadah yang Hanya Diketahui oleh Allah." Puasa adalah ibadah yang sangat istimewa, karena hanya Allah yang mengetahui apakah seseorang benar-benar berpuasa atau tidak. Oleh karena itu, puasa menjadi ujian keikhlasan bagi setiap hamba.

1. Puasa sebagai Ibadah yang Paling Ikhlas

Allah berfirman dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Rasulullah ﷺ:

"كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ"

"Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa puasa memiliki keistimewaan dibandingkan ibadah lain, karena tidak ada yang mengetahui keikhlasan puasa seseorang kecuali Allah. Jika seseorang shalat, zakat, atau haji, orang lain bisa melihatnya. Tetapi puasa adalah ibadah yang tersembunyi—seseorang bisa saja berpura-pura berpuasa, padahal diam-diam ia makan dan minum.

Maka dari itu, puasa adalah ujian sejati keikhlasan seorang mukmin.

2. Makna Keikhlasan dalam Berpuasa

Keikhlasan berasal dari kata "ikhlas" yang berarti murni atau bersih dari riya’ dan keinginan duniawi. Orang yang ikhlas dalam berpuasa tidak berpuasa karena ingin dipuji atau sekadar mengikuti kebiasaan masyarakat, tetapi semata-mata karena ketaatan kepada Allah.

Allah berfirman:

"وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ"

"Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas dalam menjalankan agama dengan lurus."
(QS. Al-Bayyinah: 5)

Orang yang ikhlas dalam berpuasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menjaga hatinya dari niat selain karena Allah. Ia berpuasa bukan karena ingin menurunkan berat badan, bukan karena ikut-ikutan, tetapi karena mengharap ridha Allah semata.

3. Keikhlasan dalam Menjaga Puasa dari Hal yang Membatalkan Pahala

Puasa bukan hanya tentang menahan makan dan minum, tetapi juga menjaga diri dari hal-hal yang bisa mengurangi atau bahkan membatalkan pahalanya. Rasulullah ﷺ bersabda:

"رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَالظَّمَأُ"

"Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain rasa lapar dan haus."
(HR. Ahmad)

Apa yang menyebabkan puasa seseorang tidak bernilai?

1. Riya’ (ingin dipuji manusia) – Jika seseorang berpuasa agar dilihat orang lain dan dipuji sebagai orang yang taat, maka puasanya tidak bernilai di sisi Allah.

2. Ghibah (menggunjing) – Rasulullah ﷺ bersabda bahwa menggunjing bisa membatalkan pahala puasa, seperti seseorang yang makan daging saudaranya sendiri.

3. Dusta dan perkataan kotor – Rasulullah ﷺ bersabda:

"مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ"

"Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan buruk, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya."
(HR. Bukhari)

Oleh karena itu, jika kita ingin puasa kita benar-benar diterima, kita harus menjaga lisan, hati, dan perbuatan kita dengan penuh keikhlasan.

4. Cara Melatih Keikhlasan dalam Puasa

Agar puasa kita benar-benar menjadi ibadah yang penuh keikhlasan, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan:

4.1 Memperbaiki Niat Sejak Awal

Niat adalah kunci utama keikhlasan. Rasulullah ﷺ bersabda:

"إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ"

"Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Setiap malam sebelum berpuasa, kita harus memastikan bahwa niat kita benar-benar hanya untuk Allah, bukan untuk tujuan duniawi semata.

4.2 Menjaga Kesendirian dengan Allah

Karena puasa adalah ibadah yang tersembunyi, kita harus memperbanyak amal ibadah yang juga bersifat pribadi, seperti:

Memperbanyak doa – terutama saat sahur dan menjelang berbuka.

Membaca Al-Qur’an dan merenungkan maknanya.

Shalat malam (qiyamul lail) untuk mendekatkan diri kepada Allah.

4.3 Menghindari Perbuatan yang Bisa Mengurangi Pahala

Jika kita benar-benar ingin puasa kita bernilai di sisi Allah, kita harus menjaga diri dari segala bentuk kemaksiatan, baik itu lisan, hati, maupun perbuatan.

4.4 Bersedekah dengan Ikhlas

Salah satu amalan yang bisa menyempurnakan keikhlasan puasa adalah bersedekah. Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling dermawan, terutama di bulan Ramadhan. Dengan bersedekah, kita melatih diri untuk tidak hanya menahan diri dari makanan, tetapi juga berbagi dengan orang yang membutuhkan tanpa mengharapkan balasan dari manusia.

Penutup

Hadirin yang dirahmati Allah,

Puasa adalah ibadah yang penuh dengan keikhlasan, karena hanya Allah yang mengetahui apakah kita benar-benar berpuasa atau tidak. Oleh karena itu, marilah kita memurnikan niat kita hanya karena Allah, menjaga puasa kita dari hal-hal yang mengurangi pahalanya, dan memperbanyak amal shaleh selama Ramadhan.

Semoga Allah menerima puasa kita dan menjadikannya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan penuh keikhlasan.

وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ وَالسَّدَادُ، وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Menyambut Ramadhan dengan Hati yang Bersih dan Ikhlas

Menyambut Ramadhan dengan Hati yang Bersih dan Ikhlas

Mukadimah

الحمد لله الذي هدانا لهذا وما كنا لنهتدي لولا أن هدانا الله، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

Hadirin yang dirahmati Allah,

Marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang telah memberikan kita nikmat iman, Islam, dan kesempatan untuk kembali bertemu dengan bulan suci Ramadhan. Semoga kita dapat mempersiapkan diri dengan baik untuk menyambut bulan penuh berkah ini.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad ﷺ, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga hari kiamat.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya akan menyampaikan ceramah dengan tema "Menyambut Ramadhan dengan Hati yang Bersih dan Ikhlas."
1. Ramadhan: Bulan yang Penuh Kemuliaan

Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:

"شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًۭى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍۢ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ"

"Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil)."
(QS. Al-Baqarah: 185)

Dalam bulan ini, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu. Rasulullah ﷺ bersabda:

"إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ"

"Ketika bulan Ramadhan datang, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ini menunjukkan bahwa Ramadhan adalah kesempatan besar untuk meraih ampunan dan mendekatkan diri kepada Allah. Namun, agar kita dapat benar-benar meraih keutamaan Ramadhan, kita harus menyambutnya dengan hati yang bersih dan penuh keikhlasan.


---

2. Membersihkan Hati Sebelum Memasuki Ramadhan

Agar ibadah kita selama Ramadhan diterima oleh Allah, kita harus membersihkan hati dari segala penyakit batin, seperti:

2.1 Menghindari Dendam dan Kebencian

Salah satu penghalang terbesar dalam beribadah adalah hati yang dipenuhi dendam dan kebencian. Rasulullah ﷺ bersabda:

"إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ، فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ"

"Jauhilah sifat hasad (iri dengki), karena hasad itu dapat memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar."
(HR. Abu Dawud)

Menjelang Ramadhan, marilah kita saling memaafkan agar hati kita menjadi bersih dan ibadah kita lebih khusyuk.

