KALENDER DAN AWAL PENANGGALAN HIJRIYAH
"Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan
itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).
Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang
mengetahui." (terj .Q.S. Yunus :5)
Urgensi penanggalan
Penanggalan atau kalender yang dalam bahasa arabnya disebut tarikh
yang juga berarti sejarah, adalah sebuah pendeskripsian bagi suatu
zaman yang didalamnya telah terjadi peristiwa penting yang sangat
berpengaruh pada kehidupan individu atau suatu umat.
Orang-orang yahudi sangat mengagumkan zaman Musa ‘Alaihissalaam, maka
mereka memulai sejarah penanggalannya dari zaman kenabian beliau.
Orang-orang nasrani sangat mengagungkan kelahiran Al-Masih Isa
‘Alaihissalaam, maka mereka memulai tarikh mereka dari kelahiran
beliau. Sedangkan kaum muslimin tidaklah seperti mereka-mereka itu.
Kaum Muslimin melihat bahwa Hijrahnya Nabi Muhammad Shallallaahu
‘Alaihi Wasallam merupakan momentum yang sangat bersejarah, maka
mereka menandai peristiwa-peristiwa bersejarah mereka dengan
berpatokan kepada Hijrah beliau yang penuh berkah.
Penanggalan yang dimulai dari Hijrahnya Rasulullah Shallallaahu
‘Alaihi Wasallam, terkenal dengan "Tarikh Hijriy" atau kalender
Hijriyah. Yang sekarang ini kita akan memasuki tahun 1423 H. "Tarikh
Hijriy". Hal ini patut kita pertahankan antara lain karena:
Sunnah dari shahabat Rasulullaah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam.
Menjaga kepribadian umat Islam. Semua peristiwa-peristiwa keislaman,
mulai yang terkecil sampai yang terbesar telah ditulis dan
dikodifikasikan sesuai dengan "Tarikh Hijriy". Kehidupan Rasulullah
Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam, perjalanan, jihad, peperangan, dakwah
dan penurunan wahyu telah ditulis sesuai dengan Tarikh Hijriy.
Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, pertempuran-pertempuran penting di
dalam islam seperti perang Badar kubra, Fathu Makkah, Qadisiyah dan
Yarmuk bahkan biografi dan sejarah semuanya tertulis dengan Tarikh
Hijriy.
Keterkaitannya yang kuat dengan berbagai masalah diniyah dan Ahkam
Syar’iah. Keterkaitan ini tidak hanya sementara dan terbatas pada
zaman tertentu tetapi keterkaitan abadi dan menyeluruh, mulai dari
bulan-bulan haram (Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab),
bulan-bulan haji (Syawwal, Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah), bulan puasa,
masa ‘iddah, sumpah, nadzar, kaffarah, haulnya zakat, dua hari raya,
puasa ‘Asyura, puasa-puasa di pertengahan bulan, dan seterusnya.
Dari sini tampaklah betapa bahaya peminggiran Tarikh Hijriy dengan
cara menggantikannya dengan Tarikh Milady (Masehi). Lebih bahaya lagi
jika generasi penerus tidak mengenal Tarikh Hijriy kecuali hanya
namanya saja. Karena itu Tarikh Hijriy adalah bisa disebut sebagai
bagian dari bangunan sejarah dalam kehidupan umat Islam yang tidak
terpisahkan. Sekalipun berbagai kalender lain telah ada seperti Tarikh
Parsi dan Tarikh Romawi. Tarikh Hijriy tidak lepas dari kehidupan umat
islam yang tidak terpisahkan hingga akhirnya pada abad 12 Hijrah para
penyembah salib (kaum nasrani) menjajah negara-negara arab dan
negara-negara Islam dan menghapus kebudayaan islam serta mengganti
Tarikh Hijriy dengan Tarikh Masehi atau Milady Ditambahi pula dengan
propaganda-propaganda untuk menenggelamkan Tarikh Hijriy dengan
memancangkan Tarikh Milady, mereka mempengaruhi orang-orang Islam
dengan berbagai hasutan umpamanya; dalam hal perekonomian, Tarikh
Milady (katanya) lebih bermanfaat daripada Hijriy, sebab jumlah
harinya lebih banyak. Dari segi kepastian dan kemantapan, Tarikh
Milady, lebih unggul karena jumlah harinya tidak berubah-ubah dan lain
sebagainya. Dan dalam waktu yang bersamaan umat islam dalam kondisi
terpuruk karena penjajahan kaum salibis tersebut. Maka tak ayal lagi
banyak orang islam yang menjadi korban pembodohan tersebut.
