Menerapkan Syariat Islam di Bidang Sosial, Budaya dan Pendidikan
Menerapkan Syariat Islam di Bidang Sosial, Budaya dan Pendidikan
A. MUKADIMAH
Salah satu kata kunci dalam kehidupan sosial budaya dan juga sangat
dipentingkan dalam dunia pendidikan adalah memahami setiap terminologi
yang dipergunakan. Mengetahui batasan arti dari suatu terminologi
menurut Imam Ibnu Taimiyah, memang adalah suatu hal yang sangat
diperlukan. Bahkan menurut beliau pengetahuan akan hal ini bagian dari
kewajiban agama yang sebagiannya berkategori wajib 'ain atau wajib
kifayah. Untuk itulah Alloh mencela orang-orang yang tidak mementingkan
pengetahuan tentang hal itu sebagaimana tersebut dalam surat at-Taubah
ayat 97.
Dari sinilah pentingnya tema kajian kali ini, sebab persis seperti yang
disinyalir oleh Ibnu Taimiyah, banyak orang yang berbeda pendapat
tentang suatu terminologi hanya karena mereka tidak memahami hakikat
terminologi itu, atau ternyata mereka menggunakan tolok ukur yang
berbeda ketika mereka membahas terminologi itu. Misalnya ketika orang
Sunda dan Jawa membincangkan tentang makna atos, amis, cokot serta makna
tulang dalam pengertian orang Melayu dan Batak. Begitu pulalah ketika
belakangan ini marak kembali pembahasan bahkan polemik tentang makna
syariat yang akan diterapkan itu. Juga kaitannya dengan masalah
pendidikan dan sosial budaya.
Menurut Ibnu Taimiyah batasan terminologi itu berkaitan dengan tiga hal
yaitu terminologi syariat, terminologi bahasadan terminologi sosial.
Mengetahui perbedaan antara ketiganya dalam konteks batasan terminologi
juga sangat dipentingkan agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami
suatu terminologi, misalnya terminologi shalat, zakat, puasadan haji
mempunyai arti sendiri. Yang bila hanya berhenti pada terminologi
bahasa, tentu tidak merealisasi rukun Islam sebab itu semua adalah masuk
dalam terminologi syariat.
Makalah sederhana ini akan mencoba membincangkan bersama arti syariat
dalam tinjauan agama, sosial dan politik. Suatu hal yang cukup sulit
untuk membahasnya dalam konteks-konteks yang terpisah-pisah, sebab pada
prinsipnya syariat itu maknanya sekaligus mencakup aspek agama,
sosialdan politik (perhatikan al-Baqarah:208).
B. MAKNA SYARIAT DALAM TINJAUAN AGAMA
Syariat adalah sebuah terminologi yang disebutkan oleh Al-Qur`an yang
diturunkan dalam bahasa Arab. Ia sekaligus menyambungkan sejarah
agama-agama yang dibawa oleh para Rasul dan ditutup oleh kerasulan Nabi
Muhammad (asy-Syura: 13). Pengertian syariat secara bahasa tentunya
harus dirujukkan kedalam bahasa Al-Qur`an bukan kedalam bahasa lokal
yang dapat memunculkan penafsiran yang mesum seperti yang dilakukan oleh
Darmo Gandul dan Gatoloco. Secara bahasa ia berarti at-Thariqah3 .
Melaksanakan syariat artinya mengikuti jalan yang terang. Dari sini,
menurut ar-Rogib al-Asfahani, ungkapan ini dipinjam untuk menjadi
thariqah Ilahiyah4 . Secara terminologi, thariqah mempunyai dua arti,
yaitu :
1. Jalan apapun yang dimudahkan oleh Allah dan kemudian dilalui oleh
umat manusia yang akan membawa efek kemaslahatan bagi umat manusia serta
kemakmuran negeri.
2. Apa saja yang ditentukan Allah dalam agamanya dan apa saja yang
diperintahkan-Nya agar manusia dapat memilih karena adanya perbedaan
syariat-syariat agama karena terjadi nashikh (penghapusan) atas agama
sebelumnya.
Syariat juga disebut dengan syariat sebab ditamsilkan dengan ungkapan
yang berkaitan dengan syariat air sebab siapa pun yang mereguknya dengan
benar maka akan hilanglah dahaganya dan bahkan dengan air itu ia bisa
bersuci.
Menurut asy-Syarif al-Jurjani, syariat berarti tunduk patuh
merealisasikan ubudiyah dalam bentuk melaksanakan seluruh komitmen,
menjaga seluruh aturan dan ridha serta sabar terhadap berbagai cobaan.
Adapun Prof. DR. Yusuf al-Qaradhawi mendefenisikan syariat sebagai apa
saja ketentuan Allah yang dapat dibuktikan melalui dalil-dalil Al-Qur`an
maupun Sunnah atau juga melalui dalil-dalil ikutan lainnya seperti
ijma', qiyasdan lain sebagainya.
