DIANTARA KEWAJIBAN MASYARAKAT ISLAM ADALAH BERHUKUM KEPADA SYARI'AT ALLAH
DIANTARA KEWAJIBAN MASYARAKAT ISLAM ADALAH BERHUKUM KEPADA SYARI'AT ALLAH
Merupakan hak setiap masyarakat untuk berhukum pada Syari'at yang diyakini
akan keadilannya, keunggulannya dan ketinggiannya atas syari'at-syari'at yang
lainnya. Bagi masyarakat Islam itu merupakan suatu kewajiban, bukan sekedar hak
baginya.
Oleh karena itu tidak layak bagi seseorang untuk mengingkari sebagian
masyarakat Islam saat ini yang menyeru untuk berhukum kepada syari'at Islam. Karena
dialah satu-satunya Syari'at yang terang dan dapat dipertanggungjawabkan
tentang aqidahnya, nilai-nilainya, adab-adabnya dan yang memiliki pandangan
dengan jelas tentang alam dan penciptannya, manusia dan akhir kehidupannya,
kehidupan dan risalahnya. Berbeda dengan aturan-aturan lainnya yang dibuat oleh
manusia yang cenderung menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah, seperti
khamr (minuman keras), perbuatan zina dan riba. Atau sebaliknya mengharamkan
sesuatu yang dihalalkan oleh Allah seperti thalaq (perceraian), poligami, serta
mengabaikan apa yang diwajibkan oleh Islam seperti menunaikan zakat,
melaksanakan had (hukuman) dan beramar ma'ruf nahi munkar Mereka mengganti
hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya dengan hukum-hukum lainnya yang diadopsi dari
Barat atau Timur.
Memang bahwa hukum positif yang saat ini diterapkan di berbagai negara
Islam itu tidak semuanya bertentangan dengan syari'at Islam. Bahkan sebagian
besar di antaranya diambil dari fiqih Islam terutama Fiqih Maliki, tetapi di
sini saya hendak mengingatkan beberapa masalah pokok sebagai berikut:
Pertama, Sesungguhnya hal-hal yang
bertentangan dengan Syari'at Islam dari undang-undang positif (buatan manusia),
meskipun tidak terlalu banyak, namun penting untuk dilihat dari jenis dan
fungsinya. Seperti misalnya pengharaman riba dalam undang-undang pemerintah di
mana Al Qur'an dan As-Sunnah bersikap keras dalam memberikan ancaman bagi orang
yang melakukan. Atau seperti melaksanakan hukuman atas kesalahan-kesalahan
tertentu yang telah ditentukan hukumannya oleh Islam. Demikian itu karena termasuk
dalam hukum-hukum ini dan yang serupa dengannya. Itulah yang membedakan
peradaban ini dengan peradaban lainnya, yang membedakan ummat dengan ummat yang
lainnya.
Pengharaman riba itu, sebagaimana mengeluarkan zakat, adalah merupakan ciri
khas dari sistem ekonomi Islam yang membedakannya dengan sistem lainnya. Keduanya
(pengharaman riba dan kewajiban zakat) memang merupakan salah satu ciri khas
ekonomi Islam.
Seperti juga pengharaman zina dan perbuatan keji, baik yang zhahir maupun
yang bathin dan segala sesuatu yang mengarah pada perbuatan itu, dan ketetapan
hukuman atasnya. Atau dalam pengharaman atas minuman keras, baik seseorang itu
sebagai konsumen, distributor ataupun produsen dan wajibnya hukuman atasnya. Atau
yang lain-lainnya dari berbagai peradaban yang tidak menganggap masalah dalam
memperbolehkan zina, selama sama-sama suka. Dalam memperbolehkan kelainan
seksual, meskipun bertentangan dengan fithrah yang sehat dan sifat kejantanan
yang mulia, serta penyelewengan-penyelewengan yang lain.
