PERINGATAN AGAR TIDAK MUDAH MENGATAKAN HARAM
PERINGATAN AGAR TIDAK MUDAH MENGATAKAN HARAM
Kita
akhiri pembahasan kita kali ini dengan kata-kata terakhir yang kita tujukan
kepada yang mulia para pembaca (ulama) yang mudah untuk mengatakan kata-kata
haram ketika mereka berfatwa atau ketika mereka menulis dalam buku. Hendaklah
mereka muraqabah kepada Allah terhadap ucapan mereka, dan menyadari bahwa
kata-kata "Haram" itu sangat berbahaya. Karena itu berarti memutuskan
akan datangnya siksa dari Allah bagi yang melakukannya. Ini merupakan suatu
permasalahan yang tidak bisa diucapkan dengan main-main atau dengan
hadits-hadits dha'if. Tidak pula dengan sekedar berasal keterangan dari
"kitab kuning" (sembarang kitab), akan tetapi itu harus berdasarkan
dalil atau nash yang shahih dan sharih, atau ijma' yang mu'tabar shahih. Jika
tidak ada, maka sesungguhnya lingkup pemaafan dan pembolehan itu sangat luas,
dan mereka bisa beruswah kepada ulama salaf.
Imam
Malik RA berkata, "Tidak ada sesuatu yang paling berat bagi saya selain
ditanya tentang masalah halal dan haram, karena ini merupakan kepastian di
dalam hukum Allah SWT. Dan sungguh saya pernah melihat ahlul ilmi dan fiqih di
daerah kami, salah seorang di antara mereka itu apabila ditanya tentang masalah
seperti ini seakan-akan kematian berada di hadapannya. Tetapi saya juga melihat
ulama di zaman sekarang ini telah mengobral fatwa. Seandainya mereka mengetahui
apa yang akan mereka hadapi kelak pasti mereka akan berhati-hati. Sesungguhnya
Umar bin Khaththab dan Ali serta umumnya para sahabat yang mulia itu, apabila
diajukan kepada mereka persoalan-persoalan ummat, mereka mengumpulkan para
sahabat Nabi SAW dan mereka bertanya, baru setelah itu mereka berfatwa dengan
para sahabat, padahal mereka itu adalah sebaik-baik generasi. Sementara
orang-orang sekarang ini telah tertipu dengan kebanggaan mereka, atas dasar ini
semua, mereka itu mencari ilmu.
Imam
Malik juga berkata, "Sikap yang tidak pernah ada pada ulama salaf kita
yang mereka pantas untuk diikuti adalah mereka tidak terbiasa mengatakan,
"ini halal" dan "ini haram." Tetapi mereka mengatakan,
"Saya tidak suka, saya berpendapat demikian, adapun halal dan haram, itu
iftira' terhadap Allah SWT, tidakkah kamu mendengar firman Allah SWT:
"Katakanlah,
"Terangkanlah kepadaku tent:ang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu
kamu jadikan sebagian haram, dan (sebagian) halal, " Katakanlah,
"Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu
mengada-ada saja terhadap Allah." (Yunus: 59)
Karena
sesungguhnya yang halal adalah yang telah dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya,
demikian juga yang haram."
Imam
Syafi'i menukil dalam kirabnya "Al Um" dari imam Abu Yusuf, muridnya
Abu Hahifah, beliau berkata, "Aku melihat guru-guru kita dari ahlul ilmi
itu tidak suka berfatwa, dengan mengatakan, "Ini halal" dan "Ini
haram" kecuali apa-apa yang ada di dalam kita Allah SWT, dengan nyata,
tanpa penafsiran."
Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Saib dari Rabi' bin Haitsam (tabi'in yang mulia),
ia berkata, "Hendaklah seseorang itu berhati-hati untuk mengatakan,
'Sesungguhnya Allah telah menghalalkan ini atau meridhainya', lalu Allah
berkata kepadanya, 'Aku tidak menghalalkan ini dan tidak meridhainya!'. atau
orang itu mengatakan, 'Sesungguhnya Allah telah mengharamkan ini', kemudian
Allah berkata, 'Kamu bohong, saya tidak mengharamkannya dan tidak
melarangnya.'"