Agama Islam melalui kitab sucinya Al-Qur`an menyampaikan beberapa ayat
yang secara eksplisit menyebutkan tentang syariat misalnya dalam surat
al-Jatsiyah ayat 18 dan surat asy-Syura ayat 13. Sekalipun ayat-ayat
tentang ini berada dalam kelompok ayat-ayat Makkiyah yang secara prinsip
berkaitan dengan masalah akidah, sehingga nanti datanglah seorang ulama
bernama Abu Bakr Muhammad bin Husain al-Ajuri (wafat pada tahun 360 H)
menulis kitab dengan judul Asy-Syariat yang keseluruhan pembahasan
adalah masalah akidah.
Tetapi bukanlah berarti cakupan syariat hanya terbatas pada masalah
akidah dalam pengertian yang populer sebab akidah dalam pengertiannya
yang ash-shalah (orisinil) sesungguhnya juga sangat berkaitan dengan
aspek sosial, hukumdan politik. Surat an-Nas, al-Ikhlasdan al-Kafirun
misalnya yang kesemuanya adalah surat-surat Makkiyah tetapi cakupan
akidahnya berkaitan langsung dengan masalah sosial, hukum, ekonomidan
politik.Bahkan, sufi besar al-Hasan Basri pun menyebutkan bahwa hakikat
iman bukanlah sekadar apa yang diangankan dalam hati, tetapi ia
sekaligus kebenaran yang diyakini, diungkapkandan dikerjakan.
Dari pengertian tentang syariat di atas nampak jelas bahwa terminologi
syariat dalam pengertian agama mencakup bukan hanya masalah hukum Islam
seperti yang banyak dipahami orang, tidak juga otomatis berkaitan dengan
potong tangan, pemaksaan pemakaian jilbab, atau mengejar-ngejar orang
untuk shalat seperti yang dipahami sebagian pihak lainnya. Tetapi, ia
juga sangat berkaitan dengan masalah sosial budaya dan pendidikkan.
Untuk itulah Prof. DR. Bustanul Arifin, S.H. telah menyebutkan bahwa
syariat adalah metode atau cara menjalankan ad-Din (agama). Karena
ad-Din meliputi seluruh segi kehidupan, maka syariat sebagai program
pelaksanaannya juga meliputi seluruh kehidupan. Dan karena melaksanakan
ad-Din dalam kemenyeluruhannya adalah wajib maka demikian jugalah
kaitannya dengan pendidikkan dan sosial budaya.
Untuk itu kita dapati disertasi-disertasi atau kajian-kajian ilmiah
kontemporer tentang syariat yang cakupannya sangat meluas dan beragam,
misalnya syariat berkaitan dengan masalah risywah (sogokan) dalam
kegiatan sosial, ekonomidan politik seperti yang ditampilkan oleh DR.
Abdullah bin Abdul Muhsin ath-Thuraiqi dalam kitabnya Jarimatu
ar-Risywah fi Syariah al-Islamiyah.
Syariat juga berkaitan dengan pakaian dan asesoris yang dikenakan
sebagaimana yang ditampilkan kajian DR. Muhammad Abdul Aziz Amru dalam
kitabnya Al-Libas wa Zinah fi Syariah al-Islamiyah.
Syariat juga berkaitan dengan upaya untuk merealisasikan kemaslahatan
hidup seperti yang disampaikan DR. Sa'id Ramadhan al-Buthi dalam
kitabnya Dhawabith al-Mashlahah fi Syariah al-Islamiyah. Syariat juga
ternyata sangat mementingkan keleluasaan hidup dan menjauhkannya dari
yang menyulitkan sebagaimana yang tampak jelas dalam kajian DR. Shalih
bin Abdullah bin Humaid dalam kitabnya Raf'ul al Haraj fi Syariah
al-Islamiyah.
Dalam cakupan beragama dikenal juga satu bentuk pengamalan agama melalui
cara-cara taSawuf. Dalam terminologi mereka syariat sering dihadapkan
dengan hakikat. Suatu penghadapan yang tidak selamanya diterima oleh
ulama taSawuf generasi awal seperti al-Hujwiri, syariat tidak mungkin
bisa dipertahankan tanpa adanya hakikat dan hakikat tidak mungkin
dipertahankan tanpa adanya pelaksanaan syariat. Hubungan timbal balik
keduanya bisa dibandingkan dengan hubungan badan dan ruh, bila ruh
meninggalkan badan maka badan menjadi mayat. Tetapi ruh akan lenyap
seperti angin tanpa badan karena keduanya bergantung pada kerja sama
keduanya satu sama lain. Demikian pula hukum tanpa kebenaran adalah
riya' dan kebenaran tanpa hukum adalah kemunafikan (nifaq).
Adapun Imam al-Qusyairi menyebutkan bahwa syariat adalah disiplin
ubudiyah sedangkan hakikat adalah musyahadah Ilahiyah. Setiap syariat
yang tidak dikukuhkan dengan hakikat tidak bisa diterima. Sebaliknya
hakikat yang tidak dilandaskan pada syariat tidak akan sukses. Perlu
diketahui syariat itu sendiri adalah hakikat bila dilihat bahwa syariat
merupakan keharusan melalui perintah-Nya. Begitupun hakikat adalah
syariat dari segi bahwa makrifat kepada-Nya terjadi karena perintah-Nya.
