PEREKONOMIAN DAN HARTA KEKAYAAN


PEREKONOMIAN DAN HARTA KEKAYAAN

Tiap-tiap masyarakat mempunyai sistem ekonominya sendiri, yang tergambar di dalamnya falsafah, aqidah, sistem nilai dan pandangannya terhadap individu dan masyarakat, terhadap harta dan fungsinya, persepsinya tentang agama dan dunia, kekayaan dan kemiskinan. Sehingga semua itu mempengaruhi produktivitas, kekayaan dan berkaitan dengan cara untuk memperoleh, pendistribusian dan penyimpanannya. Dari sinilah muncul sistem perekonomian.
Tema tentang ekonom Islam adalah pembicaraan yang panjang. Telah disusun berbagai teori tentang perekonomian Islam dalam bentuk buku yang banyak dan beraneka ragam. Telah pula diajukan berpuluh-puluh risalah (disertasi) ilmiah untuk memperoleh gelar Magister dan Dokror dalam bidang ini.
Maka cukup bagi kita di sini untuk mengambil suatu pemikiran tentang kaidah-kaidah utama yang tegak di atasnya pembentukan sistem perekonomian dalam masyarakat Islam. Di antara yang terpenting adalah sebagai berikut:
·         Harta dinilai sebagai suatu kebaikan dan kenikmatan jika berada ditangan orang-orang shalih.
·         Harta adalah milik Allah, sedangkan manusia hanyalah dipinjami dengan harta itu.
·         Dakwah untuk menumbuhkan etos kerja yang baik adalah merupakan ibadah dan jihad.
·         Haramnya cara kerja yang kotor.
·         Diakuinya hak milik pribadi dan perlindungan terhadapnya.
·         Dilarang bagi seseorang untuk menguasai benda-benda yang sangat diperlukan oleh masyarakat.
·         Dilarangnya pemilikan harta yang membahayakan orang lain.
·         Pengembangan harta tidak boleh membahayakan akhlaq dan mengorbankan kepentingan umum.
·         Mewujudkan kemandirian (eksistensi) ummat.
·         Adil dalam berinfaq.
·         Wajibnya takaful (saling menanggung) di antara anggota masyarakat.
·         Memperdekat jarak perbedaan antar strata (tingkat) sosial di tengah masyarakat.
 


