Sebaik-baiknya Manusia (2)
Sebaik-baiknya
Manusia (2)
Sungguh beruntung bagi
siapapun yang dikaruniai ALLOH kepekaan untuk mengamalkan aneka pernik peluang
kebaikan yang diperlihatkan ALLOH kepadanya. Beruntung pula orang yang dititipi
ALLOH aneka potensi kelebihan oleh-Nya, dan dikaruniakan pula kesanggupan
memanfaatkannya untuk sebanyak-banyaknya umat manusia.
Karena ternyata derajat kemuliaan seseorang dapat dilihat dari sejauhmana
dirinya punya nilai manfaat bagi orang lain. Rasulullah SAW dalam hal ini
bersabda, "Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak
manfaatnya bagi orang lain" (H.R. Bukhari).
Seakan hadis ini mengatakan bahwa jikalau ingin mengukur sejauhmana derajat
kemuliaan akhlak kita, maka ukurlah sejauhmana nilai manfaat diri ini? Kalau
menurut Emha Ainun Nadjib, harusnya tanyakan pada diri ini apakah kita ini
manusia wajib, sunat, mubah, makhruh, atau malah manusia haram?
Apa itu manusia wajib? Manusia wajib ditandai jikalau adanya sangat dirindukan, sangat bermanfaat, bahkan perilakunya membuat hati orang disekitarnya tercuri. Tanda-tanda yang nampak dari seorang 'manusia wajib', diantaranya dia seorang pemalu yang jarang mengganggu orang lain, sehingga orang lain merasa aman darinya. Perilaku kesehariannya lebih banyak kebaikannya. Ucapannya senantiasa terpelihara, ia hemat betul kata-katanya, sehingga lebih banyak berbuat daripada hanya berbicara.
Apa itu manusia wajib? Manusia wajib ditandai jikalau adanya sangat dirindukan, sangat bermanfaat, bahkan perilakunya membuat hati orang disekitarnya tercuri. Tanda-tanda yang nampak dari seorang 'manusia wajib', diantaranya dia seorang pemalu yang jarang mengganggu orang lain, sehingga orang lain merasa aman darinya. Perilaku kesehariannya lebih banyak kebaikannya. Ucapannya senantiasa terpelihara, ia hemat betul kata-katanya, sehingga lebih banyak berbuat daripada hanya berbicara.
Sedikit kesalahannya, tidak suka mencampuri yang bukan urusannya, dan
sangat nikmat kalau ia berbuat kebaikan. Hari-harinya tidak lepas dari menjaga
silaturahmi, sikapnya penuh wibawa, penyabar, selalu berterima kasih,
penyantun, lemah lembut, bisa menahan dan mengendalikan diri, serta penuh
kasihsayang.
Sama sekali bukan kebiasaan bagi yang akhlaknya baik perilaku melaknat,
memaki-maki, memfitnah, menggunjing, bersikap tergesa-gesa, dengki, bakhil,
ataupun menghasut. Justru ia selalu berwajah cerah, ramah tamah, mencintai
karena ALLOH, membenci karena ALLOH, dan marahnya pun karena ALLOH SWT,
subhanallah demikian indah hidupnya.
Karenanya, siapapun di dekatnya pastilah akan tercuri hatinya. Kata-katanya
akan senantiasa terngiang-ngiang. Keramahannya pun benar-benar menjadi penyejuk
bagi hati yang sedang membara. Jikalau saja orang berakhlak mulia ini tidak
ada, maka siapapun akan merasa kehilangan, akan terasa ada sesuatu yang kosong
di rongga kalbu ini. Orang yang wajib, adanya pasti penuh manfaat dan kalau
tidak ada, siapapun akan merasa kehilangan. Begitulah kurang lebih perwujudan
akhlak yang baik, dan ternyata ia hanya akan lahir dari semburat kepribadian
yang baik pula.
Kalau orang yang sunah, keberadaannya bermanfaat, tapi kalaupun tidak ada
tidak tercuri hati kita. Tidak ada rongga kosong akibat rasa kehilangan. Hal
ini terjadi mungkin karena kedalaman dan ketulusan amalnya belum dari lubuk
hati yang paling dalam. Karena hati akan tersentuh oleh hati lagi. Seperti
halnya, kalau kita berjumpa dengan orang yang berhati tulus, perilakunya
benar-benar akan meresap masuk ke rongga kalbu siapapun.