Untuk itulah beliau menukil ungkapan sufi besar seperti Abu Yazid
al-Bisthomi yang mengatakan bila Anda melihat seseorang mengaku diberi
karamah, dapat terbang di udara (misalnya) Anda sekalian jangan mudah
tertipu sampai Anda melihat benar bagaimana orang tersebut melaksanakan
perintah, menjauhi larangan, menjaga hukum-hukum serta menunaikan
syariat.
C. MAKNA SYARIAT DALAM PENDEKATAN SOSIAL
Kehidupan sosial umat manusia di manapun mereka berada pastilah merujuk
pada tatanan, untuk mengharmoniskan kehidupan itu dan untuk menjaganya
agar tidak lepas kendali sehingga hubungan sosial tidak menjadi kontra
produktif tetapi semakin memunculkan makna kebahagiaan dan kemakmuran.
Demikian jugalah yang terjadi pada umat Islam. Mereka akan merujuk pada
atau dihubungkan oleh tatanan syariat dalam pola hubungan sosial mereka,
baik dengan sesama muslim maupun dengan nonmuslim untuk merealisasikan
kemashlahatan bersama. Begitulah yang dilakukan oleh Rasulullah pada
awal kedatangan beliau di Madinah ketika beliau mempersaudarakan
Muhajirin dengan Anshar dan ketika merealisasikan Piagam Madinah.
Demikian itu jugalah makna syariat dalam konteks sosial. Para ulama
fikih dan ushul fikih dimulai oleh Imam asy-Syafi'i dan kemudian juga
tampil dalam kajian-kajian fikih kontemporer, telah memunculkan berbagai
kaidah yang mereka kongklusikan dari dalil-dalil Al-Qur`an, Sunnah,
ijma' dan qiyas. Kaidah-kaidah yang sangat menerangkan makna syariat
dalam konteks sosial misalnya:
1. Kaidah tentang lima prinsip, yaitu prinsip keharusan menjaga agama,
akal, jiwa, keturunandan harta.
2. Kaidah hukum taklifi itu bukan dua saja halal dan haram, melainkan
ada juga yang sunah, makruh bahkan ada yang mubah
3. Anjuran untuk terus dapat berijtihad dan mentajdid
4. Prinsip tentang kesesuaian syariat dengan realitas, juga bahwa
syariat itu berdiri atas bangunan kemudahan dan mementingkan pentahapan
5. Kaidah tentang urf (adat) sebagai rujukan syariat.
6. Kaidah tentang amal dan atau perbuatan penduduk Madinah, seperti
dipergunakan oleh Imam Malik.
7. Kaidah tentang mempertimbangkan kedaruratan dan mementingkan
kemashlahatan
8. Kaidah tentang syura (bermusyawarah)
9. Kaidah tentang amr ma'ruf nahyi munkar
10. Kaidah tentang tolong menolong dalam kebajikan dan takwadan bukan
dalam dosa dan melanggar hukum
11. Kaidah tentang fikih dakwah
12. Kaidah tentang fikih muamalah (hubungan sosial)
13. Kaidah tentang rabbaniyah dan syumuliyah syariat Islamiah
14. Kaidah tentang menegakkan keadilan dan egalitarianisme dihadapan
hukum.
Dengan pendekatan sosial ini, syariat dapat semakin membuktikan makna
bahwa keberadaannya adalah sebagai rahmat bagi kehidupan (al-Anbiya:
107), bahwa syariat itu bahkan dapat "membuat hidup jadi lebih hidup"
(al-Anfal: 24, al-Baqarah: 179), bahwa syariat adalah bukan makhluk
asing di tengah kehidupan manusia, tetapi merupakan bagian tidak
terpisahkan dari kemanusiaan untuk kemajuan dan kemashlahatan mereka
(al-Jum'ah: 2), bahkan ia sangat peduli dan bersimpati dengan
kemanusiaan (at-Taubah: 128), sehingga karena demikian positifnya
syariat bagi kehidupan sosial masyarakat manusia, logis saja bila
kemudian Allah "Zat yang Maha Rahman dan Rahim itu", meminta ketaatan
umat manusia untuk melaksanakan syariat-Nya (al-Ahzab: 36) bukan dalam
konteks pemaksaan apalagi teror, sebab memang telah nyata perbedaan
antara yang baik dan benar dengan yang salah, buruk dan tidak bermanfaat
(al-Baqarah: 256).
Dengan pendekatan ini, syariat akan merealisasikan bukan saja kesalehan
verbal, formal, atau individual melainkan akan memunculkan kesalehan
esensial, eksistensialdan sosial sekaligus. Bahkan kepedulian realisasi
tentang masalah sosial oleh Rasulullah Saw dijadikan sebagai tolok ukur
adanya kesalehan individual.
