Beberapa Hakikat Dakwah Ahlussunnah Dan Perbedaannya Dengan Ahlul Bid'ah
Beberapa Hakikat Dakwah Ahlussunnah Dan
Perbedaannya Dengan Ahlul Bid'ah
Dakwah apapun jika tidak tegak
di atas landasan kaidah-kaidah dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hanyalah akan
menjadi fitnah (adzab) yang menyerupai awan (yang membawa adzab) kaum ‘Ad. "Maka
tatkala mereka melihat adzab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah
mereka. Mereka berkata, 'Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.'
Bukan! Bahkan itulah adzab yang kamu minta supaya datang dengan segera, yaitu
angin yang mengandung adzab yang pedih." [Al-Ahqaf: 24]
Yaitu dakwah yang tidak menjadikan ilmu hadits sebagai asas dan tidak bersandar kepada pemahaman para sahabat, generasi awal yang utama, dan alim ulama, pada awalnya tampak benar, namun lambat laun akan tampak cacat dan celanya kemudian akan berbalik menjadi fitnah (musibah) bagi umat dan akan menjadi penghalang dari agama Allah Subhanahu wa Ta'ala. "Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya akan mendapat banyak petunjuk ataukah orang yang berjalan tegar di atas jalan yang lurus?" [Al-Mulk : 22]
Berikut ini beberapa hakikat dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah :
Dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah dakwah yang tegak di atas Al-Qur’an dan Hadits menurut manhaj para salafus shalih dari kalangan shahabat, tabi’in, dan alim ulama, serta orang-orang yang mengikuti mereka. Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan sifat-sifat dan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala sesuai dengan apa yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Aalihi Wasallam tanpa tahrif, tamtsil, takyif, atau ta’thil. (Tahrif adalah mengubah lafadz sifat yang disebutkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau menyimpangkannya dari makna sebenarnya. Tamtsil adalah menyamakan/menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Takyif adalah mempertanyakan bagaimana sifat Allah itu atau menggambarkannya. Ta’thil adalah meniadakan seluruh atau sebagain dari sifat-sifat Allah yang telah Dia tetapkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah)
Adapun selain Ahlus Sunnah, mereka menghukumi Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan dengan mendahulukan akal, adat, kasyaf, perasaan, mimpi, ataupun (kepentingan) golongan. Jika Al-Qur’an dan As-Sunnah menyelisihinya, maka mereka akan menyelewengkannya dan memalingkannya. Dan jika mereka tidak mampu melakukannya, mereka akan menolaknya dengan dalih bertentangan dengan azas yang menjadi dasar mereka, atau berdalih dengan menyatakan bahwa hadits itu ahad (bukan mutawatir) atau dengan dalih bertolak belakang dengan maslahat dakwah. Menurut mereka dakwah harus menurut pemahaman mereka, bukan menurut pemahaman salafus shalih.
Ahlus Sunnah menegakkan wala’ (loyalitas) dan permusuhan berdasarkan manhaj tadi secara adil dan inshaf (tengah-tengah). Sedang-kan selain Ahlus Sunnah, menegakkan wala’ dan permusuhan berdasarkan hawa nafsu dan golongannya; siapa yang sependapat dengan mereka, akan dianggap sebagai orang/teman dekat yang diagungkan walaupun seorang penjahat. Dan siapa yang menyelisihi mereka akan diteror/diintimidasi dan dicampakkan, walaupun seorang alim yang bertakwa.
Penuntut ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah amat peduli dengan ilmu-ilmu syar’i. Hal itu tampak pada keridhaannya terhadap ahli ilmu (ulama), (tampak pada kesukaannya) untuk mengambil faidah dari ilmu dan akhlak dari ahli ilmu, (tampak pada komitmennya untuk) bersandar pada dalil-dalil syar’i yang shahih serta beramal sesuai dengan tuntunan ilmu syar’i.
