Seputar Dakwaan Didalam Peradilan Islam
Seputar Dakwaan Didalam Peradilan Islam
MUKADDIMAH
Melihat fenomena peradilan yang berkembang di tanah air dan maraknya praktik yang kurang sehat di dalamnya bahkan ada sementara kalangan yang mensinyalir munculnya ‘mafia peradilan’, tentunya membuat hati kita tergugah sekaligus ikut teriris-iris.
Betapa tidak, umat Islam adalah mayoritas di negeri ini tetapi -hampir- tidak memiliki lembaga yang dapat melindungi dan memberikan putusan hukum yang adil terhadap mereka sesuai dengan tuntunan agama mereka.
Belum lagi, fenomena yang mengesankan adanya segolongan ‘etnis’ tertentu yang –seakan- menguasai lembaga peradilan dan hukum nasional.
Lembaga yang ada yang seharusnya menjadi tempat berteduh dan berlindung umat mayoritas, justeru amat dijauhi. Masyarakat seakan takut bila urusan atau perkara mereka sampai ke tangan lembaga ini. Ketakutan ini bukan karena takut ‘divonis’ bersalah bila memang ternyata bersalah tetapi lebih dari itu, mereka sudah ‘kadung’ alergi terlebih dahulu. Dalam pandangan mereka, bahwa urusan siapa yang benar dan bersalah tidak ditentukan lagi oleh lembaga ini. Yang menentukannya adalah ‘kekuatan luar’ yang bersembunyi di balik itu. ‘Kekuatan luar’ ini bisa berupa uang, kekuasaan dan sebagainya. Realitas yang terjadi saat ini merupakan bukti atas statement ini tanpa harus disebut satu per-satu.
Maka, tidak heran bila yang seharusnya berada di pihak yang benar bisa menjadi bersalah dan sebaliknya. Pihak yang memiliki ‘kekuatan’ tersebut dapat membolak-balikkan kondisi dan posisi sehingga rakyat biasa yang tak berdaya dan papa tidak dapat berbuat apa-apa selain pasrah.
Pihak yang memiliki ‘kekuatan’ tersebut dengan seenaknya dan leluasanya dapat ‘mendakwa’ bila merasa diri mereka difitnah, dicemari nama baiknya -meskipun dari sudut logika sudah pantas untuk itu- dan sebagainya. Demikian pula, bila mereka ‘didakwa’ maka dengan mudah pula melalui ‘kekuatan’ itu mendatangkan ‘sekian bukti’ atas ketidakbersalahan mereka. Mereka juga bisa ‘merangkul’ para ‘pembela’ (baca: advokat) kelas kakap yang siap berjuang mati-matian demi kepentingan ‘kliennya’ –menurut peristilahan yang mereka gunakan-.
Dalam hal ini, kami tidak hendak menyinggungnya dari persfektif ‘aqidah tentang ‘produk peradilan’ yang dibuat oleh manusia karena hal ini sebenarnya sudah jelas bagi mereka yang memahaminya. Disamping, pembicaraan seputar hal ini telah dibahas di dalam kajian khusus.
Yang ingin kami sampaikan dalam kesempatan kajian hadits kali ini adalah menyajikan hadits seputar satu aspek penting dari sekian banyak aspek di dalam ‘al-Qadla al-Islâmy’ alias Peradilan Islam. Yaitu masalah ‘dakwaan’ yang mencakup ‘al-Bayyinah’ (semua hal yang dapat menjelaskan dan menyingkap kebenaran) dan ‘al-Yamîn’ (sumpah).
Namun sebelum itu, perlu kami tekankan bahwa pembahasan tentang aspek ini bukanlah spesialisasi kami dan –sebenarnya- tidak banyak yang kami mengerti mengenai peristilahan di dalam ‘peradilan’ itu sendiri di negeri ini.
Oleh karena itu, bilamana terdapat beberapa kesalahan dan kekeliruan di dalam peristilahan yang digunakan maka kami berharap dapat dimaklumi.
Kami hanya ingin memberikan sedikit ‘sumbangsih pemikiran’ seputar masalah yang amat urgen sekali ini, semoga dapat pula memberikan sedikit pencerahan bagi kita serta membelalakkan mata kita terhadap ‘Peradilan Islam’ yang haqiqi bahwa ia adalah memang penuh dengan keadilan.