Dan dengan pendekatan normatif aplikatif seperti di atas, kita mempunyai
pedoman dasar, bahwa syariat memang sangat berhubungan dengan faktor
sosial budaya, ia berhubungan dengannya dengan sangat erat, bahkan ia
pro-aktif berinteraksi dengan budaya manusia, bahkan ia pun menciptakan
kebudayaan baru di atas bingkai dan landasan syariat. Sehingga dahulu
para ulama memunculkan suatu ungkapan yang sangat berarti: "Bila di situ
ada kemaslahatan, maka di situ pulalah letak syariat."
D. PENERAPAN SYARIAT DALAM BIDANG PENDIDIKKAN
Islam dengan syariatnya, adalah satu-satunya agama yang memulai ungkapan
ajarannya dengan perintah untuk membaca (iqra'). Bukan sekadar membaca,
bahkan ia adalah membaca yang dilandasi oleh ideologi dan etos "dengan
nama Rabbmu" (bismirabbika).
Syariat yang sarat dengan prinsip pendidikan Islam ini kemudian
dipertegas oleh berbagai firman Allah lainnya yang menegaskan bahwa
tugas utama kerasulandan karenanya salah satu inti dasar dari syariat
Islam yang harus diterapkan adalah masalah pendidikan. Allah berfirman:
"Allahlah yang mengutus kepada mereka, seorang Rasul yang dating dari
keluarga mereka sendiri, Rasul ini membacakan ayat-ayat Rabb mereka,
mensucikan mereka, serta mengajarkan kepada mereka ajaran al-Kitab
(Al-Qur`an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah). (al-Jum'ah :2)"
Dan begitu banyak ayat dan hadits lain yang menetapkan pentingnya
syariat diterapkan dalam pendidikan.
Syariat Islam yang berkaitan dengan masalah pendidikan ini, kemudian
secara atraktif direalissasikan oleh Rasulullah Saw dalam berbagai
peristiwa, seperti ketika beliau menjadikan tebusan Perang Badar melalui
pengajaran pemberantasan buta huruf, beliau pun mengizinkan Zaid bin
Tsabit r.a. untuk mempelajari bahasa Ibrani dan Suryani, beliau pun
mengizinkan Yusuf bin Kabdah ats-Tsaqafi mempelajari ilmu kedokteran di
Persia. Selain itu tentu saja aktivitas langsung beliau mengajari para
sahabat laki-laki maupun wanita, baik di masjid, di rumah, di kebun,
maupun di tempat-tempat umum lainnya.
Paradigma ini kemudian memunculkan lompatan budaya yang luar biasa,
dengan munculnya suatu generasi yang sangat terpelajar tetapi sangat
religius, mereka melaksanakan syariat Islam sambil memiliki credo
rahmatan lil alamin.
Etos penerapan syariat dalam bidang pendidikan ini sungguh sangat
manusiawi. Ia terus berlangsung dalam berbagai inovasi, sejak zaman
sahabat, tabi'in, hingga ke masa-masa keemasan budaya dan intelektual
Islam, dalam berbagai bidang dan aktifitas kependidikan. Dan itu terus
berlangsung hingga saat ini.
Dari perjalanan sejarah interaksi umat dengan penerapan syariat dalam
bidang pendidikan, didapatkan beberapa hal yang merupakan kaidah-kaidah
penerapan syariat Islam dalam bidang pendidikan ke depan, antara lain:
1. Adanya kaidah-kaidah tentang islamisasi ilmu pengetahuan. Kaidah itu
kini semakin ditekuni untuk diwujudkan dalam bentuk aktifitas pendidikan
yang syar'i.
2. Adanya interaksi dengan berbagai budaya pendidikan yang asalnya tidak
muncul dari dunia Islam.
3. Adanya buku dan lembaga-lembaga pendidikkan Islam yang sangat beragam
yang telah sangat berpengalaman dalam penerapan syariat Islam dalam
bidang pendidikan.
Hal-hal semacam itulah yang diharapkan akan memudahkan menanggulangi
hambatan-hambatan penerapan syariat dalam bidang pendidikan seperti
faktor sekularismedan lain-lain.
Adanya pendidikan yang berlandaskan syariat baik dalam bentuk teori,
buku kurikulum, apalagi lembaga pendidikan yang berlandaskan syariat,
tentulah sangat diperlukan sebagai sarana mempersiapkan kader-kader yang
akan melanjutkan kehidupan di bawah naungan syariat. Sebab kaidah baku
yang telah disepakati para ulama, tetaplah berbunyi: "Sesuatu yang hanya
dengan itulah maka kewajiban dapat direalisasikan, maka sesuatu itu pun
berkategori hukum wajib."
PENUTUP
Islam adalah sekaligus syariat yang dalam dirinya terkandung kepedulian
sangat tinggi dengan masalah sosial budaya dan pendidikan. Keharusan
melaksanakan Islam secara kaffah, niscaya menjadi pijakanyang sangat
kokoh akan keharusan keberadaan syariat pada lapangan sosial budaya dan
pendidikan. Lebih dari itu sejarah umat yang telah terukir berabad-abad
lamanya, baik pada skala lokal, nasional maupun global, ternyata juga
membuktikan bahwa syariat Islam itu memang rahmatan lil alamindan
karenanya pastilah ia dapat dan perlu terwujud pada tataran sosial
budaya dan pendidikan.
