ZAKAT PROFESI


ZAKAT PROFESI

Dr. Yusuf Qardhawi

PENDAHULUAN
PANDANGAN FIKIH TENTANG PENGHASILAN DAN PROFESI
  Pendapat Mutakhir
  Gaji dan Upah adalah Harta Pendapatan
  Mencari Pendapat yang Lebih Kuat tentang Zakat Profesi
  Kelemahan Hadis-hadis tentang Ketentuan Setahun
    Hadis dari Ali
    Hadis dari Ibnu Umar
    Hadis dari Anas
    Hadis dari Aisyah
    Hadis-hadis Tentang "Harta Penghasilan"
    Ketidak-sepakatan para Sahabat dan Tabi'in dan Sesudahnya 
      tentang Harta Benda Hasil Usaha
  Harta Penghasilan Menurut para Sahabat dan Tabi'in
    1. Ibnu Abbas
    2. Ibnu Mas'ud
    3. Mu'awiyah
    4. Umar bin Abdul Aziz
  Para Ulama Fikih Lain dan Kalangan Tabi'in dan Lainnya
  Perbedaan Mazhab Empat dalam Masalah Harta Penghasilan
  Memilih Pendapat yang Lebih Kuat tentang Pengeluaran Zakat 
  Pendapat Masa Kini
NISAB MATA PENGHASILAN DAN PROFESI
  Tinggal Satu Persoalan lagi
  Bagaimana Cara Pengeluaran Zakat Harta Penghasilan?
  Pengeluaran Zakat Pendapatan dan Gaji Bersih
  Perhatian
BESAR ZAKAT PENGHASILAN DAN SEJENISNYA

Barangkali bentuk  penghasilan  yang  paling  menyolok  pada
zaman  sekarang ini adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan
dan profesinya.
 
Pekerjaan yang menghasilkan  uang  ada  dua  macam.  Pertama
adalah  pekerjaan  yang  dikerjakan sendiri tanpa tergantung
kepada orang lain, berkat  kecekatan  tangan  ataupun  otak.
Penghasilan   yang   diperoleh  dengan  cara  ini  merupakan
penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang doktor,
insinyur,   advokat   seniman,  penjahit,  tukang  kayu  dan
lain-lainnya.
 
Yang kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang  buat
pihak  lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan
dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak,
ataupun  kedua-  duanya.  Penghasilan dari pekerjaan seperti
itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium.
 
Wajibkah kedua macam penghasilan  yang  berkembang  sekarang
itu   dikeluarkan   zakatnya   ataukah  tidak?  Bila  wajib,
berapakah nisabnya, besar zakatnya, dan  bagaimana  tinjauan
fikih Islam tentang masalah itu?
 
Pertanyaan-pertanyaan   tersebut   perlu  sekali  memperoleh
jawaban pada masa sekarang, supaya setiap  orang  mengetahui
kewajiban   dan  haknya.  Bentuk-bentuk  penghasilan  dengan
bentuknya yang modern, volumenya yang besar,  dan  sumbernya
yang  luas  itu,  merupakan  sesuatu yang belum dikenal oleh
para ulama fikih pada masa silam. Kita  menguraikan  jawaban
pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam tiga pokok fasal:
 
1. Pandangan fikih tentang penghasilan dan profesi, serta
   pendapat para ulama fikih pada zaman dulu dan sekarang
   tentang hukumnya, serta penjelasan tentang pendapat yang
   kuat.
2. Nisab, besarnya, dan cara menetapkannya.
3. Besar zakatnya.
 
 
PANDANGAN FIKIH TENTANG PENGHASILAN DAN PROFESI
 
PENDAPAT MUTAKHIR
 
Guru-guru seperti Abdur Rahman Hasan,  Muhammad  Abu  Zahrah
dan  Abdul  Wahab  Khalaf  telah  mengemukakan persoalan ini
dalam ceramahnya tentang zakat di Damaskus pada tahun  1952.
Ceramah  mereka  tersebut  sampai pada suatu kesimpulan yang
teksnya sebagai berikut:
 
"Penghasilan dan profesi dapat diambil zakatnya  bila  sudah
setahun  dan  cukup  senisab.  Jika  kita  berpegang  kepada
pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan  Muhammad  bahwa  nisab
tidak  perlu  harus  tercapai  sepanjang  tahun,  tapi cukup
tercapai penuh  antara  dua  ujung  tahun  tanpa  kurang  di
tengah-tengah   kita   dapat   menyimpulkan   bahwa   dengan
penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas
hasil  penghasilan  setiap  tahun,  karena  hasil itu jarang
terhenti sepanjang tahun bahkan  kebanyakan  mencapai  kedua
sisi  ujung  tahun  tersebut.  Berdasar  hal itu, kita dapat
menetapkan hasil penghasilan sebagai  sumber  zakat,  karena
terdapatnya illat (penyebab), yang menurut ulama-ulama fikih
sah, dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat."
 
"Dan karena Islam mempunyai ukuran bagi  seseorang - untuk
bisa  dianggap  kaya - yaitu 12 Junaih emas menurut ukuran
Junaih Mesir lama maka ukuran itu harus terpenuhi pula  buat
seseorang  untuk  terkena  kewajiban  zakat,  sehingga jelas
perbedaan antara orang  kaya  yang  wajib  zakat  dan  orang
miskin penerima zakat.
 
Dalam hal ini, mazhab Hanafi lebih jelas, yaitu bahwa jumlah
senisab itu cukup terdapat pada awal dan  akhir  tahun  saja
tanpa  harus  terdapat  di  pertengahan tahun. Ketentuan itu
harus  diperhatikan  dalam  mewajibkan  zakat   atas   hasil
penghasilan  dan  profesi ini, supaya dapat jelas siapa yang
tergolong kaya dan  siapa  yang  tergolong  miskin,  seorang
pekerja profesi jarang tidak memenuhi ketentuan tersebut."
 
Mengenai  besar  zakat,  mereka mengatakan, "Penghasilan dan
profesi, kita tidak menemukan contohnya dalam fikih,  selain
masalah khusus mengenai penyewaan yang dibicarakan Ahmad. Ia
dilaporkan berpendapat  tentang  seseorang  yang  menyewakan
rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa
orang   tersebut   wajib   mengeluarkan   zakatnya    ketika
menerimanya   tanpa   persyaratan   setahun.  Hal  itu  pada
hakikatnya   menyerupai   mata   penghasilan,   dan    wajib
dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab."
 
Hal  itu  sesuai  dengan  apa yang telah kita tegaskan lebih
dahulu, bahwa jarang seseorang pekerja  yang  penghasilannya
tidak  mencapai  nisab  seperti  yang  telah  kita tetapkan,
meskipun tidak cukup di pertengahan tahun tetapi cukup  pada
akhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab
yang telah berumur setahun.
 
GAJI DAN UPAH ADALAH HARTA PENDAPATAN
 
Akibat dari tafsiran itu, kecuali yang menentang, - adalah
bahwa zakat wajib dipungut dari gaji atau semacamnya sebulan
dari dua belas bulan. Karena ketentuan  wajib  zakat  adalah
cukup nisab penuh pada awal tahun atau akhir tahun.
 
Yang  menarik  adalah pendapat guru-guru besar tentang hasil
penghasilan  dan  profesi  dan  pendapatan  dari  gaji  atau
lain-lainnya   di   atas,   bahwa   mereka  tidak  menemukan
persamaannya dalam fikih selain apa yang dilaporkan  tentang
pendapat   Ahmad   tentang   sewa   rumah   diatas.   Tetapi
sesungguhnya persamaan itu  ada  yang  perlu  disebutkan  di
sini, yaitu bahwa kekayaan tersebut dapat digolongkan kepada
kekayaan  penghasilan,  "yaitu   kekayaan   yang   diperoleh
seseorang  Muslim  melalui  bentuk  usaha  baru  yang sesuai
dengan syariat agama. Jadi pandangan  fikih  tentang  bentuk
penghasilan itu adalah, bahwa ia adalah "harta penghasilan."
 
Sekelompok   sahabat   berpendapat   bahwa  kewajiban  zakat
kekayaan  tersebut  langsung,  tanpa  menunggu  batas  waktu
setahun.  Diantara  mereka  adalah  Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud,
Mu'awiyah, Shadiq, Baqir,  Nashir,  Daud,  dan  diriwayatkan
juga Umar bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri, serta Auza'i.
 
Pendapat-pendapat dan sanggahan-sanggahan terhadap pendapat-
pendapat itu telah pernah ditulis dalam buku-buku yang sudah
berada  di  kalangan para peneliti, misalnya al-Muhalla oleh
Ibnu Hazm, jilid 4: 83 dan seterusnya  al-Mughni  oleh  Ibnu
Qudamah  jilid  2: 6 Nail-Authar jilid 4: 148 Rudz an-Nadzir
jilid 2; 41 dan Subul as-Salam jilid 2: 129.
 
MENCARI PENDAPAT YANG LEBIH KUAT TENTANG ZAKAT PROFESI
 
Yang mendesak, mengingat zaman  sekarang,  adalah  menemukan
hukum  pasti  "harta  penghasilan" itu, oleh karena terdapat
hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu  bahwa  hasil
penghasilan,   profesi,   dan   kekayaan   non-dagang  dapat
digolongkan  kepada  "harta  penghasilan"   tersebut.   Bila
kekayaan   dari   satu   kekayaan,  yang  sudah  dikeluarkan
zakatnya, yang di dalamnya terdapat "harta penghasilan" itu,
mengalami   perkembangan,   misalnya  laba  perdagangan  dan
produksi binatang ternak maka perhitungan tahunnya disamakan
dengan  perhitungan  tahun induknya. Hal itu karena hubungan
keuntungan dengan induknya itu sangat erat.
 
Berdasarkan hal itu,  bila  seseorang  sudah  memiliki  satu
nisab binatang ternak atau harta perdagangan, maka dasar dan
labanya bersama-sama dikeluarkan zakatnya pada akhir  tahun.
Ini jelas. Berbeda dengan hal itu, "harta penghasilan" dalam
bentuk uang dari  kekayaan  wajib  zakat  yang  belum  cukup
masanya  setahun,  misalnya  seseorang  yang  menjual  hasil
tanamannya yang sudah dikeluarkan zakatnya 1/10  atau  1/20,
begitu  juga  seseorang  menjual  produksi ternak yang sudah
dikeluarkan zakatnya, maka  uang  yang  didapat  dari  harga
barang  tersebut  tidak dikeluarkan zakatnya waktu itu juga.
Hal itu untuk menghindari adanya  zakat  ganda,  yang  dalam
perpajakan dinamakan "Tumpang Tindih Pajak."
 
Yang   kita   bicarakan   disini,   adalah   tentang  "harta
penghasilan," yang  berkembang  bukan  dari  kekayaan  lain,
tetapi  karena penyebab bebas, seperti upah kerja, investasi
modal, pemberian, atau semacamnya, baik dari sejenis  dengan
kekayaan lain yang ada padanya atau tidak.
 
Berlaku  jugakah ketentuan setahun penuh bagi zakat kekayaan
hasil kerja ini? Ataukah digabungkan dengan  zakat  hartanya
yang  sejenis dan ketentuan waktunya mengikuti waktu setahun
harta lainnya yang sejenis itu? Atau wajib  zakat  terhitung
saat   harta   tersebut   diperoleh   dan   susah  terpenuhi
syarat-syarat zakat  yang  berlaku  seperti  cukup  senisab,
bersih  dari  hutang,  dan  lebih  dari  kebutuhan-kebutuhan
pokok?
 
Yang jelas ketiga pendapat tersebut diatas  adalah  pendapat
ulama- ulama fikih meskipun yang terkenal banyak di kalangan
para ulama fikih itu adalah  bahwa  masa  setahun  merupakan
syarat  mutlak  setiap  harta benda wajib zakat, harta benda
perolehan maupun  bukan.  Hal  itu  berdasarkan  hadis-hadis
mengenai ketentuan masa setahun tersebut dan penilaian bahwa
hadis-hadis tersebut berlaku bagi  semua  kekayaan  termasuk
harta hasil usaha.
 
