SHALAT
SHALAT
Kewailban dan syi'ar yang paling utama adalah shalat, ia merupakan tiang
Islam dan ibadah harian yang berulang kali. Ia merupakan ibadah yang pertama
kali dihisab atas setiap mukmin pada hari kiamat. Shalat merupakan garis
pemisah antara iman dan kufur' antara orang-orang beriman dan orang-orang
kafir, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah dalam hadist-hadistnya sebagai
berikut:
"Batas antara seseorang dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat. (HR.
Muslim)
"Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa
yang meninggalkan berarti ia kafir." (HR- Nasa'i, Tirmidzi dan Ahmad)
Makna hadits ini sangat jelas di kalangan para sahabat RA. Abdullah bin
Syaqiq Al 'Uqaili berkata, "Para sahabat Nabi SAW tidak melihat sesuatu
dari amal ibadah yang meninggalkannya adalah kufur selain shalat." (HR.
Tirmidzi)
Tidak heran jika Al Qur'an telah menjadikan shalat itu sebagai pembukaan
sifat-sifat orang yang beriman yang akan memperoleh kebahagiaan dan sekaligus
menjadi penutup. Pada awalnya Allah berfirman:
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu)
orang-orang yang khusu' dalam shalatnya." (Al
Mu'minun: 9)
Ini menunjukkan pentingnya kedudukan shalat dalam kehidupan seorang Muslim
dan masyarakat Islam.
Al Qur'an juga menganggap bahwa menelantarkan (mengabaikan) shalat itu
termasuk sifat-sifat masyarakat yang tersesat dan menyimpang. Adapun terus
menerus mengabaikan shalat dan menghina keberadaannya, maka itu termasuk
ciri-ciri masyarakat kafir. Allah SWT berfirman:
"Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (generasi) yang
menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan
menemui kesesatan." (Maryam: 59)
Allah SWT juga berfirman mengenai sikap orang-orang kafir yang mendustakan
risalah sebagai berikut:
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ruku'lah, niscaya mereka tidak
mau ruku'." (AI Mursalat: 48)
Kemudian dalam ayat lainnya Allah berfirman:
"Dan apabila kamu menyeru mereka untuk shalat, mereka menjadikannnya
buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar
kaum yang tidak mau mempergunakan akal." (Al
Maidah: 57)
Sesungguhnya masyarakat Islam adalah masyarakat yang Rabbani, baik secara
ghayah (orientasi) maupun wijhah (arahan). Sebagaimana Islam itu agama yang
Rabbani, baik secara nasy'ah (pertumbuhan) maupun masdar (sumbernya),
masyarakat yang ikatannya sambung dengan Allah SWT, terikat dengan ikatan yang
kuat. Shalat merupakan ibadah harian yang menjadikan seorang Muslim selalu
dalam perjanjian dengan Allah. Ketika ia tenggelam dalam bahtera kehidupan maka
datanglah shalat untuk menerjangnya. Ketika dilupakan oleh kesibukan dunia maka
datanglah shalat untuk mengingatkannya. Ketika diliputi oleh dosa-dosa atau
hatinya penuh debu kelalaian' maka datanglah shalat untuk membersihkannya. Ia
merupakan"kolam renang" ruhani yang dapat membersihkan ruh dan
menyucikan hati lima kali dalam setiap hari, sehingga tidak tersisa kotoran
sedikit pun.
Ibnu Mas'ud meriwayatkan dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Kamu
sekalian berbuat dosa, maka kamu telah melakukan shalat subuh maka shalat itu
membersihkannya, kemudian kamu sekalian berbuat dosa, maka jika kamu melakukan
shalat zhuhur, maka shalat itu membersihkannya, kemudian berbuat dosa lagi,
maka jika kamu melakukan shalat 'asar maka shalat itu membersihkannya, kemudian
kamu berbuat dosa lagi, maka jika kamu melakukan shalat maghrib, maka shalat
itu membersihkannya, kemudian kamu berbuat dosa lagi, maka jika kamu melakukan
shalat isya', shalat itu akan membersihkannya, kemudian kamu tidur maka tidak
lagi di catat dosa bagi kamu hingga kamu bangun." (HR. Thabrani)
Pelaksanaan shalat dalam Islam mempunyai keistimewaan yaitu dengan
berjamaah dan adanya adzan. Berjamaah dalam shalat ada yang menyatakan fardhu
kifayah sebagaimana dikatakan oleh mayoritas para Imam dan ada yang mengatakan
fardhu 'ain sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad.
