Hukum Talak Tiga Dalam Satu Lafazh (Talak Tiga Sekaligus)


Hukum Talak Tiga Dalam Satu Lafazh (Talak Tiga Sekaligus)
MUKADDIMAH

Fenomena perceraian sangat marak dewasa ini dan amat memprihatinkan. Kata Talak (cerai) dengan mudah diucapkan dan keluar dari mulut sang suami bahkan dari sang isteri padahal sebenarnya menurut syari’at bukan menjadi ‘hak’-nya, apalagi bila dikaitkan dengan kehidupan kalangan tertentu yang menjadikan kasus-kasus seperti ini yang terjadi pada diri mereka sebagai bahan ‘komersil.’

Selaku umat Islam, kita sangat terpukul karena ini menandakan bahwa sangat sedikit sekali kalangan umat ini yang memahami benar arti sebuah pernikahan dan makna ‘talak’ itu sendiri.

Terkait dengan masalah talak ini, kita sering mendengar ucapan ‘talak tiga’ dengan begitu ringan keluar dari mulut sang suami apalagi bila dalam kondisi emosi. Ucapan ini keluar tanpa mempertimbangkan syari’at dan implikasinya di mana salah satu pihak yang pasti akan menderita adalah anak (bila telah dikaruniai anak). Manakala sang isteri yang diceraikan bisa saja akan mendapatkan ‘pengganti’ setelah itu, tetapi akankah anak demikian.? Inilah yang perlu dipertimbangkan dengan matang dan secara seksama agar tidak ada penyesalan di kemudian hari.

Benar, bahwa talak itu merupakan tindakan terakhir yang disediakan syari’at dalam mengatasi lika-liku rumah tangga apabila memang tidak ada lagi kecocokan, tetapi hendaknya tidak menyerah dengan dalih seperti itu. Perlu ada upaya-upaya dan langkah-langkah guna menjadikan rumah tangga tetap harmonis dan terhindar dari keretakan.

Pada masa akhir khalifah ‘Umar, tindakan ‘main’ talak tiga begitu trendi sehingga membuat ‘Umar menjalankan ijtihad sekaligus memberikan pelajaran kepada mereka yang dengan seenaknya mengeluarkan ucapan yang berbahaya itu.

Nah, dalam kajian kali ini, diketengahkan seputar permasalahan tersebut, semoga bermanfa’at.

NASKAH HADITS


Dari Ibn ‘Abbas, dia berkata, Pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan 2 tahun pertama masa kekhilafahan ‘Umar talak tiga (sekaligus dengan satu lafazh) terhitung satu kali talak. Maka berkatalah ‘Umar bin al-Khaththab, “Orang-orang terlalu terburu-buru dalam urusan (menalak tiga sekaligus dalam satu lafazh) mereka yang dulu masih ada tempo waktunya. Andaikatan kami jalankan apa yang mereka lakukan dengan terburu-buru itu (bahwa talak tiga dalam satu kata (lafazh) itu jatuh talak tiga) niscaya hal itu dapat mencegah dilakukannya talak secara berturut-turut (seperti yang mereka lakukan itu).” Lalu ia memberlakukan hal itu terhadap mereka. (HR.Muslim)


Dari Mahmud bin Labid, ia berkata, saat Rasulullah SAW diberitahu mengenai seorang laki-laki yang menalak isterinya dengan talak tiga sekaligus, maka berdirilah ia dalam kondisi marah, kemudian berkata, “Apakah ia ingin bermain-main dengan Kitabullah padahal aku masih ada di tengah kalian.?” Ketika itu ada seorang laki-laki berdiri seraya berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku membunuhnya.?” (HR.an-Nasa’iy, dan para periwayatnya adalah para periwayat Tsiqat)

Kualitas hadits kedua ini adalah shahih.


Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata, Abu Rukanah telah menalak Ummu Rukanah, lalu Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Rujuklah isterimu itu.” Lalu ia menjawab, “Sudah aku talak tiga ia.” Beliau berkata, “Aku sudah tahu, rujuklah ia.” (HR.Abu Daud)

Dalam riwayat Ahmad terdapat teks:

“Abu Rukanah menalak isterinya dengan talak tiga dalam satu majlis (sekaligus), maka ia pun menyesali kejadian itu (bersedih atasnya), maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Ia hanya (terhitung) satu kali.”
Tetapi dalam sanad ini terdapat Ibn Ishaq yang perlu diberi catatan.

Abu Daud meriwayatkan dari jalur lainnya dengan riwayat yang lebih baik:

“Bahwa Abu Rukanah telah menalak isterinya, Suhaimah dengan pasti (sekaligus dan langsung talak tiga-red), lalu ia memberitahu Nabi SAW mengenai hal itu, lantas beliau berkata, “Demi Allah, kamu tidak menginginkan kecuali hanya satu kali saja.?” Maka, Rasululullah SAW mengembalikan isterinya kepadanya.

Kualitas Hadits

Para ulama berbeda pendapat mengenai hadits ini; ada yang menilainya shahih dan menjadikannya sebagai hujjah dan ada pula yang menilainya lemah (Dla’if) dan berhujjah dengan hadits yang bertentangan dengannya. Dari perbedaan ini timbul perbedaan para ulama mengenai hukum masalah yang ada di dalam hadits ini.

Bagi para ulama yang menilainya shahih, mereka berargumentasi: Abu Daud berkata, “Hadits ini merupakan hadits yang paling shahih dari hadits Ibn Juraij yang didalamnya berbunyi, ‘Sesungguhnya Rukanah telah menalak isterinya dengan talak tiga (sekaligus).’”

Ibn Majah berkata, “Aku mendengar ath-Thanaafisi berkata, ‘Alangkah mulianya hadits ini.’ Ini menjelaskan betapa sanadnya begitu mulia dan banyak faedahnya.”

Sementara para ulama yang menilainya lemah, termasuk di antaranya Ibn al-Qayyim berargumentasi: hadits tersebut dinilai lemah oleh Imam Ahmad. Syaikh kami (maksudnya, Ibn Taimiyyah-red) berkata, ‘Para ulama tokoh dan besar yang sangat mengenali ‘illat-‘illat hadits seperti Imam Ahmad, al-Bukhary, Ibn ‘Uyainah dan ulama lainnya menilai lemah hadits Rukanah tersebut. Demikian juga, Ibn Hazm. Mereka mengetakan, ‘Para periwayatnya adalah sekelompok orang yang masih anonim (tidak diketahui), tidak dikenal keadilan dan kekuatan hafalan mereka. Imam Ahmad berkata, ‘Hadits Rukanah tidak valid.’”

Imam at-Turmudzy berkata, “Hadits ini tidak dikenal kecuali dari jalur ini saja. Aku pernah menanyakan kepada al-Bukhari mengenainya, maka ia berkata, ‘Itu hadits Muththarib.’ (bagian dari hadits Dla’if/lemah-red).

Syaikh al-Albani berkata, “Alhasil, hadits tersebut Dla’if sedangkan hadits Ibn ‘Abbas lainnya yang bertentangan dengan makna hadits tersebut lebih kuat darinya, wallahu a’lam.”

Tarjamah (Biografi) Singkat Abu Rukanah Dan Ummu Rukanah

Sesuai dengan yang dikenal dalam buku-buku Taraajum, buku hadits dan lainnya, bahwa Abu Rukanah adalah Rukanah bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin la-Muththalib, al-Qurasyi al-Muththalibi.

Syaikh al-Bassam, pengarang buku syarah Bulughul Maram yang kita bahas ini mengomentari: “Demikian tertera namanya (Abu Rukanah) seperti yang saya dapatkan di dalam kitab Bulughul Maram…Saya juga merujuk beberapa kitab induk, termasuk di antaranya kitab al-Ishabah karya pengarang sendiri (yakni pengarang bulugh al-Maram, Ibn Hajar-red), saya hanya menemukan kata ‘Rukanah’ (tanpa Abu-red). Menurut saya adanya tambahan “Abu” ini hanya kerjaan Nussaakh (para penyalin tulisan dari teks asli ke buku berikutnya, dalam istilah sekarang: tukang Copy –red)

Sedangkan Suhaimah adalah Suhaimah binti ‘Umair al-Muzainah dari Bani Muzainah, sebuah kabilah Mudlar, sekarang bersekutu dengan kabilah Harb dan mendiami bagian barat kawasan al-Qashim (Arab Saudi-red).

