UMAR IBN ABDUL AZIZ (Kisah Kezuhudan Dan Kesahajaan Seorang Pemimipin Negara Yang Taqwa)
UMAR IBN ABDUL AZIZ (Kisah Kezuhudan Dan Kesahajaan Seorang
Pemimipin Negara Yang Taqwa)
“Umar ibn Abdul Aziz oleh para ahlul ilmi terhitung dalam
jajaran ulama ‘amilin (yang beramal) dan khulafaur rasyidin” (adz-Dzahabi).
Bercerita tentang seorang khalifah yang ahli ibadah, zuhud dan khulafaur rasyidin yang kelima ini adalah sebuah cerita yang lebih harum daripada bau misk (kasturi), lebih indah dari sepetak taman...
Sirah (perjalanan hidup)-nya yang indah dan mulia adalah kebun yang subur, dimanapun anda menempatinya, pasti akan menemukan sebuah tanaman yang segar...bunga yang indah...dan buah yang ranum.
Apabila tidak ada waktu yang lapang bagi kita sekarang untuk memahami sirahnya yang menghiasi puncak sejarah, maka hal tersebut tidak menghalangi kita untuk memetik setangkai bunga dari tamannya...dan kita mengambil secercah cahayanya. Yang demikian itu karena apa yang tidak bisa didapatkan seluruhnya maka tidak ditinggalkan sebagiannya (jika tidak bisa semuanya sedikitpun tak apa).
(Sekarang) ambillah tiga potret kehidupan Umar ibn Abdul Aziz, kemudian akan diikuti dengan potret yang lain dalam kitab berikut bila Allah mengijinkan dan memudahkannya.
Adapun potret yang pertama, maka yang telah meriwayatkan kepada kita adalah Salamah ibn Dinar, seorang ‘alim Madinah, qadli dan syaikhnya. Ia menuturkan, “Aku mendatangi khalifah muslimin Umar ibn Abdul Aziz, ia berada di “Khunashirah” daerah bagian “Halab.” Umurku telah lanjut dan sudah lama aku tidak menemuinya. Aku mendapatkannya berada di depan rumah, hanya saja aku tidak mengenalinya karena keadaannya telah berubah tidak seperti yang pernah aku kenal ketika ia menjabat sebagai gubernur Madinah. Ia kemudian mengucapkan selamat datang kepadaku dan berkata, “Mendekatlah kepadaku wahai Abu Hazim.”
Tatkala aku mendekat kepadanya, aku berkata, “Bukankah engkau amirul mukminin Umar ibn Abdul Aziz?”
“Ya...” jawabnya.
Aku berkata, “Apa yang telah terjadi denganmu?!! Bukankah wajahmu (dahulu) berseri, kulitmu segar dan kehidupanmu penuh kenikmatan.”
“Ya...” jawabnya.
Aku berkata, “Lalu apakah yang telah merubah penampilanmu setelah engkau memiliki emas dan perak, dan engkau menjadi seorang amir bagi kaum muslimin?”
“Apa yang telah berubah pada diriku wahai Abu Hazim?!” tanyanya.
Aku menjawab, “Badanmu (menjadi) kurus...kulitmu kasar...wajahmu menguning...dan pancaran kedua matamu sayu.”
Ia lantas menangis dan berkata, “Maka bagaimana bila kamu melihatku di dalam kubur setelah tiga hari?!...Kedua mataku meleleh di atas pipi...perutku terputus-putus dan robek-robek...dan ulat (belatung) bergerak menyantap badanku. Sesungguhnya apabila kamu melihatku pada saat itu –wahai Abu Hazim- niscaya kamu akan lebih terheran lagi dengan keadaanku daripada harimu ini.”
Ia kemudian mengangkat pandangannya kepadaku dan berkata, “Tidakkah kamu ingat sebuah hadits yang pernah kamu katakan kepadaku di Madinah wahai Abu Hazim?”