Karena pentingnya shalat berjamaah maka Rasulullah SAW serius akan membakar
rumah-rumah suatu kaum dengan api karena mereka ketinggalan dari shalat
berjamaah dan mereka shalat di rumah-rumah mereka. Ibnu Mas'ud berkata tentang
shalat:
"Kamu bisa melihat generasi kami (para sahabat), tidak ada yang
tertinggal dari shalat berjamaah kecuali orang yang sakit atau munafik yang
diketahui nifaqnya." (HR. Muslim)
Karena pentingnya shalat berjamaah maka Islam menekankan kepada kita untuk
senantiasa mendirikan shalat secara berjamaah, walaupun di tengah-tengah
peperangan. Maka dianjurkan untuk shalat"Khauf." Shalat ini merupakan
shalat berjamaah yang khusus dilakukan pada saat peperangan di belakang satu
imam dengan dua tahapan. Pada tahap pertama sebagian orang-orang yang ikut
berperang shalat terlebih dahulu satu rakaat di belakang imam, kemudian
meninggalkan tempat shalat untuk menuju ke medan perangnya dan menyempurnakan
shalatnya di sana, kemudian pada tahapan berikutnya datanglah sebagian yang
semula menghadapi musuh, untuk mengikuti shalat dibelakang imam.
Ini semua mereka lakukan dengan membawa senjata perang dan dengan penuh
kewaspadaan. Mengapa ini semua mereka lakukan? Semata-mata agar tidak seorang
pun dari mujahidin yang kehilangan keutamaan shalat berjamaah yang sangat
ditekankan oleh Islam. Allah menjelaskan dalam firman-Nya,
"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu
hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari
mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila
mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka
hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah
datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka bersamamu,
dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir
ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, la1u mereka
menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan
senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau
karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah
menyediakan adzab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu." (An-Nisa': 102)
Ayat ini selain menunjukkan kedudukan shalat berjamaah juga menunjukkan
betapa pentingnya kedudukan shalat itu sendiri. Berlangsungnya peperangan, siap
siaganya musuh dan kesibukan dalam berjihad fi sabilillah itu tidak
menggugurkan kewajiban shalat. Tetapi tetap wajib dilaksanakan dengan cara
semampunya, walaupun tanpa ruku', sujud dan menghadap kiblat ketika dalam
peperangan yang serius. Cukuplah dengan berniat ketika dalam kondisi darurat
dan melakukan apa saja yang mungkin dikerjakan seperti tilawah, isyarat
berdzikir dan sebagainya. Allah SWT berfirman:
"Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah
karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'. Jika kamu dalam keadaan takut
(bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila
kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui." (Al Baqarah: 238-239)
Yang dimaksud dengan firman Allah, "Farijaalan aur-rukhaanan"
adalah shalatlah kamu sambil berjalan atau berkendaraan, menghadap ke kiblat
atau tidak, semampu kamu, ini sesuai dengan orang yang naik pesawat, mobil,
tank dan lain-lain.
Shalat juga memiliki keistimewaan dengan adzan, itulah seruan Rabbani yang
suaranya menjulang tinggi setiap hari lima kali. Adzan berarti mengumumkan
masuknya waktu shalat, mengumumkan tentang aqidah yang asasi dan
prinsip-prinsip dasar Islam, meliputi, "Allahu akbar empat kali, Asyhadu
an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, dua kali. Hayya'alashshalaah
dua kali. Hayya 'alalfalaah, dua kali, Allahu akbar, dua kali, kemudian membaca
laa ilaaha illallah."
Adzan ini layaknya 'lagu kebangsaan' bagi ummat Islam yang didengungkan
dengan suara tinggi oleh muadzin, lalu dijawab oleh orang-orang beriman di mana
saja berada. Mereka bersama-sama ikut mengulang secara serempak kalimat-kalimat
adzan itu, untuk menghunjamkan nilai-nilainya dalam jiwa dan memperkuat
nilai-nilai itu dalam akal dan hati.
