Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-8 (Tafsir AL-MARAGHY)
Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-8 (Tafsir AL-MARAGHY)
Nama Mufassir
Ahmad bin Mushtafa al-Marâghy, wafat tahun 1371 H (1952 M). [Untuk mengetahui lebih lanjut tentang biografi beliau, silahkan lihat: al-A’lâm karya Khairuddin az-Zirakly (I/258) dan Mu’jam al-Mufassirîn (I/80)]
Nama Kitab
Tafsir al-Marâghy.
‘Aqidahnya
Beliau seorang Mufassir yang menganut faham takwil (faham yang menyimpang dari manhaj ulama Salaf-red.,), yaitu menakwil semua ayat-ayat tentang sifat-sfat Allah. Sifat rahmat, malu dan istiwa` (meninggi di atas ‘arasy) termasuk yang ditakwilnya. Anehnya, setelah menakwilkan kata Istiwâ`, beliau kemudian berdalil dengan madzhab Salaf dengan menyebut ucapan Imam Mâlik dan Ibn Katsîr (padahal ulama-ulama tersebut tidak membolehkan takwil seperti itu-red.,). Beliau juga menakwil sifat wajah, datang (Majî`), mendatangkan (It-yân) dan mencintai (Mahabbah). Pernah beliau mengatakan, “Dan cinta dan bencinya Allah merupakan salah satu urusan-Nya yang tidak boleh kita mencari wujud (eksistensi) dan (mempersoalkan) bagaimana caranya.” Di antara sifat lainnya yang ditakwilnya adalah sifat ridla, ‘Indiyyah (di sisi Allah), Fawqiyyah (di atas), tangan (Yad) dan mata (‘Ain) sekalipun beliau menetapkan bahwa orang-orang Mukmin kelak di hari Kiamat akan melihat Rabb mereka.
Al-Marâghy adalah salah seorang pentolan Madrasah Ishlâhiyyah (perguruan reformis) yang lebih mengagungkan akal (logika) dan seorang yang terpengaruh oleh pandangan Muhammad ‘Abduh. Perguruan dan imamnya memiliki banyak pandangan yang bertentangan dengan madzhab dan ‘Aqidah Salaf. Di samping itu, perguruan ini juga memiliki beberapa kerancuan yang diakibatkan oleh sikap yang berlebih-lebihan di dalam mengagungkan akal dalam setiap urusan agama sehingga melenceng dari kebenaran. Dalam hal ini, mereka lebih sependapat dengan kaum Mu’tazilah, golongan Asyâ’irah (pengikut faham Asy’ariyyah) dan orang-orang semisal mereka yang lebih mendahulukan akal ketimbang Naql (nash al-Qur’an dan hadits).
Al-Marâghy telah menyebarkan pandangan-pandangan perguruan ini di dalam tafsirnya, di antaranya:
Ahmad bin Mushtafa al-Marâghy, wafat tahun 1371 H (1952 M). [Untuk mengetahui lebih lanjut tentang biografi beliau, silahkan lihat: al-A’lâm karya Khairuddin az-Zirakly (I/258) dan Mu’jam al-Mufassirîn (I/80)]
Nama Kitab
Tafsir al-Marâghy.
‘Aqidahnya
Beliau seorang Mufassir yang menganut faham takwil (faham yang menyimpang dari manhaj ulama Salaf-red.,), yaitu menakwil semua ayat-ayat tentang sifat-sfat Allah. Sifat rahmat, malu dan istiwa` (meninggi di atas ‘arasy) termasuk yang ditakwilnya. Anehnya, setelah menakwilkan kata Istiwâ`, beliau kemudian berdalil dengan madzhab Salaf dengan menyebut ucapan Imam Mâlik dan Ibn Katsîr (padahal ulama-ulama tersebut tidak membolehkan takwil seperti itu-red.,). Beliau juga menakwil sifat wajah, datang (Majî`), mendatangkan (It-yân) dan mencintai (Mahabbah). Pernah beliau mengatakan, “Dan cinta dan bencinya Allah merupakan salah satu urusan-Nya yang tidak boleh kita mencari wujud (eksistensi) dan (mempersoalkan) bagaimana caranya.” Di antara sifat lainnya yang ditakwilnya adalah sifat ridla, ‘Indiyyah (di sisi Allah), Fawqiyyah (di atas), tangan (Yad) dan mata (‘Ain) sekalipun beliau menetapkan bahwa orang-orang Mukmin kelak di hari Kiamat akan melihat Rabb mereka.
