Antara Egoisme dan Sikap Mendahulukan Kepentingan Orang Lain
Antara Egoisme dan Sikap Mendahulukan Kepentingan Orang Lain
Apakah manusia adalah sosok egois yang mencintai
dirinya sendiri dan mementingkan kepentingan dirinya sendiri di atas
kepentingan orang lain? Ataukah ia adalah sosok yang mementingkan orang lain di
bandingkan dirinya dan mendahulukan kepentingan orang lain dibandingkan
kepentingan dirinya sendiri?
Ini adalah kajian yang menghabiskan banyak lembaran
kajian psikologi, ilmu akhlak dan sosiologi. Kebanyakan pakar ilmu pengetahuan
hampir sepakat bahwa secara alami manusia adalah egois dan mementingkan dirinya
sendiri, dan ia melihat kepentingan orang lain melalui kepentingan dirinya
sendiri. Bahkan ada yang berpendapat lebih jauh lagi, bahwa pengorbanan yang
dilakukan oleh seseorang adalah tidak lebih dari suatu bentuk egoisme yang
dibungkus dengan topeng. Orang yang mengorbankan dirinya dalam medan perjuangan untuk
membela aqidahnya atau mempertahankan negaranya, ia melakukan hal itu untuk
mendapatkan pahala Allah atau pujian manusia, atau juga kehormatan negeri yang
ia tempati sehingga ia dapat mengambil manfaat dari kehormatan negeri tersebut.
Namun demikian, di samping itu semua, manusia pada dasarnya adalah makhluk zoon
politicon, yang cenderung untuk saling bekerjasama, memilih untuk bermasyarakat
dibandingkan menyendiri, dan hal itu pada gilirannya akan mendorong dirinya
untuk merelakan sebagian haknya untuk orang lain, sehingga dari kerjasamanya
dengan mereka itu ia dapat mengambil manfaat berupa perwujudan kehormatan dan
kepentingannya. Oleh karena itu, beberapa macam pengorbanan dan pendahuluan
kepentingan orang lain, menjadi bagian dari keharusan dalam bangunan masyarakat
yang tanpa keberadaannya, masyarakat tidak akan dapat hidup dengan bahagia.
Jika Anda tidak membatasi kebebasan Anda saat berkendaraan di jalan raya dengan
rambu-rambu jalan, niscaya Anda tidak akan dapat berkendaraan di jalan dengan
aman, baik bagi jiwa Anda maupun bagi tubuh Anda. Jika Anda tidak membatasi perilaku Anda dalam
bermu`amalah, dan menahan tangan Anda dari harta manusia, nisacya Anda tidak
akan dapat menjamin keuntungan dan keamanan atas harta dan kekayaan Anda. Oleh
karena itu, semangat undang-undang adalah dari satu segi untuk menjamin hak
individu, dan dari segi lain untuk membatasi kebebasannya. Tunduk kepada
undang-undang ini adalah suatu bentuk pendahuluan kepentingan orang lain dan
pengorbanan. Dalam pandangan syari`ah, ia mungkin tidak mendapatkan pahala, dan
dalam pandangan ahli etika dan moral ia barangkali tidak layak mendapatkan
pujian, namun demikian hal itu adalah jaminan bagi keberaturan hidup dalam
masyarakat yang mulia dan bahagia.
Sedangkan
mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri Anda yang lebih
dari itu, inilah yang dipuji oleh syari`ah dan oleh prinsip-prinsip akhlak. Ia
adalah sikap mendahulukan kepentingan orang lain yang berdasarkan kesadaran
pribadi, bukan karena paksaan undang-undang. Dan tidak didorong oleh
kepentingan duniawi atau kenikmatan yang instan. Malah dalam tindakannya itu ia
memilih untuk tidak mendapatkan daripada mendapatkan kesenangan pribadi,
memilih payah daripada santai, memilih lapar daripada kenyang, dan memilih mati
daripada hidup. Keindahan pengorbanannya itu tidak dirusak oleh keinginan untuk
mendapatkan pahala atau pujian, karena pahala dan pujian itu adalah suatu
perkara maknawi yang diharapkan dari alam ghaib. Siapa yang memberikan sesuatu manfaat
material kepada manusia dengan harapan mendapatkan balasan maknawi, maka ia
berarti telah memberikan suatu bukti bagi jiwa yang lebih banyak memberi
dibandingkan mengambil. Sungguh, hal ini adalah kemuliaan dan ketinggian yang
paling utama dan petunjuk kebaikan dan keutamaan yang paling kuat.