2.2 Bertaubat dari Dosa-Dosa

Allah berfirman:

"وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ"

"Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung."
(QS. An-Nur: 31)

Ramadhan adalah bulan ampunan, maka sebelum memasukinya, kita harus bertaubat dengan sungguh-sungguh dan berjanji untuk tidak mengulangi dosa-dosa kita.

2.3 Menyucikan Niat dalam Beribadah

Setiap amal ibadah harus dilakukan dengan niat yang ikhlas karena Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:

"إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى"

"Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan niatnya."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Jangan sampai kita beribadah hanya karena ingin dipuji atau sekadar ikut-ikutan. Mari kita murnikan niat kita agar ibadah di bulan Ramadhan benar-benar diterima oleh Allah.
3. Cara Menyambut Ramadhan dengan Hati yang Bersih dan Ikhlas

Agar kita siap menyambut Ramadhan dengan hati yang bersih dan ikhlas, ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan:

3.1 Memperbanyak Doa agar Diberi Kesempatan Beribadah di Ramadhan

Sebelum Ramadhan tiba, kita dianjurkan untuk berdoa agar Allah memberi kita kesempatan untuk menjalani ibadah di bulan yang mulia ini. Di antara doa yang sering dibaca oleh para salafus shalih adalah:

اللَّهُمَّ بَلِّغْنَا رَمَضَانَ
"Ya Allah, sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan."

3.2 Meningkatkan Amalan Sunnah Sejak Sebelum Ramadhan

Agar tidak kaget ketika Ramadhan tiba, kita bisa mulai melatih diri dengan memperbanyak ibadah sunnah seperti:

Puasa sunnah (Senin-Kamis, Ayyamul Bidh, atau Sya’ban)

Shalat malam (qiyamul lail)

Membaca Al-Qur’an

Bersedekah

3.3 Menjaga Lisan dan Perbuatan

Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari perkataan dan perbuatan yang buruk. Rasulullah ﷺ bersabda:

"مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ"

"Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan buruk, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya."
(HR. Bukhari)

Penutup

Hadirin yang dirahmati Allah,

Ramadhan adalah bulan yang sangat mulia. Namun, untuk benar-benar meraih keberkahannya, kita harus menyambutnya dengan hati yang bersih dan niat yang ikhlas.

Marilah kita gunakan waktu yang tersisa sebelum Ramadhan untuk bertaubat, memperbaiki hubungan dengan sesama, dan mempersiapkan diri untuk beribadah dengan lebih baik.

Semoga Allah memberikan kita kesehatan dan umur panjang agar bisa menjalani Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan.

وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ وَالسَّدَادُ، وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Keutamaan Orang Miskin

Keutamaan Orang Miskin

Orang miskin punya keutamaan saat ia mau bersabar. Di sini juga jadi pertanda, jangan sampai kita meremehkan mereka.

Berikut tiga di antaranya:

1- Penghuni surga banyak orang miskin

Dari Harits bin Wahb radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia berkata,

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعِّفٍ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ ، أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ

Maukah kuberitahu pada kalian siapakah ahli surga itu? Mereka itu adalah setiap orang yang lemah dan dianggap lemah oleh para manusia, tetapi jika ia bersumpah atas nama Allah, pastilah Allah mengabulkan apa yang disumpahkannya. Maukah kuberitahu pada kalian siapakah ahli neraka itu? Mereka itu adalah setiap orang yang keras, kikir dan gemar mengumpulkan harta lagi sombong” (HR. Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853).

Orang yang lemah yang dimaksud adalah orang yang diremehkan orang lain karena keadaan yang lemah di dunia (alias: miskin). Ini cara baca mutadho’af dalam hadits. Bisa juga dibaca mutadho’if yang artinya orang yang rendah diri dan tawadhu’. Al Qadhi menyatakan bahwa yang dimaksud orang yang lemah adalah orang yang lembut hatinya dan tawadhu’. Lihat Syarh Shahih Muslim, 17: 168.

2- Orang miskin mendahului orang kaya masuk surga

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُؤْمِنِينَ الْجَنَّةَ قَبْلَ الأَغْنِيَاءِ بِنِصْفِ يَوْمٍ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ

Orang beriman yang miskin akan masuk surga sebelum orang-orang kaya yaitu lebih dulu setengah hari yang sama dengan 500 tahun.” (HR. Ibnu Majah no. 4122 dan Tirmidzi no. 2353. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Diterangkan dalam Tuhfatul Ahwadzi (7: 68) sebagai berikut.

Satu hari di akhirat sama dengan seribu tahun di dunia. Sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan,

وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ

Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. Al Hajj: 47). Oleh karenanya, setengah hari di akhirat sama dengan 500 tahun di dunia.

Adapun firman Allah Ta’ala,

فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

Dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun” (QS. Al Ma’arij: 4). Ayat ini menunjukkan pengkhususan dari maksud umum yang sebelumnya disebutkan atau dipahami bahwa waktu tersebut begitu lama bagi orang-orang kafir. Itulah kesulitan yang dihadapi orang-orang kafir,

فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُورِ (8) فَذَلِكَ يَوْمَئِذٍ يَوْمٌ عَسِيرٌ (9) عَلَى الْكَافِرِينَ غَيْرُ يَسِيرٍ (10)

Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit, bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah.” (QS. Al Mudatsir: 8-10).

3- Berkah dari do’a orang miskin

Dalam hadits disebutkan bahwa Sa’ad menyangka bahwa ia memiliki kelebihan dari sahabat lainnya karena melimpahnya dunia pada dirinya, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هَلْ تُنْصَرُوْنَ وَتُرْزَقُوْنَ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ

Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab adanya orang-orang lemah dari kalangan kalian” (HR. Bukhari no. 2896).

Dalam lafazh lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا يَنْصُرُ اللهُ هَذَهِ اْلأُمَّةَ بِضَعِيْفِهَا: بِدَعْوَتِهِمْ، وَصَلاَتِهِمْ، وَإِخْلاَصِهِمْ.

Sesungguhnya Allah menolong umat ini dengan sebab orang-orang lemah mereka di antara mereka, yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan mereka” (HR. An Nasai no. 3178. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ibnu Baththol berkata, “Ibadah orang-orang lemah dan doa mereka lebih ikhlas dan lebih terasa khusyu’ karena mereka tidak punya ketergantungan hati pada dunia dan perhiasannya. Hati mereka pun jauh dari yang lain kecuali dekat pada Allah saja. Amalan mereka bersih dan do’a mereka pun mudah diijabahi (dikabulkan)”. Al Muhallab berkata, “Yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan adalah dorongan bagi Sa’ad agar bersifat tawadhu’, tidak sombong dan tidak usah menoleh pada harta yang ada pada mukmin yang lain” (Lihat Syarh Al Bukhari li Ibni Baththol, 9: 114).

Pengemis Jalanan Bukanlah Orang Miskin

Karena rerata pengemis jalanan adalah orang mampu nan kuat yang malas bekerja, padahal di balik itu juga mereka kaya.