PESAN-PESAN HADITS

1. Hadits pertama menginformasikan bahwa tiga kali talak dengan satu kalimat (lafazh) tidak dihitung (dinilai) selain sebagai satu kali talak saja; jika ia bukan merupakan talak yang ketiga (terakhir), maka masih boleh rujuk. Hadits ini merupakan rujukan inti bagi pendapat yang mengatakan demikian.

2. Hadits ke-dua menunjukkan bahwa tiga kali talak yang tidak diiringi rujuk dan nikah (langsung talak tiga sekaligus-red), maka ia merupakan talak bid’ah yang diharamkan.

3. Bahwa bermain-main dengan hukum-hukum Allah dan melanggar aturan-Nya termasuk dosa besar sebab Nabi SAW tidak marah kecuali terhadap kemaksiatan yang besar.

4. Bermain-main dengan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya adalah haram sekali pun dilakukan sepeninggal Rasulullah SAW. Beliau mengucapkan kata-kata seperti itu tidak lain karena merasa aneh dengan sangat cepatnya perubahan yang melanda berbagai perkara.

5. Indikasi dua riwayat Abu Daud dan Ahmad pada hadits ketiga adalah sama dengan hadits pertama dari sisi penilaian bahwa tiga kali talak itu terhitung satu kali talak saja dan bahwa seorang suami yang menalak isterinya boleh rujuk kepada isterinya selama talak itu bukan merupakan akhir dari angka talak yang masih dimilikinya (talak ini bukan terhitung yang ketiga kalinya dari talak yang pernah dilakukannya).

6. Sementara riwayat kedua dari Abu Daud di atas menunjukkan bahwa talak tiga sekaligus berlaku sesuai dengan niat orang yang menalak; jika ia meniatkan tiga, maka ia jadi tiga dan jika ia meniatkan hanya satu, maka ia jadi satu, yang memungkinkan untuk rujuk.

7. Riwayat talak tiga sekaligus dalam hadits Rukanah merupakan dalil Jumhur bahwa tiga talak itu merupakan ucapan talak Ba’in Bainuunah Kubro yang tidak bisa lagi dirujuk kecuali setelah si isteri yang ditalak itu menikah lagi dengan laki-laki lain (lalu bercerai lagi-red.).

Perbedaan Pendapat Para Ulama

Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang menalak dengan talak tiga sekaligus atau mengucapkannya dengan tanpa diselingi rujuk dan nikah.
Artinya, apakah talak tiga itu harus dikomitmeninya sehingga isterinya menjadi tidak halal lagi baginya kecuali setelah ia menikah lagi dengan laki-laki lain (lalu bercerai) dan menjalani masa ‘iddah darinya? Atau kah ia hanya terhitung satu kali talak saja sehingga ia boleh rujuk dengan isterinya selama masih dalam ‘iddah, lalu setelah ‘iddah ia melakukan ‘aqad baru sekali pun isterinya tersebut belum lagi menikah dengan laki-laki lain.?

Masalah ini menjadi ajang perdebatan panjang para ulama, bahkan gara-gara mengatakan boleh rujuk (dengan talak tiga sekaligus karena mengganggapnya terhitung satu kali talak-red) ada beberapa ulama yang disiksa, di antaranya Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dan para pengikutnya.

Ringkasan Dari Perselisihan Dan Perdebatan Panjang Itu Adalah:

1. Jumhur Ulama, di antaranya empat imam madzhab, jumhur shahabat dan tabi’in berpendapat bahwa tiga talak dengan satu kata (lafazh) adalah berlaku bila seorang suami berkata, “Kamu saya talak (tiga kali)!” dan semisalnya atau dengan beberapa kata (kamu saya talak, kemudian mengatakan lagi, kamu saya talak, kemudian mengatakan lagi, kamu saya talak) sekali pun sebelumnya belum terjadi rujuk dan nikah.

