SYUMULIYAH ISLAM
SYUMULIYAH ISLAM
(Kemenyuluruhan Islam)
PENGERTIAN ISLAM
Pertanyaan ini menjadi penting untuk dijawab bukan saja untuk
meluruskan berbagai pemahaman tentang Islam yang selama ini salah, keliru atau
kurang sempurna, tapi juga untuk membangun komitmen ke-Islaman yang lebih utuh
dalam kehidupan sehari-hari kita. Yang terjadi selama ini bukan saja adanya
kesenjangan antara pemahaman Islam generasi sekarang dengan pemahaman generasi sahabat Rasulullah
saw tentang Islam, tapi juga ada kesenjangan antara Islam yang kita yakini
sebagai “agama atau jalan hidup” dengan perilaku sehari-hari kita sebagai
“kenyataan hidup.”
Dari akar katanya dalam bahasa Arab, Islam mempunyai arti-arti
berikut: ketundukan, penyerahan diri, keselamatan, kedamaian, kesejahteraan. Makna
ketundukan dan penyerahan diri kita temukan, misalnya, dalam ayat ini:
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain
dari agama Allah, padahal kepada-Nyalah tunduk
(menyerahkan diri) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka
maupun terpaksa dan hanya kepada Allah lah mereka dikembalikan.” (QS: 3: 83)
Makna keselamatan kita temukan, misalnya,
dalam ayat ini :
“….Dengan kitab itulah Allah menunjuki
orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan
kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari kegelapan menuju cahaya
yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang
lurus.” (QS: 5: 15-16)
Makna kedamaian kita temukan, misalnya, dalam
ayat ini :
“Dan jika mereka condong
kepada perdamaian, maka condonglah
kepadanya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” (QS: 8: 61)
Makna kesejahteraan kita temukan, misalnya,
dalam ayat ini:
“Doa
mereka di dalamnya ialah: “Subhanakallahumma” (Maha Suci Allah yang telah
menciptakan semua itu tidak dengan percuma, melainkan dengan penuh hikmah), dan
salam penghormatan mereka ialah: “Salam” (kesejahteraan
dan kesentosaan). Doa penutup mereka ialah “Alhamdulillahi Rabbil
‘Alamin”(segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam).” (QS: 10: 10).
Ber-Islam, dengan begitu,
berarti menundukkan dan menyerahkan diri sepenuh-penuhnya, secara mutlak,
kepada Allah swt untuk diatur sesuai dengan kehendak-Nya. Dan kehendak-kehendak
Allah swt itu tertuang secara utuh dalam agama yang Ia turunkan kepada umat
manusia, sebagai petunjuk abadi dalam menjalani kehidupan mereka di muka bumi,
melalui perantara seorang Rasul, Muhammad saw, yang kemudian Ia beri nama
“Islam.”
Asas ketundukan dan penyerahan diri itu adalah pengakuan yang tulus
dari lubuk hati bahwa kita dan seluruh alam semesta adalah ciptaan Allah swt.
Karena itu Allah swt berhak mengatur segenap ciptaan-Nya sesuai dengan
kehendak-Nya. Selanjutnya Allah swt menjelaskan kehendak-kehendak-Nya dalam dua
bentuk:
Pertama, kehendak Allah swt yang bersifat pasti, mutlak dan mengikat seluruh
ciptaan-Nya, baik manusia maupun alam. Inilah yang kemudian kita sebut dengan
“Sunnah Kauniyah.” Dalam pengertian ini, maka seluruh makhluk di jagad ini
telah menyatakan ketundukan dan penyerahan dirinya (ber-Islam) kepada Allah
swt. Perhatikan firman Allah swt berikut ini :
“Apakah kamu tiada
mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi,
matahari, bulan, bintang-bintang, pohon-pohon, binatang-binatang melata dan
sebagian besar dari pada manusia? Dan banyak diantara manusia yang telah
ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak
seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia
kehendaki.” (QS: 22: 18),
Kedua, kehendak Allah swt yang bersifat pilihan, berupa aturan-aturan dan
pranata sistim bagi kehidupan manusia. Inilah yang kemudian kita sebut “Syariat
atau Agama.” Inilah yang dimaksud Allah swt dalam firman-Nya :
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan)
dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti
hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS: 45:18)
Manusia dan alam tidak bisa melepaskan diri dari kodrat sebagai
ciptaan. Karena itu setiap penolakan terhadap kehendak-kehendak Allah swt, baik
yang “kauniyah” maupun yang “syar’iyah”, selalu berarti pembangkangan terhadap
Sang Pencipta, penyimpangan dari garis kebenaran, isolasi dan benturan dengan
alam. Ujung dari pembangkangan itu adalah bahwa manusia selamanya akan tertolak
oleh Allah, alam semesta dan disharmoni
dalam hubungan antar sesama manusia. Simaklah bagaimana Allah menolak mereka:
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi.” (QS: 3: 85)
Sekarang
simaklah bagaimana alam mengisolasi mereka :
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.” (QS: 7: 96)
“Barangsiapa yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain, maka
adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau
diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS: 22: 31)
Akan tetapi, apabila kehendak-kehendak Allah swt yang diturunkan
dalam bentuk syariat atau aturan dan pranata sistim bagi kehidupan manusia,
maka itu berarti bahwa Islam – yang kemudian menjadi nama bagi syariat tersebut
– adalah jalan hidup, atau suatu sistim yang diturunkan Allah agar manusia
menata kehidupannya dengan sistim itu.
