MERAIH TAKWA MELALUI IBADAH QURBAN
MERAIH
TAKWA MELALUI IBADAH QURBAN
Segala
puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka
hingga akhir zaman.
Sebuah ayat yang
menjadi pertanda disyari’atkannya ibadah qurban adalah firman Allah Ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat dan
berqurbanlah (an nahr).”
(QS. Al Kautsar: 2). Di antara tafsiran ayat ini adalah “berqurbanlah pada hari
raya Idul Adha (yaumun nahr)”. Tafsiran ini diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Tholhah dari
Ibnu ‘Abbas, juga menjadi pendapat ‘Atho’, Mujahid dan jumhur (mayoritas)
ulama.[1]
Penyembelihan qurban
ketika hari raya Idul Adha disebut dengan al udh-hiyah, sesuai dengan waktu pelaksanaan ibadah
tersebut.[2] Sehingga makna al udh-hiyyah menurut istilah syar’i adalah hewan yang
disembelih dalam rangka mendekatkan diri pada Allah Ta’ala, dilaksanakan pada
hari an
nahr (Idul Adha) dengan
syarat-syarat tertentu.[3]
Dari definisi ini,
maka yang tidak termasuk dalam al udh-hiyyah adalah hewan yang disembelih bukan dalam rangka taqorrub pada
Allah (seperti untuk dimakan, dijual, atau untuk menjamu tamu). Begitu pula
yang tidak termasuk al udh-hiyyah adalah hewan yang disembelih di luar hari tasyriq walaupun dalam
rangka taqarrub pada Allah. Begitu pula yang tidak termasuk al udh-hiyyah adalah hewan untuk aqiqah dan al hadyu yang disembelih di Mekkah.[4]
Catatan: Aqiqah adalah hewan yang disembelih dalam
rangka mensyukuri nikmat kelahiran anak yang diberikan oleh AllahTa’ala, baik anak laki-laki maupun perempuan.
Sehingga aqiqah berbeda dengan al udh-hiyyah karena al udh-hiyyahdilaksanakan dalam rangka mensyukuri nikmat kehidupan, bukan
syukur atas nikmat kelahiran si buah hati. Oleh karena itu, jika seorang anak
dilahirkan ketika Idul Adha, lalu diadakan penyembelihan dalam rangka bersyukur
atas nikmat kelahiran tersebut, maka sembelihan ini disebut dengan sembelihan
aqiqah dan bukan al udh-hiyyah.[5]
Hikmah
di Balik Menyembelih Qurban
Pertama: Bersyukur kepada Allah atas nikmat hayat
(kehidupan) yang diberikan.
Kedua: Menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim –khlilullah
(kekasih Allah)- ‘alaihis salaam yang ketika itu Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih
anak tercintanya sebagai tebusan yaitu Ismail ‘alaihis salaam ketika hari an nahr (Idul Adha).
Ketiga: Agar setiap mukmin mengingat kesabaran Nabi
Ibrahim dan Isma’il ‘alaihimas salaam, yang ini membuahkan ketaatan pada Allah dan kecintaan pada-Nya
lebih dari diri sendiri dan anak. Pengorbanan seperti inilah yang menyebabkan
lepasnya cobaan sehingga Isma’il pun berubah menjadi seekor domba. Jika setiap
mukmin mengingat kisah ini, seharusnya mereka mencontoh dalam bersabar
ketika melakukan ketaatan pada Allah dan seharusnya mereka mendahulukan
kecintaan Allah dari hawa nafsu dan syahwatnya.[6]
Keempat: Ibadah qurban lebih baik daripada bersedekah
dengan uang yang semisal dengan hewan qurban.[7]
Raihlah
Ikhlas dan Takwa dari Sembelihan Qurban
Menyembelih qurban
adalah suatu ibadah yang mulia dan bentuk pendekatan diri pada Allah, bahkan
seringkali ibadah qurban digandengkan dengan ibadah shalat. Allah Ta’ala berfirman,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat
karena Tuhanmu; dan berqurbanlah.” (QS. Al Kautsar: 2)
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ
وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah:
sesungguhnya shalatku, nusuk-ku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Rabb semesta alam.” (QS. Al An’am: 162). Di antara tafsiran an nusuk adalah
sembelihan, sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Jubair, Mujahid dan
Ibnu Qutaibah. Az Zajaj mengatakan bahwa bahwa makna an nusuk adalah segala sesuatu yang mendekatkan diri
pada Allah ‘azza wa jalla, namun umumnya digunakan untuk sembelihan.[8]
Ketahuilah, yang ingin
dicapai dari ibadah qurban adalah keikhlasan dan ketakwaan, dan bukan hanya
daging atau darahnya. Allah Ta’ala berfirman,
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا
دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging unta dan
darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi
ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al Hajj: 37)
Ingatlah, bukanlah
yang dimaksudkan hanyalah menyembelih saja dan yang Allah harap bukanlah daging
dan darah qurban tersebut karena Allah tidaklah butuh pada segala sesuatu dan
dialah yang pantas diagung-agungkan. Yang Allah harapkan dari qurban tersebut
adalah keikhlasan, ihtisab (selalu mengharap-harap pahala dari-Nya) dan niat
yang sholih. Oleh karena itu, Allah katakan (yang artinya), “ketakwaan dari kamulah
yang dapat mencapai ridho-Nya”. Inilah yang seharusnya menjadi motivasi ketika seseorang
berqurban yaitu ikhlas, bukan riya’ atau berbangga dengan harta yang dimiliki,
dan bukan pula menjalankannya karena sudah jadi rutinitas tahunan.[9]
Menyembelih
Qurban Wajib ataukah Sunnah?
