IDUL FITHRI, HUKUM DAN ADABNYA

'IDUL FITHRI, HUKUM DAN ADABNYA

 “Inilah hari raya kita, kaum muslimin ..... Semoga Allah berkenan menerima amal shalih yang kami dan kalian kerjakan.”

Segala puji bagi Allah Ta’ala, shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, keluarga, sahabat dan pengikutnya yang setia kepadanya. Amma Ba’du :

Berkenaan menjelang hari raya Idul Fithri yang berbahagia –semoga momentum tersebut menjadikan Allah Ta’ala berkenan mengembalikan kita dan seluruh kaum muslimin kepada kebahagiaan, kehormatan, kebaikan, keberkahan, kemuliaan, dan kembali ke sejatinya yaitu kepada Agama Allah Azza wa Jalla- maka (perkenankan) saya untuk mengingatkan saudara-saudara saya yang muslim mengenai serangkaian adab dan sunnah hari raya ‘Idul Fithri beserta peringatan terhadap beberapa perkara bid’ah dan maksiat yang terjadi pada hari raya ‘Idul Fithri, sekaligus mengingatkan untuk mengeluarkan zakat fithrah sebelum shalat ‘Ied diselenggarakan. Dengan taufik Allah dan kepada-Nyalah aku menyandarkan permohonan pertolongan dan petunjuk, maka aku bertutur :

Saudaraku muslim, merupakan suatu keharusan bagi kita untuk memberikan perhatian terhadap penunaian zakat fithrah yang dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai sarana pensuci bagi orang yang berpuasa (ash-sha`im) dari perbuatan lalai (al-laghwu) dan ucapan kotor (rafats) agar dikeluarkan sebelum shalat ‘Ied diselenggarakan. Dan hendaklah engkau memperhatikan pada pelaksanaannya untuk mengeluarkan zakat fithrah dalam bentuk bahan makanan pokok (qut) yang digunakan oleh penduduk setempatmu, sebagai pengejawantahan dari bimbingan Nabimu, dimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fithrah seukuran kurma atau satu sha’ gandum atas setiap hamba sahaya dan orang merdeka, pria dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa dari seluruh kaum muslimin. Serta beliau memerintahkan pelaksanaannya agar dilakukan sebelum orang-orang keluar untuk menunaikan shalat ‘Ied.

Abu Sa’id al-Khudri menuturkan –sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari-, “Dahulu kami mengeluarkan zakat fithrah seukuran satu sha’ bahan makanan, atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ aqith (susu yang sudah dikeringkan), atau satu sha’ kismis.”

Benar-benar ‘Idul Fithri merupakan hari raya kita, kaum muslimin. Sebagaimana kisah dua wanita hamba sahaya yang tengah melantunkan lagu saat kehadiran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dimana beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Biarkan kedua hamba sahaya tersebut, sesungguhnya setiap kaum itu memiliki hari raya, dan inilah hari raya kita.” HR. Bukhari.

Dan dari ‘Uqbah bin ‘Amir dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Hari Arafah dan hari-hari Tasyriq (adalah) hari raya kita kaum muslimin.”

Adapun hukum dan adab hari raya Idul Fithri, sebagai berikut :

1.    Melakukan takbir hari ‘Ied, dimulai sejak ditetapkan masuknya hari ‘Ied dan berakhir dengan shalat ‘Ied. Allah Ta’ala berfirman :

وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿١٨٥﴾  سورة البقرة

Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS.2:185)

Dan redaksional kalimat takbir yang valid berasal dari para sahabat Radhiyallah ‘anhum. Seperti berikut :

( اَللهُ أكْبَرُ ، اَللهُ أكْبَرُ ، اَللهُ أكْبَرُ كَبِيْراً )

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar,

dan :

َللهُ أكْبَرُ ، اَللهُ أكْبَرُ ، لاَ إلهَ إلاَّ اللهُ ، اَللهُ أكْبَرُ ، وَللهِ الْحَمْدُ )

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak Ada Ilah yang haq untuk disembah kecuali Allah, Allah Maha Besar, dan segala puji hanya bagi Allah.

Terbaiknya adalah mengikuti lafaz takbir yang ada riwayatnya. Sementara redaksional takbir selainnya dan tambahan-tambahan yang kita dengar di banyak masjid, maka saya belum menemukan dalil sanadnya.

2.    Mandi untuk shalat ‘Ied dan mengenakan pakaian terbaik dan wangi-wangian.

3.    Makan beberapa kurma atau makanan selainnya, sebelum berangkat keluar dari rumah untuk shalat ‘Idul Fithri.

4.    Mengeraskan takbir saat berangkat menuju shalat ‘Ied.

5.    Berangkat menuju lapangan shalat ‘Ied melalui satu jalan, dan pulang melalui jalan yang lainnya.

6.    Shalat ‘Ied di lapangan terbuka merupakan sunnah Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka usahakan dan bermohonlah untuk itu. Dan seandainya pun engkau mengerjakan shalat ‘Iednya di dalam masjid karena satu atau sebab lainnya, maka hal itu boleh (ja`iz).

7.    Mengikutsertakan kaum wanita dan anak-anak tanpa terkecuali, hingga yang sedang haid, wanita-wanita yang dimerdekakan, gadis-gadis yang dipingit. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Ummu ‘Ithiyah Radhiyallahu ‘Anha bertutur, “Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan wanita-wanita yang dimerdekakan, gadis-gadis pingitan, dan wanita haid (untuk shalat ‘Ied), dan memerintahkan wanita haid untuk terpisah dari tempat shalat ‘Ied kaum muslimin.”

8.    Shalat ‘Ied, dilaksanakan dengan dua rakaat. Di rakaat pertama, bertakbir sebanyak 7 (tujuh) kali takbir di luar takbiratul ihram (takbir pertama pembuka shalat, pent). Dan di rakaat kedua, bertakbir kembali sebanyak 5 (lima) kali takbir sebelum membaca al-fatihah. Dalam shalat ‘Ied, imam (disunnahkan, pent) membaca surat al-A’la dan al-Ghasyiyah sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari an-Nu’man bin Basyir menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca “Sabbihisma Rabbikal A’la (QS. Al-A’la )” dan “Hal Ataka Haditsul Ghasyiyah (QS. al-Ghasyiyah)”.

9.    Mendengarkan khutbah yang disampaikah khatib seusai shalat ‘Ied merupakan sunnah Nabi, dan bagi yang tidak ikutserta mendengarkan khutbah lalu beranjak pergi seusai shalat ‘Ied maka tidak mengapa baginya.

10.        Pemberian ucapan selamat hari raya merupakan riwayat valid yang berasal dari sejumlah sahabat Radhiyallahu ‘Anhum, dan dalam perkara ini belum pernah ada riwayat yang valid yang berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam hadits shahih. Adapun riwayat yang berasal dari sejumlah sahabat, (seperti riwayat) dari  Jubair bin Nufair menuturkan, “Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika saling bertemu pada hari raya ‘Ied, sebagian mereka mengucapkan kepada sebagian yang lain, ‘Taqabbal minna wa minkum (semoga Allah menerima amal kami dan kalian).’ Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Status sanadnya hasan.”

Camkanlah Wahai saudaraku muslim untuk menjauhkan perkara-perkara bid’ah dan kemungkaran dalam setiap waktu, karena “Setiap perkara yang diada-adakan (dalam ibadah dan aqidah, pent) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.” Hal itu sebagaimana yang terdapat dalam riwayat yang shahih berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Perkara-perkara bid’ah pada hari raya ‘Ied, diantaranya :

1.    Bertakbir ‘Ied di masjid ataupun dilapangan terbuka secara berjama`ah dengan membentuk dua kelompok, dimana kelompok pertama bertakbir dan kelompok yang lain menjawabnya. Karena cara semacam ini terbilang muhdatsah (perkara yang dibuat-buat). Semestinya adalah setiap pribadi bertakbir secara sendiri-sendiri, dan kalau akhirnya berbarengan, juga maka hal itu tidak masalah. Adapun model al-masmu’ah (diperdengarkan) dimana satu kelompok bertakbir sementara kelompok lain mendengarkan hingga sampai datang gilirannya tiba, maka itu adalah bid’ah.

2.    Berziarah ke makam kuburan pada hari ‘Ied, dan menghidangkan manisan (permen), kembang serta karangan bunga dan lain sebagainya di atas makam-makam kuburan. Kesemuanya itu termasuk perkara-perkara bid’ah yang diada-adakan, dimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam belum pernah melakukannya. Adapun ziarah kubur tanpa dikaitkan dengan waktu tertentu yang dikhususkan merupakan sunnah yang dianjurkan, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

زُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الآخِرَةَ

“Berziarah kuburlah kalian, maka sesungguhnya ia mengingatkan kalian dengan akhirat.”