Kedua, Sesungguhnya tidak cukup bahwa
hukum positif itu sesuai dengan hukum-hukum syari'at Islam, karena sekedar
sesuai secara kebetulan tidak memberikan warna Islam dan tidak akan menambah
nilai Syari'at Islam.
Tetapi yang seharusnya adalah mengembalikan kepada syari'at di mana segala
sesuatu bertolak darinya. Dia terikat dengan falsafah Islam dan orientasi
syari'ah secara universal. Dia disandarkan pada dalil-dalil syar'i yang
bersifat spesifik dari berbagai bahan hukum sesuai dengan dasar-dasar yang
terjaga menurut para fuqaha' kaum muslimin seluruhnya.
Dengan demikian maka hukum-hukum tersebut benar-benar sah dan suci bagi
seseorang baik individu atau masyarakat Islam. Mereka bisa tunduk terhadap
hukum itu secara sadar dan dengan penuh ketaatan. Karena dengan menerima hukum
itu dan tunduk kepadanya berarti mereka telah beribadah kepada Allah.
Ketundukannya khalayak terhadap aturan hukum itu bukan berarti tunduk
kepada perlemen yang mereka buat, bukan pula kepada pemerintahan yang mereka
tetapkan. Tetapi semata-mata karena taat kepada Allah yang telah membuat aturan
itu untuk kebaikan hamba-hamba-Nya. Ketundukan kepada aturan itu merupakan
bukti keimanan dan keridhaannya kepada hukum Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT
berfirman:
"Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka diseru kepada
Allah dan Rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah
ucapan: "Kami mendengar, dan kami patuh. "Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung." (An-Nuur: 51)
Adalah perbedaan yang besar antara komitmen seorang Muslim dengan
mewajibkan akad yang hal itu berdasarkan pemikiran fulan (seseorang) atau
karena filosofi fulan tersebut yang mengatakan, "Sesungguhnya akad
(perjanjian jual beli) itu Syari'at orang-orang yang terlihat," dengan
akad yang berdasarkan komitmennya kepada hukum Allah, karena Allah SWT
berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji (mu)."(Al Maidah: 1)
"Penuhilah janji(mu), sesungguhnnya janji itu akan dimintai
pertanggungjawabannya." (Al Isra': 34)
Pada suatu hari Mursyid kedua Ikhwanul Muslimin Ustadz Hasan Al Hudhaibi pernah ditanya, "Mengapa
kalian sangat mengingkari hukum-hukum wadh'iyah (buatan manusia), padahal
sebagian besar mirip-mirip dengan hukum syar'iyah (hukum Allah)? Maka beliau
menjawab, "Karena kita dituntut untuk melaksanakan hukum-hukum Syari'at
(Islam), bukan yang mirip dengannya. Allah berfirman:
"Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa-apa
yang diturunkan Allah... " (Al Maidah: 49).
Ketiga, Sesungguhnya syari'at Islam merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisah-pisah, maka tidak boleh mengambil sebagian, dan meninggalkan sebagian
yang lain. Walaupun yang ditinggal itu hanya satu persen atau seper sepuluh
persen atau bahkan seper seribu sekalipun. Karena Allah SWT berfirman:
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, supaya
mereka tidak memalinglan kamu dan sebagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu.. ." (Al Maidah: 49)
Karena itulah Al Qur'an
sangat mengingkari Bani Israil dalam pengambilan mereka terhadap agama secara
parsial, mengambil sebagian hukum dari kitab mereka dan menolak sebagian yang
lainnya, maka Allah SWT berfirman mengingatkan mereka:
"Apakah kamu beriman kepada sebagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar
terhadap sebagian yang lain?" Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat
demikian darimu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan di hari kiamat
mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dan apa
yang kamu perbuat. " (Al Baqarah: 85)
Sebagaimana juga tidak dapat diterima dari seorang Muslim untuk menolak
sesuatu -meskipun sedikit- dari Al Qur'an Al Karim. Dalam hal ini dia dianggap
kafir. Demikian juga tidak diterima dari seorang Muslim untuk menolak hukum
qath'i mana pun yang permanen dari hukum-hukum syari'at, sesuatu yang telah
diketahui secara pasti dari agama ini. Penolakannya terhadap hal ini juga
termasuk kafir terhadap Islam dan mengeluarkan dirinya dari millah (agama) ini
serta terisolir dari ummat. Dia berhak untuk dihukumi murtad, karena dia telah
bersikap lancang dan sok tahu di hadapan Allah SWT dan menuduh kepada Allah
sebagai kekurangan ilmu, kebijaksanaan dan krisis dari rahmat-Nya, Maha Suci
Allah terhadap apa yang mereka katakan dan Maha Tinggi Dia.