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِى تَرُدُّهُ الأُكْلَةُ وَالأُكْلَتَانِ ، وَلَكِنِ الْمِسْكِينُ الَّذِى لَيْسَ لَهُ غِنًى وَيَسْتَحْيِى أَوْ لاَ يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا

Namanya miskin bukanlah orang yang tidak menolak satu atau dua suap makanan. Akan tetapi miskin adalah orang yang tidak punya kecukupan, lantas ia pun malu atau tidak meminta dengan cara mendesak” (HR. Bukhari no. 1476).

Moga Allah beri kita taufik dan hidayah untuk semakin peduli pada orang-orang miskin, apalagi kerabat dekat kita.

Semoga bermanfaat.

Globalisasi Menghancurkan Generasi

Globalisasi Menghancurkan Generasi 

Karena seringnya membaca, melihat, dan mendengar hal-hal yang haram melalui berbagai media, rasa malu pun akan terkikis dari hati, bahkan bisa jadi hilang sama sekali. Padahal rasa malu adalah unsur pokok yang menghidupkan hati.

Islam datang membawa syariat yang mulia lagi sempurna. Allah azza wa jalla berfirman dalam kitab-Nya,

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينًاۚ

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah: 3)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun memberitakan tentang misi beliau diutus oleh Allah azza wa jalla,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

“Hanyalah aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. AhmadMalik, dan al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah [1/75])

Akan tetapi, kemuliaan dan kesempurnaan syariat Islam tidak akan disadari dan diyakini selain oleh orang-orang yang diberi hidayah taufik dari Allah azza wa jalla.

Apalagi di zaman sekarang, yang disebut era globalisasi dan teknologi informasi. Cepat dan dahsyatnya informasi ternyata tidak identik dengan kemajuan pada bidang yang lain. Terkhusus bidang agama, moral, dan spiritual kaum muslimin secara umum dan generasi mudanya secara khusus telah dirusak oleh berbagai asupan yang bersumber dari media massa, baik elektronik maupun cetak.

Media massa yang ada saat ini umumnya dimiliki oleh Yahudi dan Nasrani. Kalaupun ada yang dimiliki oleh kaum muslimin, tetap tidak terlepas dari berbagai hal mungkar yang terjadi di dalamnya. Karena itu, berbagai bentuk media penyaji informasi tersebut dimanfaatkan untuk menghancurkan moral dan agama bangsa ini, terkhusus generasi muda kaum muslimin. Perhatikanlah acara-acara televisi, terkhusus film, sinetron, hiburan, iklan, dan bahkan berita yang disajikan pun mengandung kemungkaran.

Hal ini diperparah oleh ketersediaan layanan internet yang mudah, murah, dan cepat; yang bisa diakses melalui ponsel pintar yang tergenggam di tangan generasi muda muslimin. Belum lagi kalau kita menengok media cetak, seperti majalah, koran, dan tabloid, yang dipenuhi gambar-gambar tidak pantas yang membangkitkan nafsu syahwat. Akibatnya, tidak ada yang selamat dari kerusakan yang ditimbulkan oleh media massa selain orang-orang yang dijaga oleh Allah azza wa jalla.

Di antara bentuk kerusakan moral terbesar yang ditimbulkan oleh media massa adalah sebagai berikut.

Hilangnya Rasa Malu

Karena seringnya membaca, melihat, dan mendengar hal-hal yang haram melalui berbagai media, rasa malu pun akan terkikis dari hati, bahkan bisa jadi hilang sama sekali. Padahal rasa malu adalah unsur pokok yang menghidupkan hati. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ

“Rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (Muttafaqun alaih, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga menjelaskan keutamaan rasa malu melalui sabdanya,

الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ

“Rasa malu tidaklah mendatangkan selain kebaikan.” (Muttafaqun alaih, dari Imran bin Hushain radhiyallahu anhu)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Di antara hukuman akibat perbuatan dosa adalah hilangnya rasa malu yang merupakan unsur pokok yang menentukan hidupnya hati. Rasa malu adalah dasar seluruh kebaikan. Maka dari itu, hilangnya rasa malu akan menyebabkan sirnanya seluruh kebaikan.” (ad-Da’ wad-Dawa’, hlm. 105)

Berdasarkan penjelasan di atas, barang siapa sudah tidak memiliki rasa malu disebabkan oleh kemaksiatannya, dia akan melakukan berbagai kemaksiatan yang lain tanpa rasa malu pula. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

“Sesungguhnya, di antara perkataan nubuwah terdahulu yang masih didapatkan oleh manusia ialah apabila engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR. al-Bukhari, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu)

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan, “Perintah dalam hadits ini (berbuatlah sesukamu’) bermakna berita. Artinya, barang siapa tidak memiliki rasa malu, dia akan berbuat semaunya. Sebab, yang menghalangi seseorang berbuat jelek adalah rasa malu. Jadi, ketika seseorang tidak memiliki rasa malu, niscaya dia akan bersemangat melakukan seluruh perbuatan keji dan mungkar.” (Jami’ al-‘Ulum wal Hikam, 1/498)

Di antara akibat buruk yang ditimbulkan oleh hilangnya rasa malu dalam kehidupan masyarakat ialah sebagai berikut. 

1. Campur baur lelaki dan perempuan yang bukan mahram (ikhtilath)

Hal ini terjadi di sekolah, perguruan tinggi, kantor, dan tempat lainnya. Mereka bercampur baur dengan berbagai bentuk penampilan, dandanan, dan wewangian, meniru apa yang dilihat di televisi.

Hal ini tentu akan menimbulkan berbagai keburukan dan godaan terhadap lawan jenis. Padahal Allah azza wa jalla berfirman kepada Nabi-Nya dan istri-istri beliau—yang menjadi teladan bagi kaum muslimah,

وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (al-Ahzab: 33)

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan ayat ini dalam tafsirnya, “Tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian, karena hal itu lebih selamat dan lebih menjaga kehormatan. Janganlah kalian sering keluar rumah dalam keadaan bersolek dan memakai wewangian sebagaimana halnya kebiasaan orang-orang jahiliah sebelum kedatangan Islam yang tidak memiliki ilmu dan agama. Sebab, semua hal itu akan menyeret ke dalam berbagai kejelekan dan sebabnya.”

2. Pacaran telah menjadi hal yang biasa

Di antara fitnah yang terjadi karena ikhtilath ialah khalwat (pacaran), terkhusus di tempat-tempat hiburan/wisata. Ini pun mereka lakukan karena meniru apa yang mereka dapatkan dari berbagai media.