Jadi, Islam bukan hanya ritual-ritual belaka yang kita lakukan
sebagai sebentuk ketundukan kepada Allah swt. Islam jauh lebih luas dari
sekedar ritual belaka. Islam adalah sistim kehidupan yang lengkap dan paripurna
serta bersifat unversal. Ia mengatur kehidupan kita sejak kita bangun dari tidur
sampai kita tidur kembali. Ia menata kehidupan kita sebagai individu dan
masyarakat. Menata ibadah kita seperti ia menata ekonomi dan politik kita. Ia
menata hukum kita seperti ia menata kehidupan social budaya kita. Ia adalah
Qur’an dan pedang, masjid dan pasar, agama dan negara, iman dan ilmu, ibadah
dan seni.
Allah S.W.T sebagai pencipta manusia, maka Dia pulalah yang paling
mengetahui apa yang dibutuhkan manusia untuk membuat kehidupannya menjadi lebih
baik. Maka hak prerogatif Allah untuk mengatur manusia (Hakimiyyatullah) bukan
saja datang kodrat-Nya sebagai Pencipta, tapi juga pengetahuan dan
keadilan-Nya. Dan karena itu pula, penyerahan diri kita kepada-Nya bukan lahir
dari pengakuan akan kepenciptaan-Nya, tapi lahir dari pengetahuan kita tentang
pengetahuan dan keadilan-Nya serta ungkapan rasa syukur atas karunia
terbesar-Nya, yaitu agama Islam.
“Sesungguhnya
Al-Qur’an ini memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus” (QS: 17: 9)
“Dan barangsiapa yang
mengikuti petunjuk-Ku, niscaya ia akan terbebas dari rasa takut dan tiada pula
mereka akan bersedih.” (QS: 2: 38)
“Dan berbuat baiklah
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (QS: 28: 77).
KARAKTERISTIK ISLAM
Sebagai sebuah sistim, Islam mempunyai karakteristik yang membedakannya
dengan sistim-sistim yang lain. Karakteristik adalah ciri-ciri umum yang
menjadi bingkai dari keseluruhan ajaran Islam. Cara pandang Islam terhadap
berbagai permasalahan eksistensial seperti Tuhan, alam, manusia dan kehidupan,
serta interpretasinya terhadap berbagai peristiwa selamanya akan berada dalam
bingkai ciri-ciri umum tersebut. Karakteristik ini pula yang kemudian menjadi
letak keunggulan Islam terhadap
sistim-sistim lainnya. Ciri-ciri umum tersebut adalah rabbaniyah, syumuliyah, insaniyah, tsabat, tawazun, waqi’iyyah,
ijabiyyah.
Rabbaniyyah
Rabbaniyyah adalah nisbat kepada kata Rabb yang berarti Tuhan.
Artinya Islam ini adalah agama atau jalan hidup yang bersumber dari Tuhan. Ia
bukan kreasi manusia,juga bukan kreasi nabi yang membawanya. Maka Islam adalah
jalan Tuhan. Tugas para nabi adalah menerima, memahami dan menyampaikan ajaran
itu kepada umat manusia :
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan
itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS: 5: 67)
Sumber ajaran merupakan titik perbedaan paling signifikan antara berbagai
ideologi. Sumber ajaran Islam adalah Allah swt, Tuhan semesta alam, Tuhan yang
menciptakan manusia dan yang paling mengetahui hakikat manusia serta apa saja
yang dibutuhkannya; kebutuhan fisik, ruh dan akalnya. Ia adalah sumber yang
terpercaya yang memiliki semua hak dan kelayakan untuk mengatur manusia.