Permulaan Tarikh Hijriy
Tarikh seperti yang telah kita kemukakan adalah simbol bagi titik awal
dalam kehidupan sebuah umat atau suatu bangsa. Para ahli sejarah telah
menyebutkan bahwa khalifah Umar Ibnul Khattab Radhiyallaahu ‘Anhu,
adalah orang yang memerintahkan untuk mencanangkan Tarikh Hijriy.
Sebabnya adalah sebagaimana yang dituturkan oleh berbagai riwayat
berikut ini :
Imam Asy-Sya’bi berkata (yang terjemahannya - pen) : "Abu Musa
Al-Asy’ari Radhiyallaahu ‘Anhu menulis kepada Umar Radhiyallaahu ‘Anhu
yang isinya : Telah datang kepada kami surat-surat dari Amirul
Mukminin yang tidak bertanggal. Maka Umar Radhiyallaahu ‘Anhu
mengumpulkan orang-orang untuk bermusyawarah. Maka sebagian berkata,
"Berilah tanggal berdasarkan kenabian Nabi Muhammad Shallallaahu
‘Alaihi Wasallam". Yang lain berkata, "Kita beri tanggal dari
hijrahnya Nabi" , Maka Umar Radhiyallaahu ‘Anhu berkata, "Benar kita
beri tanggal berdasarkan hijrahnya Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi
Wasallam ke Madinah karena hijrahnya Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi
Wasallam ke Madinah adalah garis pemisah antara yang hak dan yang
batil.
Menurut Sa’id Ibnul Musayyib : yang berkata, ‘kita mulai dari
hijrahnya Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam’ adalah Ali bin Abi
Thalib Radhiyallaahu ‘Anhu, ketika Umar bertanya kepada mereka, ‘Dari
mana harus dimulai ?’
Maimun bin Mihran berkata (yang terjemahannya - pen) : "Telah
disampaikan kepada Amirul Mukminin Umar Radhiyallaahu ‘Anhu sepucuk
surat (sertifikat) yang tertulis, "Sya’ban". Maka Umar Radhiyallaahu
‘Anhu bertanya, ‘Sya’ban yang mana ?, Sya’ban yang sekarang atau yang
akan datang ?. Kemudian beliau mengumpulkan para pemuka dari shahabat
Radhiyallaahu ‘Anhum. Beliau berkata, ’Sesungguhnya harta (kas negara)
yang telah melimpah, dan yang sudah kita tidak ditentukan dengan
tanggal, maka bagaimanakah caranya supaya kita sampai pada penentuan
tanggal tersebut ?. Mereka berkata, ‘Hal itu harus kita pelajari dari
tulisan (penanggalan) orang-orang Parsi’. Maka ketika itu Umar
Radhiyallaahu ‘Anhu mendatangkan Hurmuzan untuk dimintai keterangan.
Lalu Hurmuzan berkata, "Sesungguhnya kami memiliki hitungan waktu yang
kami sebut Maah Ruuz yang artinya hitungan bulan dan hari". Maka
mereka mengharapkan kata tersebut menjadi "Muarrikh". Kemudian mereka
memberinya nama Tarikh. Setelah itu mereka berembug tentang permulaan
tanggal untuk negara Islam. Akhirnya mereka sepakat untuk memulai dari
tahun Hijrah, dan setelah mereka tetapkan bulan pertama adalah
Muharram, mereka menghitungnya sampai akhir hayat Rasulullah
Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam. Ternyata dari satu Muharram tahun
pertama Hijrah sampai wafatnya adalah sepuluh tahun dua bulan, dan
kalau dihitung-hitung benar-benar dari hijrahnya Rasulullah
Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam adalah sembilan tahun, sebelas bulan dan
dua puluh satu hari.
Kesalahan-kesalahan pada awal tahun Hijriyah
Do’a awal tahun dan fadhilahnya dan doa akhir tahun dan fadhilahnya.
Doa tersebut adalah bid’ah, tidak ada asalnya dari Rasulullah
Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam maupun dari para sahabatnya dan para
tabi’in serta tidak disebutkan baik di dalam kitab-kitab musnad maupun
kitab-kitab kumpulan hadits maudhu’ (palsu) sekalipun, ia hanyalah
rajutan dari sebagian orang yang memperlihatkan diri sebagai
orang-orang yang ahli ibadah namun tidak mengerti sunnah. Yang lebih
hebat lagi adalah kedustaan pembuat do’a tersebut atas nama Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Yang mana ia telah menentukan
fadhilah (keutamaan) bagi pembaca doa tersebut tanpa ada dasar dari
wahyu. Ia berkata : "Siapa yang membacanya maka syetan akan berkata
(sedih), kita sudah susah payah menggodanya selama satu tahun,
ternyata ia merusak usaha kita hanya dalam sesaat". Dan yang sangat
mengherankan adalah sikap kaum muslimin yang menerima dan mengamalkan
do’a tersebut tanpa mau belajar dan bertanya kepada ulama-ulama Ahlus
Sunnah. Mereka telah lupa apa yang telah dipesankan oleh para ulama
termasuk Al-Izz bin Abdusalam Asy-Syafi’i, sebagaimana dinukil oleh
Imam Abu Syamah bahwa melaksanakan kebaikan itu harus mengikuti
syari’at dari Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam, jika sudah
mengetahui bahwa do’a awal dan akhir tahun serta fadhilahnya adalah
tidak masyru’ maka mengamalkannya adalah bid’ah makruhah munkarah.
