Iman Murni
"Orang-orang yang beriman dan tidak menodai iman mereka
dengan kedzaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat ketentraman
dan mereka itulah orang-orang yang menepati jalan hidayah."
(Al-An'am: 82).
Banyak orang yang menganggap dan mengaku dirinya beriman, akan tetapi di
samping itu, dia juga melakukan hal-hal yang mengeruhkan keimanannya itu, atau
bahkan sampai menggugurkan iman itu sendiri. Hal itu disebabkan oleh banyak
faktor; di antaranya, karena kebodohan mereka, atau mungkin karena kesombongan
dan keangkuhan mereka sehingga mereka tidak mau menerima kebenaran yang
disampaikan pada mereka. Padahal, dalam masalah keimanan dan tauhid, tidak ada
udzur (alasan) kebodohan. Jadi, seseorang tidak bisa beralasan dengan kebodohan
(ketidaktahuan)nya ketika salah dalam masalah iman dan tauhid ini. Dan salah
dalam masalah ini akan berakibat fatal. Masalah keimanan dan tauhid ini adalah
masalah yang sangat prinsip bagi seorang muslim, yang merupakan dasar dan
pondasi baginya, yang menentukan kuat tidaknya bangunan yang dibangun di atas
pondasi itu. Tetapi, justru kebanyakan manusia bodoh dalam hal ini, sehingga
sadar atau tidak sadar mereka sering menodai keimanan mereka itu. Maka, tidak
perlu diherankan jika ada tokoh agama, yang konon luas wawasan agamanya kemudian
sembrono dalam mengambil sikap yang justru jelas-jelas bertentangan dengan
agama. Seakan-akan dia adalah orang yang sama sekali tidak mengenal agama.
Mengapa demikian? Hal itu di antaranya adalah karena pondasi, dasar pijakannya
tidak kuat. Pondasi yang dimaksud adalah akidah.
Banyak juga orang,
bahkan yang disebut ulama, yang keliru dalam memahami ayat di atas. Mungkin
karena ketidaktahuan mereka akan keterangan tentang ayat tersebut yang datang
dari Rasulullah saw., atau mungkin karena mereka terbiasa menafsirkan ayat
dengan pikiran mereka sendiri tanpa didasari oleh ilmu. Mereka menafsirkan ayat
tersebut adalah bahwa orang yang beriman dan tidak menodai imannya dengan
kedzaliman, yaitu kedzaliman kepada orang lain dan diri mereka, maka mereka
itulah yang berhak mendapat ketentraman dan petunjuk. Mereka menafsiri
kedzaliman hanya sebatas itu. Sedangkan tidak ada manusia di dunia ini yang
tidak pernah mendzalimi dirinya sendiri, kecuali beberapa orang yang dilindungi
oleh Allah.
Maka dari itu, marilah kita simak bagaimana Ibnu katsir
mengomentari ayat tersebut. Beliau mengatakan, "Maksudnya, mereka adalah
orang-orang yang memurnikan ibadah hanya kepada Allah saja, mereka tidak
menyekutukan-Nya sama sekali, dan mereka itulah orang-orang yang tenteram pada
hari kiamat dan mendapat petunjuk di dunia akherat."
Diriwayatan oleh
Imam Bukhari, "Ketika turun ayat, 'Orang-orang yang beriman, dan tidak menodai
iman mereka dengan kedzaliman', kami (para sahabat) berkata, 'Wahai Rasulullah,
siapakan di antara kami yang tidak mendzalimi dirinya?' Beliau bersabda, 'Bukan
seperti yang kamu katakan, mereka tidak menodai iman mereka dengan kedzaliman,
tetapi dengan kemusyrikan. Bukankah kamu telah memperhatikan perkataan Luqman
kepada anaknya?, 'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah.
Sesungguhnya, mempersekutukan Allah adalah kedzaliman yang besar' (Luqman:
13)'."
Imam Ahmad juga meriwayatkan hal senada dari Abdullah, katanya,
"Ketika turun ayat, 'Orang-orang yang beriman, dan tidak menodai iman mereka
dengan kedzaliman', hal itu menyebabkan para sahabat Rasulullah saw. menjadi
resah. Lalu mereka bertanya, 'Wahai Rasulullah, siapakah di antara kami yang
tidak mendzalimi dirinya?' Beliau menjawab, 'Sesungguhnya, itu bukan seperti
yang kamu semua maksudkan. Bukankah kamu semua telah mendengar apa yang
dikatakan oleh seorang hamba yang saleh, 'Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kedzaliman
yang besar' (Luqman: 13)'."