Menyembelih qurban
adalah sesuatu yang disyari’atkan berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’
(konsensus kaum muslimin).[10] Namun apakah menyembelih
tersebut wajib ataukah sunnah? Di sini para ulama memiliki beda pendapat.
[Pendapat
pertama] Diwajibkan bagi orang yang mampu
Yang berpendapat seperti ini adalah Abu Yusuf dalam salah satu
pendapatnya, Rabi’ah, Al Laits bin Sa’ad, Al Awza’i, Ats Tsauri, dan Imam Malik
dalam salah satu pendapatnya.
Di antara dalil mereka
adalah firman Allah Ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat dan
berkurbanlah (an nahr).”
(QS. Al Kautsar: 2). Hadits ini menggunakan kata perintah dan asal perintah
adalah wajib. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diwajibkan hal ini, maka begitu pula dengan
umatnya.[11] Dan masih ada beberapa
dalil lainnya.
[Pendapat
kedua] Sunnah dan Tidak Wajib
Mayoritas ulama
berpendapat bahwa menyembelih qurban adalah sunnah mu’akkad. Pendapat ini dianut oleh ulama Syafi’iyyah,
ulama Hambali, pendapat yang paling kuat dari Imam Malik, dan salah satu
pendapat dari Abu Yusuf (murid Abu Hanifah). Pendapat ini juga adalah pendapat
Abu Bakr, ‘Umar bin Khottob, Bilal, Abu Mas’ud Al Badriy, Suwaid bin
Ghafalah, Sa’id bin Al Musayyab, ‘Atho’, ‘Alqomah, Al Aswad, Ishaq, Abu Tsaur
dan Ibnul Mundzir.
Di antara dalil
mayoritas ulama adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ
وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika masuk bulan
Dzulhijah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih qurban, maka
hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya.”[12] Yang dimaksud di sini
adalah dilarang memotong rambut dan kuku shohibul qurban itu sendiri.
Hadits ini mengatakan,
“dan salah seorang dari kalian ingin”, hal ini dikaitkan dengan kemauan.
Seandainya menyembelih qurban itu wajib, maka cukuplah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan,
“maka
hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya”, tanpa disertai adanya kemauan.
Begitu pula alasan
tidak wajibnya karena Abu Bakar dan ‘Umar tidak menyembelih selama setahun atau
dua tahun karena khawatir jika dianggap wajib[13]. Mereka melakukan semacam ini karena mengetahui bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak mewajibkannya. Ditambah
lagi tidak ada satu pun sahabat yang menyelisihi pendapat mereka. [14]
Dari dua pendapat di atas, kami lebih cenderung pada
pendapat kedua (pendapat mayoritas ulama) yang menyatakan menyembelih qurban
sunnah dan tidak wajib. Di antara alasannya adalah karena pendapat ini didukung
oleh perbuatan Abu Bakr dan Umar yang pernah tidak berqurban. Seandainya tidak
ada dalil dari hadits Nabi yang menguatkan salah satu pendapat di atas, maka
cukup perbuatan mereka berdua sebagai hujjah yang kuat bahwa qurban tidaklah
wajib namun sunnah (dianjurkan).
فَإِنْ يُطِيعُوا أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ يَرْشُدُوا
Namun sudah
sepantasnya seorang yang telah berkemampuan untuk menunaikan ibadah qurban ini
agar ia terbebas dari tanggung jawab dan perselisihan yang ada. Syaikh Muhammad
Al Amin Asy Syinqithi mengatakan, “Janganlah meninggalkan ibadah qurban jika
seseorang mampu untuk menunaikannya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan, “Tinggalkanlah perkara
yang meragukanmu kepada perkara yang tidak meragukanmu.” Selayaknya bagi mereka yang mampu agar tidak meninggalkan
berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan
tanggungan. Wallahu a'lam.”[16]
Hanya
Allah yang memberi taufik dan hidayah. Semoga Allah memudahkan kita untuk
melakukan ibadah yang mulia ini dan menerima setiap amalan sholih kita.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala amalan menjadi sempurna.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.
[2] Lihat Shahih Fiqih
Sunnah, Abu Malik Kamal bin
As Sayid Salim, 2/366, Maktabah At Taufiqiyyah, cetakan tahun 2003.
[9] Lihat penjelasan yang
sangat menarik dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam Taisir
Karimir Rahman fii Tafsiri Kalamil Mannan, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[13] Diriwayatkan oleh Al
Baihaqi dalam Sunan Al Kubro. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ no. 1139 menyatakan
bahwa riwayat inishahih.
[16] Adhwa-ul Bayan fii Iidhohil Qur’an bil Qur’an, hal. 1120, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah Beirut,
cetakan kedua, tahun 2006.
Post a Comment