MENGANGGAP HARTA ITU SUATU KEBAIKAN DAN KENIKMATAN DI TANGAN ORANG-ORANG BAIK
<< Kembali ke Daftar Isi >>

Sesungguhnya kaidah pertama dalam membangun ekonomi Islam adalah menghargai nilai harta benda dan kedudukannya dalam kehidupan. Karena sesungguhnya manusia sebelum datangnya Islam, baik sebagai pemahaman agama atau aliran, telah menganggap harta itu suatu keburukan sedangkan kemiskinan itu dianggap kebaikan, bahkan menganggap segala sesuatu yang berkaitan dengan kenikmatan materi itu sebagai kotoran bagi ruhani dan penghambat bagi peningkatan kemuliaan ruhani.
Demikian itu sebagaimana dikenal dalam falsafah Brahma di India dan di dalam aliran Manawi' di Paris, sebagaimana juga dikenal dalam agama Kristen. Kecenderungan ini semakin jelas dalam sistem kerahiban (kependetaan).
Para pemilik Injil (Matius, Marcus, dan Lukas) menceritakan dari Al Masih, "Bahwa sesungguhnya ada seorang pemuda kaya yang ingin mengikuti Al Masih dan ingin masuk ke agamanya, maka Al Masih berkata kepadanya, "Juallah harta milikmu kemudian berikanlah dari hasil penjualan itu kepada fuqara' dan kemari ikuti aku." Maka ketika dirasa berat bagi pemuda itu maka Al Masih pun berkata, "Sulit bagi orang kaya untuk memasuki kerajaan langit! Saya katakan juga kepadamu, "Sesungguhnya masuknya unta ke lubang jarum itu lebih mudah, daripada masuknya orang kaya ke kerajaan Allah."
Berbagai aliran (faham) baru seperti Materialis dan Sosialis, mereka menjadikan perekonomian itu sebagai tujuan hidup dan menjadikan harta sebagai Tuhannya bagi individu dan masyarakat.
Adapun Islam tidak memandang harta kekayaan itu seperti pandangan mereka yang pesimis dan antipati, bukan pula memandang seperti pandangan kaum materialistis yang berlebihan, tetapi Islam memandang harta itu sebagai berikut:
Pertama, Harta sebagai pilar penegak kehidupan
Allah SWT berfirman:
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok (penegak) kehidupan." (An-Nisa': 5)
Kedua, Di dalam beberapa ayat Al Qur'an harta disebut dengan kata, "Khairan" yang berarti suatu kebaikan sebagai berikut:
"Dan sesunggahnya manusia itu sangat bakhil karena cintanya kepada kebaikan (harta)" (Al 'Adiyaat: 8)
"Katakanlah, "Apa saja kebaikan (harta) yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak dan kaum kerabatmu..." (Al Baqarah: 215)
"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan kari kerabatnya secara ma'ruf,, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa." (Al Baqarah: 180)
Ketiga, Kekayaan merupakan nikmat Allah yang diberikan kepada para Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman dan bertaqwa dari hamba-hamba-Nya, Allah berfirman:
"Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan." (Adh-Dhuha: 8)
"Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki." (At-Taubah:28)
"Jikalau sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi..." (Al A'raaf: 96)
"(Allah) memberikan bantuan kepadamu dengan harta anak laki-lak,É" (Nuh: 12)
Keempat, Kemiskinan merupakan ujian dan musibah yang menimpa kepada orang yang berpaling dari-Nya dan kufur terhadap nikmatnya, Allah SWT berfirman:
"Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap penjuru, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat Allah; karena itu Allah menimpakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat." (An-Nahl: 21)
Kelima, Nabi SAW menentukan pandangannya terhadap harta dengan sabdanya yang ringkas:
"Sebaik-baik harta adalah harta yang diberikan (yang dimiliki) hamba yang shalih!" (HR. Ahmad).
Bukanlah harta itu baik secara mutlak atau jelek secara mutlak, tetapi ia merupakan alat dan senjata yang baik apabila berada di tangan orang-orang baik dan menjadi buruk apabila berada di tangan orang-orang jahat.
Demikian itu karena harta merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan membantu untuk melaksanakan kewajiban, seperti shadaqah (zakat), haji dan jihad serta persiapan utama untuk memakmurkan bumi.
Adapun yang diinginkan Islam, hendaknya harta itu tidak menjadi berhala yang disembah oleh manusia sebagai tandingan selain Allah. Dan hendaknya jangan menyebabkan bagi pemiliknya untuk lalai terhadap Rabb-Nya dan menindas makhluq-Nya. Maka ini semua merupakan fitnah harta yang diperingatkan oleh Islam, Allah SWT berfirman:
"Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar." (Al Anfal:28)
"Hai orang-orang yang beriman,janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi." (Al Munaafiquun: 9)
"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu serta lebih baik untuk menjadi harapan." (Al Kahfi: 46)
"Ketahuilah sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup." (Al 'Alaq: 6-7)
Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa sesungguhnya penyelewengan itu tidak muncul disebabkan sekedar oleh kekayaan, akan tetapi disebabkan karena anggapan manusia itu sendiri bahwa seakan harta itu segala-galanya, ia tidak lagi memerlukan yang lainnya, bahkan ia merasa tidak perlu lagi menyembah Allah SWT
 