A. MUKADIMAH
Salah satu kata kunci dalam kehidupan sosial budaya dan juga sangat
dipentingkan dalam dunia pendidikan adalah memahami setiap terminologi
yang dipergunakan. Mengetahui batasan arti dari suatu terminologi
menurut Imam Ibnu Taimiyah, memang adalah suatu hal yang sangat
diperlukan. Bahkan menurut beliau pengetahuan akan hal ini bagian dari
kewajiban agama yang sebagiannya berkategori wajib 'ain atau wajib
kifayah. Untuk itulah Alloh mencela orang-orang yang tidak mementingkan
pengetahuan tentang hal itu sebagaimana tersebut dalam surat at-Taubah
ayat 97.
Dari sinilah pentingnya tema kajian kali ini, sebab persis seperti yang
disinyalir oleh Ibnu Taimiyah, banyak orang yang berbeda pendapat
tentang suatu terminologi hanya karena mereka tidak memahami hakikat
terminologi itu, atau ternyata mereka menggunakan tolok ukur yang
berbeda ketika mereka membahas terminologi itu. Misalnya ketika orang
Sunda dan Jawa membincangkan tentang makna atos, amis, cokot serta makna
tulang dalam pengertian orang Melayu dan Batak. Begitu pulalah ketika
belakangan ini marak kembali pembahasan bahkan polemik tentang makna
syariat yang akan diterapkan itu. Juga kaitannya dengan masalah
pendidikan dan sosial budaya.
Menurut Ibnu Taimiyah batasan terminologi itu berkaitan dengan tiga hal
yaitu terminologi syariat, terminologi bahasadan terminologi sosial.
Mengetahui perbedaan antara ketiganya dalam konteks batasan terminologi
juga sangat dipentingkan agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami
suatu terminologi, misalnya terminologi shalat, zakat, puasadan haji
mempunyai arti sendiri. Yang bila hanya berhenti pada terminologi
bahasa, tentu tidak merealisasi rukun Islam sebab itu semua adalah masuk
dalam terminologi syariat.
Makalah sederhana ini akan mencoba membincangkan bersama arti syariat
dalam tinjauan agama, sosial dan politik. Suatu hal yang cukup sulit
untuk membahasnya dalam konteks-konteks yang terpisah-pisah, sebab pada
prinsipnya syariat itu maknanya sekaligus mencakup aspek agama,
sosialdan politik (perhatikan al-Baqarah:208).
B. MAKNA SYARIAT DALAM TINJAUAN AGAMA
Syariat adalah sebuah terminologi yang disebutkan oleh Al-Qur`an yang
diturunkan dalam bahasa Arab. Ia sekaligus menyambungkan sejarah
agama-agama yang dibawa oleh para Rasul dan ditutup oleh kerasulan Nabi
Muhammad (asy-Syura: 13). Pengertian syariat secara bahasa tentunya
harus dirujukkan kedalam bahasa Al-Qur`an bukan kedalam bahasa lokal
yang dapat memunculkan penafsiran yang mesum seperti yang dilakukan oleh
Darmo Gandul dan Gatoloco. Secara bahasa ia berarti at-Thariqah3 .
Melaksanakan syariat artinya mengikuti jalan yang terang. Dari sini,
menurut ar-Rogib al-Asfahani, ungkapan ini dipinjam untuk menjadi
thariqah Ilahiyah4 . Secara terminologi, thariqah mempunyai dua arti,
yaitu :
1. Jalan apapun yang dimudahkan oleh Allah dan kemudian dilalui oleh
umat manusia yang akan membawa efek kemaslahatan bagi umat manusia serta
kemakmuran negeri.
2. Apa saja yang ditentukan Allah dalam agamanya dan apa saja yang
diperintahkan-Nya agar manusia dapat memilih karena adanya perbedaan
syariat-syariat agama karena terjadi nashikh (penghapusan) atas agama
sebelumnya.
Syariat juga disebut dengan syariat sebab ditamsilkan dengan ungkapan
yang berkaitan dengan syariat air sebab siapa pun yang mereguknya dengan
benar maka akan hilanglah dahaganya dan bahkan dengan air itu ia bisa
bersuci.
Menurut asy-Syarif al-Jurjani, syariat berarti tunduk patuh
merealisasikan ubudiyah dalam bentuk melaksanakan seluruh komitmen,
menjaga seluruh aturan dan ridha serta sabar terhadap berbagai cobaan.
Adapun Prof. DR. Yusuf al-Qaradhawi mendefenisikan syariat sebagai apa
saja ketentuan Allah yang dapat dibuktikan melalui dalil-dalil Al-Qur`an
maupun Sunnah atau juga melalui dalil-dalil ikutan lainnya seperti
ijma', qiyasdan lain sebagainya.