Al-Marâghy adalah salah seorang pentolan Madrasah Ishlâhiyyah (perguruan reformis) yang lebih mengagungkan akal (logika) dan seorang yang terpengaruh oleh pandangan Muhammad ‘Abduh. Perguruan dan imamnya memiliki banyak pandangan yang bertentangan dengan madzhab dan ‘Aqidah Salaf. Di samping itu, perguruan ini juga memiliki beberapa kerancuan yang diakibatkan oleh sikap yang berlebih-lebihan di dalam mengagungkan akal dalam setiap urusan agama sehingga melenceng dari kebenaran. Dalam hal ini, mereka lebih sependapat dengan kaum Mu’tazilah, golongan Asyâ’irah (pengikut faham Asy’ariyyah) dan orang-orang semisal mereka yang lebih mendahulukan akal ketimbang Naql (nash al-Qur’an dan hadits).
Al-Marâghy telah menyebarkan pandangan-pandangan perguruan ini di dalam tafsirnya, di antaranya:
- Ketika beliau menakwil atau membolehkan penakwilan terhadap
mukjizat-mukjizat para Nabi AS. Seperti tanggapan beliau terhadap orang yang
mengatakan, “Sesungguhnya ketika Nabi Musa menyeberang, kondisi laut sedang
tidak bergelombang sehingga airnya tertarik ke tengah laut sedangkan ketika
Fir’aun yang menyeberang, kondisi laut sedang bergelombang sehingga airnya
menepi hingga ke pantai…” Beliau menanggapinya dengan mengatakan, “Takwil
seperti ini tidak berbahaya (tidak apa-apa) bilamana si penafsirnya masih
menetapkan terjadinya kejadian-kejadian luar biasa tersebut pada diri para
Nabi.” (I/117)
- Memilih pendapat yang menyatakan bahwa kejadian Maskh (pengrubahan
muka menjadi rupa monyet) terhadap Bani Israil itu hanyalah secara maknawy saja
(bukan kejadian sungguhan-red.,). (I/139)
- Pendapatnya mengenai Kalam Allah bersama para malaikat-Nya mengenai
penciptaan Adam bahwa ia merupakan ayat mutasyâbih (samar-samar) yang tidak
memungkinkan untuk mengartikannya menurut makna zhahirnya. Untuk mengetahuinya,
harus diserahkan kepada Allah sendiri, lalu menisbahkan pendapat semacam ini
kepada ulama Salaf (padahal tidak benar demikian-red.,). (I/78)
- Beliau mengatakan bahwa Adam bukanlah bapak manusia (I/77) dan Hawwa` tidak
diciptakan dari tulang rusuknya (I/93). Hal ini jelas hendak menolak
mentah-mentah firman Allah, “…Yang menciptakan kamu dari satu jiwa dan
menciptakan darinya pasangannya (Hawwa`)…” (Q.s.,an-Nisâ`: )
Juga, hadits Rasulullah SAW., yang diriwayatkan Abu Hurairah dalam ash-Shahîhain, “Berwasiatlah dengan baik terhadap wanita, karena sesungguhnya mereka itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok..” Sangat disayangkan, beliau menakwil kedua nash ini secara keliru.
- Menukil pendapat Muhammad ‘Abduh yang mengindikasikan pengingkaran terhadap
alam malaikat dan jin dengan tanpa memberikan komentar atasnya sedikitpun.
(I/87)
- Pernyataannya mengenai turunnya Nabi ‘Isa di akhir zaman bahwa ia adalah
hadits Ahad yang terkait dengan masalah ‘aqidah sedangkan hal-hal yang berkenaan
dengan ‘aqidah tidak dapat diambil kecuali melalui dalil yang pasti (qath’iy),
baik dari al-Qur’an maupun hadits yang mutawatir sedangkan disini, tidak
terdapat salah satu dari kedua hal ini. Kemudian dia meneruskan, “Atau maksud
dari turunnya ‘Isa dan akan berkuasanya dia di muka bumi kelak adalah dari
dominasi ruh (spirit) nya dan rahasia risalahnya atas manusia.” (III/169)
Ini adalah benar-benar ucapan Muhammad ‘Abduh sendiri.