Semoga bermanfa’at bagi kita semua dan tidak hanya ada dalam angan-angan kita tetapi kelak dapat direalisasikan sehingga keadilan yang didamba-dambakan oleh umat dapat diraih.
Tidak lupa, bahwa bilamana suatu ketika kelak terdapat kekeliruan tertentu di dalam tulisan ini, baik menyangkut peristilahan dan sebagainya; maka sudilah kiranya memberikan saran dan kritik membangunnya kepada kami guna perbaikan lebih lanjut di kemudian harinya. Wallahu a’lam
NASKAH HADITS
Melihat fenomena peradilan yang berkembang di tanah air dan maraknya praktik yang kurang sehat di dalamnya bahkan ada sementara kalangan yang mensinyalir munculnya ‘mafia peradilan’, tentunya membuat hati kita tergugah sekaligus ikut teriris-iris.
Betapa tidak, umat Islam adalah mayoritas di negeri ini tetapi -hampir- tidak memiliki lembaga yang dapat melindungi dan memberikan putusan hukum yang adil terhadap mereka sesuai dengan tuntunan agama mereka.
Belum lagi, fenomena yang mengesankan adanya segolongan ‘etnis’ tertentu yang –seakan- menguasai lembaga peradilan dan hukum nasional.
Lembaga yang ada yang seharusnya menjadi tempat berteduh dan berlindung umat mayoritas, justeru amat dijauhi. Masyarakat seakan takut bila urusan atau perkara mereka sampai ke tangan lembaga ini. Ketakutan ini bukan karena takut ‘divonis’ bersalah bila memang ternyata bersalah tetapi lebih dari itu, mereka sudah ‘kadung’ alergi terlebih dahulu. Dalam pandangan mereka, bahwa urusan siapa yang benar dan bersalah tidak ditentukan lagi oleh lembaga ini. Yang menentukannya adalah ‘kekuatan luar’ yang bersembunyi di balik itu. ‘Kekuatan luar’ ini bisa berupa uang, kekuasaan dan sebagainya. Realitas yang terjadi saat ini merupakan bukti atas statement ini tanpa harus disebut satu per-satu.
Maka, tidak heran bila yang seharusnya berada di pihak yang benar bisa menjadi bersalah dan sebaliknya. Pihak yang memiliki ‘kekuatan’ tersebut dapat membolak-balikkan kondisi dan posisi sehingga rakyat biasa yang tak berdaya dan papa tidak dapat berbuat apa-apa selain pasrah.
Pihak yang memiliki ‘kekuatan’ tersebut dengan seenaknya dan leluasanya dapat ‘mendakwa’ bila merasa diri mereka difitnah, dicemari nama baiknya -meskipun dari sudut logika sudah pantas untuk itu- dan sebagainya. Demikian pula, bila mereka ‘didakwa’ maka dengan mudah pula melalui ‘kekuatan’ itu mendatangkan ‘sekian bukti’ atas ketidakbersalahan mereka. Mereka juga bisa ‘merangkul’ para ‘pembela’ (baca: advokat) kelas kakap yang siap berjuang mati-matian demi kepentingan ‘kliennya’ –menurut peristilahan yang mereka gunakan-.
Dalam hal ini, kami tidak hendak menyinggungnya dari persfektif ‘aqidah tentang ‘produk peradilan’ yang dibuat oleh manusia karena hal ini sebenarnya sudah jelas bagi mereka yang memahaminya. Disamping, pembicaraan seputar hal ini telah dibahas di dalam kajian khusus.
Yang ingin kami sampaikan dalam kesempatan kajian hadits kali ini adalah menyajikan hadits seputar satu aspek penting dari sekian banyak aspek di dalam ‘al-Qadla al-Islâmy’ alias Peradilan Islam. Yaitu masalah ‘dakwaan’ yang mencakup ‘al-Bayyinah’ (semua hal yang dapat menjelaskan dan menyingkap kebenaran) dan ‘al-Yamîn’ (sumpah).