Keempat, Sesungguhnya negara-negara Islam yang ada berbeda-beda, dengan
perbedaan yang jauh dalam menyikapi hukum Islam.
Ada di antara mereka yang komit untuk berhukum pada syari'at Islam dari
segi mabda' (prinsip), meskipun ada yang banyak atau sedikit dari sisi
penerapan (aplikasi).
Ada juga di antara mereka yang berupaya mengambil hukum negaranya dari
sumber syari'at Islam dan fiqihnya yang luas, tetapi hukum pidananya masih
kebarat-baratan.
Ada lagi yang berani melawan (melanggar) hukum-hukum kerumahtanggaan
atau"AI Ahwal Asy-Syakhshiyah." Sampai-sampai ada negara Arab
memperbolehkan zina dan tidak diberi sanksi, selama saling suka sama suka. Di
saat yang sama pernikahan malah di anggap suatu perbuatan dosa yang harus di
beri sanksi.
Inilah yang membuat salah seorang yang cerdik di negara itu di sebelah
utara Afrika. Ia telah menikah dengan isteri kedua dengan pernikahan yang sah
secara syar'i, tetapi menjadi tidak dikuatkan oleh undang-undang secara wajar,
ketika dilacak di rumah isterinya itu dia mengatakan, "Sesungguhnya ia
pacarku. Akhirnya mereka memisahkan dengan menyesal, karena mereka mengira itu
isterinya!"
Negara tersebut telah menyerahkan perceraian itu di tangan wanita, dan
merubah sanksi hukuman dalam masalah orang yang mendapatkan isterinya
berkhianat kepadanya di rumahnya, ternyata bersama laki-laki lain di kamar
tidurnya, sehingga membuatnya cemburu dan membunuhnya. Maka ia kemudian dihukum
lima tahun sesuai dengan kondisinya, lalu diubah menjadi hukuman mati. (Ini yang
terjadi di Tunis, Radio London, bulan Juli 1993).
BERHUKUM KEPADA SYARI'AT ITU MEMBUKTIKAN ASHALAH DAN KEBEBASAN KITA
<<
Kembali ke Daftar Isi >>
Apabila hukum (syari'at) menurut kita, kaum Muslimin, merupakan satu bagian
yang tak terpisahkan dari agama kita, maka tidak sempurna keimanan kita kecuali
dengan berhukum dengannya dan melaksanakan hukum tersebut dan tidak ada
alternatif selain itu bagi kita. Apalagi setelah kita beriltizam kepada Islam
dan rela untuk menjadikan Islam sebagai dien, syari'at dan pedoman hidup. Allah
SWT berfirman:
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata." (Al Ahzab: 36)
Sesungguhnya berhukum pada syari'at itu terkait erat dengan ashalah
(keaslian identitas) kita dan kebangsaan kita. Sedangkan hukum positif yang
sekarang kita pakai di negara-negara Arab dan Islam adalah hukum asing yang
diadopsi ke tengah-tengah kita. Dia tidak akan pernah bisa tumbuh di bumi kita,
karena bukan diambil dari aqidah dan nilai-nilai dasar kehidupan kita. Dia
bukan tradisi yang benar-benar bisa diterima oleh masyarakat kita. Oleh karena
hukum tersebut telah menghalalkan apa yang kita yakini sebagai sesuatu yang
haram dan telah menggugurkan apa yang kita anggap wajib.