Aku menjawab, “Aku telah menyampaikan kepadamu banyak hadits wahai amirul mukminin...(hadits) manakah yang engkau maksudkan?.”
“Ia adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah” jawabnya.
“Ya...aku mengingatnya wahai amirul mukminin” kataku.
Ia berkata, “Ulangilah untukku, sesungguhnya aku ingin mendengarnya darimu.”
Aku berkata, “Aku mendengar Abu Hurairah menuturkan, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di depan kalian ada jalan mendaki yang sulit dilalui, penuh dengan bahaya, tidak ada yang mampu melewatinya kecuali setiap orang yang berbadan kurus (karena banyak beribadah dan berjihad).”
Umar kemudian menangis dengan begitu kerasnya hingga aku merasa takut kalau ulu hatinya menjadi pecah.
Ia lalu mengusap air matanya dan menoleh kepadaku seraya berkata, “Apakah kamu akan mencelaku wahai Abu Hazim apabila aku menguruskan badanku untuk jalan mendaki lagi sukar tersebut, dengan harapan aku bisa selamat darinya...sedangkan aku tidak menganggap diriku bisa selamat.”
Adapun potret kedua dari potret kehidupan Umar, maka ath-Thabari telah meriwayatkannya kepada kita dari ath-Thufail ibn Mirdaas, ia menuturkan, “Sesungguhnya amirul mukminin Umar ibn Abdul Aziz ketika menjabat sebagai khalifah, ia menulis surat kepada Sulaiman ibn Abi as-Sariy wakilnya di “ash-Shughd”, ia berkata padanya, “Dirikanlah penginapan-penginapan di negerimu untuk menerima tamu-tamu muslimin, apabila ada salah seorang dari mereka yang melewatinya maka jamulah ia sehari semalam dan layanilah dengan baik serta jagalah kendaraannya. Apabila ia mengeluh kelelahan maka jamulah selama dua hari dua malam dan bantulah ia. Apabila ia adalah orang yang terputus perjalanannya, tidak memiliki bekal serta kendaraan yang bisa mengangkutnya, maka berilah kepadanya apa yang bisa menutupi hajatnya dan sampaikanlah ia ke negerinya.”
Wali tersebut melaksanakan perintah amirul mukminin, ia mendirikan losmen-losmen yang diperintahkan untuk menyiapkannya. Berita tersebut tersebar di setiap tempat. Mulailah orang-orang di belahan timur dan barat negeri Islam menceritakan tentangnya dan memuji-muji keadilan khalifah dan ketakwaannya.
Tidaklah orang-orang penduduk “Samarkand” (mendengarnya) kecuali mereka segera mengutus delegasi kepada gubernur Samarkand yaitu Sulaiman ibn Abi as-Sariy dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya pendahulumu “Qutaibah ibn Muslim al-Bahiliy” telah menjajah negeri kami tanpa ada peringatan terlebih dahulu, dan di dalam memerangi kami ia tidak menempuh jalan seperti apa yang kalian tempuh wahai sekalian kaum muslimin...sungguh kami telah mengetahui bahwa kalian menyeru musuh kalian untuk masuk Islam...bila mereka menolak, kalian menyeru mereka untuk membayar jizyah...dan bila mereka menolak, kalian mengumumkan perang kepada mereka. Sungguh kami telah melihat keadilah khalifah kalian dan ketakwaannya hal mana ini membuat kami bersemangat untuk mengadukan pasukan kalian kepadamu...dan meminta pertolongan denganmu atas apa yang ditimpakan kepada kami oleh salah seorang panglima dari panglima-panglimamu. Maka, ijinkah kami –wahai amir- untuk mengutus delegasi kepada khalifahmu, dan agar kami bisa mengangkat kedzaliman-kedzaliman yang menimpa kami. Bila kami memiliki hak, maka kami akan diberinya...dan bila tidak, maka kami akan kembali ke tempat semula.”