Namun sebelum itu, perlu kami tekankan bahwa pembahasan tentang aspek ini bukanlah spesialisasi kami dan –sebenarnya- tidak banyak yang kami mengerti mengenai peristilahan di dalam ‘peradilan’ itu sendiri di negeri ini.
Oleh karena itu, bilamana terdapat beberapa kesalahan dan kekeliruan di dalam peristilahan yang digunakan maka kami berharap dapat dimaklumi.
Kami hanya ingin memberikan sedikit ‘sumbangsih pemikiran’ seputar masalah yang amat urgen sekali ini, semoga dapat pula memberikan sedikit pencerahan bagi kita serta membelalakkan mata kita terhadap ‘Peradilan Islam’ yang haqiqi bahwa ia adalah memang penuh dengan keadilan.
Semoga bermanfa’at bagi kita semua dan tidak hanya ada dalam angan-angan kita tetapi kelak dapat direalisasikan sehingga keadilan yang didamba-dambakan oleh umat dapat diraih.
Tidak lupa, bahwa bilamana suatu ketika kelak terdapat kekeliruan tertentu di dalam tulisan ini, baik menyangkut peristilahan dan sebagainya; maka sudilah kiranya memberikan saran dan kritik membangunnya kepada kami guna perbaikan lebih lanjut di kemudian harinya. Wallahu a’lam
NASKAH HADITS
---------------------------- Huruf Arab
----------------------------
Dari Ibnu ‘Abbas –radliallâhu 'anhuma- bahwasanya Nabi
shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: “Andaikata (semua) manusia diberi
(kebebasan) dengan dakwaan masing-masing, niscaya (ada saja) manusia yang
mendakwa darah orang-orang (bahwa mereka membunuh) dan harta benda mereka (bahwa
itu adalah hartanya), akan tetapi (pembuktiannnya adalah dengan cara) bersumpah
oleh orang yang mengingkarinya (si terdakwa)”. (Muttafaqun ‘alaih)… Di dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqy dengan sanad yang shahih
disebutkan: “(Mendatangkan) ‘bayyinah’ (wajib) atas pendakwa dan (mengucapkan)
sumpah (wajib) atas orang yang mengingkarinya (si terdakwa)”.
MAKNA HADITS SECARA GLOBAL
Maksud hadits tersebut adalah bahwa Rasulullah memberitakan tentang tingkah laku manusia yang bila dibiarkan tanpa hukum yang mengatur dan dibebaskan untuk mendakwa (menuduh, mengaku-ngaku) secara sembarangan bahwa seseorang telah membunuh atau seseorang telah mengambil hartanya, maka tentu setiap orang akan melakukan hal itu tanpa haq. Oleh karena itu, beliau mewajibkan kepada orang yang didakwa/terdakwa pada hadits pertama untuk bersumpah sebagai bukti bahwa dia tidak bersalah dan tidak melakukan hal yang dituduhkan kepadanya. Sedangkan di dalam hadits kedua, beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam memberikan hak masing-masing; si pendakwa agar mendatangkan ‘al-Bayyinah’ sedangkan si terdakwa yang mengingkarinya agar mengucapkan ‘al-Yamîn’.
PENJELASAN HADITS
Definisi
Kata ‘Dakwa’ atau ‘Dakwaan’ asalnya dari bahasa Arab, yaitu dari kata ‘Da’wâ’ (bentuk jamaknya ‘ad-Da-‘âwâ), yaitu “menyandarkan (mengklaim) kepemilikan sesuatu yang berada di tangan orang lain atau di bawah tanggungjawab orang tersebut kepada dirinya”.
Sedangkan kata ‘al-Mudda’iy’ (Pendakwa) adalah orang yang menuntut haknya kepada orang lain dengan mengklaim kepemilikannya terhadap hal yang dituntutnya tersebut …
Adapun kata ‘Bayyinah’, terdapat perbedaan pendapat mengenai definisinya;
MAKNA HADITS SECARA GLOBAL
Maksud hadits tersebut adalah bahwa Rasulullah memberitakan tentang tingkah laku manusia yang bila dibiarkan tanpa hukum yang mengatur dan dibebaskan untuk mendakwa (menuduh, mengaku-ngaku) secara sembarangan bahwa seseorang telah membunuh atau seseorang telah mengambil hartanya, maka tentu setiap orang akan melakukan hal itu tanpa haq. Oleh karena itu, beliau mewajibkan kepada orang yang didakwa/terdakwa pada hadits pertama untuk bersumpah sebagai bukti bahwa dia tidak bersalah dan tidak melakukan hal yang dituduhkan kepadanya. Sedangkan di dalam hadits kedua, beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam memberikan hak masing-masing; si pendakwa agar mendatangkan ‘al-Bayyinah’ sedangkan si terdakwa yang mengingkarinya agar mengucapkan ‘al-Yamîn’.