Telah
menceritakan juga kepada kami sebagian teman-teman kami dari Ibrahim
An-Nakha'i, bahwa ia menceritakan dari sahabat-sahabatnya, bahwa sesungguhuya
mereka itu apabila berfatwa tentang sesuatu atau melarang sesuatu, mereka
mengatakan, "Ini markruh," "Ini tidak apa-apa," adapun
mengatakan, "ini halal" dan "Ini haram," adalah amat berat
bagi mereka."
SENI KEINDAHAN YANG TERLIHAT (SENI LUKIS, KALIGRAFI)
<<
Kembali ke Daftar Isi >>
At-Tashwir (Melukis) dalam Perspektif Islam
Al
Qur'an menjelaskan tentang melukis atau menggambar, bahwa itu merupakan salah
satu perbuatan Allah SWT. Dia yang telah memberi rupa yang indah, terutama
terhadap makhluk hidup, dan utamanya lagi manusia. Allah SWT berfirman:
"Dialah
(Allah) yang memberi rupa kamu di dalam perut (ibumu) sebagaimana
dikehendaki-Nya..." (Ali Imran: 6)
"Dan
telah memberi rupa kamu dengan sebaik-baik rupa (bentuk)." (At-Taghabun: 3)
"Yang
telah menciptakan kamu lalu menryempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan
tubuh)-mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun
tubuhmu." (Al Infithar: 7-8)
Al
Qur'an juga menjelaskan bahwa sesungguhnya di antara Asma Allah Al Husna adalah
"Al Mushawir," sebagaimana di dalam firman Allah SWT,
"Dialah
Allah Yang Menciptakan Nama-nama yang Paling Baik ..." (Al Hasyr: 24)
Demikian
juga Al Qur'an relah menyebutkan patung-patung di dua tempat; pertama,
patung-patung yang dicela dan diingkari, yaitu melalui lisan Ibrahim as, di
mana kaumnya telah menjadikan patung-patung itu sebagai sesembahan. Maka
Ibrahim mengingkarinya, sambil mengatakan, "Patung-patung apakah ini yang
kamu tekun beribadat kepadanya?" Mereka menjawab, "Kami mendapati
bapak-bapak kami menyembahnya." (Al Anbiya':
52-53)
Yang
kedua, disebutkan oleh Al Qur'an dalam nada memberikan karunia kepada Sulaiman
as, yang telah ditundukkan kepadanya angin dan jin yang siap bekerja di sisinya
atas seizin Tuhannya. Firman Allah.
"Para jin itu bekerja untuk Sulaiman apa yang
dikehendakinya dangedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring
yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas
tungku)..." (Saba ':13)
HUKUM MELUKIS MENURUT SUNNAH NABI
<<
Kembali ke Daftar Isi >>
Adapun
Sunnah telah dipadati dengan hadits-hadits shahih, yang sebagian besar mencela
gambar dan orang-orang yang menggambar, bahkan sebagian hadits-hadits itu
sangat keras dalam melarang dan mengharamkan serta memberikan ancaman kepada
mereka, sebagaimana tidak boleh mengambil dan memasang gambar-gambar itu di
rumah, dan menjelaskan bahwa malaikat tak mau masuk ke rumah yang di dalamnya
ada gambarnya.
Malaikat
merupakan penyebab datangnya rahmat Allah SWT, ridha dan berkah-Nya. Maka
apabila dia tidak mau masuk ke dalam rumah, itu berarti bahwa pemilik rumah itu
tidak mendapatkan rahmat, ridha dan berkah dari Allah SWT.
