Menakar Kemuliaan Akhlak
Menakar Kemuliaan Akhlak
Setiap orang ingin merasakan kebahagiaan. Ada yang menyangka dengan
datangnyauang maka ia akan menjadi bahgia sehingga iapun mencari uang
mati-matian.Ada juga yang menyangka bahwa kedudukan bisa membuatnya bahagia,
maka ia pun mencoba merebut kedudukan. Ada yang menyangka penampilanlah yang
akan membuatnya bahagia, maka mati-matian ia mengikuti mode. Ada yang menyangka
banyaknya pengikut membuatnya bahagia, begitu seterusnya.
Setiap kali kita membutuhkan sesuatu dari selain kita, kita menyangka bahwa
itulah yang akan membuat kita bahagia. Kita menggantungkan harapan pada selain
kita, selain Allah. Padahal semakin kita berarap orang lain berbuat sesuatu
untuk kita maka sebenarnya peluang bahagia itu malah akan terus menurun. Kenapa?
Ibarat cahaya matahari yang memancar tanpa membutuhkan input dari luar,
kebahagiaan yang hakiki itu justru datng bukan dari seseorang atau dari
sesuatu.
Salah satu bentuk kebahagiaan yang sejati adalah ketika kita hanya menggantungkan
segala urusan kepada Allah. Bagi orang yang mengenal Allah dengan baik,
dan ia tidak berharap banyak dari selain Allah, itulah salah satu kebahagiaan. Maka
bagi kita yang selama ini masih sangat ingin dihargai, masih sangat ingin
dihormati, masih sangat ingin dibedakan oleh orang lain, masih sangat ingin
diberi ucapan terima kasih ketika melakukan sesuatu untuk orang lain, atau
masih sangat ingin dipuji, maka sebenarnya makin tinggi kebutuhan kita akan
penghargaan dari orang lain, itulah yang akan menyempitkan hidup kita. Barang
siapa yang berhasil lepas dari kebutuhan-kebutuhan semacam itu, dan kita sudah
mulai bisa menikmati indahnya memberikan senyuman kepada orang lain dan
bukannya diberi senyuman; atau merasakan nikmatnya bisa menyapa orang lain dan
bukan disapa, nikmatnya menyalami dan bukan menunggu disalami, semakin kita
tidak berharap orang berbuat sesuatu untuk kita, maka inilah fondasi kita dalam
menikmati hidup ini. Kenyataan yang ada di masyarakat kita dengan terjadinya
beraneka kemunkaran, kezhaliman dan kejahatan, itu disebabkan karena kita
terlalu banyak berharap kepada makhluk dan tidak kepada Allah.
Saudara-saudaraku yang dimuliakan Allah, suatu ketika Rasulullah Saw.
ditanya, "Ya Rasulullah, mengapa engkau diutus ke bumi?" Maka jawaban
Rasulullah sangat singkat sekali, "Sesungguhnya aku diutus ke bumi
hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak." Menurut Imam Al Ghazali,
berdasarkan apa yangbisa saya fahami, akhlak itu adalah respon spontan terhadap
suatu kejadian. Pada saat kita diam, tidak akan kelihatan bagaimana akhlak
kita. Akan tetapi ketika kita ditimpa sesuatu baik yang menyenangkan ataupun
sebaliknya, respon terhadap kejadian itulah yang menjadi alat ukur akhlak kita.
Kalau respon spontan kita itu yang keluar adalah kata-kata yang baik, mulia,
berarti memang sudah dari dalamlah kemuliaan kita itu. Tanpa harus dipikir
banyak, tanpa harus direkayasa, sudah muncul kemuliaan itu. Sebaliknya kalau
kita memang sedang dikalem-kalem, tiba-tiba terjadi sesuatu pada diri kita,
misalnya sandal kita hilang, atau ada orang yang menyenggol, mendengar bunyi
klakson yang nyaring lalu tiba-tiba sumpah serapah yang keluar dari mulut kita,
maka lemparan yang keluar sebagai respon spontan kita itulah yang akan
menunjukkan bagaimana akhlak kita. Maka jika bertemu dengan orang yang meminta
sumbangan lalu kita berfikir keras diberi atau jangan. Kita berfikir, kalau
dikasih seribu, malu karena nama kita ditulis, kalau diberi lima ribu nanti
uang kita habis. Terus... berfikir keras hingga akhirnya kita pun memberi akan
tetapi niatnya sudah bukan lagi dari hati kita karena sudah banyak
pertimbangan.Padahal keinginan kita semula adalah untuk menolong. Kalau sudah
demikian, sebetulnya bukan akhlak dermawan yang muncul.