Sulaiman mengijinkan delegasi mereka untuk mendatangi khalifah di Damaskus, sesampainya di rumah khalifah, mereka mengangkat (mengadukan) perkara mereka kepada khalifah muslimin Umar ibn Abdul Aziz.
Khalifah kemudian menulis surat kepada walinya yaitu Sulaiman ibn Abi as-Sariy yang berisi, “Amma ba’du...apabila suratku telah sampai kepadamu, maka tempatkanlah seorang qadli ke penduduk “Samarkand” untuk menangani pengaduan mereka...Apabila ia memutuskan kemenangan untuk mereka, maka perintahkan pasukanmu untuk meninggalkan kota mereka...serulah kaum muslimin yang tinggal di antara mereka untuk meninggalkan negeri mereka...dan kembalilah kalian sebagaimana semula dan (sebagaimana) mereka dahulu sebelum Qutaibah ibn Muslim al-Bahiliy masuk ke negeri mereka.”
Tatkala delegasi tersebut datang kepada Sulaiman ibn Abi as-Sariy dan menyerahkan surat amirul mukminin kepadanya...ia segera menempatkan seorang qadli qudlat (hakim agung) untuk mereka yaitu Jumai’ ibn Haadlir an-Naaji.
Ia (Jumai’) melihat kepada keluhan mereka dan meneliti berita mereka...ia mendengarkan persaksian sekelompok tentara muslimin dan panglima mereka. Sehingga teranglah baginya kebenaran klaim (dakwaan) penduduk Samarkand. Ia pun memutuskan kemenangan mereka.
Di saat itulah, sang wali memerintahkan pasukan muslimin untuk mengosongkan rumah-rumahnya untuk mereka, dan agar kembali ke perkemahan, dan memerangi mereka kali yang lain. Entah mereka (muslimin) memasuki negeri mereka dengan perdamaian...entah mereka memenangkannya dengan peperangan dan entah kemenangan tidak mereka dapatkan.
Ketika para pembesar kaum mendengar keputusan qadli qudlat muslimin untuk mereka. Mereka berkata satu sama lainnya, “Celaka kalian...sungguh kalian telah berbaur (berinteraksi) dengan mereka, kalian telah tinggal bersama mereka. Kalian telah melihat budi pekerti mereka, keadilan dan kebenaran mereka apa-apa yang kalian telah lihat...Maka, biarkan mereka (muslimin) tetap tinggal di sisi kalian...dan tenanglah dengan bergaul dengan mereka...dan berbahagialah dengan berteman dengan mereka.”
Adapun potret ketiga dari potret kehidupan Umar ibn Abdul Aziz adalah seperti yang diriwayatkan kepada kami oleh Ibn Abdil Hakam dalam kitabnya yang berharga, yang berjudul “Sirah Umar ibn Abdul Aziz.” Ia menuturkan, “Ketika kematian mendatangi Umar, Maslamah ibn Abdul Malik masuk menemuinya dan berkata, “Sesungguhnya engkau –wahai Amirul Mukminin- telah melarang mulut anak-anakmu dari harta ini. Alangkah baiknya bila kamu berwasiat kepadaku untuk mereka atau kepada orang yang engkau kehendaki dari keluargamu.”
Setelah Maslamah selesai dari perkataannya, Umar berkata, “Dudukkan aku.” Mereka kemudian mendudukkannya, dan ia berkata, “Sesungguhnya aku telah mendengar apa yang kamu katakan, adapun perkataanmu “Sesungguhnya aku telah melarang mulut anak-anakku dari harta ini...Demi Allah sesungguhnya aku tidak melarang mereka dari apa yang menjadi hak mereka, dan aku tidak pernah memberikan kepada mereka sesuatu yang bukan menjadi haknya. Adapun perkataanmu “seandainya kamu berwasiat kepadaku untuk mereka atau kepada orang yang engkau kehendaki dari keluargamu”, maka hanyalah yang menjadi penerima wasiatku dan waliku pada mereka adalah Allah yang telah menurunkan al-Kitab dengan haq, dan Dia-lah yang menjaga orang-orang shalih. Ketahuilah wahai Maslamah, bahwa anak-anakku adalah salah satu dari dua orang; entah orang yang shalih dan bertakwa, maka Allah akan mencukupkannya dengan karunia-Nya dan menjadikan jalan keluar bagi urusannya...dan entah orang yang thalih (jahat dan durhaka) dan gemar melakukan maksiat, maka aku tidak akan menjadi orang pertama yang membantunya dengan harta atas maksiat kepada Allah ta’ala.”
