Keluh Kesah
Keluh
Kesah
Hidup di kota besar semacam Jakarta atau Bandung membutuhkan kekuatan iman
dan kekuatan mental. Macet di perjalanan dalam waktu-waktu tertentu adalah
suatu permasalahan yang kadangkala sering kita hadapi. Tak heran bila untuk
sebuah perjalanan, kalau kita tidak memakai strategi yang bagus, tidak memakai
perencanaan yang matang, maka kemacetan akan benar-benar mencuri waktu begitu
lama. Terkadang bisa berjam-jam di jalan. Kalau saja tidak berusaha untuk
bening hati, sepertinya sepanjang jalan yang terjadi hanya dongkol dan
marah-marah. "Aduh , kapan sampainya! Aduh, kok ini lama banget! Aduh, kok
macet terus!" Mungkin ungkapannya seperti itu. Aduh dan aduh.
Padahal kata-kata aduh, kalau hanya tanda keluh kesah, sebetulnya tidak
menyelesaikan masalah. Justru kata-kata yang terlontar itu menunjukkan
ketidaksabaran kita. Apalagi tiba-tiba di pinggir jalan ada kendaraan lain
berhenti seenaknya. Kita boleh kecewa dan melihat ini sebagai sesuatu yang
harus diperbaiki. Tetapi, tidak berarti kita harus sengsara dengan marah-marah
atau berkeluh kesah. Mata terbeliak dan mulut kadang berucap "Minggir,
dong!" Mungkin inginnya menghardik seperti itu. Tetapi, alangkah lebih
baiknya jika kita menyapa dengan kata yang lemah lembut, "Maaf, Pak! Boleh
agak ke pinggir sedikit!" Ungkapan seperti ini nampaknya akan lebih ringan
ke dalam hati, dari pada melotot dengan menggunakan otot.
Boleh jadi kalau sudah banyak kedongkolan, selain akan banyak berkeluh
kesah, juga akan menjadikan diri lebih emosional. Ini yang paling merugikan.
Bagi kita maupun orang lain. Kita harus mengukur kehilangan waktu dalam
beberapa menit atau beberapa jam, padahal waktu tersebut sebenarnya dapat
menjadi tambahan ilmu dan kemampuan diri kita. Ada baiknya, selama perjalanan
lengkapi diri dengan sumber-sumber ilmu, baik berupa kaset ceramah, nasyid,
atau kaset murotal Qur’an. Sumber-sumber ini akan menambah percepatan keilmuan
kita, disamping akan membuat kita tidak tergoda untuk ber-aduh ria. "Aduh,
terlambat nih! Aduh, sialan kamu! Aduh, ada yang ketinggalan nih!" Kata-kata
seperti ini sebetulnya tidak perlu dikeluarkan! Karena tidak menyelesaikan
masalah. Lebih baik kita isi dengan do’a : "Ya Allah, semoga saya datang
tepat waktu, semoga ada jalan keluar dari kemacetan ini". Kata-kata ini
akan lebih produktif dibandingkan dengan kata "aduh".
Marilah kita meminimalisirkan keluh-kesah seperti ini. Apalagi bagi kita
pun ada kenikmatan tersendiri bila kita bicara lebih santun. Kesantunan akan
membuat batin kita lebih ringan dari pada berperilaku emosional. Lebih dari
itu, kelembutan akan mampu menaklukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan dengan
kekerasan. Itu sudah bagian dari rumusnya. Karena, kalau orang-orang keras
dilawan dengan kekerasan, maka itu akan merasa bagian dari dunianya. Tapi,
kalau orang-orang yang bertemperamen keras itu diberi kelembutan yang tulus
dari lubuk hati yang paling dalam, Isya Allah mereka akan terbawa lembut juga. Contohnya,
orang sekeras Umar bin Khattab atau Khalid bin Walid bisa jatuh tersengkur
menagis oleh lembutnya alunan Al-Qur’an.
Berkeluh kesah seringkali membuat kita terdramatisasi oleh masalah. Seakan-akan
rencana dan keinginan kita lebih baik daripada yang terjadi. Padahal, belum
tentu. Siapa tahu, di balik kejadian yang mengecewakan menurut kita, ternyata
sarat dengan perlindungan Allah dan sarat dengan terkabulnya harapan-harapan
kita. Tiap melakukan kekeliruan, kita ditolong Allah dengan memberikan
tuntunan-Nya. Tuntunan itu tidak harus dengan terkabulnya keinginan yang kita
mohonkan. Bisa jadi terkabulnya do’a itu bertolak belakang dengan yang kita
minta. Karena Allah Mahatahu di balik apapun keinginan kita. Baik keinginan
jangka pendek, maupun keinginan jangka panjang. Baik kerugian duniawi maupun
kerugian ukhrawi. Baik kerugian secara materi maupun secara kerugian mental. Kita
tidak bisa mendeteksi secara cermat. Kadang-kadang kita hanya mendeteksinya
sesuai dengan keperluan hawa nafsu kita.
Kelihatannya sepele mengaduh ini. Tetapi, itu akan menjadi kualifikasi
pengendalian diri kita. Ketahuilah bahwa kualitas seseorang itu tidak diukur
dengan sesuatu yang besar-besar, tetapi oleh yang kecil-kecil. Kalau kita ingin
melihat kompleks perumahan yang berkualitas, maka kita lihat saja panjang
pendek rumput di halamannya. Kalau berkualitas dan terawat dengan baik, maka
rumputnya pun akan nampak terawat dengan baik. Marilah kita respon setiap
kejadian demi kejadian dengan respon lisan yang positif. Mengapa? Karena setiap
respon akan mempengaruhi persepsi kita terhadap masalah yang kita hadapi dan
cara kita menyelesaikannya. Lebih dari itu akan berdampak pula kepada
orang-orang di sekitar kita. Jadi, sapaan-sapaan, teguran-teguran,
komentar-komentar, celetukan-celetukan ini harus benar-benar bernilai
produktif. Tidak hanya berarti bagi diri kita, tetapi juga bagi orang di
sekitar kita.
Apalagi keluh kesah termasuk penyakit hati, yaitu bentuk ketidaksabaran
kita dalam menerima ketentuan dari Allah. Ada hadits qudsi yang menyatakan
bahwa "Barang siapa yang tidak ridha terhadap ketentuan-Ku, dan tidak
sabar atas musibah dari-Ku, maka carilah Tuhan selain Aku." (HR. Bukhari
dan Muslim)
Dari hadits qudsi ini, nampaklah bahwa segala apapun yang Allah karuniakan
kepada kita, maka kita harus menerimanya dengan ridha. Oleh karenanya, kita
tidak perlu banyak mengaduh atau berkeluh kesah. Sedapat mungkin kurangi
aduh-mengaduh ini. Jauh akan lebih produktif jikalau kita optimalkan waktu
dengan banyak berdo’a dan menambah kualitas keilmuan diri serta terus
menyempurnakan ikhtiar di jalan Allah yang diridhai.***
Post a Comment