3.    Saling bertukar kartu ucapan selamat yang dikenal dengan kartu lebaran, atau saling bertukar parsel lebaran sebagai bagian dari sikap pengekoran orang-orang Nasrani dan tradisi mereka. Dan saya telah mendengar Syaikh kita Al-‘Alamah Al-Albani -semoga Allah Ta’ala melimpahkan rahmat kepadanya- memperingatkan hal tersebut. Maka camkanlah wahai saudaraku muslim untuk menjauhkan jalan orang-orang yang dimurkai (Nashrani) dan orang-orang yang sesat (Yahudi), dan jadilah engkau termasuk golongan orang-orang shalih yang berjalan di atas jalan yang lurus.

Kemungkaran-kemungkaran pada hari raya ‘Ied, diantaranya :

1.    Para kaum pria berhias dengan mencukur jenggot, karena memanjangkannya sepanjang masa adalah wajib. Dan mestinya setiap muslim harus bersyukur kepada Rabbnya di hari raya ini, dan menyempurnakan kebahagiaannya dengan bentuk-bentuk ketaatan, dan bukan dalam bentuk-bentuk kemaksiatan dan dosa.

2.    Bersalam-salaman antara pria dan wanita yang bukan mahram, karena hal ni termasuk hal-hal yang diharamkan dan dosa-dosa besar. Sungguh terdapat suatu riwayat hadits shahih sebagaimana di dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir karya Imam athThabrani dan selainnya :

لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ

“Sungguh ditancapkan kepala seseorang dengan jarum besi, itu masih lebih baik daripada dia menyentuh seorang wanita yag tidak halal baginya.”

3.    Termasuk sikap berfoya-foya, membelanjakan kelebihan harta untuk petasan dan mercon yang tidak ada faidahnya. Selayaknya uang-uang ini didistribusikan kepada para fakir, janda, yatim, miskin, dan yang membutuhkan, serta masih banyak lagi orang-orang yang lebih berhajat akan hal itu.

4.    Menjamurnya fenomena permainan judi dan pertaruhan pada hari raya ‘Ied di sebagian negara. Khususnya terhadap anak-anak, dan ini termasuk dosa-dosa besar. Maka kepada para orangtua hendaknya mengawasi anak-anak mereka di hari-hari tersebut dan memperingatkan mereka akan perbuatan tersebut.

 

 ‘Taqabbal minna wa minkum

 (semoga Allah menerima amal kami dan kalian)

Wassalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh


SURAT UNTUK PARA JAMA’AH HAJI BAITULLAH AL-HARAM

SURAT UNTUK PARA JAMA’AH HAJI BAITULLAH AL-HARAM

 

Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz kepada para jama’ah haji baitullah al-haram, semoga Allah berkenan menganugerahiku dan para jama’ah haji sekalian berupa petunjuk kepada kesalihan dalam bertutur kata dan berperilaku, serta berkenan untuk melindungi kita semua dari segala penyimpangan kesesatan dan bujuk rayu setan. Amin …

Assalamu’alaikum Warahmatullahi wa Barakatuh, wa ba’du :

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan kepada seluruh hamba-hamba-Nya yang beriman untuk tolong menolong dalam mengerjakan kebajikan dan ketakwaan, serta mengharamkan bentuk tolong menolong di dalam berbuat dosa dan permusuhan. Allah Azza wa Jalla berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia :

﴿ وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ [المائدة:2].

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS.05:02)

Dan diantara bentuk implementasi dari at-ta’awun (tolong menolong) dalam mengerjakan kebajikan dan ketakwaan adalah saling menasehati dan berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلاَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ﴾ [العصر].

001. Demi masa. 002. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,003. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS.103:1-3).

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan di dalam surat yang agung ini bahwa golongan manusia berada dalam kerugian. Ia Subhanahu wa Ta’ala bersumpah atas hal itu (padahal kita tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah al-Haqq (Yang Maha Benar) meskipun tanpa Dia Subhanahu wa Ta’ala harus bersumpah sekalipun) sebagai penegasan dan  motivasi agar menyifati diri dengan 4 (empat) sifat sebagai faktor penyebab kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

{ الدين النصيحة، الدين النصيحة } قالوا: لمن يا رسول الله؟ قال: { لله، ولكتابه، ولرسوله، ولأئمة المسلمين وعامتهم }

“Agama adalah nasehat, agama adalah nasehat. Mereka (para sahabat) bertanya, ‘Kepada siapa Wahai Rasulullah?’. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Kepada Allah, dan kitab-Nya, Rasul-Nya dan kepada pemimpin kaum muslimin dan rakyatnya’.”

Dalam Ash-Shahihain dari Jarir bin Abdullah al-Bajali menuturkan,  “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaiat kami untuk menegakkan shalat, membayar zakat dan nasehat kepada setiap muslim.”

Masih dalam Ash-Shahihain juga, dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

{ لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه }

‘Tidak (sempurna) iman seorang dari kalian hingga ia (dapat) mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri’.”

Dari ayat-ayat yang agung dan hadist-hadits yang berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menunjukkan akan kewajiban bagi seluruh kaum muslimin, baik sebagai haji maupun selainnya untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan untuk saling menasehati diantara mereka, tolong menolong dalam mengerjakan kebajikan dan ketakwaan dimana pun mereka berada. Setiap orang muslim (mestinya) menyenangi kebaikan dan membenci kejahatan untuk saudaranya, memerintahkannya kepada kebajikan dan mencegahnya dari kemungkaran dengan cara yang hikmah dan pelajaran yang baik, berdebat dengan cara yang paling baik di saat hal itu diperlukan, tidak diragukan lagi bahwa kesemua ini merupakan bagian dari tujuan dan manfaat dari pelaksanaan haji yang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sitir dalam firman-Nya :

﴿ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ [الحج:28]

Supaya mereka menyaksikan berbagai manfa`at bagi mereka.” (QS.22:28)

 

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lainnya :

﴿ ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ [النحل:125].

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.16:125)

Dan kalian, wahai para rombongan haji Baitullah al-Haram! Kalian datang ke negeri yang aman ini untuk tujuan mulia dan dan amal shalih, yaitu untuk menunaikan manasik haji. Maka wajib atas kalian untuk beradab dengan adab syar’i dan berakhlaq dengan akhlaq yang ridhai untuk kalian. Aku berwasiat kepada kalian dengan hal yang demikian tadi, yang termuat di dalam ayat-ayat yang telah disinyalir sebelumnya dan yang disabdakan oleh lisannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam hadits-haditsnya yang telah disebutkan di atas.  Firman Allah Azza wa Jalla :

﴿ الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللّهُ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ [البقرة:197].

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS.2:197)

Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

{ العمرة إلى العمرة كفارة لما بينهما، والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة } [متفق على صحته].

“Umrah ke umrah (berikutnya) sebagai pelebur (dosa) yang terjadi di antara keduanya, dan bagi haji yang mabrur tidak ada balasan kecuali surga.” (Muttafaqun ‘Alaihi).

Sedang haji mabrur itu adalah haji yang dalam pelaksanaannya tidak terdapat rafats (kata-kata jorok yang mengundang nafsu birahi) dan perbuatan fasiq (maksiat), sebagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

{ من حج ولم يرفث ولم يفسق رجع كيوم ولدته أمه }.

“Barangsiapa yang berhaji dan tidak melakukan rafats dan tidak berbuat fasiq, maka dia kembali (bersih) dari dosa-dosanya sebagaimana hari ia dilahirkan oleh ibunya.”

Sedang ar-rafats itu adalah bersetubuh sebelum tahallul dari ihram, dan (termasuk) segala perkataan birahi yang sehubungan dengan wanita. Adapun al-fusuq adalah kemaksiatan, termasuk dalam konteks ini adalah semua bentuk kemaksiatan, termasuk kezaliman, penghinaan, mencederai kaum muslimin tanpa alasan yang benar, mengolok-olok, dusta, menggunjing, mengadu domba, durhaka kepada kedua orang tua, memutuskan tali silaturahmi, memakan uang riba. Menzalimi orang dengan menumpahkan darah, menistakan kehormatan dan merampas hartanya, serta melakukan segala hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Juga termasuk dalam konteks al-fusuq adalah mencederai kaum muslimin dengan ucapan dan sikapnya di tempat-tempat ibadah haji dan di jalan-jalan, saat thawaf dan sa’i, ketika melontar jumrah, dan di segala tempat lainnya. Demikian pula termasuk di dalam konteks tersebut adalah berdemonstrasi, berteriak-teriak dalam mendoakan suatu komunitas dan mendoakan orang lain, sehingga membuat musim haji sebagai tempat yang rusuh, perselisihan dan demonstasi, serta mengeluarkan dari segala yang telah disyariatkan oleh Allah di dalam pelaksanaan haji seperi dalam menegakkan zikrullah, dakwah kepada jalan-Nya, saling menasehati sesama kaum muslimin, tolong menolong dalam mengerjakan kebajikan dan ketakwaan, serta menjalankan manasik haji dengan penuh keikhlasan, kenyamanan, ketenangan, dan segala hal yang disenangi di sisi Allah Ta’ala, serta terhindar dari siksa-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam al-Qur`an al-‘Azhim :

﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْراً مِّنْهُمْ وَلاَ نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْراً مِّنْهُنَّ وَلاَ تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلاَ تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ [الحجرات:11].

Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS.49:11)

Di dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang orang-oang mukmin laki-laki dan wanita dari 3 (tiga) perkara, yaitu (1) as-sukhriyah yaitu mengolok-olok, (2) al-lamzu yaitu saling mencela, (3) at-tanabuz bil alqab yaitu saling panggil dengan gelar-gelar yang tidak disukai dan (orangnya) tidak rela jika dipanggil dengan sebutan tersebut, seperti jika dipanggil, “Hai orang durhaka (si fajir)”, “Hai orang yang buruk (si khabits)”, “Hai musuh Allah ( si ‘aduwallah).” Tidaklah kesemuanya itu melainkan jika digunakan ketiga hal perkara ini diantara kaum muslimin dapat menimbulkan kedengkian, permusuhan dan memicu kerusuhan, serta yang demikian itu berakibat tidak terpuji. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengakhiri ayat dengan menetapkan hukum wajibnya bertaubat dari segala bentuk kemaksiatan dan bahwa sikap mereka yang terus menerus atas perbuatan tersebut merupakan suatu bentuk kezaliman yang berakibat tidak terpuji. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda di dalam khutbahnya di hari Kurban saat Haji Wada’ :

{ إن دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام كحرمة يومكم هذا، في بلدكم هذا، في شهركم هذا، ألا هل بلغت }

“Sesungguhnya telah diharamkan atas kalian darah, harta dan kehormatan kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, di negeri kalian ini, di bulan kalian ini, ketahuilah bukankah telah aku sampaikan (pernyataan ini)?”.

Dan telah diriwayatkan pula dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa ia bersabda :

{ من ضار مسلماً ضاره الله، ومن شقَّ على مسلم شقَّ الله عليه }

“Barangsiapa yang menyusahkan seorang muslim, niscaya Allah akan menyusahkannya. Dan barangsiapa yang menghimpit seorang muslim maka kelak Allah akan menghimpitnya.”

Ayat-ayat dan hadits-hadits yang memotivasi para haji dan selain mereka untuk berpegang teguh dengan agama mereka, istiqomah di jalannya, dan komitmen terhadap al-Qur`an al-Karim serta berhukum dan berloyalitas kepadanya disertai Sunnah Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saling belas kasih dan bersikap lembut di antara mereka, dan bentuk-bentuk berbuat ihsan yang dapat diimplementasikan diantara mereka masih sangat banyak lagi.

Maka wahai jama’ah haji baitullah al-haram bertakwa, ta’ati, dan agungkanlah perintah-Nya dan jangan kalian mendurhakai-Nya, berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah dan janganlah kalian saling bercerai berai, bersungguh-sungguhlah dalam melaksanakan manasik haji sesuai yang telah disyariatkan oleh Allah, berlomba-lombalah kepada ketaatan dan amal-amal shalih, perbanyaklah shalat di masjil haram dan thawaf, kerjakan apa yang dimudahkan bagimu dari tilawah al-Qur`an, tasbih, tahlil, tahmid, takbir,  doa, istighfar, shalawat atas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dalamilah ilmu agama kalian, ambillah manfaat dari halaqah-halaqah ilmu di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, bertanyalah kepada ahlul ilmi (ulama) mengenai segala hal yang masih menjadi masalah bagi kalian, maka sungguh telah diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda :

{ من يرد الله به خيراً يفقهه في الدين }

“Barangsiapa yang hendak Allah limpahkan kebaikan yang banyak, niscaya Allah jadikan ia sebagai seorang yang faqih (berpengetahuan) dalam masalah agama.”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda :

{ من سلك طريقاُ يلتمس فيه علماُ سلك الله به طريقاُ إلى الجنة، وما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله ويتدارسونه بينهم إلا نزلت عليهم السكينة، وغشيتهم الرحمة، وحفتهم الملائكة، وذكرهم الله فيمن عنده }

“Barangsiapa yang menempuh perjalanan dalam rangka menuntut ilmu niscaya Allah mudahkan baginya jalan menuju surga . Dan tidaklah berkumpul sekelompok orang di salah satu rumah Allah (masjid), mereka membaca al-Qur`an dan saling mempelajarinya, melainkan Allah (akan) menurunkan ketenangan kepada mereka, meliputi mereka dengan rahmat-Nya, mereka dikelilingi oleh para Malaikat dan Allah menyebut (membanggakan nama-nama) mereka dihadapan para Malaikat.”

 

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda :

{ اقرأوا القرآن فإنه يأتي شفيعاً لأصحابه يوم القيامة }

“Bacalah al-Qur`an, maka sesungguhnya ia akan datang sebagai syafa’at bagi para pembacanya pada hari kiamat kelak”

Yaitu mereka yang mengamalkan al-Qur`an dan istiqomah terhadap pengajarannya.

Dan setiap orang dari kalian hendaknya membimbing saudaranya dengan ilmu yang dimilikinya, dan mengarahkannya kepada kebaikan, menolongnya dalam mengimplementasikan ayat-ayat dan hadits-hadits yang telah dipaparkan di muka, dan berilah kabar gembira tentang ganjaran yang melimpah dan pahala yang besar, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

{ من دل على خير فله مثل أجر فاعـله }

“Barangsiapa yang menunjukkan (orang lain) kepada kebaikan, maka baginya (pahala) seperti pahala orang yang melakukannya.”

Telah diriwayatkan pula dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda kepada Ali Radhiyallahu ‘Anhu saat beliau mengutusnya kepada Kaum Yahudi di wilayah Khaibar :

{ ادعهم إلى الإسلام، وأخبرهم بما يجب عليهم من الحق فيه، فو الله لأن يهدي الله بك رجلاً واحداً خير لك من حُمُر النَّعَم }

“Ajaklah mereka kepada Islam, dan kabarkan kepada mereka dengan hal yang diwajibkan atas mereka dari kebenaran yang terdapat di dalam agama Islam. Maka Demi Allah, kalaulah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniakan hidayah kepada seseorang perantaramu, (maka itu) lebih baik bagimu daripada onta merah[1].”

Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

{ والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه }

“Dan Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya.”

Hanya kepada Allahlah, kita bermohon agar berkenan mengaruniakan taufik-Nya kepada kita dan kalian semua kepada segala hal yang diridhai-Nya, dan memudahkan jalan bagi kita dan kalian sekalian kepada jalan-Nya yang lurus, dan menolong kalian dalam melaksanakan manasik haji dalam bentuk yang diridhai-Nya, dan semoga Dia berkenan menerima (amal shalih) kita dan kalian semua, dan mengembalikan kalian ke negeri-negeri kalian dengan selamat dan memperoleh keberuntungan yang besar. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Dermawan lagi Maha Pemurah.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada hamba dan utusan-Nya, nabi kita Muhammad, juga kepada keluarga dan para sahabat serta pengikutnya yang benar-benar loyal kepadanya.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.



[1] Onta merah merupakan harta yang paling berharga bagi bangsa arab saat itu (Pent).

DAKWAH PENYATUAN AGAMA : SEBUAH UPAYA MEMBATALKAN KE-ISLAMAN

DAKWAH PENYATUAN AGAMA : SEBUAH UPAYA MEMBATALKAN KE-ISLAMAN

   Alhamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga tercurah atas Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya.

         Amma ba’du,

  Sesungguhnya Allah telah mengutus para Rasul-Nya semua, semenjak dari yang pertama (Nabi Nuh ‘Alaihis Salam) sampai yang terakhir (Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam), dengan satu agama yang sama, yaitu agama Islam.

         Inti dari agama Islam itu sendiri adalah beribadah semata-mata hanya kepada Allah, tanpa menyekutukan-Nya. Sekaligus berupaya untuk meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya, serta berlepas diri darinya. Inilah hakikat dari makna ikhlas atau memurnikan agama hanya kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya,  “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan agama kepada-Nya.” [QS.Az-Zumar:2].

         Termasuk dalam hakikat keislaman itu, adalah dengan menta’ati Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan para Rasul-Nya. Hal ini didasari dengan petunjuk dari ayat-ayat berikut :

          “dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. [QS.An-Nahl:36].