Puasa awal dan akhir tahun beserta fadhilahnya. Imam Al-Fatani dalam
kitab Tadzkiratul Maudhu’at menyatakan (yang terjemahannya - pen) :
"Dalam hadits yang artinya, "Barangsiapa yang berpuasa pada hari
terakhir dari bulan Dzulhijjah dan hari pertama pada bulan Muharram
maka ia telah menutup tahun yang telah berlalu dengan ibadah puasa dan
membuka tahun yang baru dengan berpuasa. Maka Allah menjadikan
untuknya sebagai kaffarah (penebus dosa) selama lima puluh tahun",
terdapat dua perawi yang pendusta, sedangkan dalam hadits, "Pada awal
malam dari bulan Dzulhijjah Ibrahim dilahirkan, maka barang siapa yang
berpuasa pada hari itu maka puasanya itu bisa menebus dosanya selama
enam puluh tahun", terdapat Muhammad bin Sahl, ia adalah pemalsu
hadits.
Menjadikan awal tahun baru sebagai hari perayaan, hari besar atau hari
raya. Kita tahu bahwa yang memiliki adat merayakan tahun baru adalah
orang-orang kafir. Orang-orang Persia merayakan hari raya Nairuz yaitu
hari pertama musim semi. Sedangkan orang Nasrani, mereka merayakan
satu Januari sebagai hari raya tahun baru Masehi. Merayakan awal tahun
baru Hijriyah dengan berpesta makan-makan dan minum, berkumpul
menyalakan lampu lebih dari biasanya adalah sama seperti apa yang
dilakukan oleh orang-orang Nasrani pada tahun baru Masehi, mereka
menyalakan api, memberi lilin, membuat makanan, bernyanyi ria dan lain
sebagainya. Imam Suyuthi berkata: "Tasyabbuh (menyerupai) dengan orang
kafir adalah haram, sekalipun tidak bermaksud seperti maksud mereka
berdasarkan riwayat Ibnu Umar, Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi
Wasallam bersabda, (artinya:)"Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka
ia termasuk golongan mereka". (HR.Abu Dawud dan lainnya). Ketahuilah
bahwa pada periode Salafush Shalih tidak terdapat perayaan awal
Hijrah. Maka Mukmin sejati adalah orang yang meniti jalannya para
Salafush Shaieh yang berteladan dengan apa yang ditinggalkan oleh
Sayyidul Mursalin Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam, dan berteladan dengan
orang yang diberi nikmat oleh Allah Ta’ala, yaitu para Nabi,
Shiddiqin, Syuhada dan Shalihin.
Membelanjakan harta membiayai acara yang tidak disyariatkan, atau
merayakan hari raya yang tidak diperintahkan untuk dirayakan adalah
perbuatan sia-sia, begitu pula memeriahkan hari yang mengandung
keutamaan dengan cara yang tidak disyariatkan juga sia-sia. Ibnul Hajj
dalam Al-Makhdal menyebutkan (yang terjemahannya - pen) : "Sebab
larisnya adat-adat semacam tadi adalah, diamnya sebagian ulama, bahkan
ada yang berkeyakinan bahwa hal tersebut adalah menghidupkan syiar
islam. Inna lillaahi wainna ilaihi raajiun" Imam Suyuthi mengingatkan
(yang terjemahannya - pen): "Hendaknya orang islam tidak memandang
jumlah pelaku dan penggemar kesesatan, sekalipun ada ulama yang ada
bersama mereka." Imam besar Fudhail bin Iyadh berkata (yang
terjemahannya - pen) : "Ikutilah jalan kebenaran, sekalipun banyak
orang yang binasa.".
Jadi menghidupkan Tarikh Hijriy bukan dengan memperingati awal tahun
barunya, melainkan dengan mencintai, membela dan menggunakannya di
dalam segala tulisan dan aktifitas kita.
Wallaahu a’lam.
Disadur dengan perubahan seperlunya dari Buletin LDK MPM UNHAS edisi 3
Dzulhijjah 1422 Hijriyah.
Post a Comment