Perlu diketahui, ikhtilath dan khalwat akan menyeret kepada perbuatan keji yang lain, seperti onani, zina, dan pemerkosaan. Oleh karena itu, Allah azza wa jalla melarang berbagai hal yang menyeret manusia menuju zina,

وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًاۖ

“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (al-Isra: 32)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga melarang umatnya melakukan khalwat,

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

“Janganlah salah seorang di antara kalian berkhalwat dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya.” (Muttafaqun alaih, dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan hadits di atas,

“Yang dimaksud adalah wanita yang bukan mahramnya, seperti anak perempuan bibi atau paman, atau yang tidak memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan Anda. Jadi, berdua-duaan dengan wanita yang seperti ini hukumnya haram. Tidaklah seseorang lelaki ber-khalwat dengan perempuan kecuali setan akan menjadi pihak yang ketiga. Bagaimana menurut Anda tentang orang yang ber-khalwat (berpacaran) yang disertai oleh setan? Sungguh, kita yakin keduanya akan menceburkan diri ke dalam kejelekan. Kita memohon perlindungan kepada Allah azza wa jalla.” (Syarh Riyadhish Shalihin, 4/167)

Karena itu, benarlah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنْ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زنَاهُ الْكَلَامُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهٍُ

“Ditetapkan bagian dari perbuatan zina bagi anak Adam, dia pasti akan mendapatkannya, tidak mungkin selamat. Dua mata zinanya dengan melihat (hal-hal yang haram dilihat)Dua telinga zinanya dengan mendengarkan (hal-hal yang haram didengar). Lisan zinanya dengan mengucapkan (hal-hal yang keji). Tangan zinanya dengan menyentuh/meraba. Adapun kalbu menginginkan dan berangan-angan (melakukan zina). Yang akan membenarkan atau mendustakannya adalah kemaluan.” (Muttafaqun alaih, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

3. Perzinaan dan pemerkosaan

Ikhtilath dan khalwat yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sudah menjadi adat kebiasaan. Bahkan, sebagian orang tua mengkhawatirkan anak mereka yang sudah menginjak dewasa, tetapi belum memiliki pacar. Mereka khawatir, jangan-jangan anaknya memiliki kelainan. Na’udzu billah min dzalik.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh pergaulan bebas dan pacaran ialah merebaknya perzinaan. Padahal, Allah azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam melarang semua itu sebagai bentuk kasih sayang kepada para hamba.

Allah azza wa jalla menyebutkan salah satu sifat calon penghuni surga Firdaus,

وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَٰفِظُونَ ٥ إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ ٦ فَمَنِ ٱبۡتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡعَادُونَ ٧

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; karena sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (al-Mukminun: 5—7)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الْفَمُ وَالْفَرَجُ

“Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah mulut dan kemaluan.” (HR. at-Tirmidzi)

Ketika menerangkan hadits,

لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwa aku adalah Rasulullah, kecuali dengan tiga sebab: zina muhshan, membunuh jiwa (qishash), dan yang meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari jamaah.” (HR. Muslim)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Hadits ini menyebutkan perbuatan zina beriringan dengan kekafiran dan membunuh jiwa, sebagaimana surat al-Furqan ayat 68. Beliau shallallahu alaihi wa sallam memulai dengan menyebutkan dosa yang paling banyak dilakukan, kemudian yang berikutnya. Jadi, zina adalah perbuatan dosa yang paling sering dilakukan daripada membunuh jiwa. Membunuh jiwa lebih sering dilakukan daripada kemurtadan.

Penyebutan perbuatan dosa dalam hadits ini dimulai dari yang besar menuju yang lebih besar lagi. Kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatan zina bertentangan dengan kepentingan umat manusia. Ketika berbuat zina, seorang wanita telah memasukkan aib yang memalukan dalam keluarga, suami, dan kerabatnya. Dia menyebabkan kepala mereka tertunduk malu di hadapan masyarakatnya. Terlebih lagi apabila sampai hamil karena zina, lalu dia membunuh bayinya. Dia telah mengumpulkan dua macam dosa, yaitu zina dan membunuh jiwa.

Apabila dia mengaku bahwa hamilnya adalah karena suami, berarti dia menyisipkan anak hasil zina tersebut ke dalam keluarga suaminya, padahal anak tersebut bukan bagian dari mereka. Selanjutnya, anak tersebut akan mendapat warisan dari mereka padahal dia tidak berhak. Selain itu, anak tersebut akan melihat, bercampur, dan dinasabkan kepada keluarga suaminya, padahal sama sekali bukan bagian dari mereka. Masih banyak lagi kerusakan lain yang disebabkan oleh perbuatan zina seorang wanita.

Jika lelaki yang berbuat zina, akan mengakibatkan tercampurnya nasab, merusak wanita yang sudah bersuami, dan menyebabkan kerusakan serta kebinasaan wanita yang dizinainya. Jadi, perbuatan dosa besar yang satu ini akan menghancurkan urusan dunia dan agama.” (ad-Da’ wad-Dawa’, hlm. 232)

Tasyabbuh

Di antara kerusakan yang timbul karena gencarnya media massa baik elektronik maupun cetak adalah kekaguman mayoritas kaum muslimin terkhusus generasi muda terhadap tokoh yang sering ditampilkan di media massa, baik bintang iklan, bintang sinetron/film, bintang sepak bola, maupun lainnya.

Mereka mengagumi cara berpakaian, penampilan, gaya hidup, gaya bicara, dll. Bahkan, tidak sedikit pula kaum muslimin yang kagum dengan gaya hidup orang kafir atau fasik di suatu negara/wilayah sehingga mayoritas kaum muslimin terkena penyakit “tasyabbuh” (penyerupaan yang diharamkan dalam agama).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa menyerupai suatu kaum, ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 6149)

Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan kepada umat tentang akan terjadinya wabah tasyabbuh ini dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu anhu,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَذْوَ الْقُذَّةِ بِالْقُذَّةِ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَدَخَلْتُمُوهُ. قاَلُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟

“Sungguh, akan ada di antara kalian orang-orang yang mengikuti cara/adat orang-orang sebelum kalian sebagaimana bulu anak panah terhadap yang lainnya. Sampai-sampai jika mereka masuk ke dalam liang kadal padang pasir, sungguh kalian akan ikut memasukinya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah maksudnya orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Siapa lagi?” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Jenis tasyabbuh yang diharamkan ialah sebagai berikut.

1. Tasyabbuh laki-laki terhadap perempuan dan sebaliknya, baik dalam hal pakaian, gerakan, maupun penampilan.

لَعَنَ رَسُولُ اللهِ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat para laki-laki yang menyerupai perempuan dan para perempuan yang menyerupai laki-laki.” (HR. al-Bukhari, no. 5885, dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma)

Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللهِ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian perempuan dan perempuan yang memakai pakaian laki-laki.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud no. 3454)

Jika kita perhatikan kehidupan masyarakat, betapa banyak orang yang berhak mendapat laknat Rasulullah dengan sebab ini. Laki-laki berpenampilan seperti perempuan, baik berambut panjang, memakai perhiasan wanita, dsb. Wanita menyerupai laki-laki dalam hal potongan rambut, bahkan sampai botak, demikian pula cara berpakaian dan berpenampilan. Semua hal tersebut terjadi salah satu sebabnya adalah pengaruh media massa.