Sebaliknya Ahlul bid’ah menjauhi ilmu-ilmu sunnah dan tokoh-tokohnya serta membenci ilmu sanad dan hadits. Dan mendorong para penuntut ilmu untuk membolak-balik tabloid, majalah, koran-koran harian, mingguan, dan lain-lain. Adapun Ahlus Sunnah tidaklah melarang untuk menela’ah hal-hal tersebut, akan tetapi kepedulian mereka yang utama adalah menela’ah ilmu syar’i. Sedangkan selain mereka hanya peduli dengan ilmu syar’i sekedar untuk membantu hizb (golongan) dan dakwah hizbiyah, atau membuat keonaran dan menghasut Ahlus Sunnah yang masih pemula atau menghujat tokoh ulama ahlus sunnah. Namun Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, "Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa kecuali orang yang merencanakannya sendiri." [Fathir : 43]
Sejarah dakwah salafiyah telah ada sejak dahulu, mereka mengembalikan prinsip dakwah mereka kepada apa yang ditempuh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, para shahabat dan orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka. Adapun golongan selain Ahlus Sunnah, memulai dakwah mereka dengan prinsip pendirinya atau tokoh-tokohnya. Dan terkadang sebagian mereka berkata, baik dengan bahasa lisan, atau bahasa kenyataan, bahwa petunjuk Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Aalihi Wasallam tidak layak dipakai pada jaman sekarang ini. Padahal generasi akhir umat ini tidak akan menjadi baik melainkan dengan apa yang telah menjadikan baik generasi awal.
Menurut Ahlus Sunnah, Ahlul Hadits adalah golongan yang ditolong (Ath-Thaifatul Manshurah) dan Golongan yang selamat (Al-Firqatun Najiyah). Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menolong agamanya sejak dahulu sampai sekarang mela-lui mereka. Mereka adalah orang-orang yang berada di atas aqidah dan manhaj (pedoman) Ahlul Hadits. Alim ulama rabbani adalah tokoh mereka, sedangkan masyarakat umum yang beraneka ragam adalah pengikut mereka.
Ahlus Sunnah tidak menerima hadits apapun yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam kecuali setelah mengetahui bahwa hadits tersebut adalah benar-benar terpercaya berasal dari beliau. Ahlus Sunnah berpendapat bahwa hadits yang munkar dan palsu sangat besar peranannya dalam menyuburkan kebid’ahan. Ahlus Sunnah tidak menjelaskan sebuah hadits atau menafsirkan suatu ayat, kecuali setelah mengetahui pendapat-pendapat alim ulama secara terperinci dalam hal itu.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bid’ah lebih berbahaya bagi agama seseorang dari pada maksiat. Hal itu karena pelakunya mendekatkan diri kepada Allah dengan bid’ah tersebut dan ia mengira berada di atas hidayah, berbeda dengan pelaku maksiat. Kadangkala pelaku maksiat mengakui kesalahannya dan berdo’a meminta ampun kepada Allah atas perbuatannya. Sedangkan pada umumnya, pelaku bid’ah berasal dari golongan khusus yang dikenal dengan ilmu, ibadah, zuhudnya serta menjadi panutan orang lain. Oleh karena itu, bahayanya lebih besar dari pada pelaku maksiat yang pada umumnya berasal dari pengikut syahwat yang idak menjadi panutan.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Islam melarang perpecahan kaum Muslimin menjadi jama’ah-jama’ah, kelompok-kelompok, atau golongan-golongan, bahkan Islam mengharuskan seluruh kaum Muslimin untuk bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bersatu di atas jalan hidup salafus shalih, bukan di atas pemahaman si fulan A dan si fulan B. Dan jangan katakan (untuk berbangga diri) bahwa jamaah ini lebih dahulu berdiri daripada jamaah lainnya. Itu semua adalah perkataan yang tidak berfaidah.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kelompok-kelompok dakwah hizbiyah (kelompok-kelompok sempalan) memiliki metode yang beraneka ragam, ruwet lagi kacau. Oleh karena itu wajib bagi para pencari kebenaran untuk sadar akan hal ini. Dan kesadaran tersebut hanya bisa diperoleh dengan ilmu dan kedewasaan berpikir, dan menjauhkan diri dari kebodohan, kekeliruan, sikap berlebih-lebihan, dan sikap membabi buta terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengannya.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengajak kepada persatuan dan kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam Keduanya sangat urgen di dalam dakwah ini. Ahlus Sunnah tidak akan menyerukan persatuan di atas kesesatan dan persatuan di atas buih-buih kerusakan. Ahlus Sunnah tidak mengajak kepada sesuatu yang bisa mencerai-beraikan kaum Muslimin dan melemahkan kekuatan mereka sehingga membuat gembira musuh-musuh mereka. Tetapi Ahlus Sunnah mengajak kepada persatuan, kesatuan dan kerukunan di atas sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan di atas kebenaran yang nyata. Apabila bertabrakan dua hal ini, yaitu antara urgensi persatuan dan sunnah, terkadang Ahlus Sunnah mendahulukan urgensi persatuan dan terkadang mendahulukan urgensi berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam Hal itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi, serta memperhitungkan maslahat dan mafsadat berdasarkan kaidah-kaidah yang telah disebutkan oleh alim ulama baik yang dahulu maupun yang sekarang, dan masing-masing kondisi punya sandaran di dalam sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Ahlus Sunnah, manhajnya adalah manhaj salaf dan sikap perjuangannya pun adalah sikap perjuangan salaf. Adapun selain ahlus sunnah, manhajnya bisa salafi tapi sikap perjuangannya adalah sikap perjuangan modern, yaitu menyibukkan diri dengan mengomentari penguasa dan tindakan-tindakan mereka, serta tidak menyibukkan diri dengan perkara-perkara Asma’ wa sifat kecuali hanya untuk dihafal dengan model hafalan usang yang tanpa makna. Adapun ahlus sunnah memberikan segala sesuatu sesuai dengan ukurannya sebagaimana yang dilakukan para salaf dan sesuai dengan kaidah-kaidah salaf dalam upaya meraih maslahat yang maksimal serta dalam upaya menghapus dan menekan mafsadah (kerusakan) seminimal mungkin.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah mencela, menghujat dan melaknat para penguasa di atas mimbar bukan merupakan manhaj (pedoman) salafus shalih (dalam menghilangkan kemungkaran –pent).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah menekankan untuk selalu bersabar terhadap kejelekan penguasa walaupun mereka bertindak sewenang-wenang. Ahlus Sunnah juga tidak mengharapkan materi dunia dari penguasa. Dan Ahlus Sunnah memandang wajib menasehati para penguasa tanpa harus menyiarkan aib, tanpa hujatan, dan tanpa merusak di atas muka bumi.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, umat Islam itu bagaikan burung dengan kedua sayapnya. Sayap yang satu adalah alim ulama (bukan ulama su’ –yang buruk- yaitu ulama yang dengan ilmunya ingin mendapatkan kenikmatan di dunia dan mendapatkan kedudukan terpandang di kelompoknya) dan sayap yang lain adalah para penguasa. Burung tersebut tidak akan sampai ke tujuannya dengan selamat, kecuali dengan kedua sayap tersebut. Tugas alim ulama adalah menjelaskan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tugas para penguasa adalah memerintahkan umat untuk melaksanakannya. Jika terdapat kekurangan pada mereka (ulama dan pemerintah), segeralah dimusyawarahkan untuk mencari solusi terbaik bagi kaum Muslimin. Bukan dengan cara demonstrasi atau unjuk rasa, dan bukan pula dengan berburuk sangka kepada alim ulama (ulama Akhirat –pen.)
Menurut Ahlus Sunnah, kelompok-kelompok yang berseberangan dengan mereka juga memiliki kebaikan-kebaikan dan pendapat-pendapat yang benar. Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak akan menafikan hal itu hanya karena perselisihan yang terjadi dengan mereka. Namun hal itu bukan halangan untuk menasehati kelompok-kelompok tersebut dan memperingatkan umat dari kesalahannya dengan syarat:
[1]. Akibat buruk dari perbuatan mereka akan menyebar kepada umat, tidak terbatas kepada mereka saja, dan
[2]. Peringatan tersebut tidak mengakibatkan kemungkaran yang lebih besar.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang bahwa kebodohan dan perpecahan adalah penyebab lemahnya umat ini. Oleh karena itu Ahlus Sunnah wal Jama’ah bertekad untuk menyebarkan ilmu yang bermanfaat di tengah-tengah umat dan Ahlus Sunnah mencegah sifat bergolong-golongan dan fanatik yang tercela.