Dalil

a. Hadits Rukanah bin ‘Abdullah bahwasanya ia telah menalak isterinya secara pasti (talak tiga sekaligus), lalu ia memberitahukan hal itu kepada Nabi SAW, lantas beliau berkata, “Demi Allah, kamu tidak menginginkan kecuali hanya satu kali saja.?”

Hadits ini dikeluarkan oleh asy-Syafi’i, Abu Daud, at-Turmudzy, Ibn Hibban (dia menilainya shahih) dan al-Hakim.

Sisi Pendalilan

Di dalam hadits tersebut, Rasulullah meminta kepada suami yang menceraikan itu agar bersumpah bahwa ia tidak menginginkan dari ucapannya “putus” (talak tiga) tersebut kecuali hanya satu kali saja. Ini menandakan bahwa seandainya ia (suami) menghendaki lebih banyak dari itu (lebih dari satu kali) niscaya terjadilah apa yang diinginkannya.

b. Amalan para shahabat, di antaranya ‘Umar bin al-Khaththab RA yang menilai talak tiga dalam satu kata (lafazh) berlaku tiga seperti yang diucapkan suami yang menalak. Tentunya, mereka cukup sebagai panutan.

Selain dalil di atas, masih banyak lagi dalil yang dikemukakan pendapat ini namun apa yang kami sebutkan tersebut merupakan dalil yang lebih jelas dan secara terang-terangan.

2. Sekelompok ulama berpendapat tiga talak dalam satu kata (lafazh), atau tiga talak dalam beberapa kata yang tidak diiringi rujuk dan nikah, tidak jatuh kecuali hanya satu kali saja (satu talak). Pendapat ini didukung oleh riwayat dari beberapa shahabat, tabi’in dan para tokoh madzhab. Dari kalangan shahabat terdapat Abu Musa al-Asy’ari, Ibnu ‘Abbas, Ibn Mas’ud, ‘Ali, ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan az-Zubair bin al-‘Awwam. Dari kalangan tabi’in terdapat Thawus, ‘Atha’, Jabir bin Zaid dan mayoritas pengikut Ibn ‘Abbas, Abdullah bin Musa dan Muhammad bin Ishaq. Dan dari kalangan para tokoh madzhab terdapat Daud azh-Zhahiri dan kebanyakan sahabatnya, sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian sahabat Imam Malik, sebagian sahabat Imam Ahmad seperti al-Majd bin ‘Abdussalam bin Taimiyyah yang memfatwakan hal itu secara sembunyi-sembunyi dan cucunya, Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah yang memfatwakannya secara terang-terangan dengan memfatwakannya di majlis-majlisnya serta kebanyakan pengikutnya, di antaranya Ibn al-Qayyim yang membela mati-matian pendapat ini di dalam kitabnya al-Hadyu dan Ighaatsah al-Lahafaan. Di dalam kedua kitabnya tersebut, beliau memaparkannya secara panjang lebar, menukil berbagai nash-nash dan membantah pendapat para penentangnya dengan bantahan yang cukup dan memuaskan.

Dalil

Dalil pendapat ini terdiri dari nash-nash dan qiyas.
Dari nash, di antaranya:

Hadits yang diriwayatkan Muslim, bahwasanya Abu ash-Shahba’ berkata kepada Ibn ‘Abbas, “Tahukah kamu bahwa yang tiga itu dulu dijadikan satu talak saja pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan permulaan masa ‘Umar.? Ia menjawab, “Ya.” Di dalam lafazh yang lain, “dikembalikan kepada satu talak.?”, ia mejawab, “Ya.”
Ini merupakan nash yang shahih dan sangat jelas sekali, tidak bisa ditakwil-takwil atau pun dirubah.

Sedangkan dari Qiyas:

Mengumpulkan tiga sekaligus adalah diharamkan dan merupakan bid’ah sebab Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan (dalam agama) yang bukan berasal dari kami, maka ia tertolak.” Jadi, menjatuhkan (talak) tiga sekaligus bukan termasuk perkara yang berasal dari Rasulullah SAW sehingga ia tertolak.