Di  bawah  ini  dijelaskan  tingkatan  kebenaran hadis-hadis
tentang ketentuan setahun tersebut dan sejauh mana para imam
hadis membenarkannya.
 
 
 
KELEMAHAN HADIS-HADIS TENTANG KETENTUAN SETAHUN
 
Ketentuan setahun  itu  ditetapkan  berdasarkan  hadis-hadis
dari  empat  sahabat,  yaitu Ali, Ibnu Umar, Anas dan Aisyah
r.a. Tetapi hadis-hadis  itu  lemah,  tidak  bisa  dijadikan
landasan hukum.
 
HADIS DARI ALI
 
Hadis dari Ali diriwayatkan oleh Abu Daud
tentang Zakat Ternak.
 
"Kami diberitahu oleh Sulaiman bin Daud al-Mahri, oleh  Ibnu
Wahab,  oleh  Jarir bin Hazim, yang lain mengatakan dari Abu
Ishaq, dari Ashim bin Dzamra  dan  Haris  'A'war,  dari  Ali
r.a.,  dari  Nabi  s.a.w.  Bila  engkau  mempunyai dua ratus
dirham dan  sudah  mencapai  waktu  setahun,  maka  zakatnya
adalah  5 (lima) dirham, dan tidak ada suatu kewajiban zakat
yaitu atas emas-sampai engkau mempunyai  dua  puluh  dinar
dan  sudah  mencapai  masa  setahun,  yang  zakatnya  adalah
setengah dinar. Lebih dari itu menurut  ketentuan  di  atas,
Abu   Daud   berkata,  "Saya  tidak  tahu  apakah  Ali  yang
mengatakan  "Lebih  dari  itu  menurut  ketentuan"  tersebut
ataukah yang mengatakannya Nabi sendiri. Begitu juga tentang
ketentuan masa  setahun  bagi  wajib  zakat,  selain  ucapan
Jarir,  "Hadis  dari  Nabi tersebut bersambung dengan "Tidak
ada kewajiban zakat atas satu kekayaan sampai melewati waktu
setahun."
 
Demikian   hadis   Ali  yang  diriwayatkan  oleh  Abu  Daud,
sedangkan penilaian ulama-ulama hadis tentang hadis tersebut
sebagai berikut:
 
a. Ibnu Hazm berkata, diikuti oleh Abdul Haq dalam Ahkamuhu,
   "Hadis itu diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Jarir bin Hazim
   dari Abu Ishaq dari Ashim dan Haris dari Ali. Abu Ishaq
   membandingkan antara Ashim dan Haris, Haris adalah pembohong
   yang menyangkutkannya kepada Nabi s.a.w., sedangkan Ashim
   tidak menyangkutkannya. Kemudian Jarir menggabungkan kedua
   hadis dari kedua orang tersebut. Hadis tersebut diriwayatkan
   pula oleh Syuibah, Sufyan, dan Mu'ammar dari Abu Ishaq dari
   Ashim dari Ali secara mauquf. Demikian juga semua yang
   diriwayatkan oleh Ashim mesti hanya sampai kepada Ali.
   Seandainya Jarir menyangkutkannya ke Ashim dan menjelaskan
   hal tersebut, kita akan menerimanya.
 
b. Ibnu Hajar berkata dalam at-Talkhish-mengomentari
   pendapat Ibnu Hazm-"Hadis tersebut diriwayatkan oleh
   Turmizi dari Abu Awanah dari Abu Ishaq dari Ashim dari Ali
   sebagai hadis marfu'.
 
   Menurut saya hadis Abu Awanah tidak menyebut-nyebut
   masalah setahun, yang oleh karena itu tidak bisa dijadikan
   landasan hukum. Teksnya sebagaimana diriwayatkan oleh
   Turmizi mengenai zakat emas dan uang adalah sabda Rasul,
   "Saya dulu memaafkan zakat kuda dan uang, sekarang
   keluarkanlah zakatnya: dari setiap empat puluh dirham satu
   dirham, seratus sembilan puluh tidak ada zakatnya, tetapi
   bila sudah mencapai dua ratus dirham maka zakatnya lima
   dirham.
 
c. Semua ini berdasarkan pendapat bahwa Ashim terjamin
   kejujurannya tetapi sebenarnya ia tidak bebas dari cacat.
   Mundziri dalam Mukhtashar as-Sunan mengatakan  bahwa Haris
   dan Ashim tidak bisa dipercaya. Tetapi Zahabi dalam Mizan
   al-I'tidal mengatakan bahwa terdapat empat orang memperoleh
   hadis itu darinya dan dikuatkan oleh Ibnu Mu'ayyan dan Ibnu
   Madini. Ahmad berkata bahwa ia lebih baik dari Haris-A'war
   dan dapat dipercaya. Nasa'i juga berpendapat demikian.
   Tetapi Ibnu Adi mengatakan bahwa ia meriwayatkan hadis
   tersebut sendiri saja dari Ali. Menurut Ibnu Hiban, Ashim
   mempunyai daya hafal yang jelek, banyak salah, dan selalu
   menghubungkan ucapannya itu kepada Ali yang oleh karena itu
   lebih baik tidak diperhatikan, namun ia lebih baik dari
   Haris.  Ucapan ini mendukung pendapat Mundzir, bahwa hadis
   tersebut tidak bisa dijadikan landasan hukum.
 
d. Dengan demikian hadis tersebut ada cacatnya, sebagaimana
   diperingatkan oleh Ibnu Hajar dalam at-Talkhish  bahwa hadis
   yang kita sebutkan dari Abu Daud tersebut ada cacatnya. Ia
   mengatakan bahwa Ibnu Muwaq memperingatkan bahwa hadis
   tersebut mempunyai cacat yang tersembunyi, yaitu bahwa Jarir
   bin Hazim tidak mungkin mendengarnya dari Abu Ishaq, tetapi
   diriwayatkan oleh banyak penghafal seperti Sahnun, Harmala,
   Yunus, Bahr bin Nashir, dan lain- lainnya dari Ibnu Wahab
   dari Jarir bin Hazim dari Haris bin Nabhan dari Hasan bin
   'Imarah dari Abu Ishaq. Ibnu Muwaq berkata bahwa meragui
   kebenaran hadis tersebut karena Sulaiman adalah guru Abu
   Daud merupakan dugaan-dugaan untuk menjatuhkan seseorang
   saja. Hasan bin 'Imarah yang tidak terdapat dalam sanad
   jelas tidak dapat dibenarkan.
 
Dengan demikian kita  dapat  melihat  bahwa  hadis  tersebut
tidak  dapat  dijadikan landasan. Sikap Ibnu Hajar yang diam
saja atas kritikan Ibnu Muwaq atas  hadis  tersebut,  bahkan
menegaskan   hadis  tersebut  ada  cacatnya,  dinilai  sudah
menyimpang dari pendapatnya dalam at-Talkhish,  bahwa  hadis
Ali  benar sanadnya dan dikuatkan oleh banyak atsar sehingga
dapat dijadikan landasan hukum.
 
Jelaslah  bahwa  dalam  hadis   tersebut   terdapat   banyak
kekurangan.  Yaitu  dari  pihak  Haris yang diduga pembohong
karena  sebagian  saja  mengatakan  hadis   itu   ke   pihak
sebelumnya, dari pihak Ashim yang dipersoalkan kejujurannya,
dan dari segi cacat seperti  disebut  oleh  Ibnu  Muwaq  dan
dikuatkan  oleh  Ibnu  Hajar.  Dan  menurut  pendapat  saya,
Allahlah yang lebih tahu bahwa orang-orang  yang  menganggap
bahwa  hadis  Ali  adalah  hasan, bila mengetahui cacat yang
diperingatkan oleh Ibnu Muwaq yang juga dikuatkan oleh  Ibnu
Hajar  dalam  bukunya  tersebut, pasti akan meralat pendapat
mereka, dan  akan  menyatakan  bahwa  hadis  tersebut  betul
bercacat.
 
HADIS DARI IBNU UMAR
 
Mengenai hadis dari Ibnu  Umar,  Ibnu  Hajar  berkata  bahwa
hadis   yang   diriwayatkan  oleh  Daruquthni  dan  Baihaqi,
didalamnya terdapat Ismail  bin  Iyasy  yang  menerima  dari
sumber  bukan penduduk Syam, adalah lemah. Diriwayatkan pula
oleh Ibnu Numair,  Mu'tamar,  dan  lain-lain  dari  gurunya,
yaitu  Ubaidillah  bin  Umar,  yang  meriwayatkan dari Nafi'
kemudian terputus, yang  dibenarkan  oleh  Daruquthni  dalam
al-'Ilal bahwa hadis tersebut memang mauquf.
 
HADIS DARI ANAS
 
Mengenai  hadis  dari  Anas,  Daruquthni  meriwayatkan  yang
didalamnya  ada  Hasan  bin  Siyah  yang  lemah  yang  telah
meriwayatkan  sendiri  saja dari Sabit (Talkhish: 175) bahwa
Ibnu Hiban berkata dalam kitab adz-Dzu'afa' bahwa ia meragui
hadis  itu  yang tidak diperbolehkannya untuk landasan hukum
karena ia meriwayatkannya sendiri saja.
 
HADIS DARI AISYAH
 
Hadis dari Aisyah diriwayatkan oleh Ibnu Majah,  Daruquthni,
Baihaqi,  serta  Uqaili  dalam adz-Dzu'afa' bahwa didalamnya
terdapat Harisha bin Abur Rijal, yang lemah.
 
Ibnu Qayyim berkata dalam Tahdhib  Sunan  Abi  Daud    hadis
bahwa  tidak ada zakat pada harta benda sampai lewat setahun
diriwayatkan dari Aisyah dengan sanad yang shahih.  Muhammad
bin  Ubaidillah  bin  Munadi  berkata  bahwa  hadis tersebut
diriwayatkan  kepada  mereka  oleh  Abu  Zaid   Syuja,   bin
al-Walid,  dari  Harisha bin Muhammad dari Umrah dari Aisyah
"Saya mendengar Rasulullah bersabda:  "Tidak ada zakat  pada
suatu  harta  sampai  lewat  setahun," diriwayatkan oleh Abu
Husain bin Basyran dari Usman bin Samak dari Ibnu Munadi.
 
Menurut saya adalah aneh Ibnu Qayyim menilai hadis  tersebut
shahih  dengan  sanad  tersebut  oleh karena bila kita tidak
menggubris Syuja, bin Walid ayah Badr gelar  yang  diberikan
padanya  lihat  al-Mizan,  jilid 2: 264 sedangkan tentangnya
Abu Hakim mengatakan suaranya hampir tidak kedengaran,  tua,
tidak  kuat,  tidak dapat dipercaya, tetapi mempunyai hadis-
hadis shahih lain dari sumber Muhammad bin Amru,  maka  kita
tidak  bisa  pula menganggap tidak ada gurunya yaitu Harisha
bin Muhammad yang sebenarnya adalah Harisha  bin  Abu  Rijal
sendiri,  yang  meriwayatkan  dari  Umrah  yang  hadis-hadis
darinya dianggap lemah oleh Daruquthni  dan  Uqaili.  Zahabi
berpendapat  dalam  bukunya  bahwa  Ahmad  dan Ibnu Mu'ayyan
menganggap hadis itu lemah, Nasa'i berpendapat  bahwa  hadis
tersebut  matruk,  sedangkan  Bukhari menilai hadis tersebut
tidak benar tak seorang pun yang mengakuinya. Madini berkata
bahwa    sahabat-sahabatnya   masih   menganggapnya   lemah,
sedangkan lbnu Adi mengatakan bahwa  kebanyakan  hadis  yang
diriwayatkan olehnya tidak benar.  Ini berarti bahwa menurut
ijmak perawinya lemah dan bercacat,  yang  oleh  karena  itu
tidak   mungkin   hadis  yang  diriwayatkan  sendirian  bisa
dianggap shahih. Agaknya ia memakai  nama  ayahnya - yaitu
Muhammad - dan  tidak  dengan nama aslinya yang terkenal -
yaitu  Abu  Rijal - merupakan  petunjuk  ketidak-  benaran
tersebut.
 