2. Tasyabbuh dengan orang fasik.

Di antara dampak negatif media massa, terkhusus televisi, ialah menyebabkan kaum muslimin melakukan tasyabbuh dengan orang-orang fasik. Misalnya, bermudah-mudah dalam kawin-cerai sebagaimana yang dilakukan oleh para selebritas dalam kehidupan rumah tangga mereka. Jika salah satu pasangan tidak cocok atau salah paham, ujungnya adalah perceraian. Dampaknya, sebagian kaum muslimin meniru mereka ketika menghadapi problem rumah tangga.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan nasihat,

لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَِ

 “Janganlah seorang suami membenci istrinya (secara total). Apabila dia membenci salah satu perangai istrinya, dia akan senang terhadap perangai yang lainnya.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِكُمِْ

“Orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (HR. at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Contoh lain, seorang istri berani membentak suaminya, bahkan memukulnya lantaran istri sering menonton sinetron. Padahal Allah azza wa jalla berfirman,

 ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ

 “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).” (an-Nisa: 34)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا، إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الحُورِ العِينِ: لاَ تُؤْذِيهِ، قَاتَلَكِ اللَّهُ، فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكَ دَخِيلٌ يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا

“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia kecuali calon istrinya dari bidadari-bidadari akan berkata, ‘Jangan engkau sakiti dia, mudah-mudahan Allah azza wa jalla memerangimu,’ hanya saja dia (suamimu) itu ibarat tamu di sisimu yang hampir-hampir akan berpisah denganmu menuju kami.” (HR. at-Tirmidzi)

3. Tasyabbuh dengan orang kafir dan setan

Melalui media massa inilah ditanamkan simpati, kecintaan, dan pembelaan terhadap orang-orang kafir. Dengan gencar dipropagandakan bahwa peradaban modern adalah peradaban Barat. Tidak jarang kita dapatkan sikap dan perbuatan yang menyerupai orang kafir Barat.

Allah azza wa jalla telah memperingatkan,

وَلَن تَرۡضَىٰ عَنكَ ٱلۡيَهُودُ وَلَا ٱلنَّصَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمۡۗ قُلۡ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ ٱلۡهُدَىٰۗ وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم بَعۡدَ ٱلَّذِي جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).’ Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (al-Baqarah: 120)

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan,

“Firman Allah azza wa jalla ini memuat larangan keras mengikuti hawa nafsu orang Yahudi dan Nasrani. Selain itu, terkandung pula larangan menyerupai mereka, terkhusus dalam hal agama. Walaupun ditujukan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, larangan ini juga tertuju kepada kaum muslimin. Sebab, pelajaran itu diambil dengan sebab keumuman makna, bukan karena kekhususan yang diajak bicara. Hal ini sebagaimana pelajaran itu diambil dengan sebab keumuman lafaz, bukan kekhususan sebab.” (Tafsir as-Sa’di, hal. 65)

Tasyabbuh yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin terhadap Barat terjadi dalam banyak hal. Sampai-sampai dalam urusan pakaian dan rambut pun meniru mereka, misalnya gaya berpakaian dan rambut punk. Padahal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah melarangnya

نَهَى رَسُولُ اللهِ عَنِ الْقَزَعِ

 “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari al-qaza’.” (Muttafaqun alaih)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Al-qaza’ bermakna menggundul sebagian rambut kepala dan membiarkan sebagian yang lainnya. Sama saja apakah pada satu sisi kepala atau seluruh sisi, baik dari sebelah atas, sebelah kanan, maupun sebelah kiri; sisi belakang ataupun depan. Yang jelas, menggundul sebagian rambut kepala dan membiarkan sebagian yang lain, itulah qaza’ yang dilarang oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 4/174)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang tasyabbuh terhadap setan,

لاَ تَأْكُلُوا بِالشِّمَالِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ

“Jangan kalian makan dengan tangan kiri, karena setan makan dan minum dengan tangan kiri.” (HR. Muslim)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Sungguh, engkau heran terhadap suatu kaum pada masa kini yang membaur dengan orang kafir dan menyaksikan kehidupan mereka (lewat media massa), lantas meniru pimpinan mereka, yaitu setan, dalam hal makan dan minum dengan tangan kiri. Engkau heran terhadap sekelompok muslimin yang makan dan minum dengan tangan kiri, padahal mereka mendakwahkan petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Akan tetapi, mereka justru menyerupai setan dan orang kafir. Mereka tidak mencontoh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, justru menyelisihi petunjuk dan sunnah beliau.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 4/172)

Tulisan ini hanyalah menyebutkan contoh kecil kerusakan yang ditimbulkan oleh media massa. Mudah-mudahan Allah azza wa jalla akan senantiasa menjaga kita, keluarga, dan anak-anak kita secara khusus dan kaum muslimin secara umum dari berbagai hal yang menghancurkan moral dan agama. Amin.

Rakyat Terus Bermaksiat Akan Diberi Pemimpin Dzalim

Rakyat Terus Bermaksiat Akan Diberi Pemimpin Dzalim 

Untuk memperbaiki masyarakat maka hendaknya jangan fokus ke pemimpin saja. Tetapi hendaknya memperhatikan keadaan masyarakatnya juga karena pemimpin adalah cerminan rakyatnya. Bisa jadi ada penguasa yang dzhalim itu adalah hukuman yang ditimpakan Allah unutk rakyat yang dzhalim juga, karena terus menerus  bermakasiat. Allah Ta’ala berfirman,

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi penguasa bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (Al An’aam: 129).

Munculnya pemimpin yang dzalim bisa jadi akibat perbuatan rakyatnya.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,

يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ وَأَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ وَمَا لَمْ تَظْهَرِ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلَّا ظَهَرَ فِيهِمُ الأَمْرَاضُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ فِي أَسْلَافِهِمِ وَمَا مَنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلَّا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ وَلَوْلَا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا وَ مَا لَمْ يُطَفِّفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ إِلَّا أُخِذُوا بِجَوْرِ السُّلْطَانِ وَشِدَّةِ الْمَئُونَةِ وَالسِّنِينَ وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيْدٌ

“Hai orang-orang Muhajirin, lima perkara, jika kamu ditimpa lima perkara ini, aku mohon perlindungan kepada Allah agar kamu tidak mendapatkannya. Tidaklah muncul perbuatan keji (Zina,merampok, minum khamr, judi, dan lainnya) pada suatu masyarakat, sehingga mereka melakukannya dengan terang-terangan, kecuali akan tersebar penyakit-penyakit lainnya yang tidak ada pada orang-orang sebelum mereka. Orang-orang tidak menahan zakat hartanya, kecuali hujan dari langit juga akan ditahan dari mereka. Seandainya bukan karena hewan-hewan, manusia tidak akan diberi hujan. Tidaklah orang-orang mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan disiksa dengan kezhaliman penguasa,  kehidupan yang susah, dan paceklik. Dan selama pemimpin-pemimpin (negara, masyarakat) tidak menghukumi dengan kitab Allah. Dan memilih-milih sebagian apa  yang Allah turunkan, kecuali Allah  menjadikan permusuhan yang keras di antara mereka.”[1]

Jika ingin menyalahkan jeleknya kepemimpinan pemimpin, maka rakyatnyalah yang lebih dahulu mengintropeksi diri. Karena pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,