Ia kemudian berkata, “Panggilkan anak-anakku.”
Ia (Maslamah) memanggil mereka yang berjumlah sekitar sembilan belas orang.
Ketika (Umar) melihat mereka berlinanglah air matanya dan ia berkata, “Sungguh...aku akan meninggalkan mereka sebagai pemuda yang fakir tidak memiliki sesuatupun.” Ia menangis hingga tidak terdengar suaranya...kemudian menoleh kepada mereka dan berkata, “Wahai anak-anakku...sesungguhnya aku telah meninggalkan kebaikan yang banyak untuk kalian...sesungguhnya tidaklah kalian melewati seorang pun dari kaum muslimin atau ahli dzimmah kecuali mereka melihat kalian memiliki hak atas mereka. Wahai anak-anakku, sesungguhnya di depan kalian ada dua pilihan, entah kalian menjadi kaya dan ayah kalian masuk neraka...atau kalian menjadi fakir dan ayah kalian masuk surga. Aku tidak menyangka kecuali kalian akan mendahulukan untuk menyelamatkan ayah kalian dari neraka daripada kekayaan.”
Kemudian ia memandang kepada mereka dengan penuh kasih sayang dan berkata, “Bangkitlah, semoga Allah menjaga kalian...bangkitlah semoga Allah memberikan rizki kepada kalian....”
Maslamah menoleh kepadanya dan berkata, “Aku mempunyai yang lebih baik dari itu wahai amirul mukminin.”
“Apa itu?!” katanya.
Ia menjawab, “Aku mempunyai tiga ratus ribu dinar...dan sesungguhnya aku menghibahkannya kepadamu, maka bagilah untuk mereka...atau engkau bersedekah dengannya bila engkau kehendaki.”
Umar berkata kepadanya, “Bukankah ada yang lebih baik dari itu wahai Maslamah?”
“Apa itu wahai Amirul Mukminin?” tanya Maslamah.
Ia menjawab, “Engkau mengembalikannya kepada orang yang telah kamu ambil darinya, karena sesungguhnya kamu tidak punya hak.”
Kedua mata Maslamah berkaca-kaca, ia berkata, “Semoga Allah merahmatimu –wahai amirul mukminin- dalam keadaan hidup dan mati...engkau telah melembutkan hati kami yang keras...engkau telah mengingatkannya di saat ia lupa...dan engkau telah meninggalkan kenangan untuk kami dalam kumpulan orang-orang shalih.”
Orang-orang kemudian mengikuti berita tentang anak-anak Umar sepeninggalnya. Mereka melihat bahwa tidak ada seorangpun dari mereka yang merasa butuh dan fakir...
Maha benar Allah Yang Maha Agung ketika berfirman, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (Surat an-Nisaa: 9).
CATATAN:
Sebagai tambahan tentang kisah Umar bin Abdul Aziz, lihatlah:
1. Sirah Umar ibn Abdul Aziz oleh Ibn Abdil Hakam
2. Sirah Umar ibn Abdul Aziz oleh Ibn al-Jauzi
3. Sirah Umar ibn Abdul Aziz oleh al-Aajjurri
4. Ath-Thabaqatul Kubra oleh Ibn as-Sa’d: 5/330
5. Tarikh Khalifah: 321-322
6. At-Tarikh al-Kubra: 6/174
7. Tarikh al-Fasawi: 1/568, 620
8. Ath-Thabari: 6/565-573
9. Al-Jarh wat Ta’dil: 6/122
10. Ath-Thabaqat oleh asy-Syiiraazi: 64
Bercerita tentang seorang khalifah yang ahli ibadah, zuhud dan khulafaur rasyidin yang kelima ini adalah sebuah cerita yang lebih harum daripada bau misk (kasturi), lebih indah dari sepetak taman...