         “dan Kami tidak mengutus seorang Rasul-pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku. Maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” ” [QS. Al-Anbiya : 25].

         “(26) dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah.” (27) “ tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku, karena Sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” [QS.Az-Zukhruf : 26-27].

         Dan lagi, yang merupakan esensi dari agama Islam itu adalah, kandungan makna “Laa ilaha illallah” atau “Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah”. Yakni, dengan cara pengingkaran terhadap thaghut, dan beriman kepada Allah. Inilah yang dimaksud dengan al-‘Urwatul-Wutsqa atau “Tali Buhul yang Kuat-Kencang”, dan dapat disebut sebagai Kalimatut-Taqwa.

         Allah Ta’ala berfirman, “karena itu, Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut, dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS.Al-Baqarah : 256].

         Adapun dalil argumentasi, yang menunjukkan bahwa agama para Rasul itu, bernama agama Islam, adalah sebagai berikut:

         Firman Allah Ta’ala, tentang Nuh ‘alaihis salam, “dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya).” [QS.Yunus:72].

         Tentang Ibrahim dan Ya’qub –alaihimas-salam– : “dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub : (Ibrahim berkata) “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu. Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” [QS. Al-Baqarah:132].

         Mengenai Musa ‘Alaihis Salam, “berkata Musa: “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri.” [QS. Yunus: 84].

         Dan Firman-Nya tentang al-Hawariiyin atau para pengikut Nabi Isa ‘Alaihis Salam : “ Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang berserah diri.” [QS.Ali ‘Imran : 52]. 

         Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah menegaskan bahwa agama yang diakui di sisi-Nya hanyalah agama Islam. Dan sesungguhnya Dia tidak menerima agama apapun selain agama Islam.

         Firman Allah : “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” [QS. Ali ‘Imran:19]. Dan firman-Nya, “(85) Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [QS.Ali ‘Imran :85].

         Maka dapat diketahui dengan jelas, bahwa barangsiapa yang keluar dari agama para Rasul, otomatis orang tersebut kafir dan merugi di dunia maupun akhirat. Baik keluarnya orang tersebut (murtad) disebabkan pengingkaran dan pendustaan, keragu-raguan, atau sikap kesombongan dan gengsi tidak mau menerima seruan dakwahnya para rasul, walaupun ia membenarkan dalam hatinya.

    Sebagaimana firman Allah, “karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi, orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” [QS.Al-An’am :33]. Dan juga Firman-Nya, mengenai fir’aun dan kaumnya : “dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka). Padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan” [QS.An-Naml : 14].

         Dengan demikian, semakin jelas pula bahwa para Rasul dan para pengikutnya itu adalah orang-orang Islam.

         Dan wajib diketahui pula, bahwa diantara prinsip-prinsip keimanan itu, adalah beriman kepada seluruh Rasul. Maka, barangsiapa yang beriman kepada sebagian mereka, dan tidak mengimani yang lain, tidaklah termasuk orang beriman atau pun orang Islam. Bahkan, ia dapat disebut sebagai pendusta terhadap keseluruhan Rasul-rasul tersebut.

         Oleh karena itu, Allah ber-firman:

         “kaum Nuh telah mendustakan para Rasul.” [QS. As-Syu’araa: 105].

         “kaum ‘Aad telah mendustakan para Rasul.” [QS. As-Syu’araa: 123].

         “ (150)  Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan Kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir).” “(151) merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” [QS. An-Nisaa’: 150-151].

         “Rasul telah beriman kepada al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman, semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya, (mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”. [QS. Al-Baqarah: 285].

         Dan diantara dalil dari Quran maupun Sunnah, yang menunjukkan bahwa agama para Rasul itu adalah satu, adalah firman-Nya :

         “(51) Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” “(52) Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan aku adalah Tuhanmu. Maka bertakwalah kepada-Ku.” [QS. Al-Mu’minuun :51-52].

         Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Aku adalah manusia yang paling utama (dan terdekat) dengan Isa bin Maryam, baik di dunia maupun di akhirat. Para Nabi itu adalah bersaudara, hanya ibunya saja yang berbeda.” Hadits disepakati Bukhari-Muslim.

         Hal ini menegaskan lagi, bahwa agama para rasul itu adalah satu. Oleh karenanya, rasul yang terdahulu memberitakan tentang rasul yang selanjutnya, dan mengimaninya. Begitu pula sebaliknya, rasul yang terkemudian membenarkan dan mengimani rasul yang sebelumnya. Sebagaimana firman Allah,

         “dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku. Yaitu Taurat dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” [QS. As-Shof : 6].

     Selanjutnya, mengenai umat-umat para rasul itu, yang paling banyak penyebutannya di dalam Al-Quran, adalah ummat Bani Israel atu Bani Ya’qub alaihis salam. Ini disebabkan karena sebelum diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jalur mata-rantai silsilah kenabian ada pada mereka. Dan posisi Nabi Musa dan Nabi Isa alaihimas-salam, adalah yang tertinggi di antara nabi-nabi Bani Israil tersebut. Keduanya sungguh merupakan Ulul-‘Azmi (rasul-rasul yang memiliki tekad yang kuat, walaupun diuji dengan cobaan yan sangat berat) diantara para Rasul. Dan kepada mereka berdua, Allah turunkan kitab Taurat dan Injil.

         Mengenai cerita dan berita tentang kedua rasul ini, sungguh telah Allah sajikan informasinya secara lengkap terperinci, mulai dari masa pertumbuhannya, masa diutus keduanya menjadi rasul, dan termasuk perihal kehidupan Bani Israel bersama keduanya. Dan sebenarnya para Nabi dari kalangan Bani Israel, sepeninggal Nabi Musa ‘Alaihis Salam, tetap berpegang pada Kitab Suci Taurat. Masa ini berlaku sampai kedatangan Nabi Isa ‘Alaihis Salam, yang diutus untuk membenarkan Kitab Taurat, sekaligus menghapus dan mengganti sebagian hukum-hukum yang terdapat di dalamnya.

         Allah ber-firman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah.” [QS. Al-Maidah : 44].

         Dan firman-Nya tentang ‘Isa al-Masih ‘alaihis salam, “dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu.” [QS.Ali-Imran : 50].

         Adapun orang-orang yang beriman kepada Nabi Musa ‘Alaihis Salam, yang memutuskan perkara mereka dengan aturan Syari’at Taurat, maka mereka itu adalah orang-orang Muslim atau beragama Islam yang sebenarnya. Hal ini berlaku sampai datangnya Nabi Isa bin Maryam, maka siapa yang beriman kepadanya lalu mengikutinya, itulah orang Muslim. Namun, jika ada yang mendustakannya, maka ia pun telah Kafir.

         Para pengikut Nabi Musa ‘Alaihis Salam, dan orang-orang yang beriman kepadanya, dikenal dengan sebutan Yahudi. Sehingga ketika Nabi Isa ‘Alaihis Salam datang, maka para pengikutnya disebut Nashara. Sementara penyebutan nama Yahudi, berlaku bagi orang yang kafir, atau ingkar kepada Nabi Isa ‘Alaihis Salam.

         Oleh sebab itu, Bani Israel itu terbahagi dalam dua kelompok : Yahudi dan Nashara. Lalu, dari setiap kelompok tadi, ada orang yang beriman (mukmin), dan ada pula yang kafir. Dan penjelasan mengenai hal ini, sebenarnya telah Allah jelaskan dengan terperinci, dalam Al-Quran, baik kelompok yang mukmin atau yang kafir. Begitu pula penjelasan tentang hal-hal yang menyebabkan kekufuran orang yang kafir. 

     Selanjutnya, mengenai Yahudi, dan berbagai hal yang menyebabkan kafirnya mereka itu, adalah : karena tindakan penyelewengan mereka terhadap Kitab Suci Taurat, pembunuhan Nabi-nabi, dan perkataan mereka, “’Uzair adalah anak-Allah”. Begitu juga pendustaan mereka terhadap Nabi Isa ‘Alaihis Salam dan penutup para Nabi, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

         Dengan demikian, mereka telah mengumpulkan berbagai macam kekafiran. Dan untuk itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “ (89) dan setelah datang kepada mereka Al-Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Padahal sebelumnya mereka biassa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir. Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la’nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.” “(90) alangkah buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya, karena itu mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan.” [QS. Al-Baqarah : 89-90].

       Sedangkan mengenai Nashara, maka diantara penyebab kekafiran mereka, adalah menuhankan Al-Masih (Isa) dan ibunya (Maryam); dan perkataan mereka bahwa “Isa Al-Masih itu adalah putra Allah”, juga perkataan bahwa “Allah itu adalah pihak yang ketiga dari yang tiga”. Kemudian, sikap mereka yang mendustakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagai penutup para Nabi dan Rasul.