PENJELASAN HADITS
Definisi
Kata ‘Dakwa’ atau ‘Dakwaan’ asalnya dari bahasa Arab, yaitu dari kata ‘Da’wâ’ (bentuk jamaknya ‘ad-Da-‘âwâ), yaitu “menyandarkan (mengklaim) kepemilikan sesuatu yang berada di tangan orang lain atau di bawah tanggungjawab orang tersebut kepada dirinya”.
Sedangkan kata ‘al-Mudda’iy’ (Pendakwa) adalah orang yang menuntut haknya kepada orang lain dengan mengklaim kepemilikannya terhadap hal yang dituntutnya tersebut …
Adapun kata ‘Bayyinah’, terdapat perbedaan pendapat mengenai definisinya;
- Ia adalah tanda/bukti yang jelas, seperti adanya seorang saksi menurut
madzhab Imam Ahmad.
- Ibnu al-Qayyim tidak membatasi makna ‘Bayyinah’ pada ‘saksi’ saja tetapi
lebih umum dari itu; ia adalah sebutan untuk segala sesuatu yang dapat
menjelaskan dan mengungkap kebenaran (al-Haq). Beliau menyatakan bahwa pihak
yang hanya memfokuskan pada makna ‘dua orang saksi’, ‘empat saksi’ atau ‘seorang
saksi’, berarti mereka belum memberikan definisi yang semestinya terhadap
penamaannya sebagai ‘bayyinah’. Di dalam al-Qur’an, ‘al-Bayyinah’ tidak pernah
sama sekali dimaksudkan sebagai ‘dua orang saksi (asy-Syâhidân)’ tetapi
dimaksudkan sebagai ‘al-Hujjah’ ‘ad-Dalîl’ dan ‘al-Burhan’, baik dalam bentuk
mufrad (singular) ataupun jama’ (plural).
Memang ‘asy-Syâhidân’ (dua orang saksi) merupakan bagian dari ‘al-Bayyinah’ tetapi hal ini tidak menafikan selain keduanya sebagai jenis lain darinya dimana bisa jadi yang selainnya tersebut justeru lebih kuat dan akurat untuk menunjukkan secara kondisional kebenaran si pendakwa. Petunjuk kondisional ini adalah lebih kuat dari pada petunjuk yang di dapat melalui berita seorang saksi. Kata al-Bayyinah, ad-Dilâlah, al-Hujjah, al-Burhân, al-‘Alâmah dan al-Amârah dari sisi maknanya mirip satu sama lainnya.
Allah Ta’ala, asy-Syâri’ tidak pernah meniadakan al-Qarâ-in (bukti), al-Amârât (tanda-tanda) dan petunjuk yang bersifat kondisional. Bagi orang yang sudah melakukan analisis terhadap sumber-sumber asli syari’at, akan mendapatkan bahwa ia (syari’at) mempertegas eksistensi hal-hal tersebut dan mengatur hukum-hukum yang terkait dengannya.
Tambahan riwayat al-Baihaqy yang disebutkan diatas, sanadnya adalah shahih, dihasankan oleh Imam an-Nawawy di dalam kitabnya ‘al-Arba’în’. Ia juga dihasankan oleh Ibnu ash-Shalah.
Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini dijadikan dalil oleh Imam Ahmad dan Abu ‘Ubaid. Tentunya, ketika orang sekapasitas dan sekapabilitas mereka berdua menjadikannya sebagai dalil, maka itu berarti menurut mereka berdua kualitasnya adalah shahih dan dapat dijadikan hujjah…Banyak sekali hadits yang semakna dengannya”.
Kosakata Hadits
Kata ‘al-Yamîn’ secara bahasa (etimologis) memiliki arti yang banyak, diantaranya; al-Quwwah (kekuatan) dan al-Yad al-Yumna (tangan kanan).