Agama Islam melalui kitab sucinya Al-Qur`an menyampaikan beberapa ayat
yang secara eksplisit menyebutkan tentang syariat misalnya dalam surat
al-Jatsiyah ayat 18 dan surat asy-Syura ayat 13. Sekalipun ayat-ayat
tentang ini berada dalam kelompok ayat-ayat Makkiyah yang secara prinsip
berkaitan dengan masalah akidah, sehingga nanti datanglah seorang ulama
bernama Abu Bakr Muhammad bin Husain al-Ajuri (wafat pada tahun 360 H)
menulis kitab dengan judul Asy-Syariat yang keseluruhan pembahasan
adalah masalah akidah.
Tetapi bukanlah berarti cakupan syariat hanya terbatas pada masalah
akidah dalam pengertian yang populer sebab akidah dalam pengertiannya
yang ash-shalah (orisinil) sesungguhnya juga sangat berkaitan dengan
aspek sosial, hukumdan politik. Surat an-Nas, al-Ikhlasdan al-Kafirun
misalnya yang kesemuanya adalah surat-surat Makkiyah tetapi cakupan
akidahnya berkaitan langsung dengan masalah sosial, hukum, ekonomidan
politik.Bahkan, sufi besar al-Hasan Basri pun menyebutkan bahwa hakikat
iman bukanlah sekadar apa yang diangankan dalam hati, tetapi ia
sekaligus kebenaran yang diyakini, diungkapkandan dikerjakan.
Dari pengertian tentang syariat di atas nampak jelas bahwa terminologi
syariat dalam pengertian agama mencakup bukan hanya masalah hukum Islam
seperti yang banyak dipahami orang, tidak juga otomatis berkaitan dengan
potong tangan, pemaksaan pemakaian jilbab, atau mengejar-ngejar orang
untuk shalat seperti yang dipahami sebagian pihak lainnya. Tetapi, ia
juga sangat berkaitan dengan masalah sosial budaya dan pendidikkan.
Untuk itulah Prof. DR. Bustanul Arifin, S.H. telah menyebutkan bahwa
syariat adalah metode atau cara menjalankan ad-Din (agama). Karena
ad-Din meliputi seluruh segi kehidupan, maka syariat sebagai program
pelaksanaannya juga meliputi seluruh kehidupan. Dan karena melaksanakan
ad-Din dalam kemenyeluruhannya adalah wajib maka demikian jugalah
kaitannya dengan pendidikkan dan sosial budaya.
Untuk itu kita dapati disertasi-disertasi atau kajian-kajian ilmiah
kontemporer tentang syariat yang cakupannya sangat meluas dan beragam,
misalnya syariat berkaitan dengan masalah risywah (sogokan) dalam
kegiatan sosial, ekonomidan politik seperti yang ditampilkan oleh DR.
Abdullah bin Abdul Muhsin ath-Thuraiqi dalam kitabnya Jarimatu
ar-Risywah fi Syariah al-Islamiyah.
Syariat juga berkaitan dengan pakaian dan asesoris yang dikenakan
sebagaimana yang ditampilkan kajian DR. Muhammad Abdul Aziz Amru dalam
kitabnya Al-Libas wa Zinah fi Syariah al-Islamiyah.
Syariat juga berkaitan dengan upaya untuk merealisasikan kemaslahatan
hidup seperti yang disampaikan DR. Sa'id Ramadhan al-Buthi dalam
kitabnya Dhawabith al-Mashlahah fi Syariah al-Islamiyah. Syariat juga
ternyata sangat mementingkan keleluasaan hidup dan menjauhkannya dari
yang menyulitkan sebagaimana yang tampak jelas dalam kajian DR. Shalih
bin Abdullah bin Humaid dalam kitabnya Raf'ul al Haraj fi Syariah
al-Islamiyah.
Dalam cakupan beragama dikenal juga satu bentuk pengamalan agama melalui
cara-cara taSawuf. Dalam terminologi mereka syariat sering dihadapkan
dengan hakikat. Suatu penghadapan yang tidak selamanya diterima oleh
ulama taSawuf generasi awal seperti al-Hujwiri, syariat tidak mungkin
bisa dipertahankan tanpa adanya hakikat dan hakikat tidak mungkin
dipertahankan tanpa adanya pelaksanaan syariat. Hubungan timbal balik
keduanya bisa dibandingkan dengan hubungan badan dan ruh, bila ruh
meninggalkan badan maka badan menjadi mayat. Tetapi ruh akan lenyap
seperti angin tanpa badan karena keduanya bergantung pada kerja sama
keduanya satu sama lain. Demikian pula hukum tanpa kebenaran adalah
riya' dan kebenaran tanpa hukum adalah kemunafikan (nifaq).
Adapun Imam al-Qusyairi menyebutkan bahwa syariat adalah disiplin
ubudiyah sedangkan hakikat adalah musyahadah Ilahiyah. Setiap syariat
yang tidak dikukuhkan dengan hakikat tidak bisa diterima. Sebaliknya
hakikat yang tidak dilandaskan pada syariat tidak akan sukses. Perlu
diketahui syariat itu sendiri adalah hakikat bila dilihat bahwa syariat
merupakan keharusan melalui perintah-Nya. Begitupun hakikat adalah
syariat dari segi bahwa makrifat kepada-Nya terjadi karena perintah-Nya.
