Ibrah dari Kisah “Nabi Musa ‘Alaihissalam Menerima Taurat
Ibrah dari Kisah “Nabi Musa ‘Alaihissalam
Menerima Taurat
Segala puji hanya untuk Allah
Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta
keluarga dan seluruh sahabatnya.
Menuju Bukit Thursina
Setelah
Allah Subhanahu wata’ala
menyempurnakan nikmat -Nya kepada bani Israil dengan menyelamatkan mereka dari
musuh mereka dan memberi kekuasaan kepada mereka, Allah Subhanahu wata’ala hendak melengkapi
kenikmatan tersebut dengan menurunkan sebuah kitab yang berisi hukum-hukum
syariat dan keyakinan yang diridhai.
Allah Subhanahu wata’ala pun menjanjikan
kepada Nabi Musa ’Alaihissalam
tiga puluh malam dan menggenapinya menjadi empat puluh malam. Semua itu agar
Nabi Musa ‘Alaihissalam menyiapkan diri untuk menerima janji Allah Subhanahu wata’ala dan supaya turunnya
kitab itu menimbulkan kesan dan kerinduan yang luar biasa dalam hati mereka.
Sebelum berangkat, Nabi Musa ’Alaihissalam berpesan kepada Nabi
Harun ’Alaihissalam agar
menggantikannya membimbing bani Israil. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قال الله تعالى: ﴿۞وَوَٰعَدۡنَا مُوسَىٰ ثَلَٰثِينَ لَيۡلَةٗ وَأَتۡمَمۡنَٰهَا
بِعَشۡرٖ فَتَمَّ مِيقَٰتُ رَبِّهِۦٓ أَرۡبَعِينَ لَيۡلَةٗۚ وَقَالَ مُوسَىٰ لِأَخِيهِ
هَٰرُونَ ٱخۡلُفۡنِي فِي قَوۡمِي وَأَصۡلِحۡ وَلَا تَتَّبِعۡ سَبِيلَ ٱلۡمُفۡسِدِينَ ﴾ [الأعراف: ١٤٢]
“Dan telah Kami janjikan
kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan
Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), lalu sempurnalah
waktu yang telah ditentukan Rabbnya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada
saudaranya, yaitu Harun, ‘Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, perbaikilah,
dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan’.” (al-A’raf: 142)
Sempurnalah waktu yang dijanjikan
itu empat puluh hari, dan selama waktu tersebut Nabi Musa ’Alaihissalam berpuasa siang dan malam.
Kemudian, beliau bergegas mendahului kaumnya menuju Bukit Thur dan
meninggalkan Nabi Harun ’Alaihissalam
memimpin bani Israil, sementara di situ juga ada Samiri. Oleh sebab itulah,
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قال الله تعالى: ﴿۞وَمَآ أَعۡجَلَكَ عَن قَوۡمِكَ يَٰمُوسَىٰ ٨٣ ﴾ [طه: 83]
“Mengapa kamu datang lebih cepat daripada
kaummu, hai Musa?” (Thaha: 83)
Mengapa kamu tidak datang bersama
kaummu? Nabi Musa berkata (sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala),
قال الله تعالى: ﴿ قَالَ هُمۡ أُوْلَآءِ عَلَىٰٓ أَثَرِي وَعَجِلۡتُ إِلَيۡكَ رَبِّ لِتَرۡضَىٰ ٨٤ ﴾
[طه: ٨٤]
“Itulah mereka sedang menyusuli
aku dan aku bersegera kepada-Mu. Wahai Rabbku, agar Engkau ridha (kepadaku).”
(Thaha: 84)
Sepeninggal Nabi
Musa ‘Alaihissalam, bani Israil masih sabar menunggu selama beberapa hari.
Sudah hampir sebulan, Nabi Musa ’Alaihissalam
belum juga kembali membawa Taurat yang dijanjikan. Mereka mulai gelisah,
kembali mereka menghitung hari. Nabi Harun ’Alaihissalam yang menggantikan saudaranya memimpin bani Israil
berkata kepada bani Israil, “Hai bani Israil, kalian tidak halal memakan
rampasan perang (ghanimah), sedangkan perhiasan bangsa Mesir yang kalian bawa
adalah ghanimah. Kumpulkanlah dan timbunlah dalam tanah. Kalau Musa datang dan
menghalalkannya, ambillah, tetapi kalau tidak, itu adalah sesuatu yang tidak
boleh kalian makan.”