Menurut istilah (terminologis) maknanya adalah “Mengokohkan sumpah dengan menyebut lafazh yang diagungkan berdasarkan niat khusus”. Ia dikatakan ‘Yamîn’ karena orang yang bersumpah memberikan Yamîn (tangan kanan) nya untuk memukul tangan kanan orang lain.
Pelajaran Yang Dapat Diambil Dari Hadits
- Di dalam hadits diatas, Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa
siapa saja yang mendakwa dengan suatu dakwaan terhadap seseorang, maka wajib
baginya untuk menghadirkan al-Bayyinah dan memperkuat dakwaannya tersebut. Jika
dia tidak memiliki al-Bayyinah tersebut, maka si terdakwalah yang harus
mengucapkan al-Yamîn untuk menafikan dirinya dari dakwaan tersebut.
- Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam menyebutkan hikmah dari kenapa
pendakwa harus menghadirkan al-Bayyinah, sementara si terdakwa harus mengucapkan
al-Yamîn. Yaitu, agar jangan sampai setiap orang dengan seenaknya melakukan
dakwaan terhadap orang lain sebab bila hal itu dibiarkan bebas, niscaya
orang-orang yang tidak membiasakan dirinya selalu di bawah pengawasan Allah
Ta’ala dengan entengnya akan melayangkan dakwaan secara dusta terhadap darah
atau harta orang-orang yang tidak bersalah/berdosa. Akan tetapi Allah Ta’ala
Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui telah memberikan batasan dan hukum
untuk hal tersebut sehingga tindakan kejahatan, kezhaliman serta kerusakan dapat
diminimalisir.
Syaikh Ibnu Daqîq al-‘Îed berkata: “Hadits tersebut menunjukkan bahwa tidak boleh melakukan tindakan hukum kecuali dengan hukum syari’at yang telah diatur, meskipun ada perkiraan yang lebih berat untuk membenarkan pendakwa”.
- al-Yamîn harus diucapkan oleh si terdakwa dan al-Bayyinah harus dihadirkan
oleh si pendakwa sebagaimana terdapat di dalam riwayat al-Baihaqy. Kenapa
demikian? Karena al-Yamîn menempati posisi terkuat dari dua orang yang
mengajukan gugatan, dan pihak terdakwa merupakan orang yang kuat bilamana dari
pihak pendakwa tidak menghadirkan al-Bayyinah sebab hukum asalnya adalah
terlepasnya diri si terdakwa dari semua dakwaan tersebut sehingga darinya cukup
mengucapkan al-Yamîn.
Syaikh Ibnu al-Qayyim berkata: “Yang ada di dalam syari’at bahwa al-Yamîn disyari’atkan dari pihak yang terkuat dari dua pihak yang saling menggugat. Siapa saja pihak yang dirasa lebih kuat dari kedua orang yang bersengketa, maka al-Yamîn diambil dari sisinya. Ini adalah pendapat Jumhur ulama seperti Ahli Madinah dan Fuqaha’ Ahli Hadits semacam Imam Ahmad, asy-Syafi’i, Malik dan selain mereka.
- Yang dimaksud dengan al-Bayyinah menurut kebanyakan para ulama adalah para
saksi (asy-Syuhûd), sumpah (al-Aymân) dan pencabutan gugatan (an-Nukûl).
Sedangkan menurut al-Muhaqqiqun (para ulama kritikus) al-Bayyinah adalah sebutan
bagi setiap sesuatu yang dapat menjelaskan dan mengungkap kebenaran, baik berupa
para saksi, bukti-bukti secara langsung/kondisionil ataupun penyebutan kriteria
oleh pendakwa seperti halnya di dalam penyebutan kriteria al-Luqathah (barang
temuan/hilang).
Syaikh Ibnu Rajab berkata: “Setiap barang yang tidak diklaim lagi oleh pemiliknya, kemudian ada orang yang mampu menyebutkan kriteria dan ciri-cirinya yang masih samar, maka barang tersebut adalah miliknya. Jika ada orang yang mempersengketakan apa yang sudah ada di tangannya, maka ia masih tetap miliknya bila mengucapkan al-Yamîn (sumpah) selama pendakwa tidak dapat menghadirkan al-Bayyinah yang lebih kuat darinya”.
