AL-QURAN DAN AS-SUNNAH RUJUKAN MUSLIM
AL-QURAN DAN AS-SUNNAH RUJUKAN MUSLIM
Mukadimah
Seorang muslim yang telah meyakini kebenaran Islam, ia
harus mengembalikan seluruh dimensi kehidupannya dalam rengkuhan nilai-nilainya
yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Keduanya harus dijadikan referensi
utama dalam cara berfikir, cara mengambil keputusan dan cara bertindak. Karena
Al-Quran dan As-Sunnah inilah merupakan sumber petunjuk yang mampu membimbing
manusia muslim ke jalan yang benar.
“Kami tidak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu
menjadi susah.” (QS 20:2)
“Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada
(jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min
yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS 17:9)
“Tidaklah beriman seseorang di antara kalian sehingga
hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (Lihat Arba’in Nawawi)
“Bagi setiap amal itu ada masa semangat (puncaknya, dan
bagi setiap masa semangat itu ada masa lemah (malas). Barang siapa yang tetap
mengikuti sunnahku di masa lemahnya, sungguh ia akan memperoleh petunjuk. Dan
barang siapa yang mengikuti selain sunnahku pada masa lemahnya niscaya ia akan
binasa.” (HR Ibnu Hibban dan Ahmad)
Dan apabila ada manusia muslim yang berpegang teguh pada konsep-konsep
selain Al-Quran dan As-Sunnah dalam menata kehidupannya, niscaya ia akan
menyimpang dari jalan yang sebenarnya. Ia akan sesat, terombang ambing dalam
dunia maya yang tidak menentu dan akhirnya terjebak dalam jaring hawa nafsu
yang menyesatkan.
“Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan
membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” (QS 2:15)
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku(Al-Quran),
maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya
pada hari kiamat dalam keadaan buta".(QS 20:124)
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu
khalifah (penguasa) di muka bumi,
maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan haq (kebenaran
dan adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu
dari jalan Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.” (QS 38:26)
Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna
berkata: “Al-Quran dan As-Sunnah merupakan referensi utama bagi setiap
muslim dalam mengenal (memahami) hokum-hukum Islam.”
KORELASI ANTARA PRINSIP PERTAMA
DAN KEDUA
Prinsip ini sangat kuat berkaitan
dengan prinsip sebelumnya yaitu tentang syumuliatul Islam (universalitas dan
integralitas Islam) dalam setiap dimensi kehidupan. Dan prinsip ke dua ini,
menegaskan al-mashdar (sumber) yang di mana darinya kita menggali seluruh hokum
yang mengatur setiap dimensi kehidupan Islam tersebut.
Dan hanya kepada kedua sumber
ini, seluruh ummat Islam harus kembali. Mereka harus mampu mengaplikasikan
nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan yang ada dalam dua sumber ini
dalam kisi-kisi kehidupannya.
Dan Al-Quran harus dipahami
sesuai dengan kaidah-kaidah Bahasa Arab tanpa dengan takalluf (susah
payah/memberatkan) dan ta’assuf (serampangan/ seporadis). Dan dalam memahami
As-Sunnah Al-Muthoharah harus
dikembalikan kepada Rijalul hadits (Ahli/pakar hadits) yang terpercaya.”
DALIL-DALIL TENTANG PRINSIP INI
Adapun dalil-dalil yang menegaskan
bahwa setiap muslim harus kembali kepada dua sumber hokum yaitu, Al-Quran dan
Al-Hadits sangatlah banyak. Di antaranya adalah;
“Hai orang-orang yang beriman,
ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”(QS 4:59)
“…Dan Kami turunkan kepadamu
Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat
dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”(QS 16:89)
“…Dan apa yang dibawaRasul kepadamu,
maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS 59:7)
Dan di antara hadits-hadits
Rasulullah saw yang berkaitan dengan ini adalah;
“Bagaimana kamu (Mu’adz bin
Jabal) menghukumi apabila datang kepadamu masalah hokum?, Ia berkata: “Aku akan
menghukumi dengan Kitab Allah.” Beliau bertanya lagi: “Maka apabila kamu tidak
menemukannya dalam Kitab Allah?”, Ia menjawab: “Maka (Aku menghukumi) dengan
Sunnah Rasulullah.” Beliau bertanya kembali: “Maka apabila kamu tidak menemukannya
dalam sunnah Rasulullah saw dan Kitabullah?” Ia berkata: “Aku akan berijtihad
sesuai dengan pendapatku dan aku tidak akan menyimpang.” Kemudian Rasulullah
saw meletakkan tangan ke dadnya seraya bersabda: “Segala puji bagi Allah yang
telah memberikan taufik kepada utusan Utusannya Allah terhadap sesuatu yang
diridloi Rasulullah.”
