DUNIAWI DAN ROHANI
DUNIAWI DAN ROHANI
Pada dasarnya manusia memiliki
perjanjian dengan penciptanya di alam praeksistensi -seperti yang telah kita
bahas dalam bab tauhid-, setelah dilahirkan penjagaan fitrah manusia tersebut
kadang terdistorsi oleh lingkungan yang membuatnya lupa akan Penciptanya. Oleh
sebab itu Rasul pembawa risalah memiliki kewajiban untuk mengembalikan manusia
kepada fitrahnya. Kewajiban pertama adalah mengajarkan tauhid, dan kedua yaitu
memperbaiki keadaan umat agar tidak lalai; dalam hubungan vertikal antara
manusia dan Penciptanya diajarkan dalam bentuk ibadah vertikal (ibadah mahdlah), dan perbaikan secara
horizontal antar manusia secara individu maupun kelompok melalui ibadah
horizontal (mu'amalah bi husnil khuluq)
.
Kesaksian manusia pada masa
praeksistensi, tetap dituntut pada masa eksistensi, yaitu pentauhidan Allah,
yang dalam ajaran Islam dikenal dengan istilah syahadah (kesaksian). Syahadah
adalah modal awal bagi manusia untuk bisa mengenal Penciptanya, untuk kemudian
diperkuat dengan Ibadah vertikal atau horizontal. Allah tidak membutuhkan ibadah
manusia, justru sebaliknya manusia sangat membutuhkan ibadah, sebagai sarana
untuk bertemu dengan penciptanya, dalam batas-batas tertentu sesuai kemampuan
masing-masing individu. Sebab syahadah (kesaksian) harus dibuktikan dengan
tindakan yang
menunjukkan ketaatan dan kepasrahan terhadap sang Khaliq, dan bukti ketaatan
itulah yang menjadikan manusia sedapat mungkin mendekat kepada Penciptanya. Lain
dari pada itu, ibadah merupakan sarana peningkatan energi sepiritual, yang
dengannya seseorang dapat membuka mata hatinya. Mata hatilah yang mampu membawa
manusia untuk bertemu dengan Pencipta, sebagaimana yang dialami para nabi dan
orang-orang saleh yang dikehendaki oleh Allah Swt. Rasulullah dalam haditsnya
mengajarkan agar kita menyembah Allah seakan kita melihatNya, namun jika kita
tidak mampu melihatNya maka sebenarnya Dia melihat kita.1
Dalam ibadah vertikal, bentuk
peribadatan yang
diajarkan oleh Allah kepada para nabi dan rasulnya sebenarnya tidak jauh
berbeda; dalam ajaran Nabi Musa dan Nabi Isa dikenal ada shalat (arti shalat
menurut etimologi adalah berdo'a) dan puasa, seperti yang akan kita bahas
nanti.
Kesamaan bentuk ibadah dikalangan
nabi-nabi seperri Musa, Isa dan Muhammad bukanlah suatu kebetulan
atau sekedar tradisi Semit, namun lebih merupakan kesatuan risalah ilahi yang
dibawa oleh para nabi pada setiap masa hingga masa nabi Muhammad. Jika
dikemudian hari cara peribadatan itu ada yang berubah atau malah hilang, maka
yang perlu dipertanyakan adalah umat itu sendiri, sebab para nabi telah
menyampaikan risalah yang dibawanya.
Dalam hubungan antar manusia, para
nabi mengajarkan pentingnya moral, individu dan kelompok. Secara
individu mereka mengajarkan agar manusia bersikap mengasihi dan berbuat adil
terhadap diri sendiri clan orang lain. Nabi Musa yang menerima 10 perintah
Allah, selain masalah tauhid yang merupakan pokok pertama, juga menyebutkan
ajaran-ajarau sosial. Dalam Injil, tentang perintah utama -setelah yang pertama,
masalah pengesaan Allah-, disebutkan: :
"Perintah yang kedua ialah : Kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri." (Markus 12:
31).