Kembali pada hukum syari'at berarti membebaskan diri dari sisa penjajahan
di dalam bidang perundang-undangan dan kembali pada sumber kita yang asli yang
kita jadikan sebagai sumber rujukan. Di dalamnya kita dapatkan hidayah
(petunjuk) Allah dan keaslian warisan pendahulu kita yang sesuai dengan
kepribadian dan aspirasi kita. Yang rnenampilkan hakikat arah tujuan kita serta
yang merealisasikan tujuan dan hajat kita.
Masuknya hukum positif ke negeri kita hampir sama dengan masuknya bangsa
Yahudi ke tanah Palestina. Semula mereka masuk secara pelan-pelan dan rahasia,
lalu merampas secara pelan-pelan dan rahasia, tetapi kemudian berakhir dengan
merampas secara terang-terangan.
Sesungguhnya siapa yang membaca bagaimana hukum positif itu masuk ke negara
seperti Mesir yang mendahului yang lainnya dalam hal ini akan mendapatkan
contoh keanehan yang nyata. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi dengan mudah
sehingga menimbulkan murka Allah yang Halim. Undang-undang itu dibuat hanya
oleh seorang yang wawasan ilmiahnya atau profesinya tidak sampai tingkatan
menengah, dia adalah seorang pengacara dari Armenia. Dia selesaikan
undang-undang tersebut dalam waktu yang sangat singkat, cukup untuk membuat
buku kecil sekali.
Bahkan sebenarnya ia tidak membuat hukum, sebab seluruhnya dikutip secara
harfiyah dari sana-sini. Sebagaimana di katakan oleh "Ustadz" Musena
salah seorang penasehat hukum dari Italy di berbagai Mahkamah di Mesir. Dikatakannya
bahwa apa yang disebut sebagai hukum itu hanyalah rangkuman dari sana sini
tanpa memperhatikan prinsip-prinsip peletakan (pembuatan) hukum sesuai dengan
keperluan masyarakat dan kemaslahatannya.
Musena juga mengatakan, "Sesungguhnya Syabah, kepala madrasah
tarikhiyah "Savini," sungguh bergetar tubuhnya karena membayangkan
transfer atas hutang ummat akan syari'at untuk mengatur kehidupannya."
Hukum itu didatangkan atau dipinjam dari orang lain yang sebenarnya ummat
tidak membutuhkannya. Juga tanpa ada permintaan dari masyarakat. Ummat pun
tidak diajak bermusyawarah. Seakan-akan ini semua tidak ada kaitannya dengan
kehidupan ummat, sehingga tidak dipandang perlu mendengarkan aspirasi mereka..
Hukum itu tidak akan pernah masuk atau tidak akan pernah diberlakukan
seandainya saja penjajah tidak memasukkannya dan mensosialikan secara paksa
dengan ketajaman tombaknya.
Saat ini bangsa Arab dan ummat Islam menuntut kebebasan dan kemerdekaan untuk
kembali kepada hukum syari'atnya sendiri. Ini merupakan sesuatu yang juga
diserukan oleh para pakar atau ahli hukum positif itu sendiri yaitu bagi mereka
yang memiliki kesempatan untuk mempelajari fiqih syari'ah dan menelaah sebagian
sumber khasanah Islam.
Di antara mereka adalah ahli hukum dari Arab Dr: Abdur Razzaq As Sanhuri
yang telah mengumumkan kesempurnaan nilai fiqih Islam dan orisinalitasnya serta
kemampuannya dalam mengatur kehidupan di dalam buku dan ceramah-ceramahnya. Terutama
pada masa-masa terakhir dari usianya, yaitu setelah beliau mendalami berbagai
sumber referensi fiqih, kemudian beliau menulis sebuah kitab yang populer
yaitu, "Mashadirul haq fil fiqhil islami."