وتأمل حكمته تعالى في ان جعل ملوك العباد وأمراءهم وولاتهم من جنس اعمالهم بل كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم فإن ساتقاموا استقامت ملوكهم وإن عدلوا عدلت عليهم وإن جاروا جارت ملوكهم وولاتهم وإن ظهر فيهم المكر والخديعة فولاتهم كذلك وإن منعوا حقوق الله لديهم وبخلوا بها منعت ملوكهم وولاتهم ما لهم عندهم من الحق ونحلوا بها عليهم وإن اخذوا ممن يستضعفونه مالا يستحقونه في معاملتهم اخذت منهم الملوك مالا يستحقونه وضربت عليهم المكوس والوظائف وكلما يستخرجونه من الضعيف يستخرجه الملوك منهم بالقوة فعمالهم ظهرت في صور اعمالهم وليس في الحكمة الالهية ان يولى على الاشرار الفجار الا من يكون من جنسهم

“Renungkanlah hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zholim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zholim. Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat. Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan. Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya..”[2]

Demikianlah, semoga kita bisa selalu memperbaiki diri sendiri dahulu dan Allah akan menganugrahkan pemimpin yang baik bagi kita.


[1] HR Ibnu Majah no. 4019 Dishahihkanoleh Syaikh Al-Albani dalam ash-Shohihah no. 106,

[2] Miftah Daris Sa’adah hal. 253, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, Syamilah

Uzlah VS Bergaul Dengan Masyarakat

Uzlah VS Bergaul Dengan Masyarakat 

Dizaman yang penuh fitnah ini, yaitu ketika fitnah syubhat dan syahwat begitu kerasnya menerpa, ketika kesyirikan menjamur, ketika maksiat tersebar dan dianggap biasa orang masyarakat, ketika sunnah dianggap asing dan bid’ah dianggap sunnah oleh mereka terkadang orang yang ingin berpegang teguh pada agamanya dihadapkan oleh dua pilihan: ‘uzlah (mengasingkan diri) ataukah khulthah (tetap bergaul di tengah masyarakat)? Kita simak pembahasan berikut.

Dalil-Dalil Yang Menganjurkan Uzlah Demi Menjauhi Fitnah

Banyak dalil-dalil yang menganjurkan untuk uzlah (mengasingkan diri) demi menyelamatkan diri dari fitnah atau diri menghindari masyarakat yang banyak terjadi maksiat, kebid’ahan dan pelanggaran agama. Diantaranya sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

خَيْرُ الناسِ في الفِتَنِ رجلٌ آخِذٌ بِعِنانِ فَرَسِه أوْ قال بِرَسَنِ فَرَسِه خلفَ أَعْدَاءِ اللهِ يُخِيفُهُمْ و يُخِيفُونَهُ ، أوْ رجلٌ مُعْتَزِلٌ في بادِيَتِه ، يُؤَدِّي حقَّ اللهِ تَعالَى الذي عليهِ

Sebaik-baik manusia ketika berhadapan dengan fitnah adalah orang yang memegang tali kekang kudanya menghadapi musuh-musuh Allah. Ia menakuti-nakuti mereka, dan merekapun menakut-nakutinya. Atau seseorang yang mengasingkan diri ke lereng-lereng gunung, demi menunaikan apa yang menjadi hak Allah” (HR. Al Hakim 4/446, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 2/311).

Sebagaimana juga dalam hadits,

قال رجلٌ : أيُّ الناسِ أفضلُ ؟ يا رسولَ اللهِ ! قال ( مؤمنٌ يجاهد بنفسِه ومالِه في سبيلِ اللهِ ) قال : ثم من ؟ قال ( ثم رجلٌ مُعتزلٌ في شِعبٍ من الشِّعابِ . يعبد ربَّه ويدَعُ الناسَ من شرِّه

“Seseorang bertanya kepada Nabi: ‘siapakan manusia yang paling utama wahai Rasulullah?’ Nabi menjawab: ‘Orang yang berjihad dengan jiwanya dan hartanya di jalan Allah’. Lelaki tadi bertanya lagi: ‘lalu siapa?’. Nabi menjawab: ‘Lalu orang yang mengasingkan diri di lembah-lembah demi untuk menyembah Rabb-nya dan menjauhkan diri dari kebobrokan masyarakat’” (HR. Al Bukhari 7087, Muslim 143).

Bahkan andai satu-satu jalan supaya selamat dari fitnah adalah dengan mengasingkan diri ke lembah-lembah dan puncak-puncak gunung, maka itu lebih baik daripada agama kita terancam hancur. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يُوشِكَ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الرَّجُلِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنْ الْفِتَنِ

Hampir-hampir harta seseorang yang paling baik adalah kambing yang ia pelihara di puncak gunung dan lembah, karena ia lari mengasingkan diri demi menyelamatkan agamanya dari fitnah” (HR. Al Bukhari 3300).

Dalil-Dalil Yang Menganjurkan Untuk Bergaul Di Tengah Masyarakat 

Sebagian dalil yang lain menganjurkan kita untuk bergaul di tengah masyarakat walaupun bobrok keadaannya, dalam rangka berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar di dalamnya. Diantaranya firman Allah Ta’ala:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah: 2).

juga firman Allah Ta’ala:

وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ﴿٣﴾

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al Ashr: 1-3)

Diantaranya juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

المؤمنُ الذي يخالطُ الناسَ ويَصبرُ على أذاهم خيرٌ منَ الذي لا يُخالطُ الناسَ ولا يصبرُ على أذاهمْ

Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka” (HR. At Tirmidzi 2507, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad 388, Ahmad 5/365, syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan hadits ini shahih dalam Mafatihul Fiqh 44).

Juga sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam:

فواللهِ لَأن يُهدى بك رجلٌ واحدٌ خيرٌ لك من حُمْرِ النَّعَمِ

Demi Allah, sungguh engkau menjadi sebab hidayah bagi satu orang saja, itu lebih baik bagimu daripada unta merah” (HR. Al Bukhari 2942)ز

Juga sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam:

اتَّقِ اللهَ حيثُما كنتَ ، وأَتبِعِ السَّيِّئَةَ الحسنةَ تمحُها ، و خالِقِ الناسَ بخُلُقٍ حَسنٍ

bertaqwalah engkau kepada Allah dimanapun berada, dan perbuatan buruk itu hendaknya diikuti dengan perbuatan baik yang bisa menghapus dosanya, dan pergaulilah orang-orang dengan akhlaq yang baik” (HR. At Tirmidzi 1906, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami, 97).

dan masih banyak lagi dalil-dalil yang lain.

Memahami dan Menggabungkan Dalil-Dalil

Jika kita melihat penjelasan para ulama, ternyata dalil-dalil di atas tidaklah saling bertabrakan. Juga dengan memahami pernyataan para ulama, kita bisa mengamalkan dan menggabungkan dalil-dalil yang ada dalam masalah ini. Sehingga kita pun bisa bersikap dengan benar dan proporsional, tidak mutlak memutuskan untuk mengasingkan diri dan juga tidak mutlak memutuskan untuk bergaul di masyarakat yang buruk keadaannya.