Kita
berhutang budi dalam setiap kenikmatan hidup material maupun non-material
terhadap orang-orang yang telah berkorban dan mendahulukan kepentingan orang
lain. Kita berhutang dalam menikmati fasilitas listrik, mobil, kapal terbang
dan radio terhadap para ilmuan jenius yang menghabiskan waktu bertahun-tahun
dalam laboratorium dan rumah mereka dan terus meneliti siang malam hingga
mereka dapat memberikan kepada manusia hasil dari kerja keras dan penderitaan
yang mereka tanggung. Berupa kenikmatan, pengetahuan, dan kesehatan yang
dinikmati oleh milyaran manusia di Timur dan Barat.
Kita
berhutang budi dalam bidang kelezatan ilmu pengetahuan kepada para pengarang,
seperti sastrawan, ulama, muhadditsin, mufassirin dan filosof yang dengan tekun
menghabiskan usia mereka untuk menulis dan memenuhi lembaran-lembaran kertas
dengan hikmah dan ilmu pengetahuan. Sementara orang lain sedang nyenyak tidur
atau sedang sibuk dengan syahwat mereka. Ungkapan Az Zamakhsyari berikut ini
menggambarkan apa yang mereka lakukan itu:
Aku
bergadang untuk mempelajari dan meneliti ilmu pengetahuan,
lebih ni`mat bagiku
Dibandingkan bersenda gurau dan bersenang-senang
dengan wanita yang cantik
Aku bergerak kesana kemari untuk memecahkan masalah ilmu pengetahuan
Lebih enak dan lebih menarik seleraku dibandingkan hidangan yang lezat
lebih ni`mat bagiku
Dibandingkan bersenda gurau dan bersenang-senang
dengan wanita yang cantik
Aku bergerak kesana kemari untuk memecahkan masalah ilmu pengetahuan
Lebih enak dan lebih menarik seleraku dibandingkan hidangan yang lezat
Kita
berhutang budi dalam memanfaatkan tanah negeri kita, hasilnya, dan
lembaga-lembaga sosialnya, terhadap orang-orang tua kita yang telah mengolahnya
dengan usaha dan jerih payah mereka, serta mereka tebus dengan darah dan arwah
mereka, sehingga negeri ini sampai kepada kita dalam keadaan mulia dan
bermartabat.
Kita juga
berhutang budi dalam masalah aqidah dan agama kita yang kita banggakan ini, dan
yang kita terus bicarakan tentang ni`mat Allah SWT kepada kita atas hidayah dan
ajaran etika-Nya yang dianugerahkan kepada kita melalui agama ini, kepada
generasi salaf saleh yang menanggung bermacam kesulitan dan derita dalam
membawa risalah ini pada masa pertamanya, dan yang telah mengorbankan darah dan
arwah mereka menghadapi musuh-musuh Islam untuk menyampaikan agama ini kepada
orang-orang setelah mereka, mereka pula yang telah menghilangkan banyak
rintangan yang disebarkan oleh para pencela, pengingkar dan pendusta agama ini.
Para syuhada Masihiah di tiga abad pertama dari kelahiran Al Masih a.s adalah
orang-orang yang telah berjasa kepada seluruh penganut Masihi yang merasakan
kelezatan tunduk kepada Al Masih dan ajaran-ajarannya. Dan para syuhada Islam
pada masa Rasul dan pada masa khalifah-khalifah setelah beliau, adalah
orang-orang yang telah berjasa kepada seluruh umat manusia atas ni`mat Islam
dan peradabannya yang abadi.
Demikianlah,
kita sebagai generasi masa kini telah berhutang budi kepada generasi-genersai
sebelumnya dalam seluruh apa yang kita ni`mati saat ini sebagai hasil dari
pengorbanan, perjuangan dan sikap mereka yang mendahulukan kepentingan orang
lain. Maka sepatutnyalah jika kita melanjutkan rangakaian pengorbanan mereka
itu sehingga kita dapat menyampaikan keni`matan ini kepada generas-generasi
berikutnya seperti yang telah dilakukan oleh generasi-generasi sebelum kita.