Kekuatan sumber itu melahirkan rasa aman
untuk menerima kebenaran dan menghilangkan keraguan. Ia bukan saja mambawa
kebenaran mutlak, tapi juga terjaga validitasnya sepanjang masa.
“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka
janganlah kamu menjadi ragu (menerimanya).” (QS: 2:147 ).
Semua ideologi lain memiliki kelemahan
mendasar karena sumbernya adalah manusia yang tidak pernah bisa membebaskan
diri dari hawa nafsu, katerbatasan, kelemahan dan ketidakberdayaan. Ideologi
manusia tidak pernah sanggup melampaui hambatan ruang dan waktu dan dengan
mudah menjadi usang dan dibuang ke ruang masa lalu oleh ketidaksesuaian.
Syumuliyyah
Artinya ajaran ini mencakup seluruh dimensi
kehidupan manusia; dari pribadi, keluarga, masyarakat hingga negara; dari
sosial, ekonomi, politik, hukum, keamanan, lingkungan, pendidikan hingga kebudayaan; dari etnis Arab ke Parsi hingga
seluruh etnis manusia, dari kepercayaan, sistim hingga akhlak; dari Adam hingga
manusia terakhir; dari sejak kita bangun tidur hingga kita tidur kembali; dari
kehidupan dunia hingga kehidupan akhirat. Jadi kecakupan Islam dapat kita dari
beberapa dimensi; yaitu dimensi waktu,
dimensi demografis, dimensi geografis dan dimensi kehidupan.
Yang dimaksud dengan dimensi waktu adalah
bahwa Islam telah diturunkan Allah swt sejak Nabi Adam hingga mata rantai
kenabian ditutup pada masa Rasulullah Muhammad saw. Dan Islam bukan agama yang
hanya diturunkan untuk masa hidup Rasulullah saw, tapi untuk masa hidup seluruh
umat manusia di muka bumi :
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang
rosul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa rosul. Apakah jika dia wafat
atau dibunuh kamu berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan
mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur. (QS: 3: 144)
Yang dimaksud dengan dimensi demografis adalah
bahwa Islam diturunkan untuk seluruh umat manusia dengan seluruh etnisnya, dan
bahwa mereka semua sama di mata Allah swt sebagai ciptaan-Nya dan dibedakan
satu sama lain karena asas ketakwaan :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS: 49: 13)
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan
kepada seluruh umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan
sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS:
34: 28)
Yang dimaksud dengan dimensi geografis adalah bahwa
ajaran Islam diturunkan untuk diterapkan di seluruh penjuru bumi. Maka Islam
tidak dapat diidentikkan dengan kawasan Arab (Arabisme), karena itu hanya
tempat lahirnya. Islam tidak mengenal sekat-sekat tanah air, sama seperti ia
tidak mengenal batasan-batasan etnis.
“Ingatlah
ketika Tuhamu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan darah, padahal kami, senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau
dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman; ”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui.” (QS: 2: 30)
“Al-Qur’an itu
tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) Bagi siapa di antara
kamu yang mau menempuh jalan yang lurus”. (QS: 81: 27-28)
“Dan tiadalah
Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam”. (QS: 21: 107)
Yang dimaksud dengan dimensi kehidupan adalah bahwa
Islam membawa ajaran-ajaran yang terkait dengan seluruh dimensi kehidupan
manusia; sosial, ekonomi, politik, hukum, keamanan, pendidikan, lingkungan dan
kebudayaan. Itulah sebabnya Allah swt menyuruh berislam secara kaffah, atau
berislam dalam semua dimensi kehidupan kita.
”Hai
orang-orang yang berirman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya,
dan jangankah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya Syetan itu
adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS: 2: 208)
Ini pula yang dimaksud Allah swt bahwa Ia telah
menyempurnakan agama ini dan karena itu meridhoinya sebagai agama terbaik bagi
umat manusia :
“Hari ini telah Ku-sempurnakan
bagimu agamamu, dan Ku-sempurnakan nikmat-Ku terhadapmu, dan Kuridhai Islam
sebagai agamamu.” (QS: 5: 3)
Insaniyyah
Artinya bahwa ajaran Islam mendudukan manusia pada
posisi kunci dalam struktur kehidupan ini. Manusia adalah pelaku yang diberi
tanggungjawab dan wewenang untuk mengimplementasikan kehendak-kehendak Allah
swt dimuka bumi (khalifah). Maka Allah swt memberi penghormatan tertinggi
kepada manusia dalam firman-Nya :
“Dan
sesunguhnya kami telah muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.” (QS: 17: 70)
Selanjutnya
Allah swt menyusun ajaran-ajaran Islam sedemikian rupa sesuai dengan fitrah
dasar manusia :
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas ) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. ( QS: 30:30)
Islam datang untuk membebaskan umat manusia dari
perbudakan sesama manusia. Di hadapan Rustum menjelang Perang Qadisiyah, Rub’i
bin ‘Amir menjelaskan misi itu ketika beliau berkata: “Kami datang untuk membebaskan
manusia dari penghambaan kepada manusia yang lain.”