- Ketika mengomentari firman-Nya, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan lantaran (tekana) penyakit gila.” (Q.s.,al-Baqarah:275), Beliau mengatakan, “Terjadinya kemasukan syaithan pada manusia merupakan klaim orang-orang Arab sebab mereka mengklaim bahwa ia merasuk manusia sehingga ia pingsan (tidak sadarkan diri karena kemasukan). Karena itu, al-Qur’an datang sesuai dengan keyakinan mereka itu. Demikian juga keyakinan mereka bahwa jin bisa menyentuh manusia sehingga akalnya kacau. Dalam ungkapan bahasa mereka dinyatakan, ‘Rajulun Mamsûs (seorang laki-laki disentuh)’ artinya ia disentuh oleh jin (kemasukan) dan ungkapan ‘Rajulun Majnûn (seorang laki-laki gila)’ bilamana ia dipukul oleh jin…” Kemudian beliau mengatakan lagi, “Maka ayat ini datang sesuai dengan apa yang mereka yakini itu, jadi bukan dalam rangka membenarkan ini ataupun menafikannya.!!! Tidak mempercayai adanya manusia yang kerasukan jin dan masuknya ia ke dalam raga manusia merpakan madzhab Mu’tazilah karena menurut mereka hal itu adalah mustahil..!!”
Spesifikasi Umum
Mengenai hal ini, beliau mengungkapkannya sendiri di dalam kitabnya, “Kami kemukakan pada setiap pembahasan satu, dua atau beberapa ayat al-Qur’an yang diketengahkan untuk satu tujuan, lalu kami ikuti dengan penafsiran kosa katanya secara bahasa, jika di dalamnya terdapat sebagian hal yang sulit dipahami oleh para pembaca, lalu kami susulkan dengan menyebut makna per-kalimat dari ayat yang ini atau beberapa ayat sehingga nampak bagi pembaca gambaran globalnya sehingga bila ditafsirkan, akan lebih memperjelas keglobalannya. Kemudian hal itu kami ikuti dengan beberapa hadits terkait dengan sebab turunnya ayat-ayat tersebut jika ada yang dinilai shahih oleh para mufassir bil Ma’tsur. Namun begitu, kami mengelak untuk menyebutkan istilah-istilah dalam ilmu Nahwu, sharaf, balaghah dan semisalnya sebagaimana yang sering dimuat oleh para mufassir di dalam kitab-kitab tafsir mereka. Karena, itulah yang termasuk kendala sehingga menghalangi kebanyakan orang untuk membaca kitab-kitab tafsir.”
Beliau melanjutkan, “Manakala setiap masa itu memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan yang lain, baik dalam etika, akhlaq, tradisi dan cara berpikir orang-orangnya, maka kiranya wajib bagi para pengkaji di abad modern ini untuk bersinergi dengan orang-orang semasanya dalam semua hal yang disebutkan tadi. Karena itu, sudah semestinya kita mencari corak tafsir al-Qur’an dengan gaya bahasa modern yang sesuai dengan tabiat orang-orang zaman ini. Prinsip berbicara yang berlaku adalah bahwa setiap tempat itu ada momennya (untuk diucapkan) dan manusia diajak bicara sesuai dengan kemampuan akalnya. Karena itu pula, kami melihat perlunya kita memperkokoh hal itu dengan upaya-upaya para pendahulu kita sebagai bentuk pengakuan atas jasa mereka dengan cara berpedoman kepada pendapat-pendapat mereka.”