“Siapa di antara kalian yang
masih hidup sesudahku maka dia pasti akan melihat perbedaan yang dahsiat. Oleh
karena kalian harus mengikuti Sunnahku dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin. Gigitlah
sunnah itu dengan gigi taringmu.” (HR Abu Dawud)
Imam Al-Auzai berkata:
“Bersabarlah mengikuti Sunnah, berhentilah di mana kaum Slaf berhenti,
katakanlah apa yang mereka katakana, jauhilah apa yang mereka jauhi, ikutilah
jaln para pendahulumu yang saleh, karena apa yang cukup bagi mereka akan cukup
bagimu.”
Imam Sufyan berkata: “Tidak
diterima suatu perkataan kecuali disertai amal, dan tidaklah lurus perkataan dan amal kecuali dengan niat
dan tidak lurus perkataan, amal dan niat kecuali bila sesuai dengan sunnah.”
Di dalam penentuan dan penggalian
hokum-hukum Islam, selalu mengacu kepada dalil-dalil syar’iah baik yang
disepakati maupun yang diperselisihkan. Dan di dalam prinsip ini, Imam Syahid
hanya menyebutkan dua sumber dari dalil-dalil qot’iah lainnya dikarenakan
beberapa sebab berikut ini;
Kedua, Sesungguhnya dalil-dalil
yang lain, Al-Quran dan As-Sunnahlah yang mengisyaratkan kepadanya. Oleh karena
itu merasa cukup dengan keduanya adalah merasa cukup dengan asal tanpa
mengingkari dalil-dalil yang lain bagi yang menggunakannya.
Imam Asy-Syathibi berkata:
“Sesungguhnya dalil-dalil itu ada dua macam yaitu naqliah dan aqliah. Dan
ketika melakukan analisa lebih jauh lagi kita sampai sebuah konklusi bahwa
dalil-dalil syar’iah hanya terangkum dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Karena
dalil-dalil yang tetap itu tidak mungkin tertumpu pada akal. Akan tetapi hanya
bersandar pada Al-Kitab dan As-Sunnah. …Keduanya merupakan sumber utama dan
tempat bersandarnya hokum-hukum yang ada…” (Al-Muwafaqat, Asy-Syatibi 23/42)
Methodologi Memahami Al-Quran
Untuk memahami Al-Quran, seorang muslim harus kembali
kepada kaidah-kaidah Bahasa Arab dengan tanpa takalluf (menyulitkan/bicara
tentang hal yang tidak berfaedah) dan ta’ssuf (berjalan tanpa ilmu pengetahuan
dan petunjuk/ sporadis ). Tentunya setelah tidak ditemukan penafsiran Al-Quran
dengan Al-Quran, atau dengan Al-Sunnah, atau perkataan para sahabat dan atau
ucapan para tabi’in. Karena Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab sebagaimana
yang dijelaskan oleh beberapa firman Allah berikut ini;
“Sesungguhnya Kami
menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”
(QS 12:2)
“Dan sesungguhnya
Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta
alam,
dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam
hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan,
dengan bahasa Arab yang jelas”.(QS 26:192-195)
Oleh karena itu, Islam mengingatkan umatnya untuk tidak
memahami Al-Quran hanya bersandarkan kepada akal atau pendapatnya sendiri.
Rasulullah saw bersabda: “Barang siap yang bicara tentang Al-Quran dengan
pendapatnya sendiri atau dengan sesuatu yang tidak diketahui, maka hendaklah ia
mempersiapkan tempat duduknya (kembalinya) dari api neraka.” (HR
At-tirmidzi, An-Nasa-I, Abu Dawud)
“Barang siap yang bicara tentang Al-Quran dengan
pendapatnya sendiri, maka ia akan salah.” (HR Abu Imran)
“Barang siapa bicara tentang Kitabullah dengan pendapatnya
sendiri maka (apabila pendapatnya) benar, maka ia tetap salah.” (HR Abu
Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nisa-I)
Post a Comment