         Untuk hal ini, Allah telah berfirman, “(72) Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah al-Masih putera Maryam”. Padahal al-Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” “(73) Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”. Padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa, jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakana itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” [QS. Al-Maidah : 72-73].

         Dan sungguh Allah Ta’ala telah menginformasikan pula dalam Kitab-Nya Al-Quran, mengenai tertipunya masing-masing kelompok (Yahudi dan Nashara) dengan diri mereka sendiri. Begitu pula dengan aksi celaaan mereka, yang satu terhadap yang lain. Dan  juga aksi saling mengaku-ngaku keistimewaan masing-masing, diatas klaim bahwa petunjuk-kebenaran ada padanya, dan bahwa keistimewaan untuk memasuki surga hanya ada pada mereka, bukan yang lain.

         Hal ini tergambar jelas dalam firman-Nya, sebagai berikut:

         “ (111) dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. “ (112) (tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”  [QS. Al-Baqarah :111-112].

         “dan orang-orang Yahudi berkata: “Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan”, dan orang-orang Nasrani berkata: “Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan”, padahal mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab.” [QS. Al-Baqarah: 113].

         “dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk”. Katakanlah: “Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus dan bukanlah Dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik.” [QS. Al-Baqarah : 135].

         Klaim pengakuan orang Yahudi, bahwa mereka ada diatas agama Ibrahim, dan bahwa Ibrahim itu adalah beragama Yahudi. Begitu pula, dengan pihak Nashara, mereka melakukan klaim yang sama. Namun, ternyata Allah Ta’ala membantah pernyataan mereka semua, dalam firman-Nya :

         “Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi Dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah Dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” [QS. Ali Imran : 67].

Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah pelindung semua orang-orang yang beriman.” [QS. Ali Imran : 68].

         Dari sini, dapat diketahui bahwa para pemeluk agama yang tiga -Yahudi, Nashara, dan kaum Muslimin- mencoba bersepakat untuk mengagungkan Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam, dan mencoba untuk menempelkan kedekatan  mereka kepadanya. Namun, ternyata Allah telah membatalkan klaim pengakuan Yahudi dan Nashara tersebut, dan memutuskan bahwa sebenarnya yang paling dekat dengan Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam adalah orang-orang yang mengikutinya dalam bertauhid (mengesakan Allah), dan melepaskan tanggung-jawab dari perbuatan syirik dan orang-orang yang berbuat kemusyrikan.

         Dan yang paling dekat dengan Ibrahim ‘Alaihis Salam juga adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beserta orang-orang yang beriman kepadanya. Karena inti dari Millah (agama) Ibrahim ‘Alaihis Salam adalah sama dengan yang diperintahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebagaimana firman Allah : “kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan buktikanlah Dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” [QS.An-Nahl : 123].

         Jadi, kaum Muslimin itulah yang sebenarnya berada pada Millah (agama) Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam, bukannya Yahudi ataupun Nashara. Untuk itulah, Allah Ta’ala berfirman, “dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan begitu pula dalam Al-Quran ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia.” [QS. Al-Hajj : 78].

     Demikianlah berlangsung masa-masa yang dilalui oleh kaum Muslimin, diatas keyakinan (I’tiqad) yang mantap seperti ini, yakni bahwa agama Islam itulah yang menjadi agama yang haq, yang tidak Allah terima dan ridhoi satu agama pun selain-nya. Dan bahwa setiap orang yang tidak masuk ke dalam agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka otomatis dia kafir, dan pasti masuk neraka. Jika ia mati dalam kekafirannya, tentu akan kekal selama-lamanya di neraka.

         Untuk itu, Allah Ta’ala telah mewajibkan dakwah untuk mengajak manusia secara keseluruhan, baik itu Yahudi, Nashara, atau yang lainnya, masuk ke dalam agama Islam. Dan juga Allah perintahkan untuk memerangi mereka, dalam rangka meninggikan Kalimat-Allah dan agama-Nya, agar masuk ke dalam agama Islam ini siapa yang dikehendaki oleh-Nya, atau tunduk kepada penguasa yang haq.

         Firman-Nya, “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” [QS. At-Taubah : 33].

         Dan masih saja peperangan antara kaum Muslimin dengan musuh-musuh mereka, berkobar tanpa henti, mengikuti pergiliran waktu dan masa. Dan Allah pun memberikan pertolongan-Nya, kepada orang-orang yang mau menolong agama-Nya. Sebagaimana firman Allah, “ (7)  Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” “(8) dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menyesatkan amal-amal mereka.” [QS. Muhammad : 7-8].

         Adapun yang terjadi pada beberapa kurun waktu terakhir, betapa beratnya cobaan yang menimpa agama Islam dan kaum Muslimin. Hal ini terbukti dengan makin meluasnya wilayah penguasaan Nashara terhadap negeri-negeri kaum Muslimin. Ditambah lagi, dengan munculnya pemimpin-pemimpin yang mengaku beragama Islam, tetapi loyalitasnya diserahkan kepada pihak Nashara.

         Maka, tatkala hilang pergi penjajah militer, dari negeri-negeri kaum Muslimin, masih pula ada yang tertinggal bentuk penjajahan lainnya, di bidang pemikiran, seperti dalam dunia pendidikan, dan informasi,  begitu juga merambah ke segala aspek bidang kehidupan. Semuanya itu dioperasionalisasikan oleh orang-orang yang bersikap mengekor kepada negara-negara Barat yang Kafir.

         Tentu saja, hal ini disebabkan oleh kebodohan mereka terhadap hakikat yang paling esensial dari Agama Islam itu sendiri, dan jauhnya mereka dari penerapan syari’at dan hukum-hukumnya kepada diri mereka sendiri, apalagi terhadap bangsa mereka dalam masalah itu. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala menimpakan kehinaan kepada mereka, dan memberikan negeri-negeri Kafir itu kemampuan untuk dapat menguasai mereka.

         Negeri-negeri Kafir yang Dzalim seperti Amerika, yang selalu menebar janji, dan memberikan ancaman, serta harapan-harapan kosong kepada mereka. Amerika juga menjadikan dirinya sebagai polisi-pelindung bagi negeri-negeri mereka, bahkan berani turut campur dalam berbagai urusan dalam negeri-negeri tersebut, dengan mengatas-namakan “Tugas Perserikatan Bangsa-bangsa”. Sehingga pada hakikatnya, Amerika ini telah menjadi “Pemimpin yang Berkuasa”, yang pada gilirannya, mereka akan menjadikannya sebagai sumber hukum didalam memecahkan problem dan urusan mereka.

         Sebagai contoh yang aktual, adalah dalam persoalan negara Palestina. Dimana tidak ada negeri-negeri Arab, maupun kaum Muslimin lainnya, yang mampu untuk dapat menyelesaikannya. Dan memang, tidak ada penyelesaian yang tepat baginya, kecuali ber-jihad memerangi Negara Yahudi itu dari luar Palestina. Hal ini tentu tidak memerlukan “waktu-tunggu” dan restu lagi dari orang-orang yang semacam itu , akan tetapi sebenarnya Allah Ta’ala sendiri telah berfirman,

         “Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah, maka diantara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri, dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya), dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.” [QS. Muhammad : 38].

         Inilah janji Allah, dan pasti Allah itu tidak mungkir janji. Dan tidak perlu juga ditunggu kemenangan itu kecuali dengan melengkapi syarat-syaratnya yang telah disebut dalam firman-Nya, “ (7) Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” “ (8)  dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menyesatkan amal-amal mereka.” [QS. Muhammad : 7-8].

     Selanjutnya, dari bekas-bekas penjajahan militer kaum Nashara terhadap negeri-negeri kaum Muslimin, pada masa lampau. Ataupun pelaksanaan berbagai rencana strategis mereka, pada masa kini, yang berada di tangan orang-orang loyalis kepada mereka. Tak cukup rasanya bagi mereka, baik pihak musuh atau para loyalisnya dari kalangan Muslim, untuk menebarkan aksi-aksi pengrusakan dan penyimpangan, yang tersebar di tengah-tengah masyarakat Muslim.     

         Mereka pun berupaya menjadikan wanita sebagai alat untuk itu, baik dari awal masa penjajahan sampai hari ini, dengan mengatas-namakan “hak-hak wanita” dan “kebebasan wanita”. Begitu pula, mereka membuat undang-undang hukum-positif, lalu meletakkannya sebagai ganti dari hukum Syari’at-Allah. Lalu, menggunakannya dalam keputusan hukum perundang-undangan, serta mewajibkannya untuk ditaati.

