Batas Perkenan Ghibah
Batas Perkenan Ghibah
Seluruh nas ini menunjukkan kesucian kehormatan pribadi manusia dalam
Islam. Akan tetapi ada beberapa hal yang oleh ulama-ulama Islam dikecualikan,
tidak termasuk ghibah yang diharamkan. Tetapi hanya berlaku di saat darurat.
Diantara yang dikecualikan, yaitu seorang yang dianiaya melaporkan halnya
orang yang menganiaya, kemudian dia menyebutkan kejahatan yang dilakukannya. Dalam
hal ini Islam memberikan rukhshah untuk mengadukannya.
Firman Allah:
"Allah tidak suka kepada perkataan jelek yang diperdengarkan, kecuali
(dari) orang yang teraniaya, dan adalah Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui."
(an-Nisa': 148)
Kadang-kadang ada seseorang bertanya tentang pribadi orang lain karena ada
maksud mengadakan hubungan dagang, atau akan mengawinkan anak gadisnya atau
untuk menyerahkan suatu urusan yang sangat penting kepadanya.
Di sini ada suatu kontradiksi antara suatu keharusan untuk mengikhlaskan
diri kepada agama, dan kewajiban melindungi kehormatan orang yang tidak di
hadapannya. Akan tetapi kewajiban pertama justru lebih penting dan suci. Untuk
itu kewajiban pertama harus didahulukan daripada kewajiban kedua.
Dalam sebuah kisah dituturkan, bahwa Fatimah binti Qais pernah menyampaikan
kepada Nabi tentang maksud dua orang yang akan meminangnya. Maka jawab Nabi
kepadanya: "Sesungguhnya dia (yang pertama) sangat miskin tidak mempunyai
uang, dan Nabi menerangkan tentang yang kedua, bahwa dia itu tidak mau
meletakkan tongkatnya dari pundaknya, yakni: dia sering memukul
perempuan."
Dan termasuk yang dikecualikan juga yaitu: karena bertanya, minta tolong
untuk mengubah suatu kemungkaran terhadap seseorang yang mempunyai nama, gelar
atau sifat yang tidak baik tetapi dia hanya dikenal dengan nama-nama tersebut. Misalnya:
A'raj (pincang), A'masy (rabun) dan anak si Anu.
Definisi umum tentang bentuk-bentuk pengecualian ini ada dua:
1.
Karena
ada suatu kepentingan.
2.
Karena
suatu niat.
1. Karena suatu kepentingan
Jadi kalau tidak ada
kepentingan yang mengharuskan membicarakan seorang yang tidak hadir dengan
sesuatu yang tidak disukainya, maka tidak boleh memasuki daerah larangan ini.
Dan jika kepentingan itu dapat ditempuh dengan sindiran, maka tidak boleh
berterang-terangan atau menyampaikan secara terbuka. Dalam hal ini tidak boleh
memakai takhshish (pengecualian) tersebut.
Misalnya seorang yang
sedang minta pendapat apabila memungkinkan untuk mengatakan: "bagaimana
pendapatmu tentang seseorang yang berbuat begini dan begini," maka dia
tidak boleh mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang si Anu bin si
Anu."
Semua ini dengan syarat
tidak akan membicarakan sesuatu di luar apa yang ada. Kalau tidak, berarti
suatu dosa dan haram.
2. Karena suatu niat
Adanya suatu niat di
balik ini semua, merupakan suatu pemisahan. Sebab pribadi manusia itu sendiri
yang lebih mengetahui dorongan hatinya daripada orang lain. Maka niatlah yang
dapat membedakan antara perbuatan zalim dan mengobati, antara minta pendapat
dengan menyiar-nyiarkan, antara ghibah dengan mengoreksi dan antara nasehat
dengan memasyhurkan. Sedang seorang mu'min, seperti dikatakan oleh suatu
pendapat, adalah yang lebih berhak untuk melindungi dirinya daripada raja yang
kejam dan kawan yang bakhil.
Hukum Islam menetapkan, bahwa seorang pendengar adalah rekan pengumpat. Oleh
karena itu dia harus menolong saudaranya yang di umpat itu dan berkewajiban
menjauhkannya. Seperti yang diungkapkan oleh hadis Rasulullah sa,w.:
"Barangsiapa menjauhkan seseorang dari mengumpat diri saudaranya, maka
adalah suatu kepastian dari Allah, bahwa Allah akan membebaskan dia dari
Neraka." (Riwayat Ahmad dengan sanad hasan)
"Barangsiapa menghalang-halangi seseorang dari mengumpat harga diri
saudaranya, maka Allah akan menghalang-halangi dirinya dari api neraka, kelak
di hari kiamat." (Riwayat Tarmizi dengan sanad hasan)
Barangsiapa tidak mempunyai keinginan ini dan tidak mampu
menghalang-halangi mulut-mulut yang suka menyerang kehormatan saudaranya itu,
maka kewajiban yang paling minim, yaitu dia harus meninggalkan tempat tersebut
dan membelokkan kaum tersebut, sehingga mereka masuk ke dalam pembicaraan lain.
Kalau tidak, maka yang tepat dia dapat dikategorikan dengan firman Allah:
"Sesungguhnya kamu, kalau demikian adalah sama dengan mereka" (an-Nisa': 140)
Post a Comment