Bolehkah Berpuasa Pada 10 Muharram ('Asyura), Sehari Saja?
Bolehkah Berpuasa Pada 10 Muharram ('Asyura), Sehari Saja?
Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah
yang menggilirkan hari dan waktu untuk digunakan ibadah oleh
hamba-hamba-Nya. Sebagiannya, Allah lebihkan keutamaan dan kemuliaannya
sebagai karunia bagi mereka. Maka hamba yang sholeh senantiasa beibadah
sepanjang masa dan lebih meningkatkannya pada waktu-waktu utama.
Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
contoh dan teladan dalam beribadah kepada Allah. Orang yang setiap
perkataannya wajib diambil, setiap kabar beritanya wajib dibenarkan,
setiap perintahnya wajib ditaati, setiap larangannya wajib dijauhi, dan
tidak boleh beribadah kepada Allah kecuali dengan syariatnya. Semoga
shalawat dan salam juga dilimpahkan kepada keluarga dan para sahabatnya.
Puasa hari 'Asyura (hari kesepuluh Muharram) termasuk hari istimewa dalam bulan ini. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
sangat bersemangat berpuasa padanya dan memerintahkan para sahabatnya
untuk ikut berpuasa. Walaupun secara umum memperbanyak puasa pada bulan
Muharram adalah sangat dianjurkan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
"Puasa yang paling utama sesudah
puasa Ramadlan adalah puasa pada Syahrullah (bulan Allah) Muharram.
Sedangkan shalat malam merupakan shalat yang paling utama sesudah shalat
fardlu." (HR. Muslim, no. 1982)
Menurut Imam Al-Qaari, bahwa secara
zahir, maksudnya adalah seluruh hari-hari pada bulan muharram ini.
Tetapi telah disebutkan dalam hadits shahih bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam
tidak pernah sama sekali berpuasa sebulan penuh kecuali di Ramadhan.
Maka hadits ini dipahami, dianjurkan untuk memperbanyak puasa pada bulan
Muharram bukan seluruhnya.
Diriwayatkan dalam Shahihain, dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu Umar, dan Asiyah bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam telah berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya. Sementara Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu pernah menceritakan tentang puasa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam,
مَا
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ
يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ
"Aku tidak penah melihat Nabi
shallallaahu 'alaihi wasallam bersemangat puasa pada suatu hari yang
lebih beliau utamakan atas selainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari
‘Asyura dan pada satu bulan ini, yakni bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengabarkan tentang nilai keutamaannya dalam sabdanya,
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
"Puasa hari 'Asyura, sungguh aku berharap kepada Allah agar menghapuskan dosa setahun yang telah lalu." (HR. Muslim no. 1975)
Menambah Puasa ‘Asyura dengan Puasa Tasu'a (9 Muharram)
Disunnahkan untuk menambah puasa Asyura
dengan puasa pada hari sebelumnya, yaitu tanggal Sembilan Muharram yang
dikenal dengan hari Tasu’a. Tujuannya, untuk menyelisihi kebiasaan
puasanya Yahudi dan Nashrani. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata, “Ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam
berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk
berpuasa padanya, mereka menyampaikan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya
hari itu adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nashrani.’
Lalu beliau shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau begitu, pada tahun depan insya Allah kita berpuasa pada hari kesembilan’. Dan belum tiba tahun yang akan datang, namun Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam sudah wafat.” (HR. Muslim, no. 1916)
Berkata Imam al-Syafi’i dan para
sahabatnya, Ahmad, Ishaq dan selainnya, “Disunnahkan berpuasa pada hari
kesembilan dan kesepuluh secara keseluruhan, karena Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam telah berpuasa pada hari ke sepuluh dan berniat puasa pada hari kesembilan.”
Hikmah Berpuasa Pada Hari Tasu’a
Imam al-Nawawi rahimahullaah menyebutkan tentang tiga hikmah dianjurkannya shiyam hari Tasu’a: Pertama, maksud disyariatkan puasa Tasu’a untuk menyelesihi orang Yahudi yang berpuasa hanya pada hari ke sepuluh saja.
