Solusi


Solusi 

Ada pepatah yang mengatakan bahwa "Barangsiapa yang menyelesaikan suatu urusan, maka dia yang akan mengaturnya". Setelah direnungkan, ternyata benar adanya walaupun tak seratus persen kebenarannya.

Tahun 1945, diakhir Perang Dunia ke-2 Jepang di bom atom oleh Sekutu, setelah sebelumnya hampir tige setengah tahun menjajah negeri kita, dan di tahun yang sama negara kita menyatakan diri sebagai negara merdeka. Kini, telah 56 tahun berlalu, kita saksikan para remaja kita sudah biasa mengendarai mobil dan wara-wiri menggenggam handphone. Bedanya, bangsa kita baru dalam tahap memakai sedangkan orang Jepang sudah menjadi ahli dalam membuat handphone atau mobil serta menguasai dunia dengan produk-produknya. Sungguh mengherankan. Waktunya sama, dan bahkan sumber daya alam kita jauh lebih melimpah. Semua ini patut kita renungkan dalam-dalam, terutama kita sebagai umat Islam yang merupakan mayoritas di negeri ini.

Mungkin kita dengan mudah dan ringan akan mengatakan, apalah artinya semua itu jikalau mereka kafirin, mereka itu hina, calon ahli neraka. Itu kata-kata standar yang sering kita lontarkan untuk menunjukkan keutamaan kita selaku umat Islam. Namun, apakah tindakan tersebut menyelesaikan masalah? Seorang Psikolog menyatakan bahwa kebiasaan mencela dan menghina orang lain adalah salah satu pencerminan dari rasa minder karena tak sanggup menandingi sehingga kompensasinya adalah mencaci.

Lebih dari itu, ternyata mau tidak mau kita harus menggunakan banyak produk kaum yang kita hina, bahkan aktifis kekhalifahan, dakwah, dan sebagian kegiatan ibadah kita nyaris kurang efektif tanpa didukung sarana buatan mereka. Dana kita tersedot tanpa berdaya untuk mencegahnya karena memang kita membutuhkannya. Mereka banyak mengatur kehidupan duniawi kita karena mereka terus menemukan solusi untuk kebutuhan hidup di zaman peradaban kini, mulai dari peringkat sandang, papan, teknologi transportasi, keamanan, dan berbagai macam lainnya yang tidak bisa dipungkiri mamfaatnya.

Jikalau kita melihat posisi umat dalam mengatur negeri ini teramat kurang, maka pertanyaan yang harus kita tanyakan pada diri kita sendiri adalah solusi apa yang bisa jelas-jelas kita berikan dan terbukti dirasakan mamfaatnya oleh masyarakat. Selain menjanjikan keselamatan akhirat untuk yang beriman dan beramal shalih, selain dongkol, marah, melecehkan, mencaci mereka yang kita anggap tidak Islami, jangan-jangan energi, pikiran, dan waktu produktif kita terbuang habis oleh kebiasaan mencaci dan mengumbar kebencian. Dan semua itu bersifat reaktif tanpa strategi yang jitu.

Kita benci dengan acara TV, lagu-lagu, film, sinetron, iklan, dan lain-lain yang berbau maksiat. Namun, solusi riil yang kita lakukan yang membuat umat terutama saudara kita yang awam terpuaskan dahaga hiburannya dengan nilai yang mulia. Selain berdakwah kepada mereka, pernahkah kita berupaya membuat film, sinetron, atau lagu bermutu, lalu membuat sarananya berupa radio, TV, atau PH (Production House, red) yang dikelola secara profesional yang sanggup bertarung dalam kompetisi nyata. Atau minimal, pernahkah kita mendukung orang atau organisai yang berupaya memberi solusi denganm dukungan moral atau material.

Kita sangat tidak suka dengan adanya kemaksiatan, diskotik, panti pijat yang penuh kemaksiatan, perjudian, atau aneka jenis bentuk kemaksiatan lainnya yang ada disekitar kita. Akan tetapi, pernahkah kita berupaya mendakwahi mereka secara bijak, sistematis, dan sungguh-sungguh untuk membatu mereka menemukan arti hidup, menyadarkannya, lalu berupaya mencarikan alternatif lapangan pekerjaan, atau lahan untuk mencari nafkah yang halal atau baru? Bukan malah menganggap mereka sebagai sampah masyarakat yang harus diberantas dan dihancurkan.

Bisa saja kita mengatakan, urusan lapangan kerja adalah urusan pemerintah, bukan urusan kita, justru bisa jadi, alasan itulah yang bisa membuat kita tak melangkah jauh untuk mencari solusi. Bisa jadi, bahasan di atas terlalu besar untuk ukuran kita. Marilah kita lihat solusi yang bisa kita berikan terhadap lingkungan terdekat kita. Jika kita di dalam keluarga, jadilah solusi jangan jadi benalu. Kita harus terlatih menjadi bagian dari penyelesai masalah, bukan penambah masalah.

Begitu pun dengan masyarakat sekitar, dengan rajinnya para remaja masjid membersihkan lingkungannya, menjaga keamanan, menjadi tim pemadam kebakaran, membuat lahan wirausaha yang nyata, bersikap sopan santun yang menyenangkan, rajin, serta aktifnya dalam hiburan dan olahraga dengan memberi suri tauladan akhlak serta nilai-nilai Islami, penggalangan dana dengan profesional dan pemberian modal bergulir, terlibat dengan pembangunan rumah tetangga yang fakir dan tindakan realistis lainnya yang menjadi solusi. Insya Allah remaja masjid tersebut akan disegani, dihormati, dan diakui keberadaannya. Kalau sudah seperti ini, Insya Allah pendapat, saran, dan dakwahnya akan sangat didengar sehingga bisa menentukan kebijakan di lingkungannya.

Tampaknya, jikalau umat Islam berpikir sangat keras dan mengerahkan segala daya upaya untuk menjadi solusi nyata dalam level manapun yang sesuai dengan kesanggupan maksimalnya masing-masing, akan jauh lebih dirasakan kehebatan Islam, kesuksesan Islam, dan akan menumbuhkan keyakinan bahwa Islam memang solusi. Solusi yang memang selalu dicari dan dirindukan.

Begitupun seluruh rakyat dan negara ini akan sangat merindukan Islam apabila memang kita bisa memberikan solusi yang bisa dibuktikan dan dirasakan mamfaatnya secara nyata. Tentu saja akhirnya akan bisa menimbulkan kepercayaan terhadap kebenaran Islam dan mengikuti serta membelanya. Sebagaimana Allah berfirman, "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS. Al A'raf : 96).

Saudara-saudaraku, marilah kita hemat energi kita dari tindakan apapun yang akan menguras kemampuan kita. Sehebat apapun janji yang kita ucapkan, tetap saja, masyarakat menanti bukti bahwa Islam benar-benar solusi bagi bangsa kita ini.

Ada baiknya kita melirik diri kita kembali, apakah diri kita ini bagian dari penyelesai masalah, atau diri kitalah yang bermasalah, atau justru diri kitalah penambah masalah?***


Tidak ada komentar