URGENSI BERTANYA
URGENSI BERTANYA
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang-orang yang mendo'a apabila ia berdo'a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran"
(QS 2:186)
Sebagai muslim, kita sangat dituntut untuk mengetahui dan memahami banyak persoalan dan ilmu pengetahuan. Semakin banyak ajaran Islam yang kita pahami, insya Allah semakin banyak pula yang bisa kita amalkan, karena mengamalkan ajaran Islam itu harus didahului dengan pemahaman, sementara semakin sedikit yang kita pahami dari ajaran Islam, makin sedikit pula yang bisa kita amalkan, apalagi belum tentu semua yang kita pahami dari ajaran Islam secara otomatis bisa kita amalkan dalam kehidupan ini.
Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mengetahui dan memahami suatu persoalan, termasuk di dalamnya ajaran Islam. Salah satunya adalah dengan bertanya. Karena itu bertanya menjadi sesuatu yang amat penting. Bahkan pribahasa kita menyebutkan: Malu bertanya, sesat di jalan.
Untuk mengetahui kadar pengetahuan seseorang, kedewasaan pribadinya, bahkan pengalaman hidupnya bisa kita ketahui dari bagaimana seseorang itu mengajukan pertanyaan. Begitu pula halnya dengan ajaran Islam. Bobot pertanyaan, kedalaman jiwa dalam berislam hingga apa sebenarnya yang dikehendakinya bisa terlihat dari pertanyaan para sahabat tentang berbagai persoalan kepada Rasulullah Saw dan ini erat kaitannya dengan turunnya suatu ayat atau surat di dalam Al-. Ada banyak faktor yang menyebabkan turunnya suatu ayat atau surat, faktor-faktor inilah yang disebut dengan asbaabun nuzul (sebab-sebab turunnya) Al-. Salah satu sebab dari turunnya ayat atau surat di dalam Al- adalah adanya pertanyaan dari para sahabat tentang berbagai persoalan, karena itu ada banyak ayat yang dimulai dengan yasaluunaka (mereka bertanya kepadamu) atau wa idza sa'alaka (apabila kamu ditanya).
DIBALIK PERTANYAAN.
Ketika menafsirkan ayat-ayat yang dimulai dengan kalimat-kalimat pertanyaan, Sayyid Qutub dalam kitab tafsirnya Fii Dzilalil menyebutkan bahwa pertanyaan-pertanyaan itu menunjukkan banyak hal. Pertama, sifat keterbukaan wahyu, perkembangan gambaran kehidupan dan hubungan-hubungannya serta munculnya persoalan-persoalan baru dalam masyarakat. Kedua, bangkitnya perasaan keagamaan, pengaruh dan dominasi aqidah terhadap jiwa kaum sehingga mereka tidak mau melakukan sesuatu kecuali setelah mendapatkan kemantapan dari pandangan peraturan dalam aqidahnya. Ketiga, tidak mudahnya kaum muslimin terpengaruh oleh provokasi yang dilakukan orang-orang kafir guna menanamkan keraguan ke dalam jiwa kaum muslimin hingga sampai menyesatkan mereka, karena mereka segera bertanya atas apa-apa yang mereka ragukan dari penyataan orang kafir itu yang berkaitan dengan amal di dalam Islam.
Dengan demikian, memiliki semangat bertanya merupakan sesuatu yang amat penting bagi kaum muslimin, dengan bertanya apa yang belum diketahui menjadi mudah diketahui, apa yang belum jelas menjadi jelas dan apa yang diragukan menjadi tidak perlu diragukan lagi, bahkan dengan bertanya kita pula bisa mendapatkan jawaban atas penjelasan yang jauh lebih luas dari apa yang kita perkirakan. Ini semua menunjukkan bahwa para sahabat Nabi adalah orang-orang yang selalu ingin menyesuaikan diri dengan segala ketentuan Allah Swt sehingga untuk menghindari terjadinya penyimpangan atau mengambil kesimpulan sendiri secara salah pertanyaan diajukan untuk mendapatkan petunjuk jalan yang benar.
Salah satu dari sekian banyak ayat yang turun dengan sebab adanya pertanyaan dari sahabat adalah firman Allah yang artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang-orang yang mendo'a apabila ia berdo'a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran (QS 2:186).
Ayat tersebut turun karena ada sahabat yang bertanya tentang Allah itu jauh atau dekat. Rasulullah Saw balik bertanya: "Mengapa engkau bertanya demikian?”. Sahabat menjawab: "Ya Rasul, kalau jawaban engkau bahwa Allah itu jauh, saya akan berdo'a kepada-Nya dengan berteriak dan suara keras, tapi bila jawaban engkau bahwa Allah itu dekat, saya akan berdo'a dengan suara yang datar atau rendah”. Maka turunlah ayat itu untuk menegaskan bahwa Allah itu pada hakikatnya dekat dengan manusia.