Hadis-hadis  tersebut  adalah  hadis-hadis  yang berhubungan
dengan persyaratan waktu setahun  (haul)  bagi  wajib  zakat
semua  jenis  harta  benda  baik  "harta  pendapatan" maupun
bukan.
 

HADIS-HADIS TENTANG "HARTA PENGHASILAN"
 
Hadis khusus tentang "harta penghasilan"  diriwayatkan  oleh
Turmizi  dari  Abdur  Rahman bin Zaid bin Aslam dari bapanya
dari Ibnu Umar, "Rasulullah  s.a.w.  bersabda,  "Siapa  yang
memperoleh kekayaan maka tidak ada kewajiban zakatnya sampai
lewat setahun di sisi Tuhannya."
 
Hadis yang diriwayatkan oleh Turmizi  juga  dari  Ayyub  bin
Nafi,  dari  Ibnu Umar, "Siapa yang memperoleh kekayaan maka
tidak ada kewajiban zakat  atasnya  dan  seterusnya,"  tanpa
dihubungkan kepada Nabi s.a.w.
 
Turmizi  mengatakan  bahwa  hadis  itu lebih shahih daripada
hadis Abdur Rahman bin Zaid bin  Aslam,  Ayyub,  Ubaidillah,
dan  lainnya yang lebih dari seorang meriwayatkan dari Nafi,
dari Ibnu Umar secara mauquf.  Abdur  Rahman  bin  Zaid  bin
Aslam  lemah  mengenai  hadis, dianggap lemah oleh Ahmad bin
Hanbal, Ali Madini, serta ahli hadis lainnya,  dan  dia  itu
terlalu banyak  salahnya.   Hadis dari Abdur Rahman bin Zaid
juga diriwayatkan oleh  Daruquthni  dan  al-Baihaqi,  tetapi
Baihaqi,  Ibnu  Jauzi,  dan  yang lain menganggapnya mauquf,
sebagaimana  dikatakan  oleh   Turmizi.   Daruquthni   dalam
Gharaibu  Malik  meriwayatkan dari Ishaq bin Ibrahim Hunaini
dari Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar begitu juga  Daruquthni
mengatakan  bahwa  hadis  tersebut  lemah,  dan  yang shahih
menurut Malik adalah mauquf. Baihaqi meriwayatkan  dari  Abu
Bakr,  Ali,  dan Aisyah secara mauquf, begitu juga dari Ibnu
Umar. Ia mengatakan bahwa yang jadi pegangan  dalam  masalah
tersebut   adalah   hadis-hadis   shahih   dari   Abu   Bakr
ash-Shiddiq,  Usman  bin  Affan,  Abdullah  bin  Umar,   dan
lain-lainnya.
 
Dengan  penjelasan  ini  jelaslah  bagi  kita bahwa mengenai
persyaratan waktu setahun (haul) tidak berdasar  hadis  yang
tegas  dan  berasal dari Nabi s.a.w, apalagi mengenai "harta
penghasilan" seperti dikatakan oleh Baihaqi.
 
Bila benar berasal dari Nabi s.a.w., maka hal  itu  tentulah
mengenai kekayaan yang bukan "harta penghasilan" berdasarkan
jalan tengah dan banyak dalil tersebut. Ini  bisa  diterima,
yaitu  bahwa  harta  benda  yang  sudah dikeluarkan zakatnya
tidak wajib zakat  lagi  sampai  setahun  berikutnya.  Zakat
adalah  tahunan tidak bisa dipertengahan lagi. Dalam hal ini
hadis itu bisa berarti bahwa zakat tidak  wajib  atas  suatu
kekayaan  sampai  lewat setahun. Artinya tidak ada kewajiban
zakat lagi atas harta benda yang sudah dikeluarkan  zakatnya
sampai  lewat lagi masanya setahun penuh. Hal ini sudah kita
jelaskan dalam fasal pertama bab ini.
 
Petunjuk lain bahwa hadis-hadis  yang  diriwayatkan  tentang
ketentuan   setahun  atas  "harta  penghasilan"  itu  adalah
ketidak-sepakatan para sahabat yang akan kita jelaskan. Bila
hadis-hadis tersebut shahih, mereka tentu akan mendukungnya.
 
Ketidak-sepakatan  para  Sahabat  dan Tabi'in dan Sesudahnya
tentang Harta Benda Hasil Usaha
 
Bila mengenai ketentuan setahun tidak ada nash yang  shahih,
tidak pula ada ijmak qauli ataupun sukuti, maka para sahabat
dan tabi'in tidak sependapat pula tentang ketentuan  setahun
pada   "harta   penghasilan."   Diantara   mereka  ada  yang
memberikan ketentuan setahun itu, dan ada  pula  yang  tidak
dan  mewajibkan  zakat  dikeluarkan sesaat setelah seseorang
memperoleh kekayaan penghasilan tersebut.
 
Ketidak-sepakatan mereka itu tidak  berarti  bahwa  pendapat
salah  satu  pihak  lebih  kuat  dari  pendapat  yang  lain.
Persoalannya harus  diteropong  dengan  nash-nash  lain  dan
aksioma  umum  Islam  seperti  firman  Allah,  "Bila  kalian
berselisih dalam sesuatu,  kembalikanlah  kepada  Allah  dan
Rasul."  (Quran,  4:59).  Qasim  bin  Muhammad  bin Abu Bakr
ash-Shiddiq mengatakan  bahwa  Abu  Bakr  ash-Shiddiq  tidak
mengambil  zakat  dari  suatu  harta sehingga lewat setahun.
Umra binti Abdir Rahman dari Aisyah mengatakan  zakat  tidak
dikeluarkan   sampai   lewat  setahun,  yaitu  zakat  "harta
penghasilan." Hadis dari Ali bin  Abi  Thalib,  "Siapa  yang
memperoleh  harta, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakatnya
sampai lewat setahun." Demikian pula dari Ibnu Umar.
 
Hadis-hadis dari para sahabat itu menunjukkan,  bahwa  zakat
tidak  wajib  atas harta benda sampai berada pada pemiliknya
selama setahun, meskipun harta  penghasilan.  Namun  sahabat
lainnya   tidak   menerima   pendapat  tersebut,  dan  tidak
memberikan syarat satu tahun atas zakat  harta  penghasilan.
Ibnu   Hazm   mengatakan   bahwa   Ibnu  Syaibah  dan  Malik
meriwayatkan  dalam  al-Muwaththa  dari  Ibnu  Abbas,  bahwa
kewajiban pengeluaran zakat setiap harta benda yang dizakati
adalah yang memilikinya adalah seseorang Muslim.
 
Mereka yang meriwayatkan  dari  Ibnu  Abbas  tersebut  bahwa
zakat   dari  harta  penghasilan  harus  segera  dikeluarkan
zakatnya tanpa  menunggu  satu  tahun  adalah  lbnu  Mas'ud,
Mu'awiyah  dari  sahabat,  Umar  bin  Abdul Aziz, Hasan, dan
az-Zuhri dari kalangan  tabi'in,  yang  akan  kita  jelaskan
dalam fasal-fasal berikut.

HARTA PENGHASILAN MENURUT PARA SAHABAT DAN TABI'IN
 
1. IBNU ABBAS
 
Abu Ubaid  meriwayatkan  dari  Ibnu  Abbas  tentang  seorang
laki-laki   yang  memperoleh  penghasilan  "Ia  mengeluarkan
zakatnya pada hari ia memperolehnya."
 
Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah  dari  Ibnu
Abbas.   Hadis  tersebut shahih dari Ibnu Abbas, sebagaimana
ditegaskan  Ibnu  Hazm.  Hal   itu   menunjukkan   ketiadaan
ketentuan  satu  tahun  bagi harta penghasilan, menurut yang
difahami dari perkataan Ibnu Abbas. Tetapi Abu Ubaid berbeda
pendapat  mengenai  itu, "Orang menafsirkan bahwa Ibnu Abbas
memaksudkan penghasilan Itu berupa emas dan perak  sedangkan
saya  menganggapnya  tidak  demikian.  Menurut  saya ia sama
sekali tidak mengatakan demikian karena tidak sesuai  dengan
pendapat  umat. Ibnu Abbas sesungguhnya memaksudkannya zakat
tanah, karena penduduk Madinah menamakan tanah harta  benda.
Bila  Ibnu Abbas tidak memaksudkan demikian, maka saya tidak
tahu apa maksud hadis tersebut.
 
Abu Ubaid adalah imam dan ahli dalam persoalan  zakat  harta
benda  dan  ini  tidak  bisa diragukan. Ia memiliki beberapa
ijtihad dan tarjih yang cemerlang, yang sering  saya  kutip,
namun  saya  menilai  pendapatnya  dalam  masalah ini lemah;
karena tidak sesuai dengan apa yang  difahami  dengan  serta
merta oleh umat dan dengan apa yang difahami oleh para ulama
sebelumnya. Bila memang yang salah itu yang dimaksudkan maka
ia  tidak  akan  dipandang  istimewa  oleh  Ibnu Abbas, yang
banyak meriwayatkan darinya.
 
Pada dasarnya hadis tersebut harus difahami menurut zahirnya
tanpa   penafsiran,   kecuali  bila  terdapat  sesuatu  yang
menghambat  pemahaman  menurut  zahirnya   tersebut   tetapi
penghambat itu tidak ada.
 
Pendapat Abu Ubaid yang menyatakan terdapat penghambat untuk
menerima  pengertian  zahir  hadis  tersebut   tidak   dapat
diterima karena:
 
1. Ibnu Abbas tidak pernah menyendiri dari pendapat umat.
   Yaitu yang telah disepakati oleh Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah,
   yang kemudian diikuti orang-orang sesudahnya seperti Umar
   bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri dan lain-lainnya.
 
2. Tidak merupakan keharusan bagi seorang sahabat yang
   mujtahid dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya, untuk
   menunggu pendapat ulama yang lain, kemudian mengumumkan
   pendapat dan ijtihadnya bila sesuai dan tidak mengumumkannya
   bila tidak sesuai dengan ulama yang lain. Bila demikian,
   maka tentu tak seorang mujtahid pun mau mengeluarkan
   pendapatnya. Yang benar adalah seorang- mujtahid harus
   mengeluarkan pendapatnya baik sesuai dengan pendapat yang
   lain atau tidak, yang kadang-kadang betul terjadi
   kesepakatan secara konkrit tetapi kadang-kadang tidak
   terjadi.
 
3. Sahabat yang mempunyai pendapat sendiri merupakan hal
   yang tak dapat dielakkan, dan hal tersebut tidak jarang
   terjadi dalam warisan hukum fikih kita. Ibnu Abbas misalnya
   mempunyai pendapat sendiri tentang perkawinan mut'ah, daging
   himar peliharaan, dan lain-lain. Pendapat Ibnu Abbas
   tersebut-bila benar-tidak bisa dibawa keluar dari
   zahirnya untuk disesuaikan dengan pendapat sahabat lainnya.
 
Abu Ubaid sendiri  tidak  mengharuskan  penafsiran  tersebut
mesti  diumumkan,  tetapi  mengatakan  saya  duga  atau saya
mengira, dan dalam penutup ia  mengatakan;  "Bila  ia  (Ibnu
Abbas)  tidak  memaksudkan,  maka saya tidak tahu apa maksud
hadis tersebut?"
 
2. IBNU MAS'UD
 
Abu  Ubaid  meriwayatkan  pula  dari  Hubairah  bin  Yaryam,
Abdullah  bin  Mas'ud  memberikan  kami  keranjang-keranjang
kecil kemudian menarik zakatnya.  Abu Ubaid menafsirkan lain
hal itu bahwa zakatnya ditarik karena memang benda itu sudah
wajib  dikeluarkan  zakatnya   waktu   itu,   bukan   karena
diberikan.
 