Bantahan Terhadap Pendapat Pertama

Pendapat ke-dua ini membantah dalil-dalil pendapat pertama sbb:
Mengenai hadits Rukanah; di dalam sebagian lafazhnya terdapat, “Ia menalaknya tiga kali.” Dan di dalam lafazh yang lain, “Satu kali.” Sementara di dalam riwayat lain lagi terdapat lafazh, “al-Battah.” (putus). Oleh karena itu, al-Bukhari berkata mengenainya, “Ia hadits Muththarib.” (merupakan jenis hadits Dla’if/lemah-red)

Imam Ahmad mengatakan, “semua jalur periwayatannya lemah. Sebagian mereka (ulama) mengatakan, di dalam sanadnya terdapat periwayat yang tidak dikenal (majhul), di dalamnya terdapat orang yang lemah dan ditinggalkan (periwayatannya tidak digubris).”

Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah berkata, “Kualitas hadits Rukanah menurut para imam hadits, lemah. Dinilai lemah oleh Ahmad, al-Bukhari, Abu ‘Ubaid dan Ibn Hazm sebab para periwayatnya bukanlah orang-orang yang dikenal sebagai orang-orang yang adil dan kuat hafalannya (Dhabith).”

Sedangkan hadits ‘Aisyah RHA tidak tepat untuk dijadikan dasar berdalil sebab bisa jadi yang dimaksud dengan tiga tersebut adalah urutan terakhir bagi seorang suami yang manalak, dari tiga talak yang dimilikinya. Manakala ada kemungkinan seperti itu, maka berdalil dengannya pun menjadi batal. Hadits itu masih bersifat global (mujmal) sehingga dapat diarahkan kepada hadits Ibn ‘Abbas yang sudah dijelaskan (mubayyan) sebagaimana yang berlaku dalam ilmu ushul fiqih.

Adapun berdalil dengan amalan para shahabat, maka perlu dipertanyakan; siapa di antara mereka yang patut dan lebih utama untuk diikuti?


Kami katakan: bahwa jumlah mereka itu (para shahabat) lebih dari ratusan ribu. Bilangan orang yang banyak ini di mana orang nomor satu mereka adalah nabi mereka sendiri, yakni Rasulullah SAW menilai tiga talak tersebut sebagai jatuh satu kali. Hingga akhir hayat Rasulullah, kondisinya tetap seperti itu; khalifah beliau, Abu Bakar ash-Shiddiq RA memberlakukan hal itu hingga wafat, lalu ia digantikan khalifah ‘Umar RA. Di awal pemerintahannya, kondisi tersebut pun masih berlaku sebagai yang berlaku pada masa Rasulullah SAW. Setelah itu lah baru tiga talak itu dijadikan tiga seperti angkanya sebagaimana telah kami jelaskan sebabnya.

Jadi, mayoritas shahabat yang wafat sebelum kekhalifahan ‘Umar tetap menjalankan dan memberlakukan tiga talak itu dianggap satu kali saja.

Dengan begitu, kita ketahui bahwa berdalil dengan amalan para shahabat RA telah dibatalkan dengan semi ijma’ mereka (para shahabat) pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq RA.

Tentunya, ‘Umar bin al-Khaththab amat jauh dari melakukan suatu amalan yang bertentangan dengan amalan yang pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW. Yang ia lakukan, bahwa ia melihat banyak orang yang terburu-buru dan sering sekali melakukan talak tiga padahal ini merupakan perbuatan bid’ah yang diharamkan. Karena itu, ia melihat perlunya memberikan pelajaran atas ucapan mereka tersebut sekaligus sebagai sanksi atas dosa yang mereka lakukan. Demikian pula, atas tindakan mereka yang sengaja ingin menyulitkan diri sendiri padahal sudah mendapat kelapangan dan toleransi yang tinggi. Apa yang dilakukan ‘Umar ini semata adalah sebuah ijtihad layaknya ijtihad yang dilakukan para ulama tokoh di mana bisa berbeda seiring dengan perbedaan zaman dan tidak akan tetap sebagai sebuah produk syari’at yang mengikat, yang tidak dapat berubah. Yang tetap dan mengikat itu hanya syari’at pokok dari masalah ini (masalah talak-red).

Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah RAH berkata, “Jika ia (suami) menalaknya (isterinya) dengan talak tiga dalam masa suci baik satu kata atau beberapa kata seperti ‘Kamu ditalak, kamu ditalak, kamu ditalak’ atau ‘kamu ditalak’ kemudian berkata lagi, ‘kamu ditalak’, kemudian berkata lagi, ‘kamu ditalak’, menurut para ulama baik Salaf mau pun khalaf terdapat tiga pendapat dalam hal ini, baik wanita yang ditalak itu sudah disetubuhi mau pun belum:
Pertama, Bahwa hal itu merupakan talak yang dibolehkan dan mengikat; ini adalah pendapat asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat lamanya (dipilih oleh al-Kharqy)

Ke-dua, Bahwa hal itu merupakan talak yang diharamkan dan mengikat; ini adalah pendapat Malik, Abu Hanifah dan Ahmad (yang dipilih oleh kebanyakan sahabatnya). Pendapat ini juga dinukil dari kebanyakan ulama Salaf dan Khalaf dari kalangan para shahabat dan Tabi’in.

Ke-tiga, Bahwa ia merupakan talak yang diharamkan dan hanya berlaku satu kali talak saja; ini pendapat yang dinukil dari sekelompok ulama Salaf dan Khalaf dari kalangan para shahabat. Pendapat ini juga diambil kebanyakan Tabi’in dan generasi setelah mereka. Juga, merupakan pendapat sebagian sahabat Abu Hanifah, Malik dan Ahmad.

Tarjih

Pendapat ke-tiga inilah yang didukung oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. Di dalam Kitabullah atau pun as-Sunnah tidak terdapat hal yang mengharuskan berlakunya talak tiga bagi orang yang menjatuhkannya sekaligus baik dalam satu kata atau beberapa kata tanpa diiringi dengan rujuk atau pun akad.

Bahkan, di dalam Kitabullah dan as-Sunnah keharusan itu hanya berlaku bagi suami yang menalak hal yang dibolehkan Allah dan Rasul-Nya. Ini didukung oleh Qiyas dan penilaian dengan seluruh prinsip-prinsip syari’at.

Tidak terjadi pertentangan di kalangan kaum Muslimin bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang terjaga dari kesalahan (ma’shum) dalam apa yang disampaikannya dari Allah (wahyu). Beliau ma’shum dalam hal yang disyari’atkannya kepada umatnya menurut ijma’ kaum Muslimin. Demikian pula, umat Islam terjaga dari berkumpul di dalam kesesatan.

Ada pun masalah ‘bersumpah dengan talak’, Ibn Taimiyyah berkata, “Perbedaan antara talak dan bersumpah dengannya amat kentara, juga antara nadzar dan bersumpah dengan nadzar. Bila seseorang meminta hajat kepada Allah seraya berkata, ‘Jika Allah menyembuhkan penyakitku, melunasi hutangku atau menyelamatkanku dari kesulitan ini, maka aku bersumpah demi Allah akan bersedekah sebanyak seribu dirham, atau berpuasa selama sebulan atau membebaskan budak.’ Ini adalah mengaitkan nadzar (mensyaratkannya) di mana wajib menepatinya berdasarkan Kitabullah, as-Sunnah dan Ijma’.

Bila seseorang mengaitkan (mensyaratkan) nadzar dalam redaksi sumpah, dengan tujuan untuk menganjurkan atau melarang, seperti “Jika aku bepergian bersama kalian, atau jika aku mengawini si fulan, maka aku akan berhaji, atau hartaku akan aku sedekahkan’; kondisi orang tersebut menurut para shahabat dan jumhur ulama adalah sebagai seorang yang bersumpah dengan nadzar bukan hanya sebagai orang yang bernadzar. Bila ia tidak menepati apa yang telah dikomitmeninya, maka boleh ia menggantikannya dengan kafarat (tebusan) sumpah. WALLAHU A’LAM


Tidak ada komentar