Kedua,
maksudnya adalah untuk menyambung puasa hari ‘Asyura dengan puasa di
hari lainnya, sebagaimana dilarang berpuasa pada hari Jum’at saja.
Pendapat ini disebutkan oleh al-Khathabi dan ulama-ulama lainnya.
Ketiga, untuk
kehati-hatian dalam pelaksanaan puasa ‘Asyura, dikhawatirkan hilal
berkurang sehingga terjadi kesalahan dalam menetapkan hitungan, hari ke
Sembilan dalam penanggalan sebenarnya sudah hari kesepuluh.
Dan alasan yang paling kuat
disunnahkannya puasa hari Tasu’a adalah alasan pertama, yaitu untuk
menyelisihi ahli kitab. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah dalam al Fatawa al-Kubra berkata, “Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam melarang bertasyabbuh dengan ahli kitab dalam banyak hadits. Seperti sabda beliau tentang puasa ‘Asyura,
لَئِنْ عِشْتُ إلَى قَابِلٍ لاَصُومَنَّ التَّاسِعَ
“Jika saya masih hidup di tahun depan, pasti akan berpuasa pada hari kesembilan.” (HR. Muslim)
Ibnu Hajar rahimahullaah dalam
catatan beliau terhadap hadits, “Jika saya masih hidup di tahun depan,
pasti akan berpuasa pada hari kesembilan”, Keinginan beliau untuk
berpuasa pada hari kesembilan dibawa maknanya agar tidak membatasi pada
hari itu saja. Tapi menggabungkannya dengan hari ke sepuluh, baik
sebagai bentuk kehati-hatian ataupun untuk menyelisihi orang Yahudi dan
Nashrani. Dan ini merupakan pendapat yang terkuat dan yang disebutkan
oleh sebagian riwayat Muslim.”
Bolehkah Berpuasa Pada Hari ‘Asyura Saja?
Namun terkadang seseorang tidak ingat
atau memiliki halangan untuk berpuasa Tasu'a, seperti sakit, bepergian,
ada pekerjaan yang berat, atau alasan lainya. Jika demikian, apakah dia
boleh berpuasa pada hari 'Asyura saja?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah dalam al-Fatawa al-Kubra
Juz IV telah memberikan jawaban terhadap persoalan ini, “Puasa hari
‘Asyura menjadi kafarah (penghapus) dosa selama satu tahun dan tidak
dimakruhkan berpuasa pada hari itu saja.” (Juga didapatkan dalam
Ikhtiyarat-nya, hal. 10)
Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj menyimpulkan bahwa tidak apa-apa berpuasa pada hari itu saja.
Lajnah Daimah, lembaga riset Ilmiyah dan fatwa yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah
menerangkan tentang kebolehannya, "Boleh berpuasa hari 'Asyura, satu
hari saja. Tetapi yang paling utama, berpuasa (juga) sehari sebelumnya
atau sehari sesudahnya. Ini merupakan sunnah yang jelas ketetapannya
dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam sabdanya,
لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
“Jika saya masih hidup di tahun depan, pasti akan berpuasa pada hari kesembilan.” (HR. Muslim)
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma
berkata, "Yakni (dikerjakan) bersama hari kesepuluh." Wabillahi
al-Yaufiq. (Sumber: Fatawa al-Lajnah al-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah
wa al-Ifta': 10/401).
Kesimpulan
Berpuasa pada hari 'Asyura, sehari saja,
tanpa menambah satu hari sebelumnya (Tasu'a) dibolehkan. Walaupun yang
lebih utama adalah digandengn dengan sehari sebelumnya. Dari sini, maka
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid dalam Fadhlu Syahrillaah
al-Muharram wa Shiyam 'Asyura, puasa ‘Asyura memiliki beberapa
tingkatan: Paling rendah, berpuasa pada hari itu saja (hari kesepuluh
saja). Di atasnya, berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh.
Terakhir, memperbanyak puasa pada bulan Muharram ini dan itulah yang
terbaik dan terbagus. Wallahu Ta'ala A'lam.
Post a Comment