Sirah (perjalanan hidup)-nya yang indah dan mulia adalah kebun yang subur, dimanapun anda menempatinya, pasti akan menemukan sebuah tanaman yang segar...bunga yang indah...dan buah yang ranum.
Apabila tidak ada waktu yang lapang bagi kita sekarang untuk memahami sirahnya yang menghiasi puncak sejarah, maka hal tersebut tidak menghalangi kita untuk memetik setangkai bunga dari tamannya...dan kita mengambil secercah cahayanya. Yang demikian itu karena apa yang tidak bisa didapatkan seluruhnya maka tidak ditinggalkan sebagiannya (jika tidak bisa semuanya sedikitpun tak apa).
(Sekarang) ambillah tiga potret kehidupan Umar ibn Abdul Aziz, kemudian akan diikuti dengan potret yang lain dalam kitab berikut bila Allah mengijinkan dan memudahkannya.
Adapun potret yang pertama, maka yang telah meriwayatkan kepada kita adalah Salamah ibn Dinar, seorang ‘alim Madinah, qadli dan syaikhnya. Ia menuturkan, “Aku mendatangi khalifah muslimin Umar ibn Abdul Aziz, ia berada di “Khunashirah” daerah bagian “Halab.” Umurku telah lanjut dan sudah lama aku tidak menemuinya. Aku mendapatkannya berada di depan rumah, hanya saja aku tidak mengenalinya karena keadaannya telah berubah tidak seperti yang pernah aku kenal ketika ia menjabat sebagai gubernur Madinah. Ia kemudian mengucapkan selamat datang kepadaku dan berkata, “Mendekatlah kepadaku wahai Abu Hazim.”
Tatkala aku mendekat kepadanya, aku berkata, “Bukankah engkau amirul mukminin Umar ibn Abdul Aziz?”
“Ya...” jawabnya.
Aku berkata, “Apa yang telah terjadi denganmu?!! Bukankah wajahmu (dahulu) berseri, kulitmu segar dan kehidupanmu penuh kenikmatan.”
“Ya...” jawabnya.
Aku berkata, “Lalu apakah yang telah merubah penampilanmu setelah engkau memiliki emas dan perak, dan engkau menjadi seorang amir bagi kaum muslimin?”
“Apa yang telah berubah pada diriku wahai Abu Hazim?!” tanyanya.
Aku menjawab, “Badanmu (menjadi) kurus...kulitmu kasar...wajahmu menguning...dan pancaran kedua matamu sayu.”
Ia lantas menangis dan berkata, “Maka bagaimana bila kamu melihatku di dalam kubur setelah tiga hari?!...Kedua mataku meleleh di atas pipi...perutku terputus-putus dan robek-robek...dan ulat (belatung) bergerak menyantap badanku. Sesungguhnya apabila kamu melihatku pada saat itu –wahai Abu Hazim- niscaya kamu akan lebih terheran lagi dengan keadaanku daripada harimu ini.”
Ia kemudian mengangkat pandangannya kepadaku dan berkata, “Tidakkah kamu ingat sebuah hadits yang pernah kamu katakan kepadaku di Madinah wahai Abu Hazim?”
Aku menjawab, “Aku telah menyampaikan kepadamu banyak hadits wahai amirul mukminin...(hadits) manakah yang engkau maksudkan?.”
“Ia adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah” jawabnya.
“Ya...aku mengingatnya wahai amirul mukminin” kataku.