Sedangkan orang yang mubah ada dan tidak adanya tidak berpengaruh. Di
kantor kerja atau bolos sama saja. Seorang pemuda yang ketika ada di rumah
keadaan menjadi berantakan, dan kalau tidak adapun tetap berantakan. Inilah
pemuda yang mubah. Ada dan tiadanya tidak membawa manfaat, dan tidak juga
membawa mudharat.
Adapun orang yang makruh, keberadaannya justru membawa mudharat dan kalau
dia tidak ada tidak berpengaruh. Artinya, kalau dia datang ke suatu tempat maka
orang merasa bosan atau tidak senang. Misalnya, ada seorang ayah sebelum pulang
dari kantor suasana rumah sangat tenang, tetapi seketika klakson dibunyikan
tanda bahwa ayah sudah datang, anak-anak malah lari ke tetangga, ibu cemas, dan
pembantu pun sangat gelisah. Inilah seorang ayah yang keberadaannya menimbulkan
masalah.
Seorang anak yang makruh, kalau pulang sekolah justru masalah pada
bermunculan, dan kalau tidak pulang suasana malah menjadi aman tentram. Ibu
yang makruh diharapkan anak-anaknya untuk segera pergi arisan daripada ada di
rumah. Sedangkan karyawan yang makruh, kehadirannya di tempat kerja hanya
melakukan hal yang sia-sia daripada bersungguh-sungguh menunaikan tugas kerja.
Lain lagi dengan orang bertipe haram, keberadaannya malah dianggap menjadi
musibah, sedangkan ketiadaannya justru disyukuri. Jikasaja dia pergi ngantor,
justru perlengkapan kantor pada hilang, maka ketika orang ini dipecat semua
karyawan yang ada malah mensyukurinya.
Masya ALLOH, tidak ada salahnya kita merenung sejenak, tanyakan pada diri
ini apakah kita ini anak yang menguntungkan orang tua atau malah hanya jadi
benalu saja? Masyarakat merasa mendapat manfaat tidak dengan kehadiran kita?
Adanya kita di masyarakat sebagai manusia apa, wajib, sunah, mubah, makhruh,
atau haram? Kenapa tiap kita masuk ruangan teman-teman malah pada menjauhi,
apakah karena perilaku sombong kita?
Kepada ibu-ibu, hendaknya tanyakan pada diri masing-masing, apakah
anak-anak kita sudah merasa bangga punya ibu seperti kita? Punya manfaat tidak
kita ini? Bagi ayah cobalah mengukur diri, saya ini seorang ayah atau seorang
gladiator? Saya ini seorang pejabat atau seorang penjahat? Kepada para
mubaligh, harus bertanya nih, benarkah kita menyampaikan kebenaran atau hanya
mencari penghargaan dan popularitas saja?
Nampaknya, saat bercermin seyogyanya tidak hanya memperhatikan wajah saja,
tapi pandanglah akhlak dan perbuatan yang telah kita lakukan. Sayangnya, jarang
orang berani jujur dengan tidak membohongi diri, seringnya malah merasa pinter
padahal bodoh, merasa kaya padahal miskin, merasa terhormat padahal hina. Padahal
untuk berakhlak baik kepada manusia, awalnya dengan berlaku jujur kepada diri
sendiri.
Kalaupun mendapati orang tua kita berakhlak buruk. Sadarilah bahwa darah
dagingnya melekat pada diri kita, karenanya kita harus berada di barisan paling
depan untuk membelanya demi keselamatan dunia dan akhiratnya. Bagi orang tua
yang belum Islam, kewajiban seorang anaklah yang bertanggung jawab
mengikhtiarkannya jalan hidayah. Apabila orang tua berlumur dosa dan belum mau
melakukan shalat, maka seorang anaklah yang berada pada barisan pertama
membantu orang tua kita menjadi seorang ahli ibadah dan ahli taubat.
Ingatlah, walau bagaimanapun kita punya hutang budi pada orang tua kita. Keburukan yang ada pada mereka, jangan menjadikan kebencian, jangan pula menyalahkan dan menyesali diri, "kenapa saya lahir dari orang tua yang sudah cerai?" misalnya. Atau adapula anak yang sibuk menyalahkan diri, karena tidak pernah tahu keberadaan orang tuanya. Sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah jika hanya menyalahkan keadaan. Lebih baik kita tanyakan pada diri ini, apakah sudah punya manfaat tidak kita ini? Makin banyak manfaat yang kita lakukan dengan ikhlas, insya ALLOH itulah rizki kita.