Apakah generasi kita saat ini menghargai makna pengorbanan dan mendahulukan
kepentingan orang lain? Apakah generasi kita berakhlak seperti ini, yang telah
diperintahkan oleh syari`at Allah dan aturan-aturan akhlak?
Sebenarnya,
kehidupan yang kita jalani saat ini hampir telah menghapus sisa-sisa akhlak
manusiawi yang indah ini. Kemanapun Anda berjalan dan di manapun Anda
perhatikan sisii-sisi kehidupan sosial kita saat ini, niscaya Anda akan
menemukan egoisme yang telah mengalahkan segala hal. Anda dapati egoisme
seorang Bapak yang menguasainya dalam hubungannya dengan anak-anaknya, egoisme
suami/isteri yang menguasainya dalam hubungannya dengan isteri/suaminya,
egoisme pemimpin yang menguasainya dalam hubungannya dengan masyarakat yang ia
pimpin, egoisme orang-orang kaya dan orang berpunya yang amat tampak dalam
sikap mereka terhadap orang-orang miskin, para pekerja dan para petani.
Egoisme
telah menguasai seluruh elemen bangsa. Kalangan pedagang hanya mementingkan
keuntungan perdagangannya, kalangan petani hanya mementingkan p ertaniannya,
dan kalangan pegawai pemerintah hanya mementingkan pekerjaannya; egoisme inilah
yang telah mencabut rasa percaya satu sama lain di antara masyarakat, yang
memutuskan ikatan kasih sayang antar anggota keluarga, dan melemahkan ikatan
kemanusiaan antar manusia. Sehingga seorang tetangga menjauh dengan
tetangganya, dan seorang sahabat menghindar dari sahabatnnya, pada saat kita
sedang amat membutuhkan kerjasama untuk menghadapi kesulitan-kesulitan dan
problem kehidupan. Namun demikian, dalam masyarakat kita masih ada sisa-sisa
sipat mementingkan orang lain yang memberikan harapan akan lenyapnya egoisme
ini dalam masyarakat kita.
Yaitu
mereka yang telah menyerahkan jiwa mereka untuk menjadi syahid dalam
membebaskan Palestina, mereka yang telah mengorbankan arwah mereka dalam
perjuangan kemerdekaan negeri kita, mereka yang telah membantu lembaga-lembaga
sosial dengan dana dan usaha mereka, dam mereka yang menyediakan diri mereka
sebagai pembawa obor reformasi masyarakat saat masyarakat berada dalam kealpaan
mereka. Mereka itu adalah pionir-pionir pembawa semangat pengorbanan dan sipat
mementingkan orang lain. Kita berharap semoga bilangan mereka itu terus
bertambah secara kualitas dan kuantitas dengan berjalannya waktu.
Pembaca yang budiman!
Kita
berada di bulan yang mulia, yang mengajak kepada kebaikan dan mendorong kepada
sikap mementingkan orang lain. Oleh karena itu, marilah kita memperhatikan
prinsip-prinsip sikap ‘iitsar’ mementingkan orang lain dalam aqidah kita, dan
pengaruh hal itu dalam sejarah kita. Dari situ kita dalam dapat menyingkap
semerbak kemanusiaan yang mulia, yang pada saat ini telah ditutupi oleh ambisi
dan hawa nafsu.