Untuk itulah beliau menukil ungkapan sufi besar seperti Abu Yazid
al-Bisthomi yang mengatakan bila Anda melihat seseorang mengaku diberi
karamah, dapat terbang di udara (misalnya) Anda sekalian jangan mudah
tertipu sampai Anda melihat benar bagaimana orang tersebut melaksanakan
perintah, menjauhi larangan, menjaga hukum-hukum serta menunaikan
syariat.
C. MAKNA SYARIAT DALAM PENDEKATAN SOSIAL
Kehidupan sosial umat manusia di manapun mereka berada pastilah merujuk
pada tatanan, untuk mengharmoniskan kehidupan itu dan untuk menjaganya
agar tidak lepas kendali sehingga hubungan sosial tidak menjadi kontra
produktif tetapi semakin memunculkan makna kebahagiaan dan kemakmuran.
Demikian jugalah yang terjadi pada umat Islam. Mereka akan merujuk pada
atau dihubungkan oleh tatanan syariat dalam pola hubungan sosial mereka,
baik dengan sesama muslim maupun dengan nonmuslim untuk merealisasikan
kemashlahatan bersama. Begitulah yang dilakukan oleh Rasulullah pada
awal kedatangan beliau di Madinah ketika beliau mempersaudarakan
Muhajirin dengan Anshar dan ketika merealisasikan Piagam Madinah.
Demikian itu jugalah makna syariat dalam konteks sosial. Para ulama
fikih dan ushul fikih dimulai oleh Imam asy-Syafi'i dan kemudian juga
tampil dalam kajian-kajian fikih kontemporer, telah memunculkan berbagai
kaidah yang mereka kongklusikan dari dalil-dalil Al-Qur`an, Sunnah,
ijma' dan qiyas. Kaidah-kaidah yang sangat menerangkan makna syariat
dalam konteks sosial misalnya:
1. Kaidah tentang lima prinsip, yaitu prinsip keharusan menjaga agama,
akal, jiwa, keturunandan harta.
2. Kaidah hukum taklifi itu bukan dua saja halal dan haram, melainkan
ada juga yang sunah, makruh bahkan ada yang mubah
3. Anjuran untuk terus dapat berijtihad dan mentajdid
4. Prinsip tentang kesesuaian syariat dengan realitas, juga bahwa
syariat itu berdiri atas bangunan kemudahan dan mementingkan pentahapan
5. Kaidah tentang urf (adat) sebagai rujukan syariat.
6. Kaidah tentang amal dan atau perbuatan penduduk Madinah, seperti
dipergunakan oleh Imam Malik.
7. Kaidah tentang mempertimbangkan kedaruratan dan mementingkan
kemashlahatan
8. Kaidah tentang syura (bermusyawarah)
9. Kaidah tentang amr ma'ruf nahyi munkar
10. Kaidah tentang tolong menolong dalam kebajikan dan takwadan bukan
dalam dosa dan melanggar hukum
11. Kaidah tentang fikih dakwah
12. Kaidah tentang fikih muamalah (hubungan sosial)
13. Kaidah tentang rabbaniyah dan syumuliyah syariat Islamiah
14. Kaidah tentang menegakkan keadilan dan egalitarianisme dihadapan
hukum.
Dengan pendekatan sosial ini, syariat dapat semakin membuktikan makna
bahwa keberadaannya adalah sebagai rahmat bagi kehidupan (al-Anbiya:
107), bahwa syariat itu bahkan dapat "membuat hidup jadi lebih hidup"
(al-Anfal: 24, al-Baqarah: 179), bahwa syariat adalah bukan makhluk
asing di tengah kehidupan manusia, tetapi merupakan bagian tidak
terpisahkan dari kemanusiaan untuk kemajuan dan kemashlahatan mereka
(al-Jum'ah: 2), bahkan ia sangat peduli dan bersimpati dengan
kemanusiaan (at-Taubah: 128), sehingga karena demikian positifnya
syariat bagi kehidupan sosial masyarakat manusia, logis saja bila
kemudian Allah "Zat yang Maha Rahman dan Rahim itu", meminta ketaatan
umat manusia untuk melaksanakan syariat-Nya (al-Ahzab: 36) bukan dalam
konteks pemaksaan apalagi teror, sebab memang telah nyata perbedaan
antara yang baik dan benar dengan yang salah, buruk dan tidak bermanfaat
(al-Baqarah: 256).
Dengan pendekatan ini, syariat akan merealisasikan bukan saja kesalehan
verbal, formal, atau individual melainkan akan memunculkan kesalehan
esensial, eksistensialdan sosial sekaligus. Bahkan kepedulian realisasi
tentang masalah sosial oleh Rasulullah Saw dijadikan sebagai tolok ukur
adanya kesalehan individual.
Dan dengan pendekatan normatif aplikatif seperti di atas, kita mempunyai
pedoman dasar, bahwa syariat memang sangat berhubungan dengan faktor
sosial budaya, ia berhubungan dengannya dengan sangat erat, bahkan ia
pro-aktif berinteraksi dengan budaya manusia, bahkan ia pun menciptakan
kebudayaan baru di atas bingkai dan landasan syariat. Sehingga dahulu
para ulama memunculkan suatu ungkapan yang sangat berarti: "Bila di situ
ada kemaslahatan, maka di situ pulalah letak syariat."