Syaikhul Islam berkata, "Yang membuat mereka
resah adalah, mereka mengira bahwa kedzaliman yang harus dihilangkan itu adalah
kedzaliman seorang hamba kepada dirinya sendiri. Sementara itu, tidak ada
ketentraman dan petunjuk kecuali bagi orang yang tidak pernah mendzalimi dirinya
sendiri. Maka dari itu, Nabi saw. menerangkan tentang sesuatu yang menunjukkan
kepada mereka, bahwa kemusyrikan disebut kedzaliman menurut ungkapan Kitab
Allah. Maka, tidak akan ada ketentraman dan petunjuk kecuali bagi orang yang
tidak menodai keimanannya dengan kedzaliman ini. karena, orang yang tidak
menodai keimanannya dengan kedzaliman berhak meneriman ketentraman dan petunjuk
sebagaiamana ia termasuk orang-orang pilihan. Seperti dalam firman Allah,
"Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri,
dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang
terdepan dalam berbuat kebaikan dengan idzin Allah. Yang demikian itu adalah
karunia yang amat besar." (Faathir: 32).
Ini tidak menafikan bahwa salah
seorang dari mereka disiksa karena kedzalimannya terhadap diri sendiri dengan
melakukan dosa jika ia tidak bertobat. Sebagaimana firman Allah ta'ala, "Barang
siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (Az-Zalzalah: 7-8).
Abu
Bakar bertanya kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah, siapakah di antara
kita yang tidak melakukan perbuatan buruk? Maka beliau menjawab, 'Wahai Abu
Bakar, bukankah kamu pernah berjerih payah? Bukankah kamu pernah sedih? Bukankah
kamu pernah tertimpa keresahan? Itulah yang kamu dibalas
dengannya'."
Dengan demikian, beliau menjelaskan bahwa seorang mukmin
yang jika mati lalu ia masuk surga, terkadang kejahatannya telah dibalas di
dunia dengan musibah.
Barang siapa yang selamat dari tiga jenis
kedzaliman; syirik, mendzalimi orang lain, dan mendzalimi diri sendiri dengan
perilaku dosa yang selain syirik, maka baginya ketenteraman dan petunjuk yang
sempurna. Sedangkan barang siapa yang tidak selamat dari kedzaliman terhadap
dirinya sendiri, maka baginya ketentraman dan petunjuk yang masih bersifat
mutlak. Dalam artian, bahwa ia pasti masuk surga sebagaimana yang dijanjikan
Allah pada ayat lain. Allah telah memberinya petunjuk ke jalan yang lurus yang
menyebabkan dia masuk surga. Namun, ia pun akan mendapatkan keamanan dan
petunjuk yang kurang sempurna tergantung dari kurangnya iman yang berupa
kedzaliman terhadap dirinya sendiri. Bukanlah yang dimaksud Nabi saw. dalam
sabdanya, "Akan tetapi itu adalah syirik." Adalah bahwa orang yang tidak pernah
melakukan syirik besar, baginya ketenteraman dan petunjuk yang sempurna. Karena,
banyak hadis dan ayat-ayat Alquran yang menerangkan bahwa orang-orang yang
maklukan dosa besar (ahlul kaba'ir) akan menghadapi ketakutan. Mereka tidak
mendapatkan ketenteraman dan petunjuk yang penuh, yang dengan keduanya mereka
mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus, yaitu jalan bagi orang-orang yang
telah Allah berikan nikmat kepadanya tanpa adanya siksa yang menimpa. Sebaliknya
mereka mendapatkan standar minimal petunjuk menuju jalan ini dan nikmat dari
Allah untuk mereka, dan mereka pun nantinya masuk surga.