Dan Rasulullah mengajarkan
:
Dari Abdullah bin Amru: Rasulullah Saw. bersabda:
"Orang yang mengasihi akan dikasihi oleh yang Maha Pengasih. Kasihilah siapapun
yang di atas bumi, maka engkau akan dikasihi yang ada dilangit.... " (HR. Tirmidzi).2
Mengasihi diri sendiri dengan tetap
memperhatikan tubuh kasar untuk mendapatkan hak-haknya, berbuat adil terhadap
diri sendiri dengan menuntut diri agar melaksanakan kewajiban dan
tanggung jawab yang dipikulnya. Mengasihi orang lain dengan segala perbuatan
yang mendatangkan manfaat, berbuat adil kepada orang lain dengan tidak melanggar
hak-hak orang lain. Ajaran untuk peduli sesama dalam Islam di wakili dalam salah
satu rukunnya yaitu zakat, setelah sebelumnya dilatih untuk menumbuhkan empati
melalui puasa -menahan lapar dan haus seperti yang dialami mereka para fakir
miskin-. Mengeluarkan harta benda untuk diberikan pada mereka yang berhak dan
tentunya tanpa keinginan mendapat ganti dari manusia, merupakan simbol utama
dari kepedulian terhadap sesama, sebab kecintaan manusia terhadap harta kadang
melebihi kecintaan terhadap seseorang yang dekat sekalipun. Apalagi masyarakat
modern yang sering menganggap segala sesuatu berdasarkan nilai uang,
mengeluarkan harta seringkali dengan harapan imbalan, minimal
promosi.
Selain ajaran untuk mengasihi sesama,
prinsip keadilan luga ditekankan agar tidak ada individu yang
terdzalimi oleh individu lain.
Dalam Taurat disebutkan :
Maka jangan kamu sayang akan dia,
melainkan jiwa akan ganti jiwa, dan mata akan ganti mata, dan gigi akan ganti
gigi, dan tangan akanganti tangan, dan kaki akanganti kaki
adanya. (Ulangan 19:21)3
Dalam Injil, nabi Isa menyebutkan
seperti hukum Taurat
Kamu sudah mendengar perkataan
demikian: Mata ganti mata, dan gigi ganti gigi; (Matius S: 38).
Hal ini ditegaskan lagi oleh
al-Qur'an:
Dan Kami telah tetapkan terhadap
mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata
dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan
luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan ( hak kisas) nya, maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang zalim. (Al-Maidah 45).
Ayat Qishas dalam ketiga kitab samawi
ini mencerminkan prinsip keadilan yang paling mendasar; pelanggaran
atas hak orang lain yang jika ringan maka diganjar ringan tapi jika berat maka
harus diganjar berat. Jika terbalik maka ketidak-adilan akan merebak, mereka
yang berkuasa akan sewenang-wenang dan hukum dapat dibeli, palu kedzaliman bisa
diketok di meja pengadilan dengan senyum manis, ketidak percayaan masyarakat
terhadap aparat hukum menjadikan mereka bisa lebih kejam dari yang dibayangkan
-akibat mencuri seseorang bisa dibakar-, yang tersisa hanya hukum rimba. Jika
itu yang terjadi, maka fitrah manusia menjadi tumpul, hingga mengeras melebihi
batu, dan agama hanya dijadikan ritual tahunan saja untuk menjaga gengsi clan
populeritas, bagaimana mungkin dapat mencapai kedekatan dengan
Penciptanya?
Moralitas individu dan sosial, selain
demi kenyamanan hidup manusia, merupakan sarana pembersihan jiwa agar fitra manusia tidak terkikis
oleh hiruk-pikuk keduniaan, seperti halny ibadah vertikal. Maka tidak heran jika
Rasulullah mengajarkan bahwa memotong kuku termasuk fitrah4, dan memungut pak dan sejenisnya dari
jalanan adalah sebagian dari iman, seper dalam hadits berikut ini:
Dari Abu Hurairah mengatakan, bersabda
Rasulullah Saw.: "Iman itu ada tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih macamnya,
yang paling baik adalah mengatakan tiada ilah selain Allah, dan yang terendah
adalah rnernungut adza (halhal yang rnembahayakan pejalan) dari jalan; dan malu
adalah bagian dari pada iman".
(HR. Muslim) 5
Penyebutan angka tujuh puluh
dan enam puluh lebil adalah
gaya bahasa hiperbol
yang sering dipakai oleh
bahasa Arab (Semit) untuk menyatakan banyaknya sesuatu. Dari hadit di atas kita
mendapat gambaran bahwa keimanan kepada Allah dijabarkan dalam ibadah vertikal
seperti syahadat, serta ibadal horizontal dengan menyempurnakan moral seperti
memungut paku (dan sejenisnya) dari jalanan. Seperti halnya shalat dan puasa,
maka berbuat baik pada diri sendiri clan orang lain adalal untuk menjaga fitrah
manusia. Dan fitrah adalah universal merupakan anugrah Allah kepada makhluqnya,
hanya saja manusia kadang tertutup fitrahnya oleh hawa nafsunya sendiri tidakkah
kita melihat, jika ada seseorang tertimpa musibah - misalnya- kita akan merasa
iba dan ingin menolong, namui perasaan itu bisa terkubur ketika nafsu mengatakan
bahwa dia adalah "orang lain" dan mungkin berubah 180% menjadi sikap nyukurin
ketika hawa nafsu mengatakan ia adalah "musuh" Maka dari itu perang terhadap
hawa nafsu yang dihembuskan oleh Setan menjadi jihad terbesar dalam ajaran
Islam.