HARTA ITU MILIK ALLAH, DIPINJAMKAN KEPADA MANUSIA
<< Kembali ke Daftar Isi >>

Kaidah yang kedua sebagai landasan ekonomi dalam masyarakat Islam adalah suatu keyakinan bahwa harta itu sebenarnya milik Allah sedangkan manusia hanya memegang amanah atau pinjaman dari-Nya. Sebagaimana dijelaskan oleh Al Qur'an Al Karim:
"Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah meminjamkan kepadamu." (Al Hadid: 7)
Allahlah pemilik harta benda, karena Dia yang menciptakannya dan yang menciptakan sumber produksinya serta memudahkan sarana untuk mendapatkannya, bahkan Dia-lah yang menciptakan manusia dan seluruh alam semesta.
"Dan kepunyaannya (Allah) apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi..." (An-Najm: 31)
"Ingatlah sesungguhnya hanya milik-Nya makhluq yang ada di langit dan makhluk yang ada di bumi.." (Yunus: 66)
"Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam, kamukah yang menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkannya." (AI Waqi'ah: 63-64)
"Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu... (An-Nuur: 33)
"Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka..." (Ali 'Imran: 180)
Jadi apa yang diberikan Allah kepada manusia dari karunia-Nya salah satunya adalah harta, sehingga kekuasaan manusia atas harta itu sekedar sebagai wakil, bukan pemilik aslinya.
Jika manusia adalah sebagai amin (yang dipercaya) untuk memegang harta dan sebagai wakil, maka tidak boleh bagi manusia untuk menyandarkan harta itu pada dirinya dan mengatasnamakan keutamaan itu sebagai atas jerih payahnya, sehingga ia mengatakan seperti yang dikatakan oleh orang kafir, "Ini adalah milikku" (Fushshilat: 41). Atau mengatakan seperti yang dikatakan oleh Qarun, "Sesungguhnya aku diberi harta itu, hanya karena ilmu yang ada padaku" (Al Qashash: 78).
Demikian juga tidak diperbolehkan bagi manusia untuk menyibukkan dirinya dengan harta itu, tanpa melibatkan keluarga dari pemilik aslinya, karena seluruh makhluq adalah keluarga Allah. Hal ini berarti ia telah melupakan kedudukan dan fungsi harta itu.
Imam Fakhruddin Ar-Razi mengatakan di dalam tafsirnya, "Sesungguhnya orang-orang fakir itu adalah keluarga Allah dan orang-orang kaya itu khuzzanullah (yang menyimpan harta Allah), karena harta yang ada di tangan mereka adalah harta Allah. Seandainya Allah SWT tidak memberikan harta itu di tangan mereka, niscaya mereka tidak memilikinya sedikit pun. Maka bukan sesuatu yang aneh jika ada seorang raja berkata kepada bendaharanya, "Berikan sebagian dari harta yang ada di gudang kepada orang-orang yang membutuhkan dari hamba-hamba sahayaku."
Wajib bagi manusia (yang mengemban amanat harta) terikat dengan instruksi pemiliknya dan melaksanakan keputusannya serta tunduk terhadap arahan-arahan-Nya dalam memelihara dan mengembangkannya, dalam menginfakkan dan mendistribusikannya. Bukan berkata seperti yang dikatakan oleh penduduk Madyan kepada Nabi Syu'aib AS:
"Hai Syu'aib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. ." (Huud: 87)
Hal itu merupakan bantahan mereka ketika Syu'aib menasehati mereka,
"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan adzab hari yang membinasakan (kiamat), hai kaumku, penuhilah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan rnanusia terhadap hak-hak mereka janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan." (Huud: 84-85)
Mereka mengira bahwa pemilikan harta itu memperbolehkan bagi mereka untuk bebas berbuat semaunya, walaupun hal itu bertentangan dengan norma-norma (akhlaq) atau tidak memperhatikan kepentingan masyarakat, dengan alasan bahwa, "Ini harta kami, maka kami menggunakannya terserah kemauan kami."
Islam telah menegaskan bahwa harta adalah milik Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Allah kehendaki dari para hamba-Nya. Allah mengamanahkan kepada mereka harta itu untuk melihat bagaimana mereka berbuat, maka apabila mereka tidak beriltizam dengan perintah-perintah Allah berarti mereka telah melanggar batas-batas perwakilan, sehingga harta itu harus diambil secara paksa atau tangan mereka dipukulkan ke batu.
Dengan kaidah emas ini, maka Islam maju dalam beberapa kurun (abad) dalam perekonomian dan kesejahteraan sosial Islam telah jauh mendahului apa yang digembar-gemborkan oleh sebagian ilmuwan ilmu sosial Barat bahwa sesungguhnya pemilikan itu tugas sosial, dan sesungguhnya orang yang kaya itu harus mengikuti sistem sosial yang ada. Meskipun kata-kata ini sama sekali tidak sebanding dengan ajaran yang ada dalam Al Qur'an.
 

Tidak ada komentar