Ahlus Sunnah tidak mengharamkan ilmu pengetahuan umum yang bermanfaat bahkan memandangnya sebagai amalan yang dibolehkan atau sunnah, atau bahkan wajib bagi sebagian orang pada waktu-waktu tertentu. Karena urusan dunia telah dibuka seluas-seluasnya bagi kita dengan syarat tidak bertentangan dengan syari’at. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Kamu lebih mengetahui urusan duniamu."
Ahlus Sunnah tidak setuju dengan metode dakwah melalui pentas-pentas sandiwara sebab hal tersebut minimal mengandung kedustaan. Dan tidak pula melalui nasyid-nasyid sebab mudharatnya lebih banyak daripada manfaatnya. Juga karena hal itu adalah bentuk tasyabbuh (meniru orang kafir) dan dapat mengabaikan perkara yang lebih penting.
Ahlus Sunnah tidak membenarkan taqlid buta kepada seorang pun, karena semua orang dapat diambil atau ditolak ucapannya, kecuali Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan apa-apa yang benar-benar telah disepakati oleh umat. Karena sesungguhnya umat ini tidak akan bersepakat di atas kesesatan. Ahlus Sunnah mencintai seluruh imam Ahlus Sunnah dan mengikuti mereka jika dalil yang kuat ada pada mereka, tidak mengkhususkan salah satu di antara mereka untuk diikuti, dan Ahlus Sunnah selalu berusaha untuk memberantas fanatik madzhab atau fanatik golongan.
Inilah sebagian dari kaidah-kaidah dakwah Ahlus Sunnah dan perbedaannya dengan manhaj dakwah lainnya. Kepada sebagian kaum Muslimin yang sementara teracuni dengan berbagai pemikiran dan syubhat, kami ajak untuk kembali menggunakan akal sehat dan nurani yang jernih. Sudah lewat masanya kita menganggap hidup sebagai sebuah eksperimen dimana kita merasa bebas untuk mencoba-coba apa saja, termasuk agama kita. Wallahu Ta’alaa A’lam
Yaitu dakwah yang tidak menjadikan ilmu hadits sebagai asas dan tidak bersandar kepada pemahaman para sahabat, generasi awal yang utama, dan alim ulama, pada awalnya tampak benar, namun lambat laun akan tampak cacat dan celanya kemudian akan berbalik menjadi fitnah (musibah) bagi umat dan akan menjadi penghalang dari agama Allah Subhanahu wa Ta'ala. "Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya akan mendapat banyak petunjuk ataukah orang yang berjalan tegar di atas jalan yang lurus?" [Al-Mulk : 22]
Berikut ini beberapa hakikat dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah :
Dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah dakwah yang tegak di atas Al-Qur’an dan Hadits menurut manhaj para salafus shalih dari kalangan shahabat, tabi’in, dan alim ulama, serta orang-orang yang mengikuti mereka. Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan sifat-sifat dan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala sesuai dengan apa yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Aalihi Wasallam tanpa tahrif, tamtsil, takyif, atau ta’thil. (Tahrif adalah mengubah lafadz sifat yang disebutkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau menyimpangkannya dari makna sebenarnya. Tamtsil adalah menyamakan/menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Takyif adalah mempertanyakan bagaimana sifat Allah itu atau menggambarkannya. Ta’thil adalah meniadakan seluruh atau sebagain dari sifat-sifat Allah yang telah Dia tetapkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah)
Adapun selain Ahlus Sunnah, mereka menghukumi Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan dengan mendahulukan akal, adat, kasyaf, perasaan, mimpi, ataupun (kepentingan) golongan. Jika Al-Qur’an dan As-Sunnah menyelisihinya, maka mereka akan menyelewengkannya dan memalingkannya. Dan jika mereka tidak mampu melakukannya, mereka akan menolaknya dengan dalih bertentangan dengan azas yang menjadi dasar mereka, atau berdalih dengan menyatakan bahwa hadits itu ahad (bukan mutawatir) atau dengan dalih bertolak belakang dengan maslahat dakwah. Menurut mereka dakwah harus menurut pemahaman mereka, bukan menurut pemahaman salafus shalih.