Ia berkata, “Ulangilah untukku, sesungguhnya aku ingin mendengarnya darimu.”
Aku berkata, “Aku mendengar Abu Hurairah menuturkan, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di depan kalian ada jalan mendaki yang sulit dilalui, penuh dengan bahaya, tidak ada yang mampu melewatinya kecuali setiap orang yang berbadan kurus (karena banyak beribadah dan berjihad).”
Umar kemudian menangis dengan begitu kerasnya hingga aku merasa takut kalau ulu hatinya menjadi pecah.
Ia lalu mengusap air matanya dan menoleh kepadaku seraya berkata, “Apakah kamu akan mencelaku wahai Abu Hazim apabila aku menguruskan badanku untuk jalan mendaki lagi sukar tersebut, dengan harapan aku bisa selamat darinya...sedangkan aku tidak menganggap diriku bisa selamat.”
Adapun potret kedua dari potret kehidupan Umar, maka ath-Thabari telah meriwayatkannya kepada kita dari ath-Thufail ibn Mirdaas, ia menuturkan, “Sesungguhnya amirul mukminin Umar ibn Abdul Aziz ketika menjabat sebagai khalifah, ia menulis surat kepada Sulaiman ibn Abi as-Sariy wakilnya di “ash-Shughd”, ia berkata padanya, “Dirikanlah penginapan-penginapan di negerimu untuk menerima tamu-tamu muslimin, apabila ada salah seorang dari mereka yang melewatinya maka jamulah ia sehari semalam dan layanilah dengan baik serta jagalah kendaraannya. Apabila ia mengeluh kelelahan maka jamulah selama dua hari dua malam dan bantulah ia. Apabila ia adalah orang yang terputus perjalanannya, tidak memiliki bekal serta kendaraan yang bisa mengangkutnya, maka berilah kepadanya apa yang bisa menutupi hajatnya dan sampaikanlah ia ke negerinya.”
Wali tersebut melaksanakan perintah amirul mukminin, ia mendirikan losmen-losmen yang diperintahkan untuk menyiapkannya. Berita tersebut tersebar di setiap tempat. Mulailah orang-orang di belahan timur dan barat negeri Islam menceritakan tentangnya dan memuji-muji keadilan khalifah dan ketakwaannya.
Tidaklah orang-orang penduduk “Samarkand” (mendengarnya) kecuali mereka segera mengutus delegasi kepada gubernur Samarkand yaitu Sulaiman ibn Abi as-Sariy dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya pendahulumu “Qutaibah ibn Muslim al-Bahiliy” telah menjajah negeri kami tanpa ada peringatan terlebih dahulu, dan di dalam memerangi kami ia tidak menempuh jalan seperti apa yang kalian tempuh wahai sekalian kaum muslimin...sungguh kami telah mengetahui bahwa kalian menyeru musuh kalian untuk masuk Islam...bila mereka menolak, kalian menyeru mereka untuk membayar jizyah...dan bila mereka menolak, kalian mengumumkan perang kepada mereka. Sungguh kami telah melihat keadilah khalifah kalian dan ketakwaannya hal mana ini membuat kami bersemangat untuk mengadukan pasukan kalian kepadamu...dan meminta pertolongan denganmu atas apa yang ditimpakan kepada kami oleh salah seorang panglima dari panglima-panglimamu. Maka, ijinkah kami –wahai amir- untuk mengutus delegasi kepada khalifahmu, dan agar kami bisa mengangkat kedzaliman-kedzaliman yang menimpa kami. Bila kami memiliki hak, maka kami akan diberinya...dan bila tidak, maka kami akan kembali ke tempat semula.”
Sulaiman mengijinkan delegasi mereka untuk mendatangi khalifah di Damaskus, sesampainya di rumah khalifah, mereka mengangkat (mengadukan) perkara mereka kepada khalifah muslimin Umar ibn Abdul Aziz.