Hal yang sama telah disampaikan oleh Nabi
Isa dalan nasehatnya kepada murid-muridnya, ia mengatakan :
"Berjaga jagalah dan berdoalah,
supaya kamu jangan jatuh
ke dalam percobaan; roh memang berniat baik, tetapi tabiat manusia lemah."
(Markus l4:
38).
Roh manusia menurut al-Qur'an
dibekali dengan fitrah ilahiah6 maka cenderung lurus,
namun tabiat manusia seringkali kalah menahan godaan setan, hingga hawa nafsu
menguasi dirinya dan fitrahnya menjadi redup. Itulah sebabnya baik Nabi Muhammad
maupun para nabi sebelumnya, mengajarkan disiplin diri dalam ritual peribadatan seperti shalat dan
puasa, juga budi pekerti dan menjaga diri dari perbuatan tercela yang dapat
mengotori fitrahnya.
Dari seluruh ibadah vertikal dan
horizontal, pemungkasnya
adalah mengunjungi bait Allah, dalam ajaran Islam disebut haji, yang dilakukan
di Makkah dalam waktu
tertentu. Pembahasan tentang
masing-masing ibadah di atas akan kami lengkapi pada bahasan
tersendiri.
Apa yang diajarkan oleh para nabi dan
rasul serta kitabkitab yang diturunkan kepada masing-masing rasul, pada
hakekatnya sama, hanya saja umatnya yang menyikapi berbeda.
Oleh sebab itu maka Allah memperingatkan agar hukum yang
pernah diturunkan kepada masing-masing umat untuk dijaga dan ditegakkan. Dalam
Al-Qur'an Allah menegur mereka yang telah diberi kitab:
|
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu
tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaranajaran Taurat,
Injil dan al-Qur'an yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu
(Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada
kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang
yang kafir itu.
Teguran Allah melalui nabi terakhirnya
bukanlah tanpa alasan, kita saat ini dapat melihat apakah shalat, dan puasa
dijalankan di dua agama samawi sebelum Islam? Kalaupun sebagian mereka
menjalankan -khususnya puasa-, namun tata cara yang ada di dalam bibel hanya
bersifat global, seperti wudlu' misalnya, dalam perjanjian lama hanya disebutkan
membasuh tangan dan kaki sebelum memulai peribadatan, demikian juga dengan
shalat dan puasa; semuanya bersifat global tidak tidak ada
rinciannya.
Apalagi pada masa sekarang, ketika
panggung agama Yahudi dan Kristen beralih ke Amerika dan Eropa,
sisi ibadah vertikal yang begitu sakral sudah berubah, apalagi ibadah
horizontal. Pesan-pesan agama tentang aturan hidup sudah dianggap kuno, maka
ajaran kitab suci kadang terpaksa diganti (lihat bahasan tentang kitab suci).
Kemegahan duniawi yang dicapai oleh kiblat kedua agama di atas tidak disertai
dengan kemajuan spiritual, yang membuat masyarakat keduanya menjadi kering dan
bimbang, tanpa tujuan hidup yang berarti, maka tidak mengherankan jika tolak
ukur keberhasilan adalah materi. Kekeringan ruhani yang menjurus kepada
kehidupan tanpa aturan, akan lebih terlihat dalam jawaban atas hujatan buku
Islamic Invasion pada kajian berikut :
NOTES
1. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Daar
al-Fikr-Beirut, 1994, Vol. I, hal, 23.
2. Menurut Abu Isa hadits ini
hasan-shahih. Jami' at Tirmidzi, Imam Tirmidzi, kitab al-birri wa ash-shilah,
bab maa jaa'a fi rahmat an-naas.
3. Lihat juga: Keluaran 21: 23-25, Imamat
24: 19-21.
4. Dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw.
bersabda: "Fitrah itu ada lima (atau lima macam dari fitrah): Khitan, bercukur,
memotong kuku, mencabut (bulu) ketiak, dan memotong kumis". Diriwayatkan
oleh
Imam Muslim dalam Shahih Muslim,
Daar al-Fikr, Beirut, 1992, vol. l, hal. 135.
5. Al Bukhari, Op. cit., I/42.
6. Robert Morey, Robert Morey, The
Islamic Invasion - confronting the World's Fastest Growing Relegion, Scholars
Press, Las Vegas, 1991' ha1183.
Post a Comment