Penafsiran   lain   itu   kadang-kadang   dilakukan   takwil
serampangan yang berbeda maksudnya dengan makna  yang  dapat
langsung  difahami,  dan  berbeda  pula dengan pendapat yang
berasal dari Ibnu Mas'ud bahwa maksud penarikan zakat diatas
adalah  penarikan  zakat  atas pemberian Hubairah mengatakan
bahwa lbnu  Mas'ud  mengeluarkan  zakat  pemberian  yang  ia
terima sebesar dua puluh lima dari seribu. Ibnu Abi Syaibah,
dan at  Tabrani,    juga  meriwayatkan  demikian.   Hubairah
sendiri sebenarnya mengakui riwayat pertama yang ditakwilkan
oleh Abu Ubaid. Pemotongan sebesar tertentu itu hampir  sama
dengan  apa  yang disebut oleh para ahli perpajakan sekarang
dengan Pengurangan Sumber,  bukan  diambil  karena  kekayaan
asal  memang sudah wajib bayar pajak karena sudah lewat masa
setahunnya. Bila Ibnu Mas'ud mengambil zakat dari  pemberian
lain  tentu  ia tidak akan mengeluarkan zakat dari pemberian
yang dikenakan dari kekayaan asalnya sebesar dua puluh  lima
dari  setiap  seribu  yang  mungkin lebih sedikit atau lebih
banyak  dari  seharusnya.   Barangkali   Abu   Ubaid   belum
mengetahui  riwayat  itu,  sehingga  dia  memberikan  takwil
tersebut.
 
3. MU'AWIYAH
 
Malik dalam al-Muwaththa dari Ibnu Syihab bahwa  orang  yang
pertama   kali   mengenakan   zakat  dari  pemberian  adalah
Mu'awiyah bin Abi Sufyan.    Barangkali  yang  ia  maksudkan
adalah  orang  yang  pertama mengenakan zakat atas pemberian
dari khalifah, karena sebelumnya sudah ada  yang  mengenakan
zakat  atas  pemberian  yaitu  Ibnu Mas'ud sebagaimana sudah
kita jelaskan. Atau barangkali dia belum mendengar perbuatan
Ibnu  Mas'ud  tersebut,  karena Ibnu Mas'ud berada di Kufah,
sedangkan Ibnu Syihab berada di Madinah.
 
Yang jelas adalah  bahwa  Mu'awiyah  mengenakan  zakat  atas
pemberian  menurut  ukuran  yang berlaku dalam negara Islam,
karena ia adalah khalifah dan penguasa umat Islam. Dan  yang
jelas  adalah  bahwa  zaman  Mu'awiyah penuh dengan kumpulan
para  sahabat  yang  terhormat,   yang   apabila   Mu'awiyah
melanggar    hadis    Nabi    atau    ijmak    yang    dapat
dipertanggungjawabkan para sahabat tidak  begitu  saja  akan
mau  diam.  Para  sahabat  pernah tidak menyetujui Mu'awiyah
tentang masalah lain,  ketika  Mu'awiyah  memungut  setengah
sha'  gandum  zakat  fitrah  untuk  imbalan  satu sha' bukan
gandum,  seperti  diberitakan  hadis  Abu   Said   al-Khudri
sedangkan   Mu'awiyah   sendiri  - meski  dikatakan  bahwa
ucapannya terlalu berlebih-lebihan dan banyak salah- tidak
bermaksud  menyanggah  sunnah  yang  tegas  dari  Rasulullah
s.a.w.
 
4. UMAR BIN ABDUL AZIZ
 
Empat periode Mu'awiyah,  datanglah  pembaru  seratus  tahun
pertama  yaitu  khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pandangan baru
yang diterapkannya adalah pemungutan zakat  dari  pemberian,
hadiah, barang sitaan, dan lain
 
Abu  Ubaid  menyebutkan  bahwa  bila  Umar  memberikan  gaji
seseorang  ia  memungut  zakatnya,  begitu  pula   bila   ia
mengembalikan   barang   sitaan.   Ia  memungut  zakat  dari
pemberian bila telah berada di tangan penerima.
 
Dengan  demikian  ucapan  ('Umalah)  adalah   sesuatu   yang
diterima seseorang karena kerjanya, seperti gaji pegawai dan
karyawan pada masa sekarang. Harta  sitaan  (mazalim)  ialah
harta  benda yang disita oleh penguasa karena tindakan tidak
benar  pada  masa-masa  yang  telah  silam  dan   pemiliknya
menganggapnya  sudah  hilang  atau tidak ada lagi, yang bila
barang tersebut  dikembalikan  kepada  pemiliknya  merupakan
penghasilan  baru  bagi  pemilik  itu.  Pemberian  (u'tiyat)
adalah  harta  seperti  honorarium  atau  biaya  hidup  yang
dikeluarkan   oleh   Baitul  mal  untuk  tentara  Islam  dan
orang-orang yang berada dibawah kekuasaannya.
 
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, bahwa  Umar  bin  Abdul  Aziz
memungut zakat  pemberian  dan  hadiah.  Itu adalah pendapat
Umar.  Bahkan  hadiah-hadiah  atau  bea-bea  yang  diberikan
kepada  para  duta  baik  sebagai pemberian, tip, atau kado,
ditarik zakatnya. Hal itu sama  dengan  apa  yang  dilakukan
oleh  banyak  negara  sekarang  dalam  pengenaan  pajak atas
hadiah-hadiah tersebut.

 
PARA ULAMA FIKIH LAIN DAN KALANGAN TABI'IN DAN LAINNYA
 
1. Mengenai pemungutan zakat dari "harta penghasilan" yang
   bersumber dari Zuhri dan Hasan adalah seperti yang
   diutarakan Ibnu Hazm. (Kita akan mengulas sedikit hal
   tersebut waktu membicarakan cara pengeluaran zakat "harta
   penghasilan"). Sebelum itu sudah terdapat pendapat serupa
   dari al-Auza'i. Bahkan Ahmad bin Hanbal diriwayatkan
   berpendapat yang mirip hal itu. Dan kita telah menerangkan
   dalam fasal sebelum ini pendapat tentang seseorang yang
   mengambil sewa dari penyewaan rumahnya bahwa ia harus
   mengeluarkan zakat hasil sewaan tersebut ketika menerimanya,
   sebagaimana disebutkan dalam al- Mughni. Ahmad berpendapat,
   dari sumber beberapa orang, bahwa orang itu mengeluarkan
   zakatnya ketika menerimanya. Ibnu Mas'ud meriwayatkan dengan
   sanad ia sendiri apa yang telah kita terangkan diatas
   tentang zakat pemberian.
   
2. Hal tersebut juga merupakan pendapat Nashir, Shadiq dan
   Baqir dari kalangan ulama-ulama Makkah sebagaimana juga
   mazhab Daud; bahwa barangsiapa yang memperoleh sejumlah
   senisab, ia harus mengeluarkan zakatnya langsung.
   
   Alasan mereka  adalah  keumuman  nash-nash  yang  mewajibkan
   zakat, seperti sabda Rasulullah s.a.w.: "Uang perak zakatnya
   1/40." (Muttafaq 'alaihi).
 
Berdasarkan hadis itu masa setahun tidak  merupakan  syarat,
tetapi  hanya  merupakan  tempo antara dua pengeluaran zakat
dan tidak disyaratkan terpenuhinya nisab selain  hanya  pada
saat   harus  dikeluarkan  yaitu  akhir  tahun,  sebagaimana
dicontohkan Nabi yang memungut zakat pada akhir tahun, tanpa
melihat  keadaan  harta  tersebut  pada  awal  tahun:  cukup
senisab atau tidak.
 
PERBEDAAN MAZHAB EMPAT DALAM MASALAH HARTA PENGHASILAN
 
Para imam mazhab empat berbeda pendapat  yang  cukup  kisruh
tentang  harta penghasilan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu
Hazm dalam al- Muhalla. Ibnu Hazm berkata, bahwa Abu Hanifah
berpendapat bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya
bila mencapai masa setahun penuh  pada  pemiliknya,  kecuali
jika   pemiliknya   mempunyai   harta   sejenis  yang  harus
dikeluarkan zakatnya yang untuk itu zakat harta  penghasilan
itu  dikeluarkan  pada  permulaan  tahun dengan syarat sudah
mencapai  nisab.  Dengan   demikian   bila   ia   memperoleh
penghasilan   sedikit   ataupun  banyak - meski  satu  jam
menjelang waktu setahun dari harta  yang  sejenis  tiba,  ia
wajib mengeluarkan zakat penghasilannya itu bersamaan dengan
pokok harta yang sejenis  tersebut,  meskipun  berupa  emas,
perak,  binatang  piaraan,  atau  anak-anak binatang piaraan
atau lainnya.
 
Tetapi  Malik  berpendapat  bahwa  harta  penghasilan  tidak
dikeluarkan  zakatnya sampai penuh waktu setahun, baik harta
tersebut sejenis dengan jenis harta  pemiliknya  atau  tidak
sejenis,  kecuali  jenis  binatang piaraan. Karena itu orang
yang memperoleh penghasilan berupa  binatang  piaraan  bukan
anaknya  sedang  ia  memiliki  binatang piaraan yang sejenis
dengan yang  diperolehnya,  zakatnya  dikeluarkan  bersamaan
pada  waktu  penuhnya  batas  satu  tahun  binatang  piaraan
miliknya itu bila sudah mencapai  nisab.  Kalau  tidak  atau
belum  mencapai  nisab  maka  tidak  wajib zakat Tetapi bila
binatang  piaraan  penghasilan  itu  berupa  anaknya,   maka
anaknya  itu  dikeluarkan  zakatnya berdasarkan masa setahun
induknya baik induk tersebut sudah  mencapai  nisab  ataupun
belum mencapai nisab.
 
Syafi'i  mengatakan  bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan
zakatnya bila mencapai waktu setahun  meskipun  ia  memiliki
harta sejenis yang sudah cukup nisab. Tetapi zakat anak-anak
binatang piaraan dikeluarkan bersamaan dengan zakat induknya
yang  sudah  mencapai  nisab,  dan bila tidak mencapai nisab
maka tidak wajib zakatnya.
 
Ibnu Hazm tampil - dengan  caranya  yang  menggebu-gebu  -
dengan  pendapat  bahwa  pendapat-pendapat  di  atas  adalah
salah.   Ia    mengatakan    bahwa    salah    satu    bukti
pendapat-pendapat  itu  salah  adalah  cukup  dengan melihat
kekisruhan semua pendapat itu, semuanya hanya  dugaan-dugaan
belaka dan merupakan bagian-bagian yang saling bertentangan,
yang tidak ada landasan salah satu pun dari  semuanya,  baik
dari  Quran  atau  hadis  shahih  ataupun  dari riwayat yang
bercacat sekalipun, tidak perlu dari  Ijmak  dan  Qias,  dan
tidak  pula dari pemikiran dan pendapat yang dapat diterima.
Dan Ibnu Hazm membuang semua perbedaan dan bagian yang salah
tersebut  dengan berpendapat bahwa ketentuan setahun berlaku
bagi seluruh  harta  benda,  uang  penghasilan  atau  bukan,
bahkan   termasuk   anak-anak   binatang  piaraan.  Hal  itu
bertentangan dengan temannya yaitu Daud Zahiri  yang  keluar
dari  pertentangan  itu  dengan pendapat bahwa seluruh harta
penghasilan wajib zakat tanpa persyaratan setahun. Tetapi ia
sendiri tidak bebas dari kesalahan serupa yang diderita oleh
orang-orang lain di atas.

MEMILIH PENDAPAT YANG LEBIH KUAT TENTANG  PENGELUARAN  ZAKAT
PENGHASILAN PADA WAKTU DITERIMA
 
Setelah  diperbandingkan  pendapat-pendapat  di  atas dengan
alasan masing-masing, diteliti  nash-nash  yang  berhubungan
dengan   status   zakat   dalam   bermacam-macam   kekayaan,
diperhatikan hikmah dan maksud  pembuat  syariat  mewajibkan
zakat,  dan diperhatikan pula kebutuhan Islam dan umat Islam
pada masa sekarang ini, maka saya  berpendapat  harta  hasil
usaha   seperti  gaji  pegawai,  upah  karyawan,  pendapatan
dokter, insinyur, advokat dan  yang  lain  yang  mengerjakan
profesi  tertentu dan juga seperti pendapatan yang diperoleh
dari modal yang diinvestasikan di luar  sektor  perdagangan,
seperti   pada  mobil,  kapal,  kapal  terbang,  percetakan,
tempat- tempat  hiburan,  dan  lain-lainnya,  wajib  terkena
zakat  persyaratan  satu  tahun  dan  dikeluarkan pada waktu
diterima.
 