Khalifah kemudian menulis surat kepada walinya yaitu Sulaiman ibn Abi as-Sariy yang berisi, “Amma ba’du...apabila suratku telah sampai kepadamu, maka tempatkanlah seorang qadli ke penduduk “Samarkand” untuk menangani pengaduan mereka...Apabila ia memutuskan kemenangan untuk mereka, maka perintahkan pasukanmu untuk meninggalkan kota mereka...serulah kaum muslimin yang tinggal di antara mereka untuk meninggalkan negeri mereka...dan kembalilah kalian sebagaimana semula dan (sebagaimana) mereka dahulu sebelum Qutaibah ibn Muslim al-Bahiliy masuk ke negeri mereka.”
Tatkala delegasi tersebut datang kepada Sulaiman ibn Abi as-Sariy dan menyerahkan surat amirul mukminin kepadanya...ia segera menempatkan seorang qadli qudlat (hakim agung) untuk mereka yaitu Jumai’ ibn Haadlir an-Naaji.
Ia (Jumai’) melihat kepada keluhan mereka dan meneliti berita mereka...ia mendengarkan persaksian sekelompok tentara muslimin dan panglima mereka. Sehingga teranglah baginya kebenaran klaim (dakwaan) penduduk Samarkand. Ia pun memutuskan kemenangan mereka.
Di saat itulah, sang wali memerintahkan pasukan muslimin untuk mengosongkan rumah-rumahnya untuk mereka, dan agar kembali ke perkemahan, dan memerangi mereka kali yang lain. Entah mereka (muslimin) memasuki negeri mereka dengan perdamaian...entah mereka memenangkannya dengan peperangan dan entah kemenangan tidak mereka dapatkan.
Ketika para pembesar kaum mendengar keputusan qadli qudlat muslimin untuk mereka. Mereka berkata satu sama lainnya, “Celaka kalian...sungguh kalian telah berbaur (berinteraksi) dengan mereka, kalian telah tinggal bersama mereka. Kalian telah melihat budi pekerti mereka, keadilan dan kebenaran mereka apa-apa yang kalian telah lihat...Maka, biarkan mereka (muslimin) tetap tinggal di sisi kalian...dan tenanglah dengan bergaul dengan mereka...dan berbahagialah dengan berteman dengan mereka.”
Adapun potret ketiga dari potret kehidupan Umar ibn Abdul Aziz adalah seperti yang diriwayatkan kepada kami oleh Ibn Abdil Hakam dalam kitabnya yang berharga, yang berjudul “Sirah Umar ibn Abdul Aziz.” Ia menuturkan, “Ketika kematian mendatangi Umar, Maslamah ibn Abdul Malik masuk menemuinya dan berkata, “Sesungguhnya engkau –wahai Amirul Mukminin- telah melarang mulut anak-anakmu dari harta ini. Alangkah baiknya bila kamu berwasiat kepadaku untuk mereka atau kepada orang yang engkau kehendaki dari keluargamu.”
Setelah Maslamah selesai dari perkataannya, Umar berkata, “Dudukkan aku.” Mereka kemudian mendudukkannya, dan ia berkata, “Sesungguhnya aku telah mendengar apa yang kamu katakan, adapun perkataanmu “Sesungguhnya aku telah melarang mulut anak-anakku dari harta ini...Demi Allah sesungguhnya aku tidak melarang mereka dari apa yang menjadi hak mereka, dan aku tidak pernah memberikan kepada mereka sesuatu yang bukan menjadi haknya. Adapun perkataanmu “seandainya kamu berwasiat kepadaku untuk mereka atau kepada orang yang engkau kehendaki dari keluargamu”, maka hanyalah yang menjadi penerima wasiatku dan waliku pada mereka adalah Allah yang telah menurunkan al-Kitab dengan haq, dan Dia-lah yang menjaga orang-orang shalih. Ketahuilah wahai Maslamah, bahwa anak-anakku adalah salah satu dari dua orang; entah orang yang shalih dan bertakwa, maka Allah akan mencukupkannya dengan karunia-Nya dan menjadikan jalan keluar bagi urusannya...dan entah orang yang thalih (jahat dan durhaka) dan gemar melakukan maksiat, maka aku tidak akan menjadi orang pertama yang membantunya dengan harta atas maksiat kepada Allah ta’ala.”