Al Khathabi dalam kitab Al ‘Uzlah menyatakan bahwa dalil-dalil yang menganjurkan untuk berkumpul di dalam masyarakat di bawa ke makna bahwa hal itu dalam hal-hal yang berkaitan dengan ketaatan terhadap ulil amri dan ketaatan dalam menjalankan perintah agama. Dan sebaliknya, jika berkaitan dengan adanya pengingkaran terhadap ulil amri dan pengingkaran terhadap perintah-perintah agama maka uzlah. Adapun mengenai memutuskan untuk ijtima’ (berkumpul) atau iftiraq (memisahkan diri) secara lahiriah, maka orang yang merasa dapat menjaga kecukupan penghidupannya dan menjaga agamannya, maka lebih utama baginya untuk tetap bergaul di tengah masyarakat. Dengan syarat, ia harus tetap dapat menjaga shalat jama’ah, senantiasa menebarkan salam, menjawab salam, memenuhi hak-hak sesama muslim seperti menjenguk orang yang sakit, melayat orang yang meninggal, dan lainnya (walaupun tinggal di masyarakat yang bobrok, pent). Dan yang dituntut dalam keadaannya ini adalah meninggalkan fudhulus shahbah (terlalu berlebihan dalam bergaul atau bermasyarakat). Karena hal itu dapat menyibukkan diri, membuang banyak waktu, sehingga lalai dari hal-hal yang lebih penting. Hal itu juga dapat menjadikan kegiatan kumpul-kumpul dimasyarakat sebagai kegaitan yang sampai taraf kebutuhan baginya untuk dilakukan pagi dan malam. Yang benar hendaknya seseorang itu mencukupkan diri bergaul di masyarkat (yang buruk) sebatas yang dibutuhkan saja, yaitu yang memberikan kelonggaran badan dan hati. Wallahu’alam. (lihat Fathul Baari, 11/333, dinukil dari Mafatihul Fiqh, 45).

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan: “para salaf berbeda pendapat mengenai hukum asal uzlah. Jumhur ulama berpendapat bahwa bergaul di tengah masyarakat (yang bobrok) itu lebih utama karena dengan hal itu didapatkan banyak keuntungan diniyyah, semisal tersebarnya syiar-syiar Islam, memperkokoh kekuatan kaum Muslimin, tercapainya banyak kebaikan-kebaikan seperti saling menolong, saling membantu, saling mengunjungi, dan lainnya. Dan sebagian ulama berpendapat, uzlah itu lebih utama karena lebih terjamin keselamatan dari keburukan, namun dengan syarat ia memahami benar keadaan yang sedang terjadi” (Fathul Baari, 13/42, dinukil dari Mafatihul Fiqh, 46).

An Nawawi menjelaskan: “yang lebih rajih adalah merinci masalah bergaul di masyarakat yang buruk, bagi orang yang menyangka dengan kuat bahwa ia tidak akan ikut terjerumus dalam maksiat. Bagi orang yang ragu ia akan ikut bermaksiat atau tidak, maka yang lebih utama baginya adalah uzlah. Sebagian ulama mengatakan, keputusannya tergantung keadaan. Jika keadaannya saling bertentangan juga, keputusannya juga masih perlu melihat waktu. Bagi orang yang memang diwajibkan baginya untuk bergaul di masyarakat karena ia sangat mampu mengingkari kemungkaran, maka hukumnya wajib ‘ain atau wajib kifayah baginya. Tergantu keadaan dan kemungkinan yang ada. Adapun orang yang menyangka dengan kuat bahwa ia masih bisa selamat di masyarakat tersebut dengan tetap melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, atau orang yang merasa dirinya masih aman namun ia merasa tidak bisa menjadi orang yang shalih, (maka boleh tetap bergaul di masyarakat). Ini selama tidak ada fitnah yang tersebar luas. Adapun jika ada fitnah maka lebih dianjurkan untuk uzlah. Karena di dalam masyarakat tersebut terjadi pelanggaran syariat yang meluas (dilakukan mayoritas orang). Dan dalam keadaan ini terkadang hukuman dari Allah diturunkan bagi ashabul fitan (pelaku keburukan dimasyarakat) namun hukuman tersebar hingga orang yang tidak termasuk ashabul fitan pun terkena. sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al Anfal: 25) (dinukil dari Mafatihul Fiqh, 46).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya: “apakah bagi orang yang berusaha menjalani agama dengan benar itu lebih baik uzlah atau bergaul di tengah masyarakat?”. Beliau menjawab: “masalah ini walaupun para ulama khilaf, baik khilaf kulliy maupun khilaf haliy, namun yang benar adalah bergaul di tengah masyarakat terkadang wajib dan terkadang mustahab (dianjurkan). Dan seseorang terkadang diperintahkan untuk tetap bergaul di tengah masyarakat dan terkadang diperintahkan untuk menyendiri. Mengkompromikannya yaitu dengan melihat apakah dengan bergaul itu dapat terwujud saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, jika demikian maka diperintahkan untuk bergaul. Namun jika dalam bergaul di tengah masyarakat terdapat unsur saling tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran, maka ketika itu terlarang. Dan berkumpul bersama orang-orang dalam berbagai jenis ibadah seperti shalat 5 waktu, shalat jum’at, shalat Id, shalat Kusuf, shalat istisqa, dan yang lainnya adalah perkara yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Demikian juga berkumpul bersama masyarakat dalam ibadah haji, dalam memerangi orang kafir, dalam memerangi kaum khawarij, (adalah hal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya). Walau penguasa ketika itu fajir. Walaupun diantara masyarakat itu ada banyak orang fajir. Demikian juga (diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya) berkumpul bersama orang-orang dalam hal-hal yang dapat menambah keimanan, karena ia mendapat manfaat dari kumpulan itu maupun ia yang memberi manfaat, atau semisal itu.

Dan semestinya seseorang memiliki waktu menyendiri, yang ia gunakan untuk berdoa, berdzikir, shalat, ber-tafakkurmuhasabah, memperbaiki hatinya, dan hal-hal lain yang khusus untuknya tanpa ada orang lain. Ini semua butuh bersendirian. Baik di rumahnya, – sebagaimana kata Thawus: ‘sebaik-baik tempat bagi seseorang untuk menyimpan dirinya adalah rumahnya, ia dapat menahan pandangannya dan lisannya disana’ – , maupun di luar rumah.

Maka memutuskan untuk bergaul di tengah masyarakat secara mutlak, ini adalah kesalahan. Dan memutuskan untuk menyendiri secara mutlak, ini juga kesalahan. Namun untuk menakar kadar mana yang lebih utama bagi seseorang apakah yang ini ataukah yang itu, dan mana yang lebih baik baginya dalam setiap keadaan, ini sangat membutuhkan penelaahan keadaan masing-masing sebagaimana telah kami jelaskan” (Majmu’ Al Fatawa, 10/425, dinukil dari Mafatihul Fiqh 47 – 48).

Semoga bermanfaat.