Bentuk-bentuk pertanyaan dari para sahabat tidak hanya menyebabkan turunnya suatu ayat atau surat di dalam Al-, tapi juga terungkapnya hadits dari Rasulullah Saw yang di dalam ilmu hadits disebut dengan asbabul wurud. Pertanyaan dari para sahabat membuat Rasulullah Saw memberikan jawaban-jawaban yang sangat berharga, tidak hanya bagi para sahabat pada masa itu, tapi juga kita semua pada masa sekarang. Diantara contoh hadits yang terkait dengan pertanyaan sahabat adalah yang artinya: "Seorang Arab Badui bertanya: "Kapankah tiba hari kiamat?'. Nabi menjawab: "Apabila amanah telah diabaikan, maka tunggulah kiamat itu”. Orang itu bertanya lagi: "Bagaimanakah disia-siakannya amanah itu?”. Nabi Saw menjawab: "Apabila suatu perkara (urusan) diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat”. (HR. Bukhari).
METODE DIALOG
Dari ayat dan hadits di atas serta dalil-dalil lain yang tidak mungkin ditulis semua dalam kolom yang terbatas ini, kita bisa mengambil pelajaran yang sangat berharga betapa para sahabat merupakan orang-orang yang suka bertanya dan Rasulullah Saw juga senang dengan pertanyaan para sahabat, ini berarti terbuka kesempatan berdialog yang begitu luas pada masa Rasulullah Saw, bahkan dialog itu memang menjadi salah satu metode dalam da'wah dan pendidikan. Sebagai pemimpin, Rasulullah Saw mengembangkan dialog sehingga dari sini Rasulullah Saw juga mendapatkan masukan-masukan atau ide-ide cemerlang yang sedemikian berharga dalam mensukseskan perjuangan. Salman Al Farisi, ketika mendengar penjelasan Rasulullah Saw bahwa strategi perang yang akan dilakukan adalah bertahan dengan menunggu serangan musuh untuk selanjutnya dihalau, maka beliau bertanya kepada Rasulullah: "Apakah strategi ini memang berdasar wahyu atau gagasan engkau secara pribadi?”. Rasul menjawab: "Ini bukan berdasar wahyu”. Maka Salman mengusulkan agar tidak sekedar menunggu serangan, tapi harus membuat perangkap berupa parit dan usul inipun disepakati sehingga digalilah parit sebagai perangkap yang membentengi kaum muslimin, maka perang inipun disebut dengan perang khandaq (parit).
Dalam mendidik anggota keluarga, menciptakan suasana yang dialogis merupakan sesuatu yang amat penting sehingga kesadaran melaksanakan sesuatu yang baik dan benar tumbuh dari dalam jiwa masing-masing anggota keluarga, bahkan kita bisa mengetahui tidak hanya kesadaran yang tinggi, tapi ada nilai plus yang sama sekali tidak kita duga, inilah yang pernah dialami oleh Nabi Ibrahim As ketika berdialog dengan anaknya, Ismail As dalam menyampaikan perintah Allah Swt untuk menyembelih sang anak kesayangan itu. Ismail ternyata bukan hanya mempersilahkan bapaknya untuk melaksanakan perintah Allah, tapi nilai plus yang ditunjukkannya adalah bahwa kebaikan yang dilakukannya ini belumlah seberapa dibandingkan kebaikan generasi terdahulu, dalam hal ini adalah kesabaran, peristiwa yang mengagumkan ini difirmankan oleh Allah yang artinya: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?”. Ia menjawab: Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS 37:102).
Dari penjelasan di atas, menjadi semakin jelas bagi kita betapa bertanya dan berdialog itu menjadi amat penting. Untuk memperbaiki diri kita masing-masing kita perlu memulai dengan bertanya dan berdialog kepada diri kita sendiri, inilah yang disebut dengan muhasabah (introspeksi diri). Pertanyaan yang harus kita ajukan pada diri kita antara lain: darimana saya berasal, untuk apa saya hidup, kemana saya akan kembali, apa saja yang sudah saya lakukan, apakah lebih banyak keshalehan daripada kesalahan yang saya tunjukkan, apa yang semestinya saya lakukan, bagaimana seharusnya saya menjalani kehidupan dan seterusnya.
Akhirnya, menjadi keharusan bagi kita untuk mengembangkan suasana yang dialogis dan amat penting bagi kita untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pertanyaan dalam upaya meningkatkan kualitas perjalanan hidup yang singkat ini.
Post a Comment