Ia kemudian berkata, “Panggilkan anak-anakku.”
Ia (Maslamah) memanggil mereka yang berjumlah sekitar sembilan belas orang.
Ketika (Umar) melihat mereka berlinanglah air matanya dan ia berkata, “Sungguh...aku akan meninggalkan mereka sebagai pemuda yang fakir tidak memiliki sesuatupun.” Ia menangis hingga tidak terdengar suaranya...kemudian menoleh kepada mereka dan berkata, “Wahai anak-anakku...sesungguhnya aku telah meninggalkan kebaikan yang banyak untuk kalian...sesungguhnya tidaklah kalian melewati seorang pun dari kaum muslimin atau ahli dzimmah kecuali mereka melihat kalian memiliki hak atas mereka. Wahai anak-anakku, sesungguhnya di depan kalian ada dua pilihan, entah kalian menjadi kaya dan ayah kalian masuk neraka...atau kalian menjadi fakir dan ayah kalian masuk surga. Aku tidak menyangka kecuali kalian akan mendahulukan untuk menyelamatkan ayah kalian dari neraka daripada kekayaan.”
Kemudian ia memandang kepada mereka dengan penuh kasih sayang dan berkata, “Bangkitlah, semoga Allah menjaga kalian...bangkitlah semoga Allah memberikan rizki kepada kalian....”
Maslamah menoleh kepadanya dan berkata, “Aku mempunyai yang lebih baik dari itu wahai amirul mukminin.”
“Apa itu?!” katanya.
Ia menjawab, “Aku mempunyai tiga ratus ribu dinar...dan sesungguhnya aku menghibahkannya kepadamu, maka bagilah untuk mereka...atau engkau bersedekah dengannya bila engkau kehendaki.”
Umar berkata kepadanya, “Bukankah ada yang lebih baik dari itu wahai Maslamah?”
“Apa itu wahai Amirul Mukminin?” tanya Maslamah.
Ia menjawab, “Engkau mengembalikannya kepada orang yang telah kamu ambil darinya, karena sesungguhnya kamu tidak punya hak.”
Kedua mata Maslamah berkaca-kaca, ia berkata, “Semoga Allah merahmatimu –wahai amirul mukminin- dalam keadaan hidup dan mati...engkau telah melembutkan hati kami yang keras...engkau telah mengingatkannya di saat ia lupa...dan engkau telah meninggalkan kenangan untuk kami dalam kumpulan orang-orang shalih.”
Orang-orang kemudian mengikuti berita tentang anak-anak Umar sepeninggalnya. Mereka melihat bahwa tidak ada seorangpun dari mereka yang merasa butuh dan fakir...
Maha benar Allah Yang Maha Agung ketika berfirman, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (Surat an-Nisaa: 9).
CATATAN:
Sebagai tambahan tentang kisah Umar bin Abdul Aziz, lihatlah:
1. Sirah Umar ibn Abdul Aziz oleh Ibn Abdil Hakam
2. Sirah Umar ibn Abdul Aziz oleh Ibn al-Jauzi
3. Sirah Umar ibn Abdul Aziz oleh al-Aajjurri
4. Ath-Thabaqatul Kubra oleh Ibn as-Sa’d: 5/330
5. Tarikh Khalifah: 321-322
6. At-Tarikh al-Kubra: 6/174
7. Tarikh al-Fasawi: 1/568, 620
8. Ath-Thabari: 6/565-573
9. Al-Jarh wat Ta’dil: 6/122
10. Ath-Thabaqat oleh asy-Syiiraazi: 64
Post a Comment