Sebagai penjelasan dari pendapat  kami  dalam  masalah  yang
sensitif  itu,  kami  mengemukakan  beberapa butir alasan di
bawah ini,  supaya  kebenaran  dapat  jelas  yang  dikuatkan
dengan dalil:
 
1. Persyaratan satu tahun dalam seluruh harta termasuk harta
   penghasilan tidak berdasar nash yang mencapai tingkat shahih
   atau hasan yang darinya bisa diambil ketentuan hukum Syara'
   yang berlaku umum bagi umat. Hal itu berdasarkan ketegasan
   para ulama hadis dan pendapat sebagian para sahabat yang
   diakui kebenarannya sebagaimana telah kita terangkan.
   
2. Para sahabat dan tabi'in memang berbeda pendapat dalam
   harta penghasilan: sebagian mempersyaratkan adanya masa
   setahun, sedangkan sebagian lain tidak mempersyaratkan satu
   tahun itu sebagai syarat wajib zakat tetapi wajib pada waktu
   harta penghasilan tersebut diterima oleh seorang Muslim.
   Perbedaan mereka itu tidak berarti bahwa salah satu lebih
   baik daripada yang lain, oleh karena itu maka persoalannya
   dikembalikan pada nash-nash yang lain dan kaedah- kaedah
   yang lebih umum, misalnya firman Allah: "Bila kalian berbeda
   pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
   (Quran) dan kepada Rasul (hadis)." (An-Nisa,: 59).
   
3. Ketiadaan nash ataupun ijmak dalam penentuan hukum zakat
   harta penghasilan membuat mazhab-mazhab yang ada berselisih
   pendapat tajam sekali, yang mengakibatkan Ibnu Hazm sampai
   menilainya sebagai dugaan-dugaan saja, merupakan
   pertentangan-pertentangan dan bagian- bagian yang saling
   bertentangan yang tidak ada dasar kebenarannya, tidak dari
   Quran atau hadis shahih atau riwayat yang ada cela
   sekalipun, maupun dari Ijmak dan Qias, dan dari pemikiran
   dan pendapat yang kira-kira dapat diterima. Saya sudah
   melakukan penjajagan atas perbedaan-perbedaan pendapat
   antara mazhab-mazhab, metode dan perbedaan pentashihan dan
   pentarjihan masing-masing mazhab. Saya menemukan pula
   berpuluh-puluh persoalan dan persoalan lebih jauh yang
   ditimbulkannya mengenai harta penghasilan itu,
   digabungkankah penghasilan itu dengan harta induknya atau
   tidak, ataukah sebagian digabungkan dan sebagian lagi tidak.
   Penggabungan tersebut dalam hal nisab, tahun, ataukah dalam
   keduanya. Beberapa diskusi berkisar mengenai masalah itu
   dalam hal zakat binatang, zakat uang, zakat perdagangan, dan
   persoalan-persoalan kecil lainnya Semuanya itu membuat saya
   menilai bahwa adalah tidak mungkin syariat yang sederhana
   dan berbicara untuk seluruh umat manusia membawa
   persoalan-persoalan kecil yang sulit dilaksanakan sebagai
   kewajiban bagi seluruh umat.
   
4. Mereka yang tidak mempersyaratkan satu tahun bagi syarat
   harta penghasilan wajib zakat lebih dekat kepada nash yang
   berlaku umum dan tegas di atas daripada mereka yang
   mempersyaratkannya, karena nash-nash yang mewajibkan zakat
   baik dalam Quran maupun dalam sunnah datang secara umum dan
   tegas dan tidak terdapat di dalamnya persyaratan setahun.
   Misalnya, "Berikanlah seperempat puluh harta benda kalian,"
   Harta tunai mengandung kewajiban seperempat puluh dan
   dikuatkan oleh keumuman firman Allah "Hai orang-orang yang
   beriman keluarkanlah sebagian hasil usaha kalian."
   (al-Baqarah: 267) Kata ma Kasabtum merupakan kata umum yang
   artinya mencakup segala macam usaha: perdagangan, atau
   pekerjaan dan profesi. Para ulama fikih berpegang kepada
   keumuman maksud ayat tersebut sebagai landasan zakat
   perdagangan, yang oleh karena itu kita tidak perlu ragu
   memakainya sebagai landasan zakat penghasilan dan profesi.
   Bila para ulama fikih telah menetapkan setahun sebagai
   syarat wajib zakat perdagangan, maka itu berarti bahwa
   antara pokok harta dengan laba yang dihasilkan tidak boleh
   dipisahkan karena laba dihasilkan dari hari ke hari bahkan
   dari jam ke jam. Lain halnya dengan gaji atau sebangsanya
   yang diperoleh secara utuh, tertentu dan pasti.
   
5. Disamping nash yang berlaku umum dan mutlak memberikan
   landasan kepada pendapat mereka yang tidak menjadikan satu
   tahun sebagai syarat harta penghasilan wajib zakat, qias
   yang benar juga mendukungnya. Kewajiban zakat uang atau
   sejenisnya pada saat diterima seorang Muslim diqiaskan
   dengan kewajiban zakat pada tanaman dan buah-buahan pada
   waktu panen. Maka bila kita memungut dari petani meskipun
   sebagai penyewa, sebanyak sepersepuluh atau seperdua puluh
   hasil tanaman atau buah-buahannya, mengapakah kita tidak
   boleh memungut dari seorang pegawai atau seorang dokter,
   umpamanya, sebanyak seperempat puluh penghasilannya? Bila
   Allah menyatukan penghasilan yang diterima seseorang Muslim
   dengan hasil yang dikeluarkan Allah dari tanah dalam satu
   ayat, yaitu "Hai orang- orang yang beriman keluarkanlah
   sebagian penghasilan kalian dan sebagian yang kami keluarkan
   untuk kalian dari tanah," mengapakah kita membeda-bedakan
   dua masalah yang di atur Allah dalam satu aturan sedangkan
   kedua-duanya adalah rezeki dan nikmat dari Allah?
   
   Benar, bahwa nikmat Allah dalam hasil tanaman dan
   buah-buahan lebih kentara dan mensyukurinya lebih wajib,
   namun demikian tidak berarti bahwa salah satu pendapatan
   tersebut tegas wajib zakat sedangkan yang satu lagi tidak.
   Perbedaannya cukup dengan bahwa pembuat syariat mewajibkan
   zakat dari hasil tanah sebesar sepersepuluh atau seperdua
   puluh sedangkan pada harta penghasilan berupa uang atau yang
   senilai dengan uang-sebanyak seperempat puluh.
   
6. Pemberlakuan syarat satu tahun bagi zakat harta
   penghasilan berarti membebaskan sekian banyak pegawai dan
   pekerja profesi dari kewajiban membayar zakat atas
   pendapatan mereka yang besar, karena mereka itu akan menjadi
   dua golongan saja: menginvestasikan pendapatan mereka
   terlebih dahulu dalam berbagai sektor, atau berfoya-foya
   bahkan menghamburkan semua penghasilannya itu kesana-sini
   sehingga tidak mencapai masa wajib zakatnya. Itu berarti
   hanya membebankan zakat pada orang-orang yang hemat dan
   ekonomis saja, yang membelanjakan kekayaannya seperlunya,
   tidak berlebih-lebihan tetapi tidak pula kikir, yang berarti
   mereka menyimpan penghasilan mereka sehingga mencapai masa
   zakatnya. Hal itu jauh sekali dari maksud kedatangan syariat
   yang adil dan bijak, yaitu memperingan beban orang-orang
   pemboros dan memperbuat beban orang-orang yang hemat.
   
7. Pendapat yang menetapkan setahun sebagai syarat harta
   penghasilan jelas terlihat saling kontradiksi yang tidak
   bisa diterima oleh keadilan dan hikmat Islam mewajibkan
   zakat Misalnya: Seorang petani yang menanam tanaman pada
   tanah sewaan, hasilnya dikenakan zakat sebanyak 10% atau 5%
   bila sudah mencapai 50 kila Mesir, berdasarkan fatwa-fatwa
   dalam mazhab-mazhab yang ada, sedangkan pemilik tanah yang
   dalam sejam kadang-kadang memperoleh beratus-ratus atau
   beribu- ribu dinar berupa uang sewa tanah tersebut, tidak
   dikenakan zakat, berdasarkan fatwa-fatwa dalam mazhab-mazhab
   yang ada, karena adanya persyaratan setahun bagi penghasilan
   tersebut sedangkan jumlah itu jarang bisa terjadi di akhir
   tahun. Begitu pula halnya dengan seorang dokter, insinyur,
   advokat, pemilik mobil angkutan, pemilik hotel, dan
   lain-lainnya. Sebab pertentangan itu adalah sikap yang
   terlalu mengagungkan pendapat-pendapat fikih yang tidak
   terjamin dan tidak terkontrol berupa hasil ijtihad para
   ulama. Kita tidak yakin, bila mereka hidup pada zaman
   sekarang dan menyaksikan apa yang kita saksikan, apakah
   mereka akan meralat ijtihad mereka dalam banyak masalah,
   seperti yang hanyak kita temukan dalam riwayat para imam .
   
8. Pengeluaran zakat penghasilan setelah diterima,
   diantaranya gaji, upah, penghasilan dari modal yang
   ditanamkan pada sektor selain perdagangan, dan pendapatan
   para ahli, akan lebih menguntungkan fakir miskin dan orang
   yang berhak lainnya, menambah besar perbendaharaan zakat,
   disamping menambah perbendaharaan negara dan pemiliknya
   dapat dengan mudah mengeluarkan zakatnya. Hal itu dengan
   pemungutan zakat gaji para pegawai dan karyawan tersebut
   oleh pemerintah atau yayasan-yayasan melalui cara yang
   dinamakan oleh para ahli perpajakan dengan "Penahanan pada
   Sumber," seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mas'ud dan
   Mu'awiyah serta Umar bin Abdul Aziz dalam, memotong
   pemberian yang mereka berikan. Maksud kata "pemberian"
   disini adalah gaji para tentara dan orang-orang yang di
   bawah kekuasaan negara pada masa itu. Abu Walid Baji
   mengatakan bahwa "Pemberian menurut syara' adalah pemberian
   dari kepala negara kepada seseorang dari Baitul-mal
   berbentuk nafkah hidup (gaji). Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan
   dari Hubaira bahwa Ibnu Mas'ud memotong pemberian yang
   mereka terima sebesar dua puluh lima dari tiap seribu. Hal
   itu diriwayatkan pula oleh at-Tabrani darinya juga.  Dari
   'Aun dari Muhammad, "Saya melihat para penguasa bila
   memberikan gaji, memotong zakatnya.  Dari Umar bin Abdul
   Aziz, bahwa ia mengeluarkan zakat pemberian dan hadiah.
   Malik meriwayatkan dalam al-Muwaththa dari Ibnu Syihab,
   bahwa: Orang yang pertama kali memungut zakat dari pemberian
   adalah Mu'awiyah bin Abi Sufyan.  Tampaknya yang ia
   maksudkan adalah khalifah pertama yang memungut zakat
   pemberian, sedangkan sebenarnya sudah ada orang yang
   mengambil zakat pemberian sebelum itu, yaitu Abdullah bin
   Mas'ud sebagaimana kita jelaskan.
   
9. Menegaskan bahwa zakat wajib atas penghasilan sesuai
   dengan tuntunan Islam yang menanamkan nilai-nilai kebaikan,
   kemauan berkorban, belas kasihan dan suka memberi dalam jiwa
   seorang Muslim, sesuai pula dengan kemanusiaan yang harus
   ada dalam masyarakat, ikut merasakan beban orang lain, dan
   menanamkan agama tersebut menjadi sifat pribadi unsur pokok
   kepribadiannya. Allah berfirman tentang sifat-sifat orang
   yang bertakwa, "Dan sebagian apa yang kami berikan kepada
   mereka, mereka nafkahkan." Allah juga berfirman, "Hai
   orang-orang yang beriman nafkahkanlah sebagian apa-apa yang
   kami berikan kepada kalian." Untuk itu Nabi s.a.w.
   mewajibkan kepada setiap orang Muslim mengorbankan sebagian
   hartanya, penghasilannya, atau apa saja yang ia korbankan.
   
   Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa Asyari dari Nabi s.a.w.:
   
   "Setiap orang Muslim wajib bersedekah." Mereka bertanya,
   "Hai Nabi Allah, bagaimana yang tidak berpunya? Beliau
   menjawab, "Bekerjalah untuk mendapat sesuatu untuk dirinya,
   lalu bersedekah." Mereka bertanya, "Kalau tidak punya
   pekerjaan?" Beliau bersabda, "Tolong orang yang meminta
   pertolongan." Mereka bertanya, "Bagaimana bila tidak bisa?"
   Beliau menjawab, "Kerjakan kebaikan dan tinggalkan
   kejelekan, hal itu merupakan sedekahnya."
   
   Pembebasan penghasilan-penghasilan yang berkembang sekarang
   tersebut dari sedekah wajib atau zakat dengan menunggu masa
   setahunnya, berarti membuat orang-orang hanya bekerja,
   berbelanja, dan bersenang-senang, tanpa harus mengeluarkan
   rezeki pemberian Tuhan dan tidak merasa kasihan kepada orang
   yang tidak diberi nikmat kekayaan itu dan kemampuan
   berusaha.
   
10. Tanpa persyaratan setahun bagi harta penghasilan akan
   lebih menguntungkan pemasukan zakat secara pasti dan
   pengelolaannya dilihat dari pihak orang yang wajib
   mengeluarkan zakat dan dari segi administrasi pemungutan
   zakat. Hal itu oleh karena bagi yang berpendapat satu tahun
   sebagai syarat zakat, menyebabkan setiap orang yang
   mendapatkan penghasilan sedikit atau banyak berupa gaji,
   honorarium atau penghasilan kekayaan tak bergerak, atau
   jenis pendapatan yang lain-harus menentukan masa jatuh
   tempo pengeluaran setiap jumlah kekayaannya lalu bila sampai
   masa tempo setahunnya itu dikeluarkanlah zakatnya. Ini
   berarti, bahwa seorang Muslim kadang-kadang bisa mempunyai
   berpuluh-puluh masa tempo masing-masing kekayaan yang
   diperoleh pada waktu yang berbeda-beda. Ini sulit sekali
   dilakukan, dan sulit pula bagi pemerintah memungut dan
   mengatur zakat yang dengan demikian zakat tidak bisa
   terpungut dan sulit dilaksanakan.41

PENDAPAT MASA KINI
 
Adalah bijaksana bila kita menyebutkan disini, bahwa seorang
penulis   Islam   yang  terkenal,  Muhammad  Ghazali,  telah
membahas  masalah  ini  dalam  bukunya  Islam  wa  al-Audza'
al-Iqtishadiya.  Lebih  daripada  dua puluh tahun yang lalu.
Setelah menyebutkan bahwa dasar penetapan wajib zakat  dalam
Islam  hanyalah  modal,  bertambah,  berkurang  atau  tetap,
setelah lewat setahun, seperti zakat uang,  dan  perdagangan
yang  zakatnya  seperempat  puluh,  atau  atas  dasar ukuran
penghasilan tanpa melihat modalnya seperti  zakat  pertanian
dan  buah  buahan  yang  zakatnya sepersepuluh atau seperdua
puluh, maka beliau mengatakan;  "Dari  sini  kita  mengambil
kesimpulan,  bahwa  siapa  yang  mempunyai  pendapatan tidak
kurang dari pendapatan seorang petani yang wajib zakat, maka
ia  wajib  mengeluarkan  zakat yang sama dengan zakat petani
tersebut, tanpa mempertimbangkan sama sekali  keadaan  modal
dan   persyaratan-  persyaratannya."  Berdasarkan  hal  itu,
seorang  dokter,  advokat,  insinyur,  pengusaha,   pekerja,
karyawan,  pegawai, dan sebangsanya wajib mengeluarkan zakat
dari pendapatannya yang  besar.  Hal  itu  berdasarkan  atas
dalil:
 
1. Keumuman nash Quran: "Hai orang-orang yang beriman
   keluarkanlah sebagian hasil yang kalian peroleh."
   (al-Baqarah: 267)
 
   Tidak perlu diragukan lagi bahwa jenis-jenis pendapatan di
   atas termasuk hasil yang wajib dikeluarkan zakatnya, yang
   dengan demikian mereka masuk dalam hitungan orang-orang
   Mu'min yang disebutkan Quran: "Yaitu orang-orang yang
   percaya kepada yang ghaib, mendirikan salat, serta
   mengeluarkan sebagian yang kami berikan." (al-Baqarah: 3).
   
2. Islam tidak memiliki konsepsi mewajibkan zakat atas
   petani yang memiliki lima faddan (1 faddan = 1/2 ha).
   Sedangkan atas pemilik usaha yang memiliki penghasilan lima
   puluh faddan tidak mewajibkannya, atau tidak mewajibkan
   seorang dokter yang penghasilannya sehari sama dengan
   penghasilan seorang petani dalam setahun dari tanahnya yang
   atasnya diwajibkan zakat pada waktu panen jika mencapai
   nisab.
 
Untuk itu, harus ada ukuran  wajib  zakat  atas  semua  kaum
profesi, dan pekerja tersebut, dan selama sebab (illat) dari
dua hal memungkinkan diambil hukum qias,  maka  tidak  benar
untuk  tidak memberlakukan qias tersebut dan tidak meneriina
hasilnya.
 
Dan kadang-kadang dipertanyakan, bagaimana  kita  menentukan
besar   zakatnya?   Jawabnya   mudah,   karena  Islam  telah
menentukan besar zakat buah-buahan antara  sepersepuluh  dan
seperdua  puluh  sesuai  dengan  ukuran  beban  petani dalam
mengairi tanahnya. Maka berarti ukuran  beban  zakat  setiap
pendapatan   sesuai   dengan  ukuran  beban  pekerjaan  atau
pengusahaannya.
 
Persoalan    tersebut    sebenarnya    dapat     diterangkan
sejelas-jelasnya,   bila   pokok   persoalan  yang  sensitif
tersebut sudah duduk. Tetapi persoalan tersebut  tidak  bisa
dijelaskan  dengan  pemikiran  seseorang, tetapi membutuhkan
kerja sama para ulama dan ilmuwan.
 
Diskusi-diskusi  tentang  hal  itu  menarik   sekali,   yang
menunjukkan  bahwa  mereka  memiliki  pemahaman  yang  tajam
terhadap  dasar-dasar  ajaran  Islam.  Dua   landasan   yang
dikemukakan  oleh  Muhammad  Ghazali tidak ada kelemahannya,
karena beliau telah menggunakan landasan keumuman nash Quran
dan  qias.  Tetapi  pendekatan  yang  kita  pergunakan dalam
memakai  landasan-landasan  itu  disini  lebih  mendasar  ke
sumbernya  dari  pendekatan  Muhammad Ghazali, yaitu memakai
pendapat para sahabat, tabiiin dan para ahli  fikih  sesudah
mereka.
 
Dan  bila  hal itu berlainan dari pendapat empat mazhab yang
ada, maka tidak satu pun nash dari  Allah  atau  dari  Rasul
s.a.w.  tidak  pula  dari  imam-  imam  mazhab tersebut yang
mewajibkan  pendapat  mereka  diikuti  sepenuhnya,  mengekor
kepada  mereka,  dan  melarang orang berlainan pendapat dari
ijtihad mereka.  Tetapi mereka  sebaliknya,  melarang  orang
mengekor  mereka,  sebagaimana  telah  kita  sebutkan  dalam
pendahuluan buku ini.

NISAB MATA PENGHASILAN DAN PROFESI
 
Kita sudah mengetahui, bahwa Islam  tidak  mewajibkan  zakat
atas  seluruh  harta  benda,  sedikit  atau  banyak,  tetapi
mewajibkan zakat  atas  harta  benda  yang  mencapai  nisab,
bersih   dari  hutang,  serta  lebih  dari  kebutuhan  pokok
pemiliknya. Hal itu untuk menetapkan  siapa  yang  tergolong
seorang  kaya  yang  wajib zakat karena zakat hanya dipungut
dari orang-orang kaya tersebut, dan  untuk  menetapkan  arti
"lebih"  ('afw)  yang  dijadikan Quran sebagai sasaran zakat
tersebut. Allah berfirman "Mereka bertanya kepadamu  tentang
apa  yang  mereka  nafkahkan  Katakanlah,  "Yang  lebih dari
keperluan."  (al-Baqarah:  219).   Dan   Rasulullah   s.a.w.
bersabda: "Kewajiban zakat hanya bagi orang kaya." "Mulailah
dari  orang  yang  menjadi  tanggunganmu."  Hal  itu   sudah
ditegaskan  dalam  syarat-syarat  kekayaan yang wajib zakat.
Bila zakat wajib dikeluarkan bila cukup  batas  nisab,  maka
berapakah besar nisab dalam kasus ini?
 
Muhammad   Ghazali  dalam  diskusi  diatas  cenderung  untuk
mengukurnya menurut ukuran tanaman  dan  buah-buahan.  Siapa
yang   memiliki  pendapatan  tidak  kurang  dari  pendapatan
seorang petani yang wajib mengeluarkan zakat maka orang  itu
wajib  mengeluarkan  zakatnya. Artinya, siapa yang mempunyai
pendapatan yang mencapai lima wasaq (50 kail Mesir) atau 653
kg,  dari  yang  terendah  nilainya  yang  dihasilkan  tanah
seperti gandum, wajib berzakat.  Ini  adalah  pendapat  yang
benar.  Tetapi  barangkali  pembuat syariat mempunyai maksud
tertentu  dalam  menentukan  nisab  tanaman  kecil,   karena
tanaman  merupakan  penentu  kehidupan  manusia. Yang paling
penting dari besar nisab tersebut adalah  bahwa  nisab  uang
diukur  dari nisab tersebut yang telah kita tetapkan sebesar
nilai 85 gram emas. Besar itu sama dengan dua  puluh  misqal
hasil  pertanian  yang  disebutkan oleh banyak hadis. Banyak
orang memperoleh gaji dan pendapatan dalam bentuk uang, maka
yang   paling   baik   adalah   menetapkan  nisab  gaji  itu
berdasarkan nisab uang.
 
TINGGAL SATU PERSOALAN LAGI
 
Orang-orang  yang  memiliki  profesi  itu   memperoleh   dan
menerima  pendapatan  mereka  tidak  teratur,  kadang-kadang
setiap hari seperti pendapatan seorang dokter, kadang-kadang
pada saat-saat tertentu seperti advokat dan kontraktor serta
penjahit atau sebangsanya, sebagian  pekerja  menerima  upah
mereka setiap minggu atau dua minggu, dan kebanyakan pegawai
menerlma gaji  mereka  setiap  bulan,  lalu  bagaimana  kita
menentukan penghasilan mereka itu?
 
Disini kita bertemu dengan dua kemungkinan:
 
1. Memberlakukan nisab dalam setiap jumlah pendapatan atau
   penghasilan yang diterima. Dengan demikian penghasilan yang
   mencapai nisab seperti gaji yang tinggi dan honorarium yang
   besar para pegawai dan karyawan, serta pembayaran-pembayaran
   yang besar kepada para golongan profesi, wajib dikenakan
   zakat, sedangkan yang tidak mencapai nisab tidak terkena.
   