Hak asasi manusia - dalam semua bentuknya -
merupakan bagian paling inheren dalam keseluruhan ajaran-ajaran Islam. Hak-hak
asasi itu merupakan seperangkat kondisi dan wilayah kewenangan yang mutlak
dibutuhkan manusia untuk menjalankan misinya dalam kehidupan ini. “Sejak kapan
kamu memperbudak manusia, padahal ibu-ibu mereka telah melahirkan mereka dalam
keadaan bebas?”, kata Umar Bin Khattab kepada ‘Amru Bin ‘Ash saat puteranya menampar wajah
seorang warga Qibthy (Kristen).
Tsabat dan Tathawwur
Tsabat artinya permanen, sedang Tathawwur artinya
pertumbuhan. Ciri permanensi adalah turunan dari ciri Rabbaniyyah. Maksudnya
adalah bahwa Islam membawa ajaran yang berisi hakikat-hakikat besar yang
bersifat tetap dan permanen dan tidak akan pernah berubah dalam semua ruang dan
waktu. Hakikat-hakikat itu melampaui batas-batas ruang dan waktu serta bersifat
abadi.
Seperti hakikat abadi tentang wujud dan keesaan
Allah, hakikat penyembahan kepada Allah, hakikat alam sebagai ciptaan dan wadah
fisik bagi kehidupan kita, hakikat manusia sebagai makhluk yang paling
terhormat karena misi khilafahnya, hakikat iman kepada Allah, malaikat, rasul,
kitab suci dan takdir baik dan buruk serta hari akhirat adalah syarat
diterimanya semua amal manusia, hakikat ibadah sebagai tujuan hidup manusia,
hakikat aqidah sebagai ikatan komunitas Muslim, hakikat dunia sebagai tempat ujian, hakikat Islam sebagai
agama satu-satunya yang diterima Allah.
Semua hakikat itu bersifat abadi dan permanen dan
tidak berubah karena faktor ruang dan waktu. Hakikat-hakikat dasar dan
nilai-nilai itu bukan saja tidak dapat berubah, tapi juga tidak mungkin
bertumbuh; sebagaimana realitas dan pola-pola kehidupan manusia terus berubah
dan bertumbuh.
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas ) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. (QS: 30:30).
Itu sama sekali tidak berarti bahwa Islam mengebiri dan membekukan
gerakan pemikiran dan kehidupan secara keseluruhan. Yang dilakukan Islam
hanyalah memberi bingkai (frame of
reference) di dalam mana pemikiran dan kehidupan manusia bergerak dan
bertumbuh. Dalam bingkai itulah kaum Muslimin bergerak dan berkreasi,
menghadapi tantangan perubahan hidup secara pasti dan elastis, bermetamorfosis
secara teratur dan terarah, bertumbuh secara dinamis dan terkendali.
“Andai kata kebenaran itu
menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang
ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan
tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (QS: 23: 71)
Tawazun
Artinya keseimbangan. Ajaran-ajaran Islam seluruhnya
seimbang dan memberi porsi kepada seluruh aspek kehidupan manusia secara
proporsional. Tidak ada yang berlebihan atau kekurangan, tidak ada perhatian
yang ekstrim terhadap satu aspek dengan mengorbankan aspek yang lain. Karena
semua aspek itu adalah satu kesatuan dan menjalankan fungsi yang sama dalam
struktur kehidupan manusia.
Ada keseimbangan antara bagian-bagian yang bersifat
fisik (zahir) dan metafisik (gaib) dalam keimanan. Ada keseimbangan antara
kecondongan kepada materialisme dan spiritualisme dalam kehidupan. Ada
keseimbangan antara aspek ketegasan hukum dan persuasi moral dalam bernegara.
Ada keseimbangan antara Sunnah Kauniyah yang eksak dan pasti dengan kehendak
Allah yang tetap bebas dan tidak terbatas (seperti dalam kasus istri nabi
Ibrahim yang melahirkan di usia yang sangat tua, atau Maryam yang melahirkan
tanpa proses biologis normal, atau pendinginan api bagi Ibrahim dan lainnya,
semua ini tanpa harus mengganggu kepastian gerak alam yang dapat diobservasi
oleh manusia secara empiris). Ada keseimbangan antara ibadah yang bersifat
mahdhah (khusus) dengan ibadah dengan wilayah yang luas.