Shalat, sebagaimana disyariatkan oleh Islam, bukanlah sekedar hubungan
ruhani dalam kehidupan seorang Muslim. Sesungguhnya shalat dengan adzan dan
iqamatnya, berjamaah dengan keteraturannya, dengan dilakukan di rumah-rumah
Allah, dengan kebersihan dan kesucian, dengan penampilan yang rapi, menghadap
ke kiblat' ketentuan waktunya dan kewajiban-kewajiban lainnya' seperti gerakan,
tilawah, bacaan-bacaan dan perbuatan-perbuatan, yang dimulai dengan takbir dan
diakhiri dengan salam, dengan ini semuanya maka shalat punya nilai lebih dari
sekedar ibadah. Sesungguhnya shalat merupakan sistem hidup, manhaj tarbiyah dan
ta'lim yang sempurna, yang meliputi (kebutuhan) fisik, akal dan hati. Tubuh
menjadi bersih dan bersemangat, akal bisa terarah untuk mencerna ilmu, dan hati
menjadi bersih dan suci.
Shalat merupakan tathbiq 'amali (aspek aplikatif) dari prinsip-prinsip
Islam baik dalam aspek politik maupun sosial kemasyarakatan yang ideal. Yang
membuka atap masjid menjadi terus terbuka sehingga nilai persaudaraan, persamaan
dan kebebasan itu terwujud nyata. Terlihat pula dalam shalat makna keprajuritan
orang-orang yang beriman, ketaatan yang paripurna dan keteraturan yang indah.
Imam Asy-syahid Hassan Al Banna berkata, dalam menjelaskan shalat secara
sosial, setelah beliau menjelaskan pengaruh shalat secara ruhani:
"Pengaruh shalat tidak berhenti pada batas pribadi, tetapi shalat itu
sebagaimana disebutkan sifatnya oleh Islam dengan berbagai aktifitasnya yang
zhahir dan hakikatnya yang bersifat bathin merupakan minhaj yang kamil
(sempurna) untuk mentarbiyah ummat yang sempurna pula. Shalat itu dengan
gerakan tubuh dan waktunya yang teratur sangat bermanfaat untuk tubuh,
sekaligus ia merupakan ibadah ruhiyah. Dzikir, tilawah dan doa-doanya sangat
baik untuk pembersihan jiwa dan melunakkan perasaan. Shalat dengan
dipersyaratkannya membaca AL Fatihah di dalamnya, sementara AL Qur'an menjadi
kurikulum Tsaqafah Islamiyah yang sempurna telah memberikan bekal pada akal dan
fikiran dengan berbagai hakekat ilmu pengetahuan, sehingga orang yang shalat
dengan baik akan sehat tubuhnya, lembut perasaannya dan akalnya pun mendapat
gizi. Maka kesempurnaan manakah dalam pendidikan manusia secara individu
setelah ini? Kemudian shalat itu dengan disyaratkannya secara berjamaah, maka
akan bisa mengumpulkan ummat lima kali setiap hari dan sekali dalam satu pekan
dalam shalat jum'at di atas nilai-nilai sosial yang baik, seperti ketaatan,
kedisiplinan, rasa cinta dan persaudaraan serta persamaan derajat di hadapan
Allah yang Maha Tingi dan Besar. Maka kesempurnaan yang manakah dalam
masyarakat yang lebih sempurna daripada masyarakat yang tegak di atas pondasi
tersebut dan dikuatkan di atas nilai-nilai yang mulia?
Sesungguhnya shalat dalam Islam merupakan sarana tarbiyah yang sempurna
bagi individu dan pembinaan bagi membangun ummat yang kuat. Dan sungguh telah
terlintas dalam benak saya ketika sedang menjelaskan prinsip-prinsip
kemasyarakatan saat ini bahwa shalat yang tegak dan sempurna itu bisa membawa
dampak kebaikan bagi pelakunya dan bisa membuang sifat-sifat buruk yang ada. Shalat
telah mengambil dari"Komunisme" makna persamaan hak dan persaudaraan
yaitu dengan mengumpulkan manusia dalam satu tempat yang tidak ada yang
memiliki kecuali Allah yaitu Masjid; dan Shalat telah mengambil dari"kediktatoran"
makna kedisplinan dan semangat yaitu dengan adanya komitmen untuk berjamaah'
mengikuti Imam dalam setiap gerak dan diamnya, dan barang siapa yang
menyendiri, maka ia akan menyendiri dalam neraka. Shalat juga mengambil
dari"Demokrasi" suatu bentuk nasehat, musyawarah dan wajibnya
mengembalikan Imam ke arah kebenaran apabila ia salah dalam kondisi apa pun. Dan
shalat biasa membuang segala sesuatu yang jelek yang menempel pada semua
ideologi tersebut di atas seperti kekacauan Komunisme, penindasan diktaktorisme,
kebebasan tanpa batas demokrasi, sehingga shalat merupakan minuman yang siap
diteguk dari kebaikan yang tidak keruh di dalamnya dan tidak ada
keruwetan"9)
Karena itu semua maka masyarakat Islam pada masa salafus shalih sangat
memperhatikan masalah shalat, sampai mereka menempatkan shalat itu
sebagai"mizan" atau standar, yang dengan neraca itu ditimbanglah
kadar kebaikan seseorang dan diukur kedudukan dan derajatnya. Jika mereka ingin
mengetahui agama seseorang sejauh mana istiqamahnya maka mereka bertanya
tentang shalatnya dan sejauh mana ia memelihara shalatnya, bagaimana ia
melakukan dengan baik. Ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:
"Apabila kamu melihat seseorang membiasakan ke Masjid, maka
saksikanlah untuknya dengan iman." (HR. Tirmidzi)
Kemudian Nabi membaca firman Allah sebagai berikut:
"Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka
merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk orang-orang yang mendapat
petunjuk." (At-Taubah: 18)
Dari sinilah, maka pertama kali muassasah (lembaga) yang dibangun oleh
Rasulullah SAW setelah beliau hijrah ke Madinah adalah Masjid Nabawi. yang
berfungsi sebagai pusat ibadah, kampus bagi kajian keilmuan dan gedung parlemen
untuk musyawarah.