Barangsiapa
yang merenungkan makna hadits-hadits mengenai lukisan -dan tindakan
memasangnya- serta memperbandingkan antara yang, satu dengan yang lainnya, maka
akan jelas bahwa larangan, pengharaman dan ancaman di dalam hadits-hadits itu
tidak asal-asalan. Tidak pula apriori, tetapi dibelakanganya ada sebab dan
alasan, tujuan yang jelas di mana syara' sangat memelihara dan mewujudkannya.
Menggambar sesuatu yang diagungkan dan dikultuskan
Sebagian
gambar (patung) dimaksudkan untuk mengagungkan yang digambar. Ini pun
bertingkat-tingkat, dari sekedar peringatan sampai ke tingkat pengkultusan,
bahkan sampai pada beribadah kepadanya.
Sejarah
watsanniyat (keberhalaan) membuktikan bahwa mereka berawal dari pembuatan
gambar atau patung untuk kenang-kenangan, tetapi kemudian sampai pada tingkat
pengkultusan dan beribadah.
Ahli
tafsir menjelaskan tentang firman Allah SWT melalui lisan Nuh AS ,
"Dan mereka berkata, "Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula kamu meninggalkan (penyembahan)
wadd, dan jangan pula suwa', yaghuts, ya'uq dan nasr." (Nuh: 23) "Bahwa nama berhala yang telah
disebutkan dalam ayat tersebut semula adalah nama-nama orang-orang shalih,
tetapi ketika mereka meninggal dunia, syetan membisiki kaum mereka agar
memasang di majelis-majelis mereka dan menamakan mereka dengan namanya. Maka
kaum itu pun melakukannya. Semula tidak disembah, tetapi setelah generasi
mereka hancur dan ilmu telah dilupakan, ketika itulah patung-patung tersebut
disembah." (HR. Bukhari)
Dari
'Aisyah ra, ia berkata, "Ketika Rasulullah SAW sakit beliau menyebutkan
kepada sebagian isterinya, bahwa ada gereja yang diberi nama "MARlA."
Saat itu Ummu Salamah dan Ummu Habibah datang ke bumi Habasyah, maka keduanya
menceritakan bagusnya gereja itu dan di dalamnya terdapat patung-patung. Maka
Rasulullah SAW mengangkat kepalanya, lalu mengatakan, "Mereka itu apabila
ada orang di kalangan mereka yang mati mereka membangun masjid di kuburannya,
kemudian mereka meletakkan gambar patung di atasnya, mereka itulah seburuk-buruk
makhluk Allah." (HR. Muttafaqun 'alaih)
Satu hal
yang dimaklumi bahwa gambar-gambar patung itu adalah yang paling laku di
kalangan orang-orang kafir watsaniyah. Sebagaimana terjadi pada kaum Nabi
Ibrahim, di kalangan masyarakat Mesir kuno, bangsa Yunani, Rumawi dan India sampai
hari ini.
Kaum
Nasrani ketika berada di bawah kekuasaan Konstantinopel Imperium Rumawi telah
banyak dimasuki oleh ornamen-ornamen watsaniyah dari Rumawi.
Barangkali
sebagian hadits yang mengancam keras terhadap gambar adalah dimaksudkan untuk
mereka yang membuat tuhan-tuhan palsu dan sesembahan yang beraneka ragam di
kalangan ummat yang bermacam-macam, demikian itu seperti haditsnya Ibnu Mas'ud
RA, marfu':
"Sesungguhnya
manusia yang paling berat siksaannya di sisi Allah adalah orang-orang yang
menggambar." (HR. Muttafaqun 'alaih)
Imam
Nawawi berkata, "Ini dimaksudkan bagi orang yang membuat patung untuk
disembah, dia adalah pembuat berhala dan sejenisnya. Ini adalah kafir yang
sangat berat siksanya. Ada
juga yang mengatakan, "Ini maksudnya adalah untuk mengungguli ciptaan
Allah SWT dan ia meyakini hal itu, maka ini kafir yang lebih berat lagi
siksanya daripada orang kafir biasa, dan siksanya bertambah karena bertambah
buruknya kekufuran dia." 26)
Sesungguhnya
Imam Nawawi mengemukakan hal tersebut, padahal dia termasuk orang-orang yang
keras di dalam mengharamkan gambar dan pembuatannya. Karena tidak terbayangkan
menurut tujuan syari'i bahwa tukang gambar biasa itu lebih berat siksanya
daripada orang yang membunuh, berbuat zina, peminum khamr, pemakan riba dan
pemberi saksi palsu dan yang lainnya dari orang-orang yang berbuat dosa-dosa
besar dan kerusakan.