         Tidak cukup sampai di situ, bahkan mereka bernafsu untuk merusak keyakinan aqidah kaum Muslimin, dalam salah satu prinsip agama mereka (Islam), yakni dengan suatu cara yang konspiratif, penuh rekayasa-manipulatif. Lantas kemudian, orang-orang Munafiq mempromosikan ide-ide tersebut, tanpa dasar-ilmu, dan diterima pula oleh orang-orang Muslim yang bodoh, karena ketidak-tahuan akan hakikat ide-ide yang diusung, atau lebih tepat lagi, ketidak-tahuan terhadap hakikat Agama Islam yang sebenarnya.

         Aksi propaganda yang bersifat rekayasa, dan teramat jahat ini, dipopulerkan dengan istilah-istilah : “Dakwah Persuasif : antara Islam dan Kristen”, atau “Dakwah Persuasif antar Agama-agama” ;  “Penyatuan Agama-agama”; “Persatuan Tiga Agama” ; “Ibrahimisme” ; “Millah Ibrahim” ; “Penyatuan Ibrahimisme” ; “Penyatuan Kitab-kitab Samawi”. Dan diantara semboyan-semboyan mereka terhadap propaganda seperti ini, adalah: “Persaudaraan Ber-Agama” ; “Membuang Fanatisme Ber-Agama” ;  “Persahabatan Islam-Kristen” ; “Solidaritas Islam-Kristen melawan Komunisme” ; “Melawan Atheisme”.

         Semua penamaan dan labeling tersebut, adalah bagian dari upaya untuk mencampur-adukkan kebenaran dengan kebatilan, dan menghiasi kebatilan dengan menampilkan kata-kata yang terlihat indah. Bahkan, lebih dari itu, mereka pun menggunakan semboyan “Dialog antar Peradaban”, dan “Dialog antar Agama”.

         Target dari propaganda ini, tentunya satu dari dua hal berikut,

         01) - Melakukan penghormatan tehadap agama-agama yang batil tersebut. Atau dengan kata lain, menghormati seluruh agama-agama samawi (langit), seperti Yahudi dan Nasrani. Adapun caranya adalah dengan meniadakan tuduhan kepada agama-agama palsu itu, dan meninggalkan bentuk pernyataan akan kebatilannya, atau menjauhkan predikat kekufuran terhadap para pemeluknya. Inilah yang dimaksud oleh sebagian mereka dengan istilah “Kehidupan berdampingan secara damai antar pemeluk agama yang tiga.”

         02) - Adanya pengakuan atau legitimasi akan keabsahan agama-agama itu. Sekaligus pengakuan bahwa semua itu adalah jalan yang sama seperti agama Islam untuk menuju Allah. Dan ini artinya, bahwa tidak ada beda antara pemeluk agama Yahudi, Nasrani dan Islam, karena masing-masing ada di atas ajaran agam yang benar.

         Dan inilah makna sebenarnya yang terkandung dari ide “penyatuan” yang digembar-gemborkan itu. Sehingga terjadilah suatu kondisi persaudaraan, dimana tidak ada  permusuhan atau kebencian, bahkan tidak ada lagi dakwah atau panggilan kebenaran dan jihad atau perjuangan mempertahankan kebenaran, melawan kebatilan.

         Tentu saja, seruan semacam ini, merupakan Sikap Kekufuran yang Terang dan Nyata sekali, sehingga masuk ke dalam “Hal-hal yang Membatalkan Ke-Islaman”.

 

Ringkasnya, ada beberapa hal yang bisa kita petik dari tulisan di atas, yaitu:

01 Bahwa agama di sisi Allah itu, hanyalah agama Islam, yang merupakan agama para rasul secara keseluruhan.

02 Allah tidak menerima dari seorang pun, selain agama Islam.

03 Bahwa setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka agama Islam itu hanya terbatas pada apa yang telah disampaikan oleh beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan para pengikutnya.

04 Setiap orang yang keluar dari ajaran syari’at agama Islam yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka orang tersebut Kafir. Karena, risalah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu bersifat umum / universal, berlaku untuk semua manusia, sehingga tidak ada alasan untuk keluar dari ketentuan tersebut.

05 Bahwa orang Yahudi dan Kristen-Nasrani itu adalah orang-orang Kafir. Wajib mengajak atau mendakwahi mereka ke dalam agama Islam, bahkan berjihad memerangi mereka, bila syarat-syaratnya terpenuhi untuk itu. Sebagaimana wajib pula untuk mendakwahi orang-orang Musyrik, dan memeranginya. Hal ini perlu dilakukan, agar tampak nyata bahwa agama Islam, sebagai Kalimatullah itulah yang tertinggi, dan unggul.

Allah Ta’ala berfirman, “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkannya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” [QS.At-Taubah : 33]. 

06 Bahwa orang yang mengakui kebenaran agama Yahudi dan Nasrani, yang telah dipenuhi oleh penyelewengan, perubahan, dan penghapusan inti agamanya, maka orang tersebut adalah Kafir, Murtad, keluar dari agama Islam.

07 Barangsiapa mati dalam kekafirannya, baik di atas ajaran agama Yahudi, Kristen, dsb, padahal sudah sampai kepadanya dakwah agama Islam, maka orang itu termasuk penghuni neraka yang kekal selamanya.

Sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni ahli-kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya, mereka itulah seburuk-buruk makhluk.” [QS. Al-Bayyinah : 6].

Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Demi Allah, yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seseorang dari umat manusia ini, baik dia Yahudi maupun Nashrani, lalu dia tidak mengimani risalah yang aku bawa, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (HR.Muslim).

08 Wajibnya berlepas-diri dan tanggung-jawab dari orang-orang kafir, dan dari agama mereka. Membenci, dan memusuhi mereka, sampai mereka mau beriman kepada Allah semata.

09 Bahwa seruan-seruan dakwah seperti, “Pendekatan antar Agama”, “Penyatuan Agama”, adalah propaganda kebatilan, dan kekufuran belaka. Karena, terkandung padanya sebuah legitimasi pengakuan terhadap kebenaran agama-agama Yahudi dan Nasrani tersebut, yang sudah jelas kebatilannya.

10 Haram hukumnya mengadakan sarana kepada apa yang disebut “Dialog Agama-agama”, dan semacamnya.

Terkecuali, dialog yang dilakukan oleh kaum Muslimin dan para pemeluk Agama-agama yang batil itu, adalah diarahkan untuk mengajak mereka masuk Islam.

Maka, hal ini bisa dilakukan dengan dasar firman Allah Ta’ala :  “Katakanlah: “Hai ahli-Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. [QS.Ali Imran : 64]. 

Juga firman-Nya, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” [QS.An-Nisaa : 36].

Dan Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah : “Hai manusia. Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” [Al-A’raaf : 158].

Dan ini pula yang menjadi jalan dakwahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para pengikutnya, yaitu : “Katakanlah: “Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” [QS.Yusuf: 108].

11 Haram hukumnya melakukan apa yang disebut sebagai “Penghormatan terhadap Agama-agama” dan “Tenggang Rasa antar Agama-agama” atau “Toleransi beragama”, yang didalamnya terkandung pengertian agar supaya hujatan kepada agama-agama yang batil itu, seperti Yahudi dan Nasrani, dapat ditinggalkan.

Hal semacam ini, tentunya tidaka layak untuk dilakukakan, karena tidak ada agama yang pantas untuk dihormati kecuali agama Islam saja, karena dialah agama yang haq, dan benar.

12 Bahwa tidak ada persaudaraan antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir. Sehingga, tidak boleh dikatakan : “saudara-saudara kami orang-orang Nasrani” atau semacamnya dari kelompok orang-orang kafir. Hal ini berlaku, karena persaudaraan dan loyalitas, yang benar adalah antara sesama kaum beriman.

         Allah ber-firman, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara” [QS. Al-Hujuraat: 10]. Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (Muttafaqun ‘Alaihi, disepakati oleh Bukhari-Muslim). Juga firman-Nya, “dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.” [QS. At-Taubah: 71].

         Dan sesungguhnya Allah telah mengikatkan tali persaudaraan antara orang-orang Kafir dengan orang-orang Munafiq, dalam firman-Nya, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang Munafiq yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang Kafir diantara ahli kitab.” [QS. Al-Hasyr : 11].

         Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjadikan orang-orang Kafir itu pelindung bagi sesama mereka, satu sama lain. Firman-Nya, “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para Muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” [QS. Al-Anfaal: 73].

13 Bahwa Kitab Taurat dan Injil, setelah diselewengkan, dirubah, dan dihapus dari inti agamanya, maka tidak boleh lagi dijadikan acuan untuk digunakan dalam mencari petunjuk kebenaran, dan mengetahui apa yang bisa mendekatkan diri kepada Allah. Keduanya tidak boleh lagi disebut bersama Al-Quran, sekalipun keduanya pernah memiliki kesucian pada sisi Allah. Karena telah masuk ke dalam keduanya itu, begitu banyak hal yang bersifat batil, dan telah dihapus status hukum-hukumnya.