Ahlus Sunnah menegakkan wala’ (loyalitas) dan permusuhan berdasarkan manhaj tadi secara adil dan inshaf (tengah-tengah). Sedang-kan selain Ahlus Sunnah, menegakkan wala’ dan permusuhan berdasarkan hawa nafsu dan golongannya; siapa yang sependapat dengan mereka, akan dianggap sebagai orang/teman dekat yang diagungkan walaupun seorang penjahat. Dan siapa yang menyelisihi mereka akan diteror/diintimidasi dan dicampakkan, walaupun seorang alim yang bertakwa.
Penuntut ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah amat peduli dengan ilmu-ilmu syar’i. Hal itu tampak pada keridhaannya terhadap ahli ilmu (ulama), (tampak pada kesukaannya) untuk mengambil faidah dari ilmu dan akhlak dari ahli ilmu, (tampak pada komitmennya untuk) bersandar pada dalil-dalil syar’i yang shahih serta beramal sesuai dengan tuntunan ilmu syar’i.
Sebaliknya Ahlul bid’ah menjauhi ilmu-ilmu sunnah dan tokoh-tokohnya serta membenci ilmu sanad dan hadits. Dan mendorong para penuntut ilmu untuk membolak-balik tabloid, majalah, koran-koran harian, mingguan, dan lain-lain. Adapun Ahlus Sunnah tidaklah melarang untuk menela’ah hal-hal tersebut, akan tetapi kepedulian mereka yang utama adalah menela’ah ilmu syar’i. Sedangkan selain mereka hanya peduli dengan ilmu syar’i sekedar untuk membantu hizb (golongan) dan dakwah hizbiyah, atau membuat keonaran dan menghasut Ahlus Sunnah yang masih pemula atau menghujat tokoh ulama ahlus sunnah. Namun Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, "Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa kecuali orang yang merencanakannya sendiri." [Fathir : 43]
Sejarah dakwah salafiyah telah ada sejak dahulu, mereka mengembalikan prinsip dakwah mereka kepada apa yang ditempuh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, para shahabat dan orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka. Adapun golongan selain Ahlus Sunnah, memulai dakwah mereka dengan prinsip pendirinya atau tokoh-tokohnya. Dan terkadang sebagian mereka berkata, baik dengan bahasa lisan, atau bahasa kenyataan, bahwa petunjuk Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Aalihi Wasallam tidak layak dipakai pada jaman sekarang ini. Padahal generasi akhir umat ini tidak akan menjadi baik melainkan dengan apa yang telah menjadikan baik generasi awal.
Menurut Ahlus Sunnah, Ahlul Hadits adalah golongan yang ditolong (Ath-Thaifatul Manshurah) dan Golongan yang selamat (Al-Firqatun Najiyah). Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menolong agamanya sejak dahulu sampai sekarang mela-lui mereka. Mereka adalah orang-orang yang berada di atas aqidah dan manhaj (pedoman) Ahlul Hadits. Alim ulama rabbani adalah tokoh mereka, sedangkan masyarakat umum yang beraneka ragam adalah pengikut mereka.