Saat
Rasulullah Saw dan para sahabat beliau melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah,
beliau mempersaudarakan antara kaum mu`minin dari kalangan Muhajirin dengan
kaum mu`minin dari kalangan Anshar. Yaitu dengan menjadikan bagi setiap
individu dari Anshar seorang saudara dari kalangan Muhajir. Maka saudara dari
kalangan Anshar itu membawa saudaranya yang berasal dari kalangan Muhajirin ke
rumahnya, untuk kemudian membagi dua semua yang ia miliki dengan saudaranya
dari muhajirin itu; ia membagi dua hartanya, pakaiannya, makanannya,
kendaraannya, dan memperlakukannya di hadapan dirinya dan keluarganya sebagai
seorang kekasih terhadap kekasihnya. Ia tidak segan-segan membantunya, dan
memberikan nasihat serta uluran tangan. Sehingga kalangan muhajirin
melupakannya penderitaan mereka yang telah meninggalkan kampung halamannya,
keluarganya dan kekayaannya. Sehingga Al Quran mencatat fenomena iitsaar
‘mementingkan orang lain’ yang terpuji ini untuk dijadikan pelajaran abadi bagi
generasi-generasi berikutnya. Bacalah firman Allah SWT berikut ini:
“Dan
orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah
kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap
apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan
(apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al Hasyr: 9)
Allah
berfirman tentang orang-orang yang mengorbankan arwah mereka dalam membela
kebenaran dan kebaikan, sebagai berikut:
“Janganlah
kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan
mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (Ali Imraan: 169.)
Dan
berfirman tentang hamba-hamba-Nya yang melakukan kebaikan tidak karena tujuan
mendapatkan pujian dan balasan dari orang lain, sebagai berikut:
“Dan
mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan
orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk
mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan
tidak pula (ucapan) terima kasih.” (Al Insaan: 8-9)
Saat
Rasulullah Saw memutuskan untuk melakukan hijrah dari rumah beliau yang telah
dikepung oleh kaum Musyrikin dan mereka berniat untuk membunuh beliau, tempat
tidur beliau digantikan oleh anak paman beliau, Ali bin Abi Thalib r.a. Ia
memilih untuk menjadi korban bagi Rasulullah Saw, dan menjadikan tubuhnya
sebagai tameng hidup menghadapi pedang-pedang kalangan Musyrikin yang siap
memotong tubuhnya dan menghilangkan nyawanya. Dengan begitu, ia telah rela
mengorbankan dirinya bagi Rasulullah Saw pembawa hidayah bagi seluruh umat
manusia.
Saat
manusia mengalami derita kelaparan dan kekeringan pada masa Umar r.a., Umar
hanya sempat tidur sekejap dan hanya dapat beristirahat sebentar. Seluruh
perhatiannya ditujukan untuk menghilangkan bencana kelaparan itu dari
rakyatnya. Usahanya itu terus membebaninya, sehingga tubuhnya berubah menjadi
hitam, dan melemah. Sehingga orang yang melihat dirinya seperti itu ada yang
berkata: “seandainya bencana kelaparan ini terus berlangsung beberapa bulan
lagi, niscaya Umar bisa mati karena sedih dan menderita melihat penderitaan
rakyatnya”.
Suatu hari
datang kafilah pembawa barang dari Mesir yang membawa daging, minyak samin,
makanan, dan bahan pakaian, kemudian ia membagi-bagikan semua itu sendiri kepada
masyarakat, dan tidak mau sedikitpun mengambil bagian. Ia kemudian berkata
kepada kepala rombongan kafilah: “aku mengundangmu untuk makan dirumahku
nanti”. Si kepala kafilah langsung membayangkan makanan yang lezat-lezat.
Karena ia menyangka bahwa makanan yang dikonsumsi oleh Amirul Mu`minin tentunya
lebih baik dan lebih lezat dari makanan rakyat biasa. Maka dengan semangat ia
datang ke rumah Umar, sambil menahan lapar, haus dan rasa capai. Di sana, Umar
segera menyiapkan makanan baginya. Namun yang membuat sang tamu tercengang
adalah ternyata makanan yang dikonsumsi oleh Amirul Mu`minin bukanlah makanan
yang berupa daging, minyak saming, daging bakar maupun manis-manisan.
Makanannya ternyata tak lebih dari potongan-potongan roti hitam yang kering,
dengan berlauk sepiring minyak. Hal itu membuat sang tamu amat terkejut, maka
ia segera bertanya kepada Umar: “mengapa engkau melarangku untuk makan bersama
orang lain berupa makanan dari daging dan minyak samin, malah engkau
menghidangkan kepadaku makanan yang sama sekali tidak layak dikonsumsi ini?”.