Adapun yang masih terdapat pada keduanya, berupa kebenaran, maka cukuplah bagi kaum Muslimin untuk berpegang hanya kepada kitab-Nya yang terakhir, yakni Al-Quran, yang pasti memiliki sifat sebagaiman dalam firman-Nya:

         “yang tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” [QS. Fushshilat: 42].

         Oleh karena itu, ketika Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan memegang lembaran yang didalamnya terdapat beberapa potongan ayat Taurat, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, “Apakah engkau masih ragu, wahai ibnul Khaththab? Bukankah aku telah membawa agama yang putih bersih? Sekiranya saudaraku Musa alaihis salam hidup sekarang ini, maka tidak ada keluasan baginya kecuali mengikuti syari’atku.” (Hadits riwayat Ahmad).

        

    Demikianlah, dan kami pun memohon kepada Allah, untuk memberikan petunjuk dan bimbingan-Nya kepada kami, dan kepada seluruh kaum Muslimin, dalam rangka meniti jalan-Nya yang luru, yaitu jalan “..orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para Shiddiqiin, orang-orang yang mati Syahid, dan orang-orang Saleh, dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

Dan juga agar dijauhkan dari jalannya orang-orang yang dimurkai, dan orang-orang yang sesat.

         Semoga Allah memberikan kecintaan kepada kami terhadap keimanan, dan menjadikan keimanan itu indah didalam hati. Serta menjadikan kami benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Dan agar kami dijadikan orang-orang yang lurus, sebagai karunia dan nikmat dari-Nya, dan Allah itu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana..

         Shalawat dan salam, serta keberkahan, semoga Allah curahkan selalu kepada hamba dan utusan-Nya, Muhammad, penutup para Nabi, beserta segenap keluarga, dan para shahabatnya semua.

Ditulis oleh:

Abdurrahman bin Nashir al-Barrak.

Ringkasan :

“Penyatuan Agama-agama”; Penyatuan Ibrahimisme” ; “Penyatuan Kitab-kitab Samawi”. “Persaudaraan Ber-Agama” ; “Dialog antar Peradaban”, dan “Dialog antar Agama”, dan segala wacana dan slogan lainnya adalah cara-cara konspiratif yang dipropagandakan musuh-musuh Islam untuk merusak aqidah umat Islam. Abdurrahman bin Nashir al-Barrak melalui tulisan ini memaparkan secara detail dan tajam mengenai hakikat yang tersembunyi dari slogan-slogan yang menyesatkan tersebut.

 

SEHINGGA ANDA MENJADI SURI TAULADAN

SEHINGGA ANDA MENJADI SURI TAULADAN 

Agama Islam adalah agama ketauladanan yang agung, dan suri tauladan yang paling agung di dalam Islam, mereka adalah para Nabi 'Alaihimus Salam, dan sementara penutup para Nabi adalah Nabi kita Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Demikian pula dengan para sahabatnya Ridhwanullah 'Alaihim kemudian bagi siapa saja yang mengikuti mereka secara ihsan.

Dan eksplorasi perkara ketauladanan ini sejatinya tampak pada yang berikut ini :

1.    Eksplorasi al-Qur'an al-Karim pada sejumlah kisah nabi-nabi 'Alaihimus Salam dan sirah mereka. Dan demikian pula (pada) sirah yang tercinta Muhammad bin Abdullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan dari usaha yang dilakukan para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut beserta penjelasannya.

2.    Berbagai hadits dan kitab yang bertajuk sirah dan karakter kenabian.

3.    Memperhatikan ulasan-ulasan berbagai hadits dan penekanan terhadap aspek rahasia-rahasia ketauladanan yang baik di dalam pesona sirah.

4.    Buku-buku sirah dan biografi para tokoh.

 

 

 

Kenapa harus keteladanan ?

Urgensi eksistensi ketauladanan yang baik ini, tercermin sebagai berikut:

Ø Bersamaan munculnya banyak fenomena ketauladanan yang buruk (al-qudwah al-saiyi'ah), menjadi keharusan bagi kita untuk serius menghadirkan contoh-contoh ketauladanan yang baik (al-qudwah al-hasanah).

Ø Al-qudwah al-hasanah yang terbingkai oleh sifat-sifat keutamaan yang tinggi ini mampu memuaskan pihak lain bahwa untuk mencapai sifat-sifat yang mulia ini merupakan hal yang dimungkinkan (bukan utopia belaka) oleh siapapun, dan bahwa amal (ketauladanan) ini masih dalam kapasitas yang dapat dijangkau manusia umumnya. Dan yang terpenting adalah bukti perilaku jauh lebih menghujam daripada bukti ucapan.

Ø Tingkat daya paham manusia dalam mencerna ucapan berbeda-beda, namun semuanya sama dalam aspek penglihatan kasat mata. Sebagai contoh nyata dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma bertutur, “Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengambil sebuah cincin dari emas, maka orang-orang mengambil (pula) cincin-cincin dari emas. Maka Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda : 'Sesungguhnya aku telah mengenakan cincin dari emas -maka beliau menanggalkannya dan beliau bersabda- Sesungguhnya aku tidak akan mengenakannya selama-lamanya.' Maka orang-orang (pun turut) menanggalkan cincin-cincin mereka. HR. Bukhari dan Muslim.”

 

Penguat-penguat ketauladanan yang baik (al-qudwah al-hasanah) :

  1. Keiklashan, yaitu seorang muslim meniatkan seluruh tutur kata dan tindakannya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dan untuk mengantarkannya kepada surga-Nya. Dan ini merupakan faktor pendorong yang besar dari sekian aspek pendorong lahirnya ketauladanan yang baik. Setidaknya ia merupakan pondasi dan esensi keteladanan. Dengan demikian seluruh faktor pendorong lainnya dibangun di atasnya.
  2. Amal shaleh yang selaras dengan prinsip al-ittiba'. Dan bukanlah al-qudwah al-hasanah namanya bagi orang yang tindakannya menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan bukanlah al-qudwah al-hasanah namanya bagi orang yang berbuat bid'ah di dalam agama Allah yang sebenarnya bukanlah termasuk yang disyariatkan, dan bukanlah al-qudwah al-hasanah namanya bagi orang yang terang-terangan berbuat kemaksiatan dan amalan buruk lainnya.
  3. Keselarasan sikap atas ucapan. Bahwa keduanya selalu bergandengan. Dan selama-lamanya bukanlah al-qudwah al-hasanah namanya, bagi orang yang sikapnya berlawanan dengan penuturannya, dan tindakannya dengan perkataannya. Allah Ta`ala berfirman yang artinya:

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?” (QS. Ash-Shaff (61) : 2)

  1. Tingginya kemauan, maka tingginya kemauan merupakan instrumen pendorong dalam menguatkan ketauladan yang baik, dan al-qudwah al-hasanah adalah satu bentuk keistimewaan seseorang. Karenanya bagi sang empunya, hendaknya ia memiliki kemauan yang tinggi dan tekad yang kuat.
  2. Menghiasi diri dengan akhlaq-akhlaq terpuji, dan khususnya untuk pokok-pokok akhlaq seperti kesantunan, kesabaran, kejujuran, keberanian, komitmen, kebijaksanaan, keadilan dan lain sebagainya.

Berbuat Baik

Berbuat Baik 

وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ

Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah I berbuat baik kepadamu.

  Sesungguhnya agama mewajibkan kepada para pengikutnya (berbuat baik) dalam segala hal dan tidak ridha dari para pengikutnya menyukai keburukan atau melakukannya. Maka sesuatu yang diajak oleh agama kita adalah yang tertinggi dari perbuatan kita sehari-hari yang salah yang merancukan gambaran akhlak dalam agama ini.