Syaikh Ibnu al-Qayyim berkata: “al-Bayyinah di dalam kalam Allah, sabda Rasul-Nya dan ucapan para shahabat adalah sebutan bagi setiap sesuatu yang dapat menjelaskan al-Haq. Jadi ia lebih bersifat umum bila dibanding dengan terminologi al-Bayyinah yang digunakan oleh kalangan para Fuqaha’ dimana mereka mengkhususkan maknanya pada seorang saksi atau seorang saksi dan al-Yamîn saja. Terminologi tersebut tidak dapat dijadikan acuan selama tidak mencakup Kalam Allah dan sabda Rasul-Nya. Terminologi yang semacam itu dapat menjerumuskan kepada kekeliruan di dalam memahami nash-nash bahkan mengarahkannya kepada selain makna yang diinginkan”.
- Hadits diatas merupakan prinsip yang agung dan merupakan salah satu prinsip
di dalam al-Qadla’ (mahkamah/peradilan). Kebanyakan produk-produk hukum yang
lain berporos pada prinsip yang agung ini.
- Hadits tersebut memiliki kedudukan yang tinggi dan merupakan salah satu
prinsip utama di dalam al-Qadla’ dan hukum-hukum. Menerapkan al-Qadla’ di tengah
manusia dapat dilakukan ketika terjadi perselisihan dimana satu pihak mendakwa
haknya terhadap pihak yang lain dan pihak yang lain ini menolak dan berlepas
diri darinya.
- Barangsiapa yang mendakwa orang lain dalam hal yang berupa barang, agama
atau hak sementara dakwaan itu diingkari oleh si terdakwa, maka pada prinsipnya
kebenaran berada di pihak si terdakwa yang mengingkari ini karena hukum asalnya
adalah bahwa dirinya terlepas dari semua tuntutan; Jika pendakwa menghadirkan
al-Bayyinah yang menguatkan haknya maka ia adalah miliknya dan jika tidak
menghadirkannya, maka yang dituntut dari si terdakwa terhadapnya hanyalah
mengucapkan al-Yamîn untuk menafikan dakwaan tersebut.
- Hadits diatas mendukung pendapat Jumhur ulama, diantaranya ulama madzhab
Syafi’i dan Hanbaly yang menyatakan bahwa al-Yamîn diarahkan kepada si terdakwa
baik antara dirinya dan si pendakwa pernah saling mengenal ataupun tidak.
Sedangkan menurut madzhab ulama Maliky dan Ahli Madinah, diantaranya tujuh fuqaha’-nya (al-Fuqahâ’ as-Sab’ah) bahwa al-Yamîn tidak dapat diarahkan kepada orang yang diantaranya dan si pendakwa pernah saling mengenal. Ini dimaksudkan agar orang-orang yang iseng tidak dengan seenaknya dapat memaksakan orang-orang yang dihormati (tokoh atau ulama) untuk bersumpah.
- Orang yang memiliki hutang atau hak yang permanen dan legitimit terhadap
sesuatu sedangkan dia dituntut untuk membuktikannya, lalu kemudian ada orang
lain yang mendakwa bahwa hak/tanggungannya tersebut dapat lepas dari dirinya
(pemilik asal) dengan banyak cara seperti memenuhi janji yang telah
disetujuinya, menggugurkannya, jalan damai atau lainnya; maka hukum asalnya
adalah bahwa apa yang menjadi hak/tanggungan pemilik asal tetap berlaku. Jika si
pendakwa tersebut tidak menghadirkan al-Bayyinah atas telah dipenuhinya janji
tersebut atau terlepasnya tanggungan tersebut dari diri terdakwa (pemilik asal),
maka yang dituntut dari pemilik asal (terdakwa) untuk menyanggah pendakwa adalah
mengucapkan al-Yamîn bahwa hak/tanggungannya tersebut masih tetap berlaku dan
legitimit karena hukum asalnya adalah masih berlakunya sesuatu seperti
sediakala.