Umar menjawab: “Aku hanya memberikan makanan kepadamu dengan makanan yang biasa
aku konsumsi”. Ia kembali bertanya: “apa yang menghalangimu untuk memakanan
makanan yang sama dikonsumsi oleh masyarakat, padahal engkau sendiri yang telah
membagi-bagikan daging kepada masyarakat?”. Umar menjawab: “aku telah berjanji
kepada diriku sendiri untuk tidak memakan minyaki samin dan daging hingga kaum
Muslimin seluruhnya telah kenyang dengan kedua macam makanan itu”.
Alangkah
hebatnya sipat iitsaar ‘mementingkan orang lain’ yang telah diperlihatkan oleh
Umar itu bukan? Dan apakah ada bandingnya sikapnya itu di dunia ini?
Sejarah
telah menceritakan kepada kita sumbangsih dan pengorbanan yang telah diberikan
oleh kaum wanita Paris pada saat perang tahun tujuh puluhan (abad 19). Hingga
mereka dengan suka rela menyerahkan perhiasan-perhiasan mereka untuk membantu
membayar denda yang dikenakan oleh Jermah atas penduduk Paris sebagai tebusan
untuk membebaskan mereka dari kepungan militer. Sikap kaum wanita Paris adalah
suatu contoh yang bagus tentang pendahuluan kepentingan umum dan pengorbanan.
Namun, apakah tingkat pengorbanan mereka itu mampu menyamai besarnya
pengorbanan kalangan wanita kaum Muslim pada masa Rasulullah Saw, saat Rasulullah
Saw mendorong mereka untuk memberikan sumbangan dan shadaqah, dan secara
spontan seluruh kaum wanita mencopot segala perhiasan mereka hingga tidak
tersisa sedikitpun dan mereka berikan kepada Rasulullah Saw, untuk kemudian
beliau pergunakan harta tersebut bagi kepentingan kaum Muslimin. (HR. Bukhari
dan Muslim)
Sumbangan
pada saat perang untuk menghadapi gempuran musuh adalah suatu tindakan yang
amat terpuji. Namun memberikan sumbangan pada saat damai sebagai sumbangsih
bagi proyek-proyek kemaslahatan umum sambil mengharapkan balasan Allah SWT
adalah suatu tindakan yang lebih terpuji lagi. Tidak aneh jika jasa kaum wanita
kita yang mendermakan perhiasan-perhiasan mereka pada saat damai, adalah lebih
abadi dan lebih terpuji dari tindakan wanita Paris yang telah mendermakan
perhiasan mereka pada saat perang.
Para pembaca yang budiman
Di antara
wanita kita yang saleh, adalah wanita ahli ibadah yang dikenal dalam sejarah
dengan nama Rabi`ah `Adawiah. Di antara untaian kalimat munajatnya kepada Allah
SWT yang ia lantunkan dalam ibadahnya adalah kalimat-kalimat yang abadi ini:
“Ya Allah,
aku beribadah kepada-Mu bukan karena takut terhadap api neraka-Mu, juga bukan
karena mengharapkan surga-Mu. Namun hal itu aku lakukan karena memang Engkau
berhak untuk disembah”. Dan ia sering menyenandungkan sya`ir ini:
Aku
mencintai-Mu dengan dua cinta: cinta hawa nafsu
Dan cinta karena Engkau memang layak untuk dicintai
Dan cinta karena Engkau memang layak untuk dicintai
Lantas, mengapa kita tidak dapat mencapai ketinggian
jiwa dan keagungan sikap mementingkan orang serta pengorbanan seperti yang
dicapai oleh Rabi`ah `Adawiyah; yaitu kita mengerjakan kebaikan semata karena
hal itu baik, dan untuk kepentingan umum manusia, dengan tidak mengharapkan
pujian dan balasan dari mereka, namun hal itu kita lakukan semata karena Allah
SWT ?. Mengapa kita tidak melakukan kebaikan bagi saudara-saudara kita,
tetangga-tetangga kita dan manusia seluruhnya, kita mengingat kebutuhan mereka
sebelum kebutuhan kita, dan kepentingan mereka sebelum kepentingan kita, tanpa
menunggu bayaran dan balasan?
Wahai manusia, ingatlah selalu firman Allah SWT
berikut ini:
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada
orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi
makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak
menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (Al
Insaan: 8-9)
Post a Comment