“Dan segala sesuatunya Kami ciptakan dengan
kadarnya masing-masing.” (QS
54:49)
“Engkau takkan penah menemukan pada ciptaan
Allah Yang Maha Pengasih sesuatu yang tidak seimbang.” (QS: 67: 3).
Ciri keseimbangan ini telah memproteksi Islam dari
keterpecahan dan dikhotomi yang selalu ada dalam ideologi lainnya. Ada
spiritualisme yang ekstrim dalam gereja di abad pertengahan, tapi juga ada
materialisme yang ekstrim pada kaum sekuler. Ada porsi kelompok yang berlebihan
dan sosialisme, tapi juga ada porsi individu yang ekstrim dalam kapitalisme
liberal. Ini menciptakan pertentangan-pertentangan dalam struktur ideologi dan
senantiasa mewariskan kegoncangan psikologis akibat ketidakutuhan dalam diri
pada pemeluknya.
Waqi’iyyah
Artinya realisme. Islam diturunkan untuk
berinteraksi dengan realitas-realitas obyektif yang nyata-nyata ada sebagaimana
ia adanya. Selain itu ajaran-ajarannya didesign sedemikian rupa yang
memungkinkannya diterapkan secara nyata dalam kehidupan manusia. Ia bukan
nilai-nilai ideal yang enak dibaca tapi tidak dapat diterapkan. Ia merupakan
idealisme yang realistis, tapi juga realisme yang idealis.
Tuhan adalah realitas obyektif yang benar-benar wujud dan wujud-Nya diketahui melalui ciptaan-Nya
dan kehendak-Nya diketahui melalui gerakan alam. Alam dan manusia juga realitas
obyektif.
“Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji
buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang
mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikianlah ialah Allah, maka
mengapa kamu masih berpaling. Dia
menyingsingkan pagi dan manjadikan
malam untuk beristirahat, dan
(menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang
Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS: 6: 95-96)
Tapi konsep Islam juga didesign sesuai dengan realitas obyektif
manusia, kondisi ruang dan waktu yang melingkupinya, hambatan internal dan
eksternalnya, potensi ril yang dimiliki manusia untuk menjalani hidup. Islam
memandang manusia dengan segala kekuatan dan kelemahannya; dengan ruh, akal dan
fisiknya; dengan harapan-harapan dan ketakutannya; dengan mimpi dan
keterbatasannya. Lalu berdasarkan itu semua Islam menyusun konsep hidup ideal
yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata manusia dengan segenap
potensi yang dimilikinya. Islam bukan idealisme yang tidak mempunyai akar dalam
kenyataan.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya….”.(QS: 2: 286.)
Ijabiyyah
Artinya sikap positif dalam menjalani kehidupan sebagai lawan dari
pesimisme dan fatalisme. Keimanan bukanlah sesuatu yang beku dan kering yang
tidak sanggup menggerakkan manusia. Keimanan adalah sumber tenaga jiwa yang
mendorong manusia untuk merealisasikan kebaikan dan kehendak Allah dalam
kehidupan ril. Islam memandang bahwa keimanan yang tidak dapat mendorong
manusia untuk bekerja mengeksplorasi potensi alam dan potensi dirinya untuk
menciptakan kehidupan yang lebih baik, adalah keimanan yang negatif dan fatal.
Itulah sebabnya Islam memberi penghargaan besar kepada kerja sebagai
bukti sikap positif dan dinamika dalam mengelola kehidupannya. Allah swt
berfirman:
“Katakanlah:
“Bekerjalah kamu! Nanti Allah akan menyaksikan pekerjaanmu bersama Rasul-Nya
dan orang-orang yang beriman.” (QS: 9:105 ).
Bacaan yang dianjurkan :
1.
Dasar-dasar Islam; Abul A’la Al Maududi
2.
Petunjuk Jalan; Sayyid Qutb
3.
Al Islam; Said Hawwa
4.
Karakteristik Islam; DR. Yusuf Al Qardhawi
5.
Salah Paham Terhadap Islam; Muhammad Qutb
6.
Komitmen Muslim; DR. Fathi Yakan
7.
Benarkah Kita Muslim; Muhammad Qutb
8.
Prinsip-prinsip Islam Untuk Kehidupan; DR. Abdullah Al Muslih
9.
La Ilaha Illallah Sebagai Aqidah, Syariah dan Sistim Kehidupan; Muhamad
Qutb
10.
Al Ubudiyah; Ibnu Taimiyah
Post a Comment