Ingatlah, walau bagaimanapun kita punya hutang budi pada orang tua kita. Keburukan yang ada pada mereka, jangan menjadikan kebencian, jangan pula menyalahkan dan menyesali diri, "kenapa saya lahir dari orang tua yang sudah cerai?" misalnya. Atau adapula anak yang sibuk menyalahkan diri, karena tidak pernah tahu keberadaan orang tuanya. Sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah jika hanya menyalahkan keadaan. Lebih baik kita tanyakan pada diri ini, apakah sudah punya manfaat tidak kita ini? Makin banyak manfaat yang kita lakukan dengan ikhlas, insya ALLOH itulah rizki kita.
Begitu pula terhadap lingkungan, kita harus punya akhlak tersendiri. Seperti
pada binatang, kalau tidak perlu tidak usah kita menyakitinya. Ada riwayat
seorang ibu ahli ibadah, tapi ALLOH malah mencapnya sebagai ahli neraka. Mengapa?
Ternyata karena si ibu ahli ibadah ini pernah mengurung kucing dalam sebuah
tempat, sehingga si kucing tidak mendapatkan jalan keluar untuk mencari makan,
padahal oleh si ibu tidak pula diberi makan, sampai akhirnya kucing itu mati. Karenanya,
walau si ibu ini ahli ibadah, tapi ALLOH melaknatnya karena akhlak pada
makhluknya jelek.
Kadang aneh kita ini, ketika duduk di taman nan hijau, entah sadar atau
tidak kita cabuti rumput atau daun-daunan yang ada tanpa alasan yang jelas. Padahal
rumput, daun, dan tumbuh-tumbuhan yang ada di alam semesta ini semuanya sedang
bertasbih kepada-Nya. Yang paling baik adalah jangan sampai ada makhluk apapun
di lingkungan kita yang tersakiti. Termasuk ketika menyiram atau memetik bunga,
tanaman, atau tumbuhan lainnya, hendaklah dengan hati-hati, karena tanaman juga
mengerti apa yang dilakukan kita kepadanya. Dikisahkan ketika Nabi SAW pindah
mimbar, yang asalnya menyandar pada sebuah pohon kurma, maka pohon kurma itu
diriwayatkan sangat sedih dan menangis, karena ia telah ditinggalkan sebagai
alat bantu Rasulullah SAW dalam menyampaikan ilmu kepada para sahabatnya.
Kejadian lain adalah ketika seorang hamba yang shalih dihampiri seekor
singa yang mengaum-ngaum seakan hendak menerkamnya. Tentu saja semua orang yang
melihat kejadian ini berlari ketakutan. Anehnya, hamba yang shalih ini sama
sekali tidak kelihatan merasa takut, kenapa? Karena dia yakin bahwa singa juga
makhluk dalam genggaman ALLOH dan sama-sama sedang bertasbih kepada-Nya. Seraya
mengajak berbicara layaknya pada makhluk yang bisa diajak bicara, "Mau apa
kesini? Kalau tidak ada kewajiban dari ALLOH dan hanya untuk mengganggu
masyarakat, alangkah baiknya engkau pergi", maka pergilah singa itu,
subhanallah. Demikianlah, orang yang takutnya hanya kepada ALLOH, makhluk pun
tunduk kepadanya.
Seperti halnya ketika ada ular di halaman rumah, maka bagi orang yang
akhlaknya baik dan dia merasa tidak terganggu, sama sekali dia tidak akan
membunuhnya, malah ditolongnya si ular ini untuk bisa kembali ke habitatnya,
itu yang lebih baik. Kalaupun dirasa mengganggu sehingga tidak ada jalan lain
kecuali harus dibunuh, maka ia akan membunuhnya dengan cara terbaik, dan tidak
lupa disebutnya asma ALLOH. Jadilah proses membunuh ular ini sebagai ladang
amal.
Betapa indah pribadi yang penuh pancaran manfaat, ia bagai cahaya matahari
yang menyinari kegelapan, menjadikannya tumbuh benih-benih, bermekarannya
tunas-tunas, merekahnya bunga-bunga di taman, hingga menggerakkan berputarnya
roda kehidupan. Demikianlah, cahaya pribadi kita hendaknya mampu menyemangati
siapapun, bukan hanya diri kita, tetapi juga orang lain dalam berbuat kebaikan
dengan full limpahan energi karunia ALLOH Azza wa Jalla, Zat yang Maha Melimpah
energi-Nya, subhanallah. Ingatlah, hidup hanya sekali dan sebentar saja, sudah
sepantasnya kita senantiasa memaksimalkan nilai manfaat diri ini, yakni menjadi
seperti yang disabdakan Nabi SAW, sebagai khairunnas. Sebaik-baik manusia!
Insya ALLOH. ***
Post a Comment