         Sejak langkah pertama di atas pintu Islam, kita dituntut untuk memperbaiki Islam kita agar dilipatgandakan pahala kita. Al-Bukhari meriwayatkan:

إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلاَمَهُ فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضعْفٍ وَكُلُّ سَيِّئَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِمِثْلِهَا

"Apabila seseorang dari kalian memperbaiki Islamnya, maka setiap kebaikan yang dilakukannya ditulis untuknya sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, dan setiap keburukan yang dilakukannya ditulis baginya seumpamanya."[1]

Bahkan sesungguhnya tumpukan (dosa) di masa jahiliyah yang membebani pundak orang yang baru mendapat petunjuk, ia tidak bisa bebas darinya kecuali dengan taubat yang benar dan memperbaiki amal perbuatan. Karena itulah Nabi r bersabda:

مَنْ أَحْسَنَ فِى اْلإِسْلاَمِ لَمْ يُؤَاخَذْ بِمَا عَمِلَ فِى الْجَاهِلِيَّةِ وَمَنْ أَسَاءَ فِى اْلإِسْلاَمِ أُخِذَ بِاْلأَوَّلِ وَاْلآخِرِ

"Barangsiapa yang baik di dalam Islam, niscaya ia tidak terkana sangsi  karena perbuatannya di masa jahiliyah, dan barangsiapa yang berbuat  jahat di dalam Islam niscaya ia terkena sangsi karena dosa yang pertama (di masa lalu) dan yang terakhir."[2]

         Ihsan adalah profesional dalam bekerja, baik dalam pelaksanaan, dan bagus dalam memberi yang meliputi fenomena kehidupan seorang laki-laki yang benar-benar baik. Maka jika engkau melihat akhlaknya engkau menemukan akhlaknya yang baik, dan sesungguhnya orang yang paling dicintai dan paling dekat kepada Rasulullah r adalah (Yang paling baik akhlaknya darimu)[3]. Dan apabila engkau melihat kepada semua perbuatan orang yang baik niscaya engkau menemukan perbuatan ihsan padanya secara umum, karena itulah Rasulullah r mengabarkan bahwa termasuk sebaik-baik manusia adalah:

مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ

"Orang yang panjang umurnya dan baik amal perbuatannya."[4]

  Sesungguhnya semua asfek kehidupan merupakan lahan untuk menaiki tangga kebaikan, karena itulah larangan mengharap kematian dikarenakan yang disebutkan dalam riwayat al-Bukhari:

لاَيَتَمَنَّى أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ, إِمَّا مُحْسِنًا فَلَعَلَّهُ يَزْدَادُ وَإِمَّا مُسِيْئًا فَلَعَلَّهُ يَسْتَعْتِبُ

"Janganlah seseorang darimu mengharapkan kematian, bisa jadi ia orang yang baik maka ia menambah kebaikan, dan bisa jadi ia adalah orang yang jahat maka  kembali dari perbuatan jahat (bertaubat)."[5]

Maka ihsan menggiringnya kepada taubat dan intropeksi diri sebelum tibanya kematian. Sehingga gambaran membunuh (dalam qisas) dan menyembelih, gambaran perbuatan keras yang bisa diisi dengan perbuatan ihsan:

وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ

"…dan hendaklah seseorang darimu menajamkan pisau (golok)nya dan melapangkan sembelihannya."[6]        

         Shalat merupakan salah satu sarana untuk menanamkan sifat ihsan di dalam jiwa karena ia menghalangi dari perbuatan keji dan munkar dan seorang mukmin berdoa dengan dosa yang ma'tsur:

اللهُمَّ اهْدِنِي ِلأَحْسَنِ اْلأَخْلاَقِ لاَيَهْدِي ِلأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنيِّ سَيِّئَهَا لاَيَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ

"Ya Allah, berilah petunjuk kepadaku kepada akhlak yang paling baik, tidak bisa memberi petunjuk kepada yang terbaik kecuali Engkau, palingkanlah dariku keburukannya, tidak bisa memalingkan keburukannya dariku kecuali Engkau."[7] 

         Medan jihad merupakan salah satu kesempatan naik dengan akhlak, membersihkan tabiat buruk, dan menambah dalam ihsan. Disebutkan dalam sunan Ibnu Majah: "Wahai Aktsam, berperanglah bersama selain kaummu niscaya baik akhlakmu dan engkau mulia bersama teman-temanmu…'[8]  Biasanya keluar (dari wilayahnya,) termasuk yang berat terhadap jiwa dan bergabung bersama kaum yang lain dalam jihad fi sabilillah merupakan kesempatan untuk mendapat pengaruh kebaikan yang ada di sisi mereka dan memperbaiki budi pekerti dengan mengikuti yang paling utama yang nampak dari mereka. Pergaulan singkat biasanya menampakkan yang terbaik di sisi orang lain dan menutupi segala kekurangan yang nampak dalam pergaulan yang lama.

         Di antara gambaran ihsan yang tertinggi –selamat bagi orang yang bisa sampai kepadanya- bahwa engkau membalas keburukan dengan kebaikan dan engkau mengikuti  kebaikan yang ada pada setiap orang. Al-Bukhari meriwayatkan ucapan Utsman bin Affan t : "Jika manusia berbuat baik maka berbuat baiklah bersama mereka, dan apabila mereka berbuat jahat maka jauhilah kejahatan mereka."[9]

         Tarbiyah Qur`ani menumbuhkan dalam jiwa seorang mukmin gambaran ihsan, karena dia diminta merenungkan kebaikan Allah I kepadanya berupa nikmat-nikmat yang tak terhingga, dan dia dituntut berbuat baik kepada makhluk seumpama yang demikian itu:

وَأَحْسِن كَمَآأَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ

dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, (QS. al-Qashash :77)

Di dalam al-Qur`an banyak sekali anjuran bagi seseorang agar berbuat baik untuk mendapatkan cinta Allah I, jaminan mendapat dukungan, tidak hilang pahala, dekatnya rahmat darinya, dan diberikan hukum dan ilmu sebagai balasan perbuatan baiknya, dan untuknya di akhirat al-Husna (surga) dan tambahan (melihat Allah I di surga), keselamatan, dan apa yang dikehendakinya…'[10]

         Dan sangat banyak lahan perbuatan baik di depan da'i. Jika ia ingin dakwah maka dengan hikmah dan nasehat yang baik, dan jika ia menghendaki ucapan maka siapakah yang lebih baik ucapan darinya? Dialah yang mengatakan kebaikan kepada manusia. Jika ia menyuruh maka dengan adil dan ihsan. Dia yang menyuruh manusia agar mengucapkan yang terbaik. Dan jika ia menolak orang-orang yang menentangnya atau berdebat dengan mereka maka dengan cara yang terbaik. Dia berbolak baik dalam gambaran ihsan sebagai pekerja dengannya dan mengajak kepadanya.

         Jauhilah bahwa engkau termasuk orang yang zalim kepada diri mereka sendiri yang jauh dari rahmat Allah I:

إِلاَّ مَن ظَلَمَ ثُمَّ بَدَّلَ حُسْنًا بَعْدَ سُوءٍ فَإِنِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ

tetapi orang yang berlaku zalim, kemudian ditukarnya kezalimannya dengan kebaikan (Allah akan mengampuninya); maka sesungguhnya Aku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. an-naml:11)

Maka jadikanlah Allah I sebagai tujuanmu dan tambahlah perbuatan ihsan niscaya Allah I meluruskan langkahmu dan menjadi penolongmu terhadap orang yang memusuhimu.

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

 

 

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. al-'Ankabuut:69)

Janji Allah I adalah kekal dan sunnah Allah I bersama orang-orang yang muhsin terus terjadi.

 

Ringkasan:

-       Agama kita mengajak kepada perbuatan ihsan.

-       Di antara gambaran ihsan adalah (baik islamnya dengan taubat yang benar).

-       Ihsan dalam bekerja adalah mantap/profesional.

-       Ihsan kepada makhluk.

-       Ihsan dalam mengambil kesempatan hidup.

-       Ihsan lahir dan batin.

-       Dosa merupakan penolong di atas ihsan.

-       Jihad menolong berbuat ihsan.

-       Gambaran ihsan yang tertinggi adalah membalas keburukan dengan kebaikan.

-       Semua sektor dakwah adalah perbuatan ihsan.                                                                                                                               

 



[1]  Shahih al-Bukhari, kitab iman, bab 31, hadits no. 42.

[2]  Shahih al-Bukhari, kitab al-Murtaddin, bab 1, hadits no. 6921

[3]  Shahih Sunan Tirmidzi 2./196 (Shahih).

[4]  Musnad Ahmad 5/40

[5] Shahih al-Bukhari, kitab berangan-angan, bab 6, hadits no. 7235

[6]  Shahih Muslim, kitab berburu, bab 11, hadits no 1955.

[7]  Shahih Muslim, kitab para musafir, bab 26, hadits no. 771.

[8]  Mishbah az-Zujajah fi Zawa`I Ibnu Majah 2/118: Isnadndya lemah, dan ia mempunyai syahid (penguat) dalam Shahih Ibnu Hibban, Abu Daud, dan at-Tirmidzi, dan ia berkata:    hasan gharib.

[9]  Shahih al-Bukhari, kitab azan, bab 57, hadits no 695 (mauquf atas Utsman t).

[10]  Isyarat kepada firman-Nya:

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.. (QS. Yunus:26)

Dan firman-Nya:

Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. al-A'raf:56)

Dan firman-Nya:

Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Rabb mereka.Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. (QS. az-Zumar:34)