Sabda Nabi,
"Akan tetapi itu adalah syirik, "jika yang dikehendaki adalah syirik besar, maka
maksudnya adalah orang yang tidak melakukan syirik besar akan selamat dari siksa
dunia dan akherat, yang diancamkan kepada orang-orang musyrik. Jika yang
dimaksud di sini adalah syirik kecil, maka jika seorang hamba mendzalimi dirinya
sendiri, seperti bakhil dalam sebagian kewajiban karena cinta kepada dunia, maka
itu adalah syirik kecil. Juga, kecintaannya kepada sesuatu yang dimurkai Allah
sehingga mendahulukan hawa nafsunya atas kecintaannya kepada Allah dan
sebagainya, itu adalah syirik kecil dan sebagainya. Maka, orang seperti ini akan
kehilangan petunjuk, tergantung pada kesyirikannya. Dengan pertimbangan
tersebut, para ulama' salaf yang saleh mengategorikan dosa ke dalam kesyirikan
ini." Demikian pendapat Ibnu Taimiyah.
Dari keterangan di atas, kiranya
cukup jelas bagi kita apa makna yang terkandung dalam ayat di atas. Kedzaliman
yang dimaksud dalam ayat di atas adalah syirik. Meskipun sebagian kedzaliman
pada diri sendiri juga bisa termasuk dalam kesyirikan ini. Jadi, orang yang
beriman, yang tidak mencampuri keimanan mereka dengan kesyirikan, mereka itulah
yang berhak mendapatkan ketenteraman dan petunjuk.
Padahal, sangat
sedikit sekali orang yang benar-benar murni imannya, bersih dan tidak ternodai
dengan kotoran syirik. Hal ini seharusnya memberikan dorongan kepada kita agar
berhati-hati jangan sampai kita terjerumus ke dalam jurang kesyirikan, yang
apabila keimanan kita ternodai dengannya, maka ketenteraman dan petunjuk yang
kita harapkan tidak akan kita dapatkan, dan justru sebaliknya, kita akan
mendapatkan kecelakaan dan kesengsaraan yang berkepanjangan. Na'udzubillah min
dzalik.
Allah berfirman, "Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman
kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan
sembahan-sembahan lain)." (Yusuf: 106).
Tauhid (iman) dan syirik,
keduanya tidak akan mungkin pernah bersatu di hati seseorang. Karena keduanya
bertentangan. Jika beriman, maka harus menghilangkan dan membuang jauh-jauh
kesyirikan. Jika seseorang melakukan kesyirikan (syirik besar), secara langsung
keimanan akan luntur dan batal.
Adapun hal-hal yang termasuk perbuatan
syirik sangatlah banyak. Yang semua itu intinya adalah mempersekutukan Allah,
atau menjadikan tandingan untuk Allah. Terkadang seseorang melakukan suatu
perbuatan yang dia yakini bahwa perbuatan itu adalah benar karena dia
melakukannya tanpa petunjuk (dalil), hanya karena persangkaan atau karena
ikut-ikutan, padahal perbuatannya itu adalah termasuk kesyirikan. Maka,
terhapuslah amalan yang dia lakukan itu atau semua amalnya, dan akhirnya, dia
akan menanggung beban yang teramat sangat berat di hadapan Allah. Sebab, syirik
adalah merupakan dosa besar yang paling besar. Dan tidak akan diampuni apabila
tidak bertobat sebelum nyawa sampai di tenggorokan.
Kendati demikian,
idealnya kita harus berusaha sekuat tenaga dan semampu kita untuk meninggalkan
segala macam dosa. Karena, para ulama' mengategorikan segala macam dosa ke dalam
kedzaliman. Baik itu dzalim kepada diri sendiri, atau dzalim kepada orang lain.
Adapun kedzaliman yang paling besar adalah kedzaliman dalam masalah tauhid,
yaitu kedzaliman seorang hamba kepada Allah swt. Yang disebut dengan dosa itu
adalah bersumber dari dua hal; meninggalkan perintah, atau mengerjakan larangan.
Dan dari semua itu, perkara yang paling besar adalah yang berkaitan dengan iman
dan tauhid. Perintah yang paling utama adalah tauhid, dan larangan yang paling
besar adalah syirik.
Ya Allah, lindungilah kami dari menyekutukan-Mu
dengan sesuatu, sedangkan kami mengetahuinya. Dan ampunilah kami, terhadap suatu
kesyirikan yang kami tidak mengetahuinya.
Post a Comment