Saudar-saudaraku sekalian, inilah sekarang paling menjadi masalah bagi
peradaban kita. Kita empunyai anak, dia memiliki gelar yang bagus, sekolahnya
pun di tempat yang bergengsi, tapi akhlaknya jelek, maka tidak ada artinya. Kita
punya dosen, gelarnya berderet banyak, rumahnya pun mentereng, tapi jikalau
akhlaknya, celetuk-celetukannya atau sinisnya tidak mencerminkan struktur
keilmuan seperti yang dimilikinya, maka jatuhlah ia. Ada orang yang dianggap
dituakan, tetapi akhlaknya jelek, maka walaupun ia dituakan, dia gagal
mendapatkan penghormatan. Atau kita punya atasan, seorang pejabat yang bagus
karirnya akan tetapi akhlaknya, ...masya Allah, sudah punya isteri tapi ia
dikenal berzina dengan perempuan lain, di kantor ia mengambil harta dengan cara
tidak halal, maka jatuhlah ia.
Sekarang ini krisis terbesar kita memang krisis akhlak. Oleh karena itu,
saya sependapat dengan seorang pengusaha terkenal dari Jepang yang mengatakan
bahwa jikalau seseorang ingin memimpin perusahaan dengan baik, maka sebetulnya skill
atau keahlian itu cukup 10% saja, yang 90% adalah akhlak. Karena akhlak yang
baik, orang yang cerdas pun mau bergabung denganya. Mereka merasa aman, merasa
tersejahterakan lahir batinnya. Akibatnya, berkumpulah para ahli. Kemudian
kepada mereka diberikan motivasi dengan akhlak yang baik maka jadilah sebuah
prestasi yang besar. Oleh karena itu sebenarnya kesuksesan itu adalah milik
orang yang berakhlak mulia.
Sekedar ilustrasi, suatu saat sedang terjadi dialog antara suami dan
isteri. Sang isteri menginginkan anaknya menjadi bintang kelas, akan tetapi
sang suami mengatakan bahwa bintang kelas itu bukan alat ukur kesuksesan anak
sekolah. Menjadi bintang kelas itu tidak harus, tidak wajib. Yang wajib bagi
anak itu adalah memiliki akhlak yang mulia. Apalah artinya ia menjadi bintang
kelas apabila kemudian ia jadi terbelenggu oleh keinginan dipuji
teman-temannya. Jadi dengki terhadap orang-orang yang pandai dikelasnya, atau
menjadi takabbur karena kepandaiannya itu. Apa artinya bintang kelas seperti
ini? Lebih baik lagi jika kita bangun mental anak kita lebih bagus, matang pada
tiap tahapannya. Kalaupun suatu saat ia ditakdirkan menjadi bintang kelas, maka
itu adalah buah dari pemikirannya. Sementara itu ia pun sudah siap denga
mentalnya: tidak dengki, tidak iri, tidak jadi sombong. Nilai ini tentunya jadi
lebih bagus daripada nilai menjadi bintang kelasnya. Apalah artinya kita lulus
terbaik jika kemudian menjadi jalan ujub takabbur. Lulus itu hanya nilai,nilai,
nilai....
Saudara-saudara sekalian, inilah yang sepatutnya menjadi bahan pemikiran
kita. Kita berbicara seperti ini sebenarnya bukan untuk memikirkan seseorang.
Siapa yang akhlaknya demikian, demikian...Kita berbicara seperti ini adalah
untuk memikirkan diri kita sendiri. Apakah saya itu berakhlak benar atau tidak?
Bagaimana cara melihatnya?Ya, lihat saja kalau kita mendapati masalah. Bagaimana
respon spontan kita? Bagaimana struktur kata-kata kita, raut wajah kita? Apakah
kita cukup temperamental? Apakah kata-kata kita keji, menyakiti, arogan? Itulah
diri kita. Kesuksesan dan kegagalan itu bergantung pada hal semacam ini. Bergantung
apa yang kita lakukan. Apakah dengan DT bisa menjadi sebesar ini sudah menjadi
tanda kesuksesan? Belum. Masih jauh. Kalau hanya alat ukur kemajuan
bertambahnya bangunan atau tanah, ah... orang-orang kafir juga bisa
melakukannya. Kalau hanya sekedar jama'ah berhimpun banyak, itupun gampang.
Tetapi apakah dakwah ini elah mampu merobah akhlak kita? Itulah alat ukurnya.
Sering diungkapkan, bagaimana ukuran kesuksesan seseorang dalam berdakwah? Gampang.
Kesuksesan seseorang yang berdakwah adalah apakah dirinya pun bisa berubah
menjadi lebih baik atau tidak? Kalau hanya berbicara seperti ini, mengeluarkan
dalil tapi yang bersangkutan akhlaknya tidak berubah, itu malah mencemarkan
agama. Kesuksesan dakwah bukan karena banyaknya pendengar atau jumlah jama'ah
karena dakwah itu bukan sekedar menikmati kata-kata. Kesuksesan berdakwah
adalah ketika yang berdakwah ini pun semakin baik akhlaknya, semakin tinggi
nilai kepribadiannya. Insya Allah. Mudah-mudahan keluhuran pribadi itulah yang
menjadi alat dakwah kita. Bukan hanya mengandalkan kekuatan kata-kata belaka.
Barakallahu lii wa lakum.
Post a Comment