- Demikian juga halnya dengan dakwaan terhadap ‘Uyûb (cacat suatu barang),
asy-Syurûth (syarat sesuatu), al-Âjâl (masa waktu sesuatu) dan
al-Watsâ-iq (bukti penguat sesuatu). Hukum asal semuanya adalah bahwa hal
tersebut tidak pernah ada dan terjadi sehingga tidak perlu menanggapinya.
Barangsiapa yang mendakwanya, maka hendaknya dia menguatkannya dengan
al-Bayyinah ; jika tidak ada, maka orang yang mengingkarinya (si terdakwa) harus
mengucapkan al-Yamîn.
- Hadits ini merupakan prinsip utama di dalam proses ‘al-Murâfa’ât’ (code of
procedure/hukum acara). Manhaj yang telah digariskan oleh prinsip ini di dalam
menyelesaikan dakwaan merupakan solusi yang jitu guna mencegah merajalelanya
dakwaan-dakwaan bathil yang tidak beralasan serta dapat mengokohkan suatu hak
kepada pemiliknya.
- Para Ulama Kritikus mengatakan: “Sesungguhnya syari’at ini menjadikan
al-Yamîn sebagai aspek yang paling kuat dari sisi hukum baik ia bersumber dari
pendakwa ataupun si terdakwa”. Wallahu a’lam.
Ibnu al-Mundzir berkata: “Para ulama bersepakat (ijma’) bahwa al-Bayyinah harus dihadirkan oleh si pendakwa dan al-Yamîn harus diucapkan oleh orang yang mengingkari (si terdakwa)”.
- Syaikh Ibnu Rajab di dalam syarahnya terhadap hadits al-Arba’în berkata:
“Makna sabda beliau (artinya): “(Menghadirkan) ‘al-Bayyinah’ (wajib) atas
pendakwa”, yakni bahwa dengan al-Bayyinah tersebut dia berhak terhadap
dakwaannya karena ia adalah suatu kewajiban atasnya yang harus dipegang.
Sedangkan makna sabda beliau: “(mengucapkan) ‘al-Yamîn’ (wajib) atas orang yang
mengingkarinya (si terdakwa)”, yakni dengan al-Yamîn tersebut, dia terbebas dari
segala dakwaan karena ia wajib atasnya dan harus dipegang dalam kondisi apapun.
- Ibnu Rajab juga mengatakan: “Bila si pendakwa menghadirkan seorang saksi,
maka ini akan memperkuat posisinya dan bila ditambah dengan sumpah, maka putusan
berpihak padanya”.
- Beliau juga menambahkan: “al-Bayyinah adalah setiap sesuatu yang dapat
menjelaskan kebenaran dakwaan si pendakwa dan menjadi saksi atas kejujurannya
sedangkan al-Lawts * dan jenis-jenisnya adalah juga termasuk al-Bayyinah. Dan
saksi (asy-Syahid) bila diperkuat dengan al-Yamîn juga menjadi al-Bayyinah. *
al-Lawts adalah sesuatu yang menunjukkan atas kejadian sesuatu, seperti adanya
ceceran darah di tempat kejadian, dsb…semacam ‘alibi’. Ia bisa dikategorikan
sebagai ‘bukti pendukung’, wallahu a’lam-red.
- Beliau juga mengatakan: “Dan sabda beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam
(artinya): “Andaikata (semua) manusia diberi (kebebasan) dengan dakwaan-dakwaan
mereka…” menunjukkan bahwa si pendakwa atas darah dan harta seseorang harus
menghadirkan al-Bayyinah yang menunjukkan kebenaran dakwaannya. Termasuk juga di
dalam keumuman makna hadits tersebut adalah kondisi dimana si terdakwa yang
didakwa oleh seseorang telah membunuh muwarrits -nya (muwarrits adalah orang
mati yang meninggalkan warisan sehingga menyebabkan dirinya menjadi ahli waris
seperti ayah, dst) sedangkan dia hanya memiliki al-Bayyinah yang berupa ucapan
orang yang terbunuh tersebut (muwarrits); “si fulan-lah yang telah melukaiku”.
Kondisi al-Bayyinah seperti ini tidak cukup baginya dan al-Lawts tidak dapat
terjadi hanya karena itu. Ini adalah pendapat Jumhur ulama. Berbeda dengan
pendapat madzhab Maliky yang menjadikan ucapan muwarrits tersebut sebagai bentuk
al-Lawts yang harus dibarengi dengan sumpah para walinya sehingga pendakwa
berhak atas dakwaannya terhadap darah tersebut.