Dalam sebuah ceramah yang teksnya diedarkan oleh surat kabar "Al
Ahram" pada tgl: 1/1/1937, beliau berkata, "Sesungguhnya aku
menyarankan kepada kalian untuk mendapatkan di dalam simpanan syari'ah
Islamiyah, yaitu berupa dasar-dasar dan teori-teori yang sangat bernilai dan
sangat kuat di mana ia merupakan dasar-dasar teori terbaru dan paling maju
dalam fiqih Internasional."
SYARI'AT DALAM ARTI YANG LUAS BUKANLAH MADZHAB TERTENTU
<< Kembali ke Daftar Isi >>
Sesungguhnya hukum Islam yang dicita-citakan itu bukan berarti fiqih salah
satu madzhab pada masa tertentu, tetapi yang di maksud di sini adalah kaidah-kaidah
dan hukum-hukum yang pokok yang telah ditetapkan oleh Al Qur'an dan Sunnah, dan
hidup di bawah naungan fiqih yang subur sejak masa sahabat, kemudian generasi
setelahnya yang dicatat oleh kitab-kitab madzahib yang beraneka ragam dan
kitab-kitab hadits serta fiqih perbandingan madzhab.
Kekayaan khasanah yang besar ini dari berbagai ijtihad merupakan asas yang
kuat yang tidak boleh direndahkan dan tidak boleh dilupakan bagi ijtihad modern
mana pun. Tidak bisa diterima bahwa harus berijtthad lagi mulai dari nol, tanpa
menyandarkan yang baru kepada yang lama. Akan tetapi rincian-rincian fiqih ini
tidak menjadi keharusan bagi kita kecuali berdasarkan dalil-dalil syar'i yang
kuat, baik secara nash atau kaidah.
Di antara kaidah yang ditetapkan yang tidak ada khilaf --minimal dari segi
teori--adalah, sesungguhnya fatwa itu bisa berubah sesuai dengan perubahan
zaman, tempat, keadaan dan kebiasaan. Sebagaimana hal ini ditegaskan oleh
sejumlah dari muhaqqiqin dari ulama madzahib yang diikuti, seperti Al Qarafi,
Ibnul Qayyim, dan Ibnu 'Abidin 14).
Kaidah tersebut pada dasarnya adalah Al Qur'an, Sunnah, petunjuk sahabat
dan amalan ulama salaf dan banyak diterapkan pada masa kita sekarang ini. Seperti
masalah batas maksimal masa hamil yang diperselisihkan ulama dalam hal ini. Ada
sebagian mereka yang mengatakan sampai empat tahun, bahkan lima tahun, bahkan
ada yang tujuh tahun, demikian itu karena mereka tidak mengerti "hamil
bohong" yang seakan-akan benar-benar hamil.
Karena itulah maka tidak boleh kita membatasi diri kita untuk beriltizam
kepada satu madzhab dalam setiap permasalahan. Karena boleh jadi madzhab
tersebut lemah alasannya dalam sebagian permasalahan atau tidak bisa mewujudkan
tujuan syari 'at dan kemaslahatan manusia, maka tidak dosa bagi kita untuk
meninggalkan madzhab seperti itu untuk beralih pada madzhab-madzhab yang lain. Karena
syari'at Islam itu sangat luas, seperti masalah wajibnya janji, jual beli
murabahah (membagi laba) zakatnya sesuatu yang keluar dari bumi, zakatnya harta
yang dimanfaatkan, sumpah dalam talak, talaknya orang mabuk dan marah, talak
tiga kali dengan satu kata, batas maksimal orang hamil dan sebagainya.
14) Al
Qurafi dalam Kirab Al Ihkam, Ibnu Qayyim dalam I'lam Al Mauqi'in. Ibnu Abidin dalam Risalah Nasyral
'Urf.
Post a Comment