Masyruq
pernah meriwayatkan hadits Ibnu Mas'ud -yang telah disebutkan- ketika dia dan
temannya masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada patung-patung, maka Masruq
berkata, "Ini adalah patung-patung Kisra," temannya berkata pula,
"Ini adalah patung-patung Maryam," maka kemudian Masruq meriwayatkan
haditsnya.
Menggambar Sesuatu yang dianggap termasuk Syi'ar Agama Lain
Yang
lebih mendekati dari jenis pertama adalah gambar yang menunjukkan syi'ar agama
tertentu selain agama Islam. Seperti salib menurut orang-orang Nasrani, maka
setiap gambar yang berbentuk salib itu diharamkan, dan wajib bagi seorang
Muslim menghilangkannya.
"Aisyah
RA menceritakan bahwa Rasulullah SAW tidak membiarkan di rumahnya sesuatu yang
berbentuk salib kecuali merusaknya (HR. Bukhari)
Mengungguli Ciptaan Allah
Mengungguli
ciptaan Allah SWT, dengan pengakuan bahwa ia juga menciptakan seperti Allah
SWT. Yang jelas hal ini terkait erat dengan tujuan (motivasi) dari pelukisnya.
Meskipun ada juga yang berpendapat bahwa setiap orang yang menggambar itu
berarti merasa mengungguli ciptaan Allah.
'Aisyah
RA meriwayatkan dari Nabi SAW beliau bersabda, "Manusia yang paling berat
siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang mengungguli ciptaan
Allah." (Muttafaqun 'alaih)
Ancaman
yang keras ini memberi satu pengertian bahwa mereka itu bermaksud mengungguli
ciptaan Allah. Inilah makna yang dikemukakan oleh Imam Nawawi di dalam syarah
Muslim, karena tidak bermaksud demikian kecuali orang yang kafir.
Rasulullah
SAW bersabda, "Allah SWT berfirman (dalam hadits qudsi), "Siapakah
yang lebih menganiaya daripada orang yang pergi untuk mencipta seperti
ciptaanku (melukis), maka hendaklah mereka menciptakan jagung, dan hendaklah
menciptakan biji-bijian, atau hendaklah menciptakan gandum." (Muttafaqun
'alaih)
lni
menunjukkan kesenjangan dan maksud untuk mengungguli ciptaan Allah SWT. Inilah
rahasia tantangan Allah SWT terhadap mereka pada hari kiamat, saat dikatakan
kepada mereka, "Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan!," ini perintah
untuk melemahkan, sebagaimana pendapat ahli ushul.
Gambar atau Lukisan Termasuk Fenomena Kemewahan
Jika
gambar itu di jadikan sebagai sarana kemewahan, maka ini termasuk yang tidak
diperbolehkan. Seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW di rumahnya.
'Aisyah
RA meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW pernah keluar dalam peperangan, maka
'Aisyah pernah memasang kain untuk tutup (gorden) di pintunya. Ketika Nabi SAW
datang, beliau melihat penutup itu, maka Rasulullah SAW menarik dan merobeknya,
kemudian bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita untuk
memberi pakaian batu atau tanah liat." 'Aisyah berkata, "Maka kami
memotongnya dari kain itu untuk dua bantal dan kami isi bantal itu dengan kulit
pohon yang tipis kering, maka beliau tidak mencela itu kepadaku ."