Al-Marâghy berusaha untuk menjadikan kitab tafsirnya sebagai kitab tafsir modern yang relevan dengan realitas kaum Muslimin kontemporer akan tetapi beliau justeru terjebak/terjerumus karena mengikuti sebagian teori-teori barat dan mengagungkan ilmu materi dengan meninggalkan zhahir al-Qur’an terhadap hal itu. Di antara indikatornya adalah ucapannya, “Sesungguhnya kajian ilmiah dan historis tidak dapat menguatkan bahwa Adam adalah Abu al-Basyar (bapak manusia).” (IV/177;I/95) Demikian juga dengan perkataannya tentang sihir, “…Apakah ia memiliki pengaruh secara alami, karena sebab yang tersembunyi, karena sesuatu yang luar biasa ataukah tidak memiliki pengaruh.? Faktor apa saja dari hal itu yang dapat dibuktikan oleh ilmu, maka ia adalah rincian terhadap hal-hal yang global di dalam al-Qur’an dan kita tidak boleh memberikan putusan dengan mengarahkannya kepada salah satu dari jenis-jenis itu.” (I/182)
Sikapnya Terhadap Sanad
Beliau mengetengahkan beberapa hadits dan atsar tanpa menyebutkan sanad-sanad (jalur-jalur transmisi/rentetan para periwayat)-nya. Terkadang, menyebutkan beberapa hadits Dla’îf (lemah) namun tidak menyebutkan sumbernya. Terlebih lagi, beliau sedikit sekali menyebutkan tafsir yang ma`tsûr (diriwayatkan) dari Salaf kecuali pada hal yang berkenaan dengan sebab-sebab turunnya ayat.
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau menyinggung juga beberapa hukum fiqih yang dibahas oleh ayat dengan ulasan yang ringkas dan mudah serta tidak banyak memperlebar hal-hal yang bersifat khilafiyyah di kalangan para ulama madzhab, bahkan bila ada khilaf, beliau hanya menyebutnya secara ringkas.
b]Sikapnya Terhadap Qirâ`ât
Sangat jarang mengupas masalah Qirâ`ât.
Sikapnya Terhadap Isrâ`îliyyât
Beliau sengaja mengelak dari menyinggung masalah Isrâ`îliyyât. Mengenai Ahli Kitab, beliau mengatakan, “Sesungguhnya mereka itu membawa kepada kaum Muslimin pendapat-pendapat di dalam kitab mereka berupa tafsiran yang tidak diterima akal, dinafikan oleh agama dan tidak dibenarkan oleh realita serta sangat jauh dari hal yang dapat dibuktikan oleh ilmu pada abad-abad setelahnya.
Kemudian beliau berkata pula, “Oleh karena itu, kami berpendapat tidak perlu menyinggung riwayat yang ma`tsûr kecuali bila diterima oleh ilmu. Kami tidak melihat ada hal yang bertolak belakang dengan masalah-masalah agama yang tidak terdapat perbedaan padanya di kalangan penganutnya. Kami telah mendapatkan bahwa hal itu (pendapat seperti itu) lebih selamat bagi pembenar ma’rifat dan lebih mulia bagi penafsiran Kitabullah serta lebih menarik bagi hati para cendikiawan sebagai wawasan ilmiah di mana tidak ada hal yang bisa membuat puas hati kecuali dalil, bukti dan nur ma’rifat yang tulus.”
Sikapnya Terhadap Aspek Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Pengarang termasuk salah seorang yang mumpuni dalam hal Bahasa Arab dan ilmunya (linguistik). Mengenai hal ini, beliau berkata, “Aku sangat berbahagia sekali karena dapat mengabdikan diri dalam belajar, mengajarkan dan mengarang Bahasa Arab selama setengah abad di mana aku ikuti gaya bahasanya pada ayat al-Qur’an, hadits Rasulullah, sya’ir dan prosa (natsr) sehingga aku mendapati diriku sendiri merasa terbebani (terpanggil) untuk menobatkan pengabdianku terhadap bahasa ini dengan menafsirkan ayat al-Qur’an al-Hakîm.”
Karena itulah, beliau sering menjelaskan kosa-kata ayat yang ingin ditafsirkannya dalam sub judul “Tafsir Mufradât” . Di sini, beliau menjelaskan sebagian kata yang sulit dipahami kebanyakan para pembaca.
Beliau juga berargumentasi dengan bait-bait sya’ir untuk menjelaskan makna yang ditunjukkan oleh suatu kata dan bagaimana penggunaanya oleh orang-orang Arab di dalam sya’ir-sya’ir mereka.
Sementara pembahasan mengenai ilmu Nahwu, beliau telah mengelak untuk menyinggungnya karena merupakan salah satu kendala yang menghalangi kebanyakan orang dari membaca kitab-kitab tafsir dan karena ia merupakan sesuatu yang hanya dikhususkan untuk sebagian orang saja tanpa perlu melibatkan orang lain.
SUMBER:
- al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fî Manâhij al-Mufassirîn, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.66-71.
Post a Comment