   Kemungkinan ini dapat dibenarkan, karena membebaskan
   orang-orang yang mempunyai gaji yang kecil dari kewajiban
   zakat dan membatasi kewajiban zakat hanya atas
   pegawai-pegawai tinggi dan tergolong tinggi saja. Ini lebih
   mendekati kesamaan dan keadilan sosial. Disamping itu juga
   merupakan realisasi pendapat sahabat dan para ulama fikih
   yang mengatakan bahwa penghasilan wajib zakatnya pada saat
   diterima bila mencapai nisab. Tetapi menurut ketentuan wajib
   zakat atau penghasilan itu bila masih bersisa di akhir tahun
   dan cukup senisab. Tetapi bila kita harus menetapkan nisab
   untuk setiap kali upah, gaji, atau pendapatan yang diterima,
   berarti kita membebaskan kebanyakan golongan profesi yang
   menerima gaji beberapa kali pembayaran dan jarang sekali
   cukup nisab dari kewajiban zakat, sedangkan bila seluruh
   gaji itu dari satu waktu itu dikumpulkan akan cukup senisab
   bahkan akan mencapai beberapa nisab. Begitu juga halnya
   kebanyakan para pegawai dan pekerja.
   
2. Disini timbul kemungkinan yang kedua, yaitu mengumpulkan
   gaji atau penghasilan yang diterima berkali-kali itu dalam
   waktu tertentu. Kita menemukan ulama-ulama fikih yang
   berpendapat seperti itu dalam kasus nisab pertambangan,
   bahwa hasil yang diperoleh dari waktu ke waktu yang tidak
   pernah terputus ditengah akan lengkap-melengkapi untuk
   mencapai nisab. Para ulama fikih itu juga berbeda pendapat
   tentang penyatuan hasil tanaman dan buah-buahan antara satu
   dengan yang lain dalam satu tahun. Mazhab Hanbali
   berpendapat bahwa hasil bermacam-macam jenis tanaman dan
   buah-buahan selama satu tahun penuh dikumpulkan jadi satu
   untuk mencapai nisab, sekalipun tempat tanaman tidak satu
   dan menghasilkan dua kali dalam satu tahun. Jika buah-buahan
   tersebut menghasilkan dua kali dalam setahun, maka hasil
   seluruhnya dikumpulkan untuk mencapai satu nisab, karena
   kedua penghasilan tersebut adalah buah-buahan yang
   dihasilkan dalam satu tahun, sama halnya dengan jagung yang
   berbuah dua kali.
 
Atas dasar ini dapat kita katakan bahwa satu tahun merupakan
satu kesatuan menurut pandangan pembuat syariat, begitu juga
menurut pandangan ahli perpajakan modern. Oleh karena itulah
ketentuan setahun diberlakukan dalam zakat.
 
Fakta   adalah   bahwa   para   pemerintahan  mengatur  gaji
pegawainya berdasarkan  ukuran  tahun,  meskipun  dibayarkan
perbulan karena kebutuhan pegawai yang mendesak.
 
Berdasarkan  hal  itulah  zakat  penghasilan  bersih seorang
pegawai  dan  golongan  profesi  dapat  diambil  dari  dalam
setahun  penuh,  jika pendapatan bersih setahun itu mencapai
satu nisab. Semoga pendapat-pendapat  sebagian  ulama  fikih
yang menegaskan bahwa harta penghasilan wajib zakat dan cara
mengeluarkan zakatnya seperti yang diterangkan mereka, dapat
membantu  kita  dalam  menetapkan  kebijaksanaan wajib zakat
atas penghasilan pegawai dan golongan profesi tersebut.
 

BAGAIMANA CARA PENGELUARAN ZAKAT HARTA PENGHASILAN?
 
Ulama-ulama salaf yang berpendapat bahwa  harta  penghasilan
wajib   zakat,   diriwayatkan   mempunyai   dua  cara  dalam
mengeluarkan zakatnya:
 
1. Az-Zuhri berpendapat bahwa bila seseorang memperoleh
   penghasilan dan ingin membelanjakannya sebelum bulan wajib
   zakatnya datang, maka hendaknya ia segera mengeluarkan zakat
   itu terlebih dahulu dari membelanjakannya, dan bila tidak
   ingin membelanjakannya maka hendaknya ia mengeluarkan
   zakatnya bersamaan dengan kekayaannya yang lain-lain.
   
   Hal serupa atau dekat dengan pendapat tersebut adalah
   pendapat Auza'i tentang seseorang yang menjual hambanya atau
   rumahnya bahwa ia wajib mengeluarkan zakat sesudah menerima
   uang penjualan ditangannya, kecuali bila ia mempunyai bulan
   tertentu untuk mengeluarkan zakat, maka ia hendaknya
   mengeluarkan zakat uang penjualan tersebut bersamaan dengan
   hartanya yang lain tersebut.
   
   Ini berarti bahwa bila seseorang mempunyai harta yang
   sebelumnya harus dikeluarkan zakatnya dan mempunyai masa
   tahun tertentu maka hendaknya ia mengundurkan pengeluaran
   zakat penghasilannya itu bersamaan dengan hartanya yang
   lain, kecuali bila ia kuatir penghasilannya itu
   terbelanjakan sebelum datang masa tahunnya tersebut yang
   dalam hal ini ia hendaknya segera mengeluarkan zakatnya.
   
2. Makhul berpendapat bahwa bila seseorang harus
   mengeluarkan zakat ada bulan tertentu kemudian memperoleh
   uang tetapi kemudian dibelanjakannya, maka uang itu tidak
   wajib zakat, yang wajib zakat hanya uang yang sudah datang
   bulan untuk mengeluarkan zakatnya itu. Tetapi bila ia tidak
   harus mengeluarkan zakat pada bulan tertentu kemudian ia
   memperoleh uang, maka ia harus mengeluarkan zakatnya pada
   waktu uang tadi diperoleh.
 
Pendapat itu dengan demikian memberikan keistimewaan  kepada
orang-orang  yang  mempunyai  uang  yang  harus  dikeluarkan
zakatnya pada  bulan  tertentu  itu,  dan  tidak  memberikan
keistimewaan  kepada orang yang tidak mempunyai uang seperti
itu.  Yaitu  membolehkan  orang-orang  yang   pertama   tadi
membelanjakan   penghasilannya   tanpa   mengeluarkan  zakat
kecuali  bila  masih  bersisa  sampai  bulan  tertentu  yang
dikeluarkan zakatnya bersamaan dengan kekayaannya yang lain,
sedangkan mereka yang tidak mempunyai  kekayaan  lain  harus
mengeluarkan   zakat   penghasilannya  pada  waktu  menerima
penghasilan tersebut. Kesimpulannya:  memberikan  keringanan
kepada  orang yang mempunyai kekayaan lain dan memberi beban
berat kepada orang  yang  tidak  mempunyai  kekayaan  selain
penghasilannya tersebut.
 
Dalam  masalah  ini  yang  lebih  kuat  menurut  saya adalah
pendapat bahwa penghasilan yang mencapai nisab wajib diambil
zakatnya,  sebagaimana yang dikatakan Zuhri dan Auza'i, baik
dengan mengeluarkan zakatnya begitu diterima  ini  khususnya
bagi  mereka yang tidak mempunyai kekayaan lain yang bermasa
wajib zakat tertentu ataupun dengan mengundurkan pengeluaran
zakat sampai batas setahun bersamaan dengan kekayaannya yang
lain bila ia tidak kuatir akan membelanjakannya, tetapi bila
ia  kuatir  penghasilan itu akan terbelanjakan olehnya, maka
ia harus mengeluarkan zakatnya segera. Dan juga sekalipun ia
membelanjakan   penghasilannya   itu,  maka  zakatnya  tetap
menjadi tanggungjawabnya, dan  bila  tidak  mencapai  nisab,
zakatnya  dipungut  berdasar  pendapat  Makhul  yaitu  bahwa
kekayaan yang sudah sampai  bulan  pengeluaran  zakat  harus
dikeluarkan zakatnya, kekayaan yang harus dibelanjakan untuk
nafkah sendiri dan tanggungannya tidak diambil zakatnya, dan
bila  ia  tidak  mempunyai harta lain, ia harus mengeluarkan
zakatnya pada waktu  tertentu,  sedangkan  penghasilan  yang
tidak  mencapai  nisab,  tidak  wajib  zakat sampai mencapai
nisab bersama dengan kekayaan lain  yang  harus  dikeluarkan
zakatnya pada waktu itu dan masa sampainya dimulai dari saat
tersebut.
 
Pemilihan pendapat yang lebih kuat diatas berarti memberikan
keringanann  kepada  orang-orang  yang  mempunyai gaji kecil
yang tidak cukup senisab dan  kepada  mereka  yang  menerima
gaji  kecil  pada  waktu-waktu tertentu yang per satu kali
waktu tidak cukup senisab.
 
Pengeluaran Zakat Pendapatan dan Gaji Bersih
 
Setelah  kita  menegaskan  pendapat  yang  terpilih  tentang
kewajiban  zakat  atas gaji, upah, dan sejenisnya, maka kita
menegaskan pula bahwa  zakat  tersebut  hanya  diambil  dari
pendapatan bersih.
 
Pengambilan  dari  pendapatan  atau  gaji bersih dimaksudkan
supaya hutang bisa dibayar bila ada dan biaya hidup terendah
seseorang  dan  yang  menjadi tanggungannya bisa dikeluarkan
karena  biaya   terendah   kehidupan   seseorang   merupakan
kebutuhan  pokok  seseorang, sedangkan zakat diwajibkan atas
jumlah  senisab  yang   sudah   melebihi   kebutuhan   pokok
sebagaimana telah   kita  tegaskan  di  atas.    Juga  harus
dikeluarkan  biaya   dan   ongkos-ongkos   untuk   melakukan
pekerjaan  tersebut,  berdasarkan  pada pengqiasannya kepada
hasil bumi dan kurma serta  sejenisnya,  bahwa  biaya  harus
dikeluarkan  terlebih dahulu baru zakat dikeluarkan zakatnya
dari sisa. Itu adalah pendapat 'Atha dan lain-lain.
 
Berdasarkan hal itu maka sisa gaji  dan  pendapatan  setahun
wajib  zakat  bila  mencapai  nisab uang, sedangkan gaji dan
upah setahun  yang  tidak  mencapai  nisab  uang - setelah
biaya-biaya diatas dikeluarkan misalnya gaji pekerja-pekerja
dan pegawai-pegawai kecil, tidak wajib zakat.
 
PERHATIAN
 
Bila seseorang sudah mengeluarkan zakat  gaji,  penghasilan,
atau  sejenisnya  pada  waktu  menerimanya, maka tidak wajib
zakat lagi pada waktu masa tempo tahunnya  sampai,  sehingga
tidak  terjadi  kewajiban  mengeluarkan  zakat dua kali pada
satu  kekayaan  dalam  satu  tahun.   Karena   itulah   kita
menegaskan dalam pembahasan mengenai harta penghasilan bahwa
bila seseorang  mempunyai  penghasilan  itu  maka  ia  harus
menangguhkan  pengeluaran  zakatnya  sampai bersamaan dengan
pengeluaran zakat kekayaannya yang  lain  yang  sudah  jatuh
tempo zakatnya, bila ia tidak kuatir penghasilannya itu akan
terbelanjakan olehnya sebelum temponya sendiri jatuh.
 
Kita berikan contoh tentang itu  bahwa  seseorang  mempunyai
kekayaan  yang  dikeluarkan  zakatnya setiap tahun pada awal
bulan Muharram,  bila  ia  memperoleh  penghasilan,  gajinya
umpamanya pada bulan Safar atau Rabiul Awal atau bulan-bulan
sesudahnya dan ia sudah  mengeluarkan  zakatnya  pada  waktu
menerimanya,  maka ia tidak waJib lagi mengeluarkan zakatnya
sekali lagi pada akhir tempo bersama dengan kekayaannya yang
lain   itu,   tetapi  mengeluarkan  zakat  dari  penghasilan
tersebut atau sisanya pada masa tempo kedua,  sehingga  kita
tidak   mempersukar   diri  sendiri  sedangkan  Allah  telah
menegakkan syariat-Nya atas dasar kemudahan.

