Pengorbanan Ibrahim 'Alaihis Salam
Pengorbanan Ibrahim 'Alaihis Salam
"Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa
kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya...."
(Al-Baqarah: 124).
Allah memerintah Ibrahim as berhijrah ke Mekah. Perintah ini,
bukan kali pertama bagi Ibrahim. Sebelumnya beliau telah menunaikan hijrah
beberapa kali: dari Babilon ke Palestina; dari Palestina ke Mesir; dari Mesir ke
Palestina lagi. Semua beliau lakukan demi risalah suci. Hijrah ke Mekah kemudian
menjadi peristiwa yang monumental, di dalamnya syarat dengan pelajaran untuk
sebuah pengorbanan sejati. Sekurang-kurangnya ada tiga aktor yang berperan
penting: Ibrahim, Hajar, Isma'il. Ketinganya mewakili tiga unsur keluarga:
bapak, istri, dan anak.
Adalah Ibrahim as yang sudah berumur mengharapkan keturunan.
Allah kemudian memberinya Isma'il. Bukan main girang dan bersyukurnya Ibrahim,
ia mendapat karunia yang selama ini selalu dimintanya. Sampai akhirnya datang
perintah hijrah ke tempat yang kini dikenal dengan Mekah. Ibrahim, Hajar, dan
Isma'il pergi menuju padang gersang yang tak bertuan itu. Tiada penduduk, tiada
tempat tinggal, tiada tanaman, tiada air. Di tempat itulah Ibrahim rela
meninggalkan istri dan bayinya. Semua ia lakukan demi perintah Allah. Tak banyak
bekal yang beliau tinggalkan, kecuali seteko air dan sekantong makanan.
Ibnu Katsir menceritakan, saat Nabi Ibrahim hendak berlalu,
sang istri menarik (menahan) tali kekang tunggangannya dan bertanya, "Apakah
Kanda akan meninggalkanku bersama anakmu di tempat yang tiada tanaman lagi (tak
bertuan)?" Ibrahim as terdiam. Hajar mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali
dan tetap saja Ibrahim diam. Sampai akhirnya Hajar mengganti pertanyaan, "Apakah
Allah yang memerintahkanmu melakukan hal ini?" "Benar," jawab Ibrahim. Hajar
menimpali, "Jika demikian, Allah tidak akan mempersulit kami."
Sungguh sebuah dialog yang menusuk hati. Merefleksikan
kedalaman iman. Tercermin ketundukan sekaligus pengorbanan yang menakjubkan.
Berhijrah meninggalkan kemapanan, dan barangkali rumah, pekerjaan, sanak
keluarga serta nilai materi dunia lain, menuju tempat yang gersang tak bertuan,
tak ada jaminan keamanan, tidak juga makanan dan minuman, apalagi sanak keluarga
dan handai taulan. Sebuah sikap dan keputusan yang memancarkan nilai tawakal dan
iman yang begitu tinggi, bahwa hanya Allah yang Maha Menghidupkan, Maha
Mematikan, Maha Memberi Rezeki. Meyakini dan mewujudkan keyakinan tersebut dalam
praktik, tentu tidak semudah meyakininya dalam teori. Tidak semudah menghafal
lafaz-lafaz asmaul husna. Ibrahim beserta keluarga tidak sedang berteori, tetapi
tangah mengartikulasikan sebuah teori.
Sampai akhirnya terjadilah peristiwa bersejarah. Perbekalan air
dan makanan Hajar habis. Isma'il a.s. menagis kehausan, karena ibunya tak lagi
dapat mengeluarkan ASI. Sang ibu kelabakan, ia berlari berusaha mencari air di
antara Bukit Shofa dan Marwa. Usahanya tak menuai hasil. Terjadilah mukjizat,
isma'il menjejakkan kakinya, dan terpancarlah air. Hajar berseru, "Zummi? zummi?
(berkumpullah)." Sang air kemudian mengumpul, jadilah ia telaga zam-zam. Dalam
syariat haji, kesabaran dan keyakinan keluarga Ibrahim diabadikan dalam amal
sa'i.
Selesaikah ujian? ternyata belum. Ketika Isma'il menginjak
dewasa dan sampai pada umur sanggup berusaha bersama ayahnya, Ibrahim mendapat
wahyu untuk menyembelih sang anak. Ibrahim berkata, "Wahai anakku,
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah
apa pendapatmu!" Sungguh sebuah perintah yang tiada terkira pengorbanannya,
baik bagi sang bapak maupun sang anak. Keimanan keduanya ditantang. Pernyataan
Isma'il sungguh memukau, "Ia menjawab: 'Hai Bapakku, kerjakan apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar'." (Ash-Shaffat: 102).
Akhirnya perintah itu ditunaikan. Saat Ibrahim hendak
menyembelih anak kesayangannya, setan datang mengganggu. Ibrahim sadar akan
gangguan, maka dilemparlah setan dengan batu. Gangguan terjadi hingga tiga kali.
Peristiwa ini diabadikan dalam syariat haji berupa "lempar jumrah". Ketika mata
pisau Ibrahim hendak menyentuh leher Isma'il, Allah menahan mata pisau itu dan
menggantikannya dengan seekor domba. Kisah ini dikenang dalam syariat
penyembelihan hewan kurban pada setiap musim haji.
Demikian, Ibrahim as sang suri tauladan. Kecintaan yang purna
terhadap Allah menghantarkan ia lulus ujian. "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim
diuji Rabnya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim
menunaikannya...." (Al-Baqarah: 124). Kisah di atas hanya salah satu bentuk
ujian baginya. Sebelumnya, Ibrahim juga menghadapi ujian-ujian yang luar biasa.
Dan Ia selalu lulus. Para Mufassir banyak menyebutkan bentuk-bentuk ujian
Ibrahim, dan ia selalu sukses menjalaninya.
Bukan hanya Ibrahim yang mencontohkan pengorbanan di atas.
Istri dan anaknya demikian juga. Sungguh sebuah komposisi yang ideal, ada
teladan seorang bapak, teladan seorang istri, dan teladan seorang anak.
Ketiganya adalah pilar sebuah keluarga. Baik buruknya sebuah keluarga menjadi
kunci utama baik buruknya sebuah masyarakat. Karena, masyarakat terbangun atas
sekumpulan keluarga, demikian seterusnya. Sungguh tak terbayang, betapa indah
sebuah bangunan masyarakat jika unsur-unsur masyarakatnya adalah manusia
terdidik seperti terdidiknya keluarga Ibrahim? Manusia-manusia bertauhid yang
meletakkan kecintaan terhadap Allah di atas segala-galanya?
Kisah pengorbanan Ibrahim sekeluarga menjadi "monumen" sejarah.
Ia selalu diperingati setiap tahun dalam syari'at haji dan kurban pada setiap
Dzulhijjah. Bukan tanpa maksud, melainkan untuk ditauladani. Dari sini
masing-masing dapat bermuhasabah, sudahkah kecintaan kita terhadap Allah berada
di atas segala-galanya, melebihi cinta kita terhadap pekerjaan, tempat tinggal
dan harta? melebihi cinta kita terhadap anak, istri, bahkan kedua orang tua?
melebihi cinta kita terhadap yang paling berharga dalam hidup: nyawa kita? Semua
berpulang pada diri kita. Masing-masing pribadi yang tahu jawabannya. Wallahu
a'lam bish shawab.
Post a Comment