Referensi utama: Mafatihul Fiqhi Fid Diin, Syaikh Musthafa Al ‘Adawi, hal. 43-48, cetakan Maktabah Al Makkah

Bergembira Menyambut Ramadhan, Salah Satu Wujud Keimanan

Bergembira Menyambut Ramadhan, Salah Satu Wujud Keimanan

Salah satu tanda keimanan adalah seorang muslim bergembira menyambut Ramadhan. Ibarat akan menyambut tamu agung yang ia nanti-nantikan, maka ia persiapkan segalanya dan tentu hati menjadi sangat senang tamu Ramadhan akan datang. Tentu lebih senang lagi jika ia menjumpai Ramadhan.

Hendaknya seorang muslim khawatir akan dirinya jika tidak ada perasaan gembira akan datangnya Ramadhan. Ia merasa biasa-biasa saja dan tidak ada yang istimewa. Bisa jadi ia terluput dari kebaikan yang banyak. Karena ini adalah karunia dari Allah dan seorang muslim harus bergembira.

Allah berfirman,

ﻗُﻞْ ﺑِﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻪِ ﻓَﺒِﺬَﻟِﻚَ ﻓَﻠْﻴَﻔْﺮَﺣُﻮﺍْ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِّﻤَّﺎ ﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ

“Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (QS. Yunus [10]: 58).

Lihat bagaimana para ulama dan orang shalih sangat merindukan dan berbahagia jika Ramadhan akan datang. Ibnu Rajab Al-Hambali berkata,

ﻗَﺎﻝَ ﺑَﻌْﺾُ ﺍﻟﺴَّﻠَﻒُ : ﻛَﺎﻧُﻮْﺍ ﻳَﺪْﻋُﻮْﻥَ ﺍﻟﻠﻪَ ﺳِﺘَّﺔَ ﺃَﺷْﻬُﺮٍ ﺃَﻥْ ﻳُﺒَﻠِّﻐَﻬُﻢْ ﺷَﻬْﺮَ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ، ﺛُﻢَّ ﻳَﺪْﻋُﻮْﻧَﺎﻟﻠﻪَ ﺳِﺘَّﺔَ ﺃَﺷْﻬُﺮٍ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَﻘَﺒَّﻠَﻪُ ﻣِﻨْﻬُﻢْ

“Sebagian salaf berkata, ‘Dahulu mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama enam bulan agar mereka dipertemukan lagi dengan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar Allah menerima (amal-amal shalih di Ramadhan yang lalu) mereka.” (Latha’if Al-Ma’arif hal. 232)

Kenapa Harus Bergembira Menyambut Ramadhan?

Kegembiraan tersebut adalah karena banyaknya kemuliaan, berkah, dan keutamaan pada bulan Ramadhan. Beribadah semakin nikmat dan lezatnya bermunajat kepada Allah

Kabar gembira mengenai datangnya Ramadhan sebagaimana dalam hadits berikut.

ﻗَﺪْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ، ﺷَﻬْﺮٌ ﻣُﺒَﺎﺭَﻙٌ، ﺍﻓْﺘَﺮَﺽَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺻِﻴَﺎﻣَﻪُ، ﺗُﻔْﺘَﺢُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ، ﻭَﺗُﻐْﻠَﻖُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﺤِﻴﻢِ، ﻭَﺗُﻐَﻞُّ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦُ، ﻓِﻴﻪِ ﻟَﻴْﻠَﺔٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻟْﻒِ ﺷَﻬْﺮٍ، ﻣَﻦْ ﺣُﺮِﻡَ ﺧَﻴْﺮَﻫَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺣُﺮِﻡَ

Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (2/385). Dinilai shahih oleh Al-Arna’uth dalam Takhrijul Musnad (8991))

Ulama menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan kita harus bergembira dengan datangnya Ramadhan.

Syaikh Shalih Al-Fauzan menjelaskan,

ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺑﺸﺎﺭﺓ ﻟﻌﺒﺎﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ ﺑﻘﺪﻭﻡ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ؛ ﻷﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﺧﺒﺮ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻢ ﺑﻘﺪﻭﻣﻪ ، ﻭﻟﻴﺲ ﻫﺬﺍ ﺇﺧﺒﺎﺭﺍً ﻣﺠﺮﺩﺍً ، ﺑﻞ ﻣﻌﻨﺎﻩ : ﺑﺸﺎﺭﺗﻬﻢ ﺑﻤﻮﺳﻢ ﻋﻈﻴﻢ

‏( ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ .. ﻟﻠﻔﻮﺯﺍﻥ ﺹ 13 ‏)

ﺃﺗﻰ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﺗﻔﺘﺢ ﻓﻴﻪ ﺃﺑﻮﺍﺏ ﺍﻟﺠﻨﺔ ، ﻭ

“Hadits ini adalah kabar gembira bagi hamba Allah yanh shalih dengan datangnya Ramadhan. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberi kabar kepada para sahabatnya radhiallahu ‘anhum mengenai datangnya Ramadhan. Ini bukan sekedar kabar semata, tetapi maknanya adalah bergembira dengan datangnya momen yang agung.” (Ahaditsus Shiyam hal. 13)

Ibnu Rajab Al-Hambali menjelaskan,

ﻛﻴﻒ ﻻ ﻳﺒﺸﺮ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﺑﻔﺘﺢ ﺃﺑﻮﺍﺏ ﺍﻟﺠﻨﺎﻥ ﻛﻴﻒ ﻻ ﻳﺒﺸﺮ ﺍﻟﻤﺬﻧﺐ ﺑﻐﻠﻖ ﺃﺑﻮﺍﺏ ﺍﻟﻨﻴﺮﺍﻥ ﻛﻴﻒ ﻻ ﻳﺒﺸﺮ ﺍﻟﻌﺎﻗﻞ ﺑﻮﻗﺖ ﻳﻐﻞ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺸﻴﺎﻃﻴﻦ ﻣﻦ ﺃﻳﻦ ﻳﺸﺒﻪ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﺯﻣﺎﻥ

“Bagaimana tidak gembira? seorang mukmin diberi kabar gembira dengan terbukanya pintu-pintu surga. Tertutupnya pintu-pintu neraka. Bagaimana mungkin seorang yang berakal tidak bergembira jika diberi kabar tentang sebuah waktu yang di dalamnya para setan dibelenggu. Dari sisi manakah ada suatu waktu menyamai waktu ini (Ramadhan). (Latha’if Al-Ma’arif hlm. 148)

Ada hadits yang menyebutkan tentang bergembira menyambut Ramadhan, akan tetapi haditsnya oleh sebagian ulama dinilai dhaif bahkan maudhu’ (palsu)

ﻣَﻦْ ﻓَﺮِﺡَ ﺑِﺪُﺧُﻮﻝِ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺟَﺴَﺪَﻩُ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟﻨِّﻴْﺮَﺍﻥِ

“Barangsiapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka. (Nash riwayat ini disebutkan di kitab Durrat An-Nasihin)

Setelah dimulai dengan perasaan gembira menyambut Ramadhan, tahap selanjutnya adalah persiapan menyambut Ramadhan agar Ramadhan yang kita jalankan bisa maksimal.

Demikian semoga bermanfaat.