(Muttafaqun 'alaih)
Keterangan
seperti dalam hadits ini "Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan
kita," berarti itu tidak wajib dan tidak sunnah, tetapi lebih menunjukkan
makruh tanzih. Sebagaimana dikatakan oleh imam Nawawi (di dalam syarah Muslim),
bahwa rumah Rasulullah SAW haruslah menjadi uswah dan teladan bagi manusia
untuk dapat mengatasi keindahan dunia dan kemewahannya.
Ini
dikuatkan oleh hadits Aisyah lainnya, beliau mengatakan, "Kami pernah
mempunyai gorden yang bergambar burung, sehingga setiap orang yang mau ke rumah
kami, dia selalu melihatnya (menghadap). Maka Rasulullah SAW bersabda kepadaku,
"Pindahkan gambar ini, sesungguhnya setiap aku masuk (ke rumah ini) aku
melihatnya, sehingga aku ingat dunia." (HR. Muslim)
Di dalam
hadits lain juga diriwayatkan oleh Qasim bin Muhammad, dari 'Aisyah ra,
sesungguhnya 'Aisyah pernah mempunyai baju yang ada gambarnya yang dipasang di
pintu, dan Nabi kalau shalat menghadap gambar itu. Maka Nabi bersabda,
"Singkirkan dariku, 'Aisyah berkata, "Maka aku singkirkan dan aku
buat untuk bantal."
Ini
semuanya menunjukkan bahwa kemewahan dan kenikmatan, termasuk makruh, bukan
haram, tetapi Imam Nawawi mengatakan. "Ini difahami sebelum diharamkannya
mengambil gambar, oleh karena itu Nabi SAW masuk melihatnya, tetapi tidak
mengingkarinya dengan keras." (Syarah Muslim)
Artinya
Imam Nawawi berpendapat bahwa hadits-hadits yang zhahirnya haram itu menasakh
(menghapus) terhadap hadits ini tetapi nasakh ini tidak bisa ditetapkan sekedar
perkiraan. Karena penetapan nasakh seperti ini harus didukung oleh dua syarat;
pertama, benar-benar terjadi pertentangan antara dua nash, yang tidak mungkin
dikompromikan di antara keduanya, padahal masih mungkin dikompromikan, yaitu
dengan maksud bahwa hadits-hadits yang mengharamkan itu artinya mengungguli
ciptaan Allah SWT atau khusus untuk gambar yang berbentuk (yang memiliki
bayangan).
Yang
kedua, artinya harus mengetahui mana yang terakhir dari nash itu, padahal tidak
ada dalil yang menunjukkan bahwa yang diharamkan itu yang terakhir. Bahkan
menurut pendapat Imam Thahawi di dalam kitab "Musykilul Atsar"
sebaliknya, di mana mula-mula Islam sangat hersikap keras dalam masalah gambar,
karena masih berdekatan dengan masa jahiliyah, kemudian diberikan keringanan
untuk gambar-gambar yang tidak berbentuk, artinya yang menempel di kain dan
lainnya.
Di dalam
hadits lainnya 'Aisyah RA meriwayatkan bahwa ia membeli bantal kecil yang
bergambar, maka ketika Rasulullah SAW melihatnya lalu berdiri di hadapan pintu,
tidak mau masuk. Kata 'Aisyah, "Aku melihat dari wajahnya
ketidaksukaan." Maka aku berkata, "Wahai Rasululiah SAW, aku
bertaubat kepada Allah dan Rasul-Nya, dosa apakah yang aku lakukan?," maka
Nabi bersabda, "Untuk apa bantal kecil ini?" saya menjawab,
"Saya membelinya untukmu agar engkau bisa duduk di atasnya dan bisa engkau
tiduri," maka Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya orang-orang yang
membuat gambar ini akan disiksa pada hari kiamat, dan dikatakan kepada mereka,
"Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan."
Rasulullah
SAW juga bersabda, "Sesungguhnya rumah yang di dalamnya ada gambar, tidak
dimasuki malaikat." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Post a Comment