Karakteristik Pengikut Ahlus Sunnah Wal Jama'ah 1/2
Karakteristik Pengikut Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
1/2
Karakteristik Pengikut Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
[1] Hanya bersumber kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Mereka senantiasa menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai sumber pengambilan, baik dalam ibadah, akidah, mu'amalah, sikap maupun akhlak. Setiap yang sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah mereka menerima dan menetapkannya. Sebaliknya, setiap yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah mereka menolaknya, tak peduli siapa pun yang berpendapat dengannya.
[2] Menyerah kepada nash-nash syara', serta memahaminya sesuai dengan pemahaman As-Salafus Shalih. Mereka menyerah kepada nash-nash syara, baik mereka memahami hikmahnya maupun tidak. Mereka tidak menghakimi nash-nash tersebut dengan akal mereka, tetapi mereka menghakimi akal mereka dengan nash-nash syara'.
[3] Itiba' dan meningglakan ibtida'. Mereka tidak mendahului perkataan Allah dan Rasul-Nya, tidak meninggikan suara di atas suara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mereka juga tida rela jika seseorang meninggikan suara di atas suara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[4] Mereka memperhatikan Al-Qur'an, baik dalam hal hafalan, bacaan maupun penafsiran. Juga perhatian dengan Al-Hadits, baik dalam hal dirayah (matan, isi hadits) maupun riwayah (pembawa hadits).
[5] Mereka senantiasa berdalil dengan sunnah shahihah dan meninggalkan pembedaan antara hadits mutawatir dengan ahad, baik dalam hukum maupun aqidah.
[6] Mereka tidak memiliki imam yang diagungkan, yang mereka ambil seluruh ucapannya kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun selain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka mereka menimbangnya dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, jika ia sesuai dengan keduanya maka diterima, dan jika tida maka di tolak.
[7] Mereka adalah orang yang paling mengerti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka mengetahui petunjuk, amal, ucapan dan ketetapan-ketetapannya. Karena itu, mereka adalah orang yang paling mencintai beliau dan paling setia mengikuti sunnahnya.
[8] Mereka masuk ke dalam Islam secara keseluruhan dan beriman kepada Al-Qur'an secara keseluruhan pula [Al-Baqarah : 208].
[9] Para pengikut Ahlus Sunnah mengagungkan para As-Salafush Shalih, meneladani dan menjadikan mereka sebagai teladan. Mereka melihat bahwa jalan para As-Salafus Shalih adalah jalan yang paling selamat, paling mengetahui dan paling bijaksana.
[10] Mereka memadukan antara nash-nash tentang suatu persoalan dan mengembalikan al-mustasyabih (nash yang belum jelas) kepada al-muhkam (yang telah jelas ketentuannya), yang dengan demikian mereka bisa mencapai kebenaran dalam masalah tersebut.
[11] Mereka memadukan antara ilmu dan ibadah. Ini berbeda dengan selain mereka yang terkadang sibuk beribadah dengan meninggalkan ilmu, atau sebaliknya.
[12] Mereka memadukan antara tawwakal kepada Allah dengan ikhtiar, mereka tidak mengingkari perlunya ikhtiar, sehingga tetap berusaha, tapi pada saat yang sama mereka tidak menggantungkan kepadanya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : " Bersungguh-sungguhlah dalam menuntut apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Apabila kamu tertimpa suatu kegagalan, maka janganlah kamu berkata, 'Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu', tetapi katakanlah, 'Ini telah ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki'. Karena ucapan 'seandainya' akan membuka (pintu) perbuatan setan". [Hadits Riwayat Muslim 8/56 No. 2664 dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu].
[13] Memadukan antara kekayaan harta dengan sikap zuhud terhadapnya. Para pengikut Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak mengingkari orang yang memiliki kekayaan harta yang melimpah. Sebaliknya mereka memandang, setiap orang harus memenuhi kebutuhan dirinya dan orang yang ada di bawah tanggung jawabnya, dan tidak menggantungkan kepada orang lain. Tetapi, hendaknya tidak menjadikan dunia sebagai puncak harapan dan keinginannya. Mereka juga tidak boleh membenci orang yang lebih menerima dan rela terhadap yang sedikit dari kesenangan dunia. Sebab mereka berpendapat, zuhud letaknya di hati, yakni meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagi akhiratnya. Sedangkan orang yang lapang kekayaannya, tetapi ia meletakkannya di tangan dan tidak di hati, dan menyedekahkannya kepada fakir miskin, maka itu adalah karunia Allah yang diberikan kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Dan itulah keadaan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf dan para sahabat lainnya dari kalangan Muhajirin dan Anshar radiyallahu 'anhum.
[14] Mereka memadukan antara khauf (takut), raja' (harap) dan hubb (cinta), bahkan mereka berpendapat bahwa antara ketiganya tidaklah bertentangan. [As-Sajdah : 16]. Dalam hal ini terdapat ucapan yang mashur dari para salaf : "Siapa yang menyembah Allah hanya dengan cinta maka dia adalah zindiq, dan siapa yang menyembah Allah hanya dengan perasaan takut maka dia adalah haruri (Khawarij), dan siapa yang menyembah Allah hanya dengan harapan dia adalah Murji'. Sedang yang menyembah Allah dengan takut, cinta daan harapan maka dia adalah mukmin sejati".
[15] Mereka memadukan antara kasih sayang dan lemah lembut dengan sikap keras dan kasar. Ini berbeda dengan selain golongan mereka yang berlaku keras atau lemah lembut dalam setiap kesempatan. Ahlus Sunnah wal Jama'ah senantiasa menempatkan sesuatu pada tempatnya, menurut maslahat dan tuntutan kondisi.
[Saduran dari Mukhtashar Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd}
Post a Comment