Umat bersepakat bahwa siapa yang meninggalkan shalat karena menentang
kewajiban shalat dan karena menghinanya maka ia telah kafir. Dan mereka berbeda
pendapat mengenai orang yang meninggalkan tidak secara sengaja tetapi karena
malas, sebagian mereka ada yang menghukumi kafir dan berhak dibunuh seperti
pendapat Imam Ahmad dan Ishaq. Sebagian lagi ada yang menghukumi fasiq dan
berhak dibunuh, seperti Imam Syafi'i dan Malik, dan sebagian yang lain ada yang
mengatakan fasik dan berhak mendapat ta'zir (hukuman, atau pengajaran dengan
dipukul dan dipenjara sampai ia bertaubat dan shalat, seperti Imam Abu Hanifah.
Tidak seorang pun di antara mereka mengatakan bahwa shalat itu boleh
ditinggalkan menurut kehendak seorang Muslim, jika mau ia kerjakan dan jika ia
tidak mau, maka ia tinggalkan dan hisabnya terserah Allah. Bahkan mereka (para
Imam) mengambil kesepakatan bahwa termasuk kewajiban hakim atau daulah Muslimah
untuk ikut mengancam dan memberi pengajaran bagi setiap orang yang secara terus
menerus meninggalkan shalat.
Maka bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang membiarkan orang-orang
bergabung dengan Islam, sementara mereka hidup tanpa ruku' kepada Allah SWT,
tanpa mereka memperoleh.sanksi atau pengajaran dengan alasan bahwa manusia itu
mempunyai hak kebebasan untuk berbuat.
Bukan pula masyarakat Islam itu masyarakat yang menyamakan antara
orang-orang yang shalat dan orang-orang yang tidak shalat apalagi mengutamakan
orang-orang yang tidak shalat dan menjadikan mereka sebagai pemimpin.
Bukan pula masyarakat Islam itu yang membangun perkantoran-perkantoran,
lembaga-lembaga, pabrik-pabrik dan sekolah-sekolah, sementara di dalamnya tidak
ada Masjid yang dipergunakan untuk shalat dan didengungkan suara adzan.
Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang sistem kerjanya tidak
mengenal waktu shalat, sehingga bagi siapa saja dari karyawannya yang tak
menepati peraturan itu (yang tidak mengenal waktu shalat) akan dikenakan sanksi
yang sesuai dan akan dituding sebagai berbuat kesalahan.
Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang ketika mengadakan seminar,
resepsi, pertemuan-pertemuan dan ceramah-ceramah, sementara ketika masuk
saatnya shalat tidak ada suara adzan dan tidak didirikan shalat.
Sebelum itu semuanya, bukanlah dikatakan masyarakat Islam itu masyarakat
yang tidak mengajarkan shalat kepada putera-puterinya di sekolah-sekolah dan di
rumah-rumah, sejak masa kanak-kanak. Maka ketika mereka berusia tujuh tahun
mereka harus diperintahkan, dan ketika berusia sepuluh tahun mereka dipukul
apabila meninggalkan shalat.
Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang tidak menjadikan shalat
termasuk serangkaian kurikulum pendidikan pengajaran dan penerangan yang pantas
diperhatikan dalam agama Allah dan dalam kehidupan kaum Muslimin.
Post a Comment