Ahlus Sunnah tidak menerima hadits apapun yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam kecuali setelah mengetahui bahwa hadits tersebut adalah benar-benar terpercaya berasal dari beliau. Ahlus Sunnah berpendapat bahwa hadits yang munkar dan palsu sangat besar peranannya dalam menyuburkan kebid’ahan. Ahlus Sunnah tidak menjelaskan sebuah hadits atau menafsirkan suatu ayat, kecuali setelah mengetahui pendapat-pendapat alim ulama secara terperinci dalam hal itu.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bid’ah lebih berbahaya bagi agama seseorang dari pada maksiat. Hal itu karena pelakunya mendekatkan diri kepada Allah dengan bid’ah tersebut dan ia mengira berada di atas hidayah, berbeda dengan pelaku maksiat. Kadangkala pelaku maksiat mengakui kesalahannya dan berdo’a meminta ampun kepada Allah atas perbuatannya. Sedangkan pada umumnya, pelaku bid’ah berasal dari golongan khusus yang dikenal dengan ilmu, ibadah, zuhudnya serta menjadi panutan orang lain. Oleh karena itu, bahayanya lebih besar dari pada pelaku maksiat yang pada umumnya berasal dari pengikut syahwat yang idak menjadi panutan.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Islam melarang perpecahan kaum Muslimin menjadi jama’ah-jama’ah, kelompok-kelompok, atau golongan-golongan, bahkan Islam mengharuskan seluruh kaum Muslimin untuk bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bersatu di atas jalan hidup salafus shalih, bukan di atas pemahaman si fulan A dan si fulan B. Dan jangan katakan (untuk berbangga diri) bahwa jamaah ini lebih dahulu berdiri daripada jamaah lainnya. Itu semua adalah perkataan yang tidak berfaidah.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kelompok-kelompok dakwah hizbiyah (kelompok-kelompok sempalan) memiliki metode yang beraneka ragam, ruwet lagi kacau. Oleh karena itu wajib bagi para pencari kebenaran untuk sadar akan hal ini. Dan kesadaran tersebut hanya bisa diperoleh dengan ilmu dan kedewasaan berpikir, dan menjauhkan diri dari kebodohan, kekeliruan, sikap berlebih-lebihan, dan sikap membabi buta terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengannya.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengajak kepada persatuan dan kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam Keduanya sangat urgen di dalam dakwah ini. Ahlus Sunnah tidak akan menyerukan persatuan di atas kesesatan dan persatuan di atas buih-buih kerusakan. Ahlus Sunnah tidak mengajak kepada sesuatu yang bisa mencerai-beraikan kaum Muslimin dan melemahkan kekuatan mereka sehingga membuat gembira musuh-musuh mereka. Tetapi Ahlus Sunnah mengajak kepada persatuan, kesatuan dan kerukunan di atas sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan di atas kebenaran yang nyata. Apabila bertabrakan dua hal ini, yaitu antara urgensi persatuan dan sunnah, terkadang Ahlus Sunnah mendahulukan urgensi persatuan dan terkadang mendahulukan urgensi berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam Hal itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi, serta memperhitungkan maslahat dan mafsadat berdasarkan kaidah-kaidah yang telah disebutkan oleh alim ulama baik yang dahulu maupun yang sekarang, dan masing-masing kondisi punya sandaran di dalam sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Ahlus Sunnah, manhajnya adalah manhaj salaf dan sikap perjuangannya pun adalah sikap perjuangan salaf. Adapun selain ahlus sunnah, manhajnya bisa salafi tapi sikap perjuangannya adalah sikap perjuangan modern, yaitu menyibukkan diri dengan mengomentari penguasa dan tindakan-tindakan mereka, serta tidak menyibukkan diri dengan perkara-perkara Asma’ wa sifat kecuali hanya untuk dihafal dengan model hafalan usang yang tanpa makna. Adapun ahlus sunnah memberikan segala sesuatu sesuai dengan ukurannya sebagaimana yang dilakukan para salaf dan sesuai dengan kaidah-kaidah salaf dalam upaya meraih maslahat yang maksimal serta dalam upaya menghapus dan menekan mafsadah (kerusakan) seminimal mungkin.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah mencela, menghujat dan melaknat para penguasa di atas mimbar bukan merupakan manhaj (pedoman) salafus shalih (dalam menghilangkan kemungkaran –pent).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah menekankan untuk selalu bersabar terhadap kejelekan penguasa walaupun mereka bertindak sewenang-wenang. Ahlus Sunnah juga tidak mengharapkan materi dunia dari penguasa. Dan Ahlus Sunnah memandang wajib menasehati para penguasa tanpa harus menyiarkan aib, tanpa hujatan, dan tanpa merusak di atas muka bumi.
Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, umat Islam itu bagaikan burung dengan kedua sayapnya. Sayap yang satu adalah alim ulama (bukan ulama su’ –yang buruk- yaitu ulama yang dengan ilmunya ingin mendapatkan kenikmatan di dunia dan mendapatkan kedudukan terpandang di kelompoknya) dan sayap yang lain adalah para penguasa. Burung tersebut tidak akan sampai ke tujuannya dengan selamat, kecuali dengan kedua sayap tersebut. Tugas alim ulama adalah menjelaskan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tugas para penguasa adalah memerintahkan umat untuk melaksanakannya. Jika terdapat kekurangan pada mereka (ulama dan pemerintah), segeralah dimusyawarahkan untuk mencari solusi terbaik bagi kaum Muslimin. Bukan dengan cara demonstrasi atau unjuk rasa, dan bukan pula dengan berburuk sangka kepada alim ulama (ulama Akhirat –pen.)
Menurut Ahlus Sunnah, kelompok-kelompok yang berseberangan dengan mereka juga memiliki kebaikan-kebaikan dan pendapat-pendapat yang benar. Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak akan menafikan hal itu hanya karena perselisihan yang terjadi dengan mereka. Namun hal itu bukan halangan untuk menasehati kelompok-kelompok tersebut dan memperingatkan umat dari kesalahannya dengan syarat:
[1]. Akibat buruk dari perbuatan mereka akan menyebar kepada umat, tidak terbatas kepada mereka saja, dan
[2]. Peringatan tersebut tidak mengakibatkan kemungkaran yang lebih besar.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang bahwa kebodohan dan perpecahan adalah penyebab lemahnya umat ini. Oleh karena itu Ahlus Sunnah wal Jama’ah bertekad untuk menyebarkan ilmu yang bermanfaat di tengah-tengah umat dan Ahlus Sunnah mencegah sifat bergolong-golongan dan fanatik yang tercela.
Ahlus Sunnah tidak mengharamkan ilmu pengetahuan umum yang bermanfaat bahkan memandangnya sebagai amalan yang dibolehkan atau sunnah, atau bahkan wajib bagi sebagian orang pada waktu-waktu tertentu. Karena urusan dunia telah dibuka seluas-seluasnya bagi kita dengan syarat tidak bertentangan dengan syari’at. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Kamu lebih mengetahui urusan duniamu."
Ahlus Sunnah tidak setuju dengan metode dakwah melalui pentas-pentas sandiwara sebab hal tersebut minimal mengandung kedustaan. Dan tidak pula melalui nasyid-nasyid sebab mudharatnya lebih banyak daripada manfaatnya. Juga karena hal itu adalah bentuk tasyabbuh (meniru orang kafir) dan dapat mengabaikan perkara yang lebih penting.
Ahlus Sunnah tidak membenarkan taqlid buta kepada seorang pun, karena semua orang dapat diambil atau ditolak ucapannya, kecuali Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan apa-apa yang benar-benar telah disepakati oleh umat. Karena sesungguhnya umat ini tidak akan bersepakat di atas kesesatan. Ahlus Sunnah mencintai seluruh imam Ahlus Sunnah dan mengikuti mereka jika dalil yang kuat ada pada mereka, tidak mengkhususkan salah satu di antara mereka untuk diikuti, dan Ahlus Sunnah selalu berusaha untuk memberantas fanatik madzhab atau fanatik golongan.
Inilah sebagian dari kaidah-kaidah dakwah Ahlus Sunnah dan perbedaannya dengan manhaj dakwah lainnya. Kepada sebagian kaum Muslimin yang sementara teracuni dengan berbagai pemikiran dan syubhat, kami ajak untuk kembali menggunakan akal sehat dan nurani yang jernih. Sudah lewat masanya kita menganggap hidup sebagai sebuah eksperimen dimana kita merasa bebas untuk mencoba-coba apa saja, termasuk agama kita. Wallahu Ta’alaa A’lam
Post a Comment