BESAR ZAKAT PENGHASILAN DAN SEJENISNYA
 
Berapakah besar zakat yang ditetapkan  atas  berbagai  macam
penghasilan  dan  pendapatan?  Masalah  yang  diundang  oleh
Muhammad Ghazali agar para  ulama  dan  ilmuwan  bekerjasama
membahasnya,  maka  kita  setelah  mengadakan penelitian dan
pengkajian, sampai pada satu  pendapat  yang  kita  paparkan
sebagai berikut:
 
Penghasilan  yang  diperoleh dari modal saja atau dari modal
kerja seperti penghasilan pabrik, gedung, percetakan, hotel,
mobil, kapal terbang dan sebangsanya-besar zakatnya adalah
sepersepuluh dari pendapatan bersih setelah  biaya,  hutang,
kebutuhan-kebutuhan   pokok  dan  lain-lainnya  dikeluarkan,
berdasarkan qias kepada  penghasilan  dari  hasil  pertanian
yang diairi tanpa ongkos tambahan.
 
Diatas  kita  sudah  bertemu  dengan pendapat Abu Zahrah dan
teman-temannya mengenai zakat gedung dan pabrik bahwa  bila
mungkin  diketahui  pendapatan  bersih  setelah  dikeluarkan
ongkos-ongkos  dan  biaya-biaya,  seperti  keadaan   dalam
perusahaan  industri,  maka zakatnya diambil dari pendapatan
bersih  sebesar  sepersepuluh,  dan   jika   tidak   mungkin
diketahui  pendapatan  bersih  seperti berbagai macam gedung
dan  sejenisnya,  maka  zakatnya  diambil  dari   pendapatan
tersebut  sebesar  sepersepuluh.  Klasifikasinya  itu  dapat
diterima.
 
Yang kita maksudkan dengan modal disini  adalah  modal  yang
dikembangkan  di  luar  sektor  perdagangan. Sedangkan modal
yang tersebar dalam sektor perdagangan maka zakatnya diambil
dari  modal  beserta keuntungannya sebesar seperempat puluh,
sebagaimana sudah dijelaskan dalam pembahasan  mengenai  hal
itu.
 
Tetapi pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan saja seperti
pendapatan pegawai dan golongan profesi yang mereka  peroleh
dari   pekerjaan   mereka,   maka  besar  zakat  yang  wajib
dikeluarkan adalah seperempat puluh, sesuai dengan  keumuman
nash  yang  mewajibkan zakat uang sebanyak seperempat puluh,
baik harta penghasilan maupun yang harta yang bermasa tempo,
dan   sesuai  dengan  kaedah  Islam  yang  menegaskan  bahwa
kesukaran dapat meringankan besar kewajiban serta  mengikuti
tindakan  Ibnu  Mas'ud  dan  Mu'awiyah  yang  telah memotong
sebesar tertentu, berupa zakat, dari gaji para  tentara  dan
para   penerima   gaji  lainnya  langsung  di  dalam  kantor
pembayaran gaji, juga sesuai dengan apa yang diterapkan oleh
khalifah  Umar bin Abdul Aziz. Pengqiasan penghasilan kepada
pemberian atau gaji  yang  diberikan  oleh  khalifah  kepada
tentara  itu  lebih  kuat  dari  pengqiasannya  kepada hasil
pertanian.  Sedang  yang  lebih   tepat   diqiaskan   kepada
pendapatan    hasil   pertanian   adalah   pendapatan   dari
gedung-gedung,   pabrik-pabrik,   dan   sejenisnya    berupa
modal-modal  yang  memberikan  penghasilan  sedangkan  modal
tersebut tetap utuh.
 
Ini berarti bahwa besar zakat pendapatan kerja lebih  ringan
dari  besar  zakat pendapatan modal atau modal kerja. Inilah
yang diterapkan oleh sistem perpajakan modern yang oleh para
ahli  moneter  dihimbau  agar  keadilan  diterapkan  melalui
penetapan  pajak  berdasarkan  kuat  atau  lemahnya   sumber
pendapatan   tersebut   sehingga  salah  satu  ciri  penting
kepribadian pajak pendapatan adalah perhitungan atas  sumber
pendapatan  tersebut.  Dan  karena  sumber  pendapatan  pada
pokoknya tidak keluar dari tiga hal, yaitu modal, kerja, dan
gabungan  antara modal dan kerja, maka ketentuan dalam dunia
perpajakan adalah bahwa besar pajak  pendapatan  atas  modal
tetap  atau  yang  berkembang  mempunyai urutan lebih tinggi
daripada besar pajak yang dikenakan  atas  penghasilan  dari
kerja.  Karena  modal merupakan sumber yang lebih stabil dan
mantap, sedangkan kerja merupakan sumber yang  paling  tidak
stabil.  Mereka  menegaskan  bahwa perhatian terhadap sumber
pendapatan  seharusnya  menyebabkan  pajak  yang  ditetapkan
dapat  mengurangi  beban  pajak, orang-orang yang memperoleh
pendapatan dari sumber yang lemah, dan itu berarti  berperan
aktif mewujudkan keadilan dalam distribusi pendapatan.
 
Bahkan  sebagian  orang-orang  sosialis  lebih ekstrim lagi,
yang menghimbau agar penghasilan dari kerja dapat dibebaskan
dari segala macam pajak untuk mendorong kerja tersebut.
 
Namun  pandangan  Islam  mengenai  zakat  adalah bahwa zakat
merupakan  lambang  pensyukuran  nikmat,  pembersihan  jiwa,
pembersihan  harta, dan pemberian hak Allah, hak masyarakat,
dan hak orang yang lemah.  Pandangan  itu  menegaskan  bahwa
zakat wajib dipungut dari hasil kerja sebagaimana juga wujud
dipungut  dari  pendapatan-pendapatan  yang  lain,  meskipun
besar zakat masing-masing berbeda-beda.
 
Catatan kaki:
 
 1 Halqa   ad-Dirasa al-Ijtima'iyya: 248.
 2 Ibid.
 3 Penentangan yang paling jelas adalah keluhan kebanyakan
   pegawai bahwa mereka sudah membelanjakan gaji mereka
   beberapa hari setelah diterima sampai meminjam lagi. Dalam
   hal ini secara ijmak waktu setahun tidak terpenuhi.
 4 Lihat Ibnu Hazm, al-Mahalla, jilid 4:3
   dan Nashb ar-Rayah, jilid 2: 28-329.
 5 Sunan Turmizi, kitab zakat, bab zakat emas dan uang.
 6 Mukhtashar as-Sunan, jilid 2: 191.
 7 Mizan al-I'tidal, jilid 2: 352-353. Terjemah no. 4052.
 8 Ibid: 182.
 9 Lihat riwayatnya dalam al-Mizan, no. 1918, jilid 1: 513-515.
10 At-Talkhish: 175.
11 Ibid, 175.
12 Nushbu ar-Riwayah, jilid 2: 330.
13 At-Talkhis, 175.
14 Tahdhib Sunan Abi Daud, jilid 2: 189.
15 Al-Mizan, jilid 1: 445-446, terjemah no. 1659.
16 Turmizi bisyarhi Ibni al-Arabi, jilid 3: 125-126.
17 Lihat as-Sunan al-Kubra. jilid 4: 95 dan at-Takhsish; 175.
18 Ibnu Hazm meriwayatkan hadis-hadis tersebut dengan sanadnya
   di dalam al-Muhalla, jilid 5: 276.
19 Al-Muhalla, jilid 4: 83; diriwayatkan oleh Abu Ubaid
   dalam al-Amwal: 413-414 dan menafsirkannya terlalu jauh.
20 Ibid, hal 84-85 dan terdapat perbedaan riwayat dari
   Umar bin Abdul Aziz dan Hasan.
21 Al-Amwal; 413 dan diriwayatkan dari sumber.
22 Al-Mushannif, jilid 3: 160, cetakan Hyderabad.
23 Al-Amwal, hal. 412.
24 Al-Mushannif, jilid 3: 114, cetakan Hyderabad.
25 Ia berbicara dalam Mujma' az-Zawaid, jilid 3: 68 dan
   orang-orangnya adalah shahih kecuali Hubairah yang adalah
   thiqah.
26 Ia juga telah membantu Abu Ubaid dalam penafsiran versi
   lain dari yang telah ditafsirkan oleh orang lain. Ia
   berkata, bahwa mereka meriwayatkan dari Sufyan dari Khushaif
   dari Abu Ubaidah dari Abdullah, "Barangsiapa memperoleh
   harta benda, maka tidak ada zakat didalamnya sehingga lewat
   setahun." Tetapi hadis tersebut lemah karena dua sebab:
   a. Bahwa Abu Ubaid berkata: "Mereka meriwayatkan dari
      Sufyan. Sedang dia sendiri tidak menyebutkan penyambung
      dia dan Sufyan.
   b. Bahwa Khushaif-meskipun ia banyak benarnya dituduh
      salah, hafalan jelek dan banyak dugaan serta banyak ragu,
      yang tidak bisa dijadikan landasan hukum. Barangkali yang
      paling benar adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Hiban.
      "Ia adalah seorang tua yang shaleh, ahli fikih, selalu
      tekun beribadah, tapi dia sering salah meriwayatkan hadis,
      selalu lain daripada hadis-hadis masyhur. Dia banyak
      benarnya dalam riwayatnya tetapi yang diragukan adalah
      untuk menerima ia benar dan mau menghindari yang tidak
      sesuai dengannya, tetapi ia adalah di antara orang yang
      dipilih Allah tentang hal tersebut (lihat Tahdhib
      at-Tahdhib, jilid 3: 143-144). Di sini kita melihat
      riwayat-riwayat yang shahih dari Ibnu Mas'ud bertentangan
      dengan riwayat Khushaif, yang membuat kita tidak boleh
      menganggap tidak benar.
27 Al-Muwaththa ma'a al-Muntaqa, jilid 2: 95.
28 Al-Amwal; 432.
29 Al-Mushannif; 85.
30 Lihat al-Mughni jilid 2: 626 dan jilid 3: 29 dan 47.
31 Ar-Raudh an-Nadhir, jilid 2: 411 dan Nail al-Authar,
   jilid 4: 148.
32 Ar-Raudh an-Nadhir, jilid 2: 411.
33 Ibnu Hazm, al-Muhalla, jilid 4: 84.
34 Ibid.
35 Ibid.
36 Ibnu Hazm, al-Muhalla, jilid 6: 84.
37 Ia berkata dalam Majma' az-Zawaid "orang-orangnya adalah
   orang-orang shahih kecuali Hubairah yang tidak dipercaya"
   (jilid 3: 68).
38 Ibnu Syaibah, Mushannif, jilid 4: 42-44, penerbit Maltan.
39 Ibid.
40 Lihat Syarh al-Muntwqa 'ala al-Muwaththa, jilid 2: 95.
   penerbit as-Sa'adah.
41 Bukhari, Shahih al-Bukhari, kitab zakat dalam bab "Setiap
   Muslim Wajib Sedekah," jilid 2: 143, penerbit asy-Syaib.
42 Menurut saya bahkan juga atas petani penyewa yang tidak
   memiliki kurang satu qirat tanah pun jika tanahnya
   menghasilkan lima puluh kail jagung atau gandum sebagaimana
   pendapat Jumhur.
43 Muhammad Ghazali. al-Islam wa al-Audza al-Iqtishadiyyah;
   166-168. cet. kelima.
44 Perhatikan kembali apa yang kami tulis dalam pendahuluan
   tentang kaidah-kaidah yang kita pergunakan dalam memilih dan
   mentarjih pendapat-pendapat.
45 Ini berdasarkan ukuran nisab dua puluh misqal emas.
   Adapun jika berdasarkan ukuran perak, jarang sekali terjadi
   bahwa gaji tidak mencapai nisab.
46 Lihat Syarh Ghayah al-Muntaha, jilid 2: 59.
47 Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannif; jilid 4: 30.
48 Al-Mughni, jilid 2: 626, cet. al-Mannar ketiga.
49 Al-Mushannif; jilid 4: 30.
50 Lihat ketentuan "Lebih dari Kebutuhan Pokok" dalam fasal
   pertama bab ini, dan didalam fasal dari bab ini juga.
51 Lihat Dr. Muhammad Fuad Ibrahim, Mabadi' 'ilm al-Maliyah
   al-'Ammah, jilid 1: 284.

Tidak ada komentar