- Beliau juga mengatakan: “Dan sabdanya shallallâhu 'alaihi wa sallam :
“(mengucapkan) ‘al-Yamîn’ (wajib) atas orang yang mengingkarinya (si terdakwa)”
menunjukkan bahwa setiap orang yang didakwa dengan suatu dakwaan, lalu dia
mengingkarinya, maka wajib atasnya mengucapkan al-Yamîn. Ini adalah pendapat
mayoritas Fuqaha’. Sedangkan Imam Malik mengatakan: “Orang yang mengingkari (si
terdakwa) wajib mengucapkan al-Yamîn bilamana antara kedua orang yang saling
menggugat pernah ada semacam percampuran (antara satu sama lain pernah saling
mengenal). Sebab bila tidak, dikhawatirkan ada sementara orang-orang yang iseng
dengan seenaknya mempermainkan al-Yamîn di hadapan para pemimpin seperti yang
pernah terjadi terhadap Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah.
Beliau mengisahkan: “Suatu ketika kami berhadapan dengan wakil seorang Sultan dan posisiku berada di sampingnya, tiba-tiba ada sebagian hadirin yang mendakwa diriku bahwa aku masih memegang barang titipannya, lalu dia meminta agar aku didudukkan bersamanya dan bersumpah. Lalu aku berkata kepada Qadli/Hakim madzhab Maliky yang waktu itu juga hadir:
“Apakah dakwaan semacam ini berlaku dan dapat didengar?”.
Dia menjawab: “Tidak”.
Aku berkata lagi: “Lalu apa putusan di dalam madzhabmu terhadap hal seperti ini?”.
Dia menjawab: “Si pendakwa harus dita’zir”. (diberi sanksi oleh sultan/penguasa-red).
Aku berkata: “Kalau begitu, berilah putusan seperti di dalam madzhabmu itu!”.
Lalu si pendakwa itu disuruh berdiri dan ditarik keluar dari majlis itu.
- asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’dy rahimahullah berkata - mengomentari sabda
beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam (artinya) -: ‘(Menghadirkan) ‘al-Bayyinah’
(wajib) atas pendakwa dan (mengucapkan) ‘al-Yamîn’ (wajib) atas orang yang
mengingkarinya (si terdakwa)’ “Sungguh ini merupakan ucapan yang amat menyentuh
dan komplit. Ia melingkupi seluruh peristiwa dan bagian-bagiannya yang terjadi
di tengah umat manusia dalam segala hak mereka. Ucapan ini merupakan suatu
prinsip yang melandasi seluruh problematika yang timbul. Ia dapat mencakup
beberapa kondisi berikut :
Pertama, kondisi orang yang mendakwa hak orang lain sedangkan si terdakwa mengingkarinya.
Kedua, kondisi orang yang telah mantap haknya (permanen/legitimit) lalu mendakwa berlepas diri darinya sementara pemilik hak (asli) tersebut mengingkarinya.
Ketiga, kondisi orang yang telah mantap di tangannya kepemilikan terhadap sesuatu lalu ada orang lain yang mendakwa kepemilikannya terhadap sesuatu tersebut sedangkan pemiliknya ini mengingkarinya.
Keempat, kondisi dua orang yang telah bersepakat dengan suatu ‘aqad lalu salah satu dari keduanya mendakwa bahwa ‘aqad itu cacat karena ada syarat yang tertinggal atau semisalnya sementara yang seorang lagi mengingkari hal itu; maka ucapan yang harus dipegang (menjadi acuan) adalah ucapan yang mendakwa tidak adanya cacat tersebut.
Kelima, kondisi orang yang mendakwa terhadap suatu syarat, cacat, tenggang waktu tertentu dan semisalnya sementara yang lainnya mengingkari hal itu, maka ucapan yang harus dipegang (menjadi acuan) adalah ucapan orang yang mengingkarinya (si terdakwa).
Dan banyak lagi kondisi lainnya yang masuk ke dalam cakupan kaidah diatas”.
Post a Comment