D. PENERAPAN SYARIAT DALAM BIDANG PENDIDIKKAN
Islam dengan syariatnya, adalah satu-satunya agama yang memulai ungkapan
ajarannya dengan perintah untuk membaca (iqra'). Bukan sekadar membaca,
bahkan ia adalah membaca yang dilandasi oleh ideologi dan etos "dengan
nama Rabbmu" (bismirabbika).
Syariat yang sarat dengan prinsip pendidikan Islam ini kemudian
dipertegas oleh berbagai firman Allah lainnya yang menegaskan bahwa
tugas utama kerasulandan karenanya salah satu inti dasar dari syariat
Islam yang harus diterapkan adalah masalah pendidikan. Allah berfirman:
"Allahlah yang mengutus kepada mereka, seorang Rasul yang dating dari
keluarga mereka sendiri, Rasul ini membacakan ayat-ayat Rabb mereka,
mensucikan mereka, serta mengajarkan kepada mereka ajaran al-Kitab
(Al-Qur`an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah). (al-Jum'ah :2)"
Dan begitu banyak ayat dan hadits lain yang menetapkan pentingnya
syariat diterapkan dalam pendidikan.
Syariat Islam yang berkaitan dengan masalah pendidikan ini, kemudian
secara atraktif direalissasikan oleh Rasulullah Saw dalam berbagai
peristiwa, seperti ketika beliau menjadikan tebusan Perang Badar melalui
pengajaran pemberantasan buta huruf, beliau pun mengizinkan Zaid bin
Tsabit r.a. untuk mempelajari bahasa Ibrani dan Suryani, beliau pun
mengizinkan Yusuf bin Kabdah ats-Tsaqafi mempelajari ilmu kedokteran di
Persia. Selain itu tentu saja aktivitas langsung beliau mengajari para
sahabat laki-laki maupun wanita, baik di masjid, di rumah, di kebun,
maupun di tempat-tempat umum lainnya.
Paradigma ini kemudian memunculkan lompatan budaya yang luar biasa,
dengan munculnya suatu generasi yang sangat terpelajar tetapi sangat
religius, mereka melaksanakan syariat Islam sambil memiliki credo
rahmatan lil alamin.
Etos penerapan syariat dalam bidang pendidikan ini sungguh sangat
manusiawi. Ia terus berlangsung dalam berbagai inovasi, sejak zaman
sahabat, tabi'in, hingga ke masa-masa keemasan budaya dan intelektual
Islam, dalam berbagai bidang dan aktifitas kependidikan. Dan itu terus
berlangsung hingga saat ini.
Dari perjalanan sejarah interaksi umat dengan penerapan syariat dalam
bidang pendidikan, didapatkan beberapa hal yang merupakan kaidah-kaidah
penerapan syariat Islam dalam bidang pendidikan ke depan, antara lain:
1. Adanya kaidah-kaidah tentang islamisasi ilmu pengetahuan. Kaidah itu
kini semakin ditekuni untuk diwujudkan dalam bentuk aktifitas pendidikan
yang syar'i.
2. Adanya interaksi dengan berbagai budaya pendidikan yang asalnya tidak
muncul dari dunia Islam.
3. Adanya buku dan lembaga-lembaga pendidikkan Islam yang sangat beragam
yang telah sangat berpengalaman dalam penerapan syariat Islam dalam
bidang pendidikan.
Hal-hal semacam itulah yang diharapkan akan memudahkan menanggulangi
hambatan-hambatan penerapan syariat dalam bidang pendidikan seperti
faktor sekularismedan lain-lain.
Adanya pendidikan yang berlandaskan syariat baik dalam bentuk teori,
buku kurikulum, apalagi lembaga pendidikan yang berlandaskan syariat,
tentulah sangat diperlukan sebagai sarana mempersiapkan kader-kader yang
akan melanjutkan kehidupan di bawah naungan syariat. Sebab kaidah baku
yang telah disepakati para ulama, tetaplah berbunyi: "Sesuatu yang hanya
dengan itulah maka kewajiban dapat direalisasikan, maka sesuatu itu pun
berkategori hukum wajib."
PENUTUP
Islam adalah sekaligus syariat yang dalam dirinya terkandung kepedulian
sangat tinggi dengan masalah sosial budaya dan pendidikan. Keharusan
melaksanakan Islam secara kaffah, niscaya menjadi pijakanyang sangat
kokoh akan keharusan keberadaan syariat pada lapangan sosial budaya dan
pendidikan. Lebih dari itu sejarah umat yang telah terukir berabad-abad
lamanya, baik pada skala lokal, nasional maupun global, ternyata juga
membuktikan bahwa syariat Islam itu memang rahmatan lil alamindan
karenanya pastilah ia dapat dan perlu terwujud pada tataran sosial
budaya dan pendidikan.
Post a Comment