Mereka
mengumpulkan dan menimbunnya dalam tanah. Datanglah Samiri membawa bekas jejak
kaki kuda Jibril lalu melemparkannya ke tumpukan perhiasan tersebut. Dengan
izin Allah Subhanahu wata’ala,
tumpukan itu menjadi seekor anak lembu yang bersuara. Beberapa hari kemudian,
keluarlah anak lembu itu. Begitu melihatnya, Samiri berkata kepada mereka,
“Inilah ilah Musa dan kalian, tetapi dia lupa.” Akhirnya, mereka tirakat di
sekitar anak lembu itu dan mulai beribadah kepadanya.
Nabi Harun ’Alaihissalam dengan penuh kasih sayang
terus mengingatkan mereka, “Hai kaumku, kalian sedang diuji dengan anak lembu
itu. Ingatlah, Rabb kalian adalah Ar-Rahman. Ikutilah aku!” Dengan gigih, tanpa
henti, Nabi Harun ’Alaihissalam
bersama mereka yang masih terjaga fitrahnya berusaha menyadarkan kaum mereka.
Tetapi, bukannya sadar, mereka bahkan hampir membunuh Nabi Harun ‘Alaihissalam. Mereka menegaskan kepada
Nabi Harun (sebagaimana dalam ayat),
قال الله تعالى: ﴿ قَالُواْ لَن نَّبۡرَحَ عَلَيۡهِ عَٰكِفِينَ حَتَّىٰ يَرۡجِعَ إِلَيۡنَا مُوسَىٰ ﴾ [طه: ٩١]
“Mereka menjawab, ‘Kami akan
tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami’.” (Thaha: 91)
Akhirnya bani
Israil terpecah. Sebagian dari mereka mengingkari perbuatan tersebut, yaitu
Nabi Harun dan 12.000 orang bani Israil, selebihnya mengikuti Samiri,
menari-nari di sekeliling anak lembu tersebut. Sementara itu, Nabi Musa ’Alaihissalam sudah tiba di tempat yang
dijanjikan oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قال الله تعالى: ﴿ وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَٰتِنَا
﴾ [الأعراف: ١٤٣]
“Dan tatkala Musa datang
untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan.” (al-A’raf: 143)
untuk menurunkan kitab kepadanya,
قال الله تعالى: ﴿ وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ﴾
“dan Rabbnya
mengajaknya berbicara (langsung),”
memberikan wahyu, perintah dan
larangan. Dalam ayat ini sangat jelas bahwa Nabi Musa ’Alaihissalam diajak bicara oleh Allah
Subhanahu wata’ala, sesampainya
beliau di Thursina. Nabi Musa ’Alaihissalam
mendengarnya dari Allah Subhanahu
wata’ala, bahkan dalam ayat lain (an-Nisa’ ayat 164), Allah Subhanahu wata’ala mempertegasnya dengan
mashdar muakkidah; . تَكْلِيماً Ayat ini membantah keyakinan mu’aththilah yang
menolak adanya sifat-sifat Allah Subhanahu
wata’ala. Sebagian mereka dengan berani mengubah harakat i’rab dalam
firman Allah Subhanahu wata’ala
(an-Nisa’ ayat 164) sehingga mengubah maknanya, yang mengajak
bicara adalah Nabi Musa ‘Alaihissalam. Bahkan, ada pula di antara mereka
yang menemui Abu ‘Amr Ibnul ‘Ala’— salah seorang ahli qiraah
sab’ah (tujuh bacaan al-Qur’an)—agar membacanya dengan
memfathahkan lafzhul jalalah sehingga menjadi wa kallamallaha Musa
takliima (maknanya, Musa mengajak bicara Allah).
Abu ‘Amr menjawab, “Baiklah, anggaplah saya baca
seperti yang kau inginkan, lalu bagaimana kau berbuat dengan firman Allah Subhanahu wata’ala,
قال الله تعالى: ﴿ وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَٰتِنَا
وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ ﴾
[الأعراف: ١٤٣]
“Dan tatkala Musa datang
untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan, dan Rabbnya
mengajaknya berbicara (langsung),” (al-A’raf: 143)
Seketika, terdiamlah orang Mu’tazilah itu. Sama
seperti itu juga, bagaimana pula dia memahami firman Allah Subhanahu wata’ala,
قال الله تعالى: ﴿øÎ) çm1y$tR ¼çm/u Ï#uqø9$$Î/ Ĩ£s)çRùQ$# ·qèÛ﴾ [النازعات:16]
“Tatkala Rabbnya memanggilnya di lembah suci, Lembah Thuwa.” (an- Nazi’at: 16)
Apakah dia akan menashabkan
kata Rabb (memberi harakat fathah) pada kedua ayat yang mulia ini?
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa Nabi Musa ’Alaihissalam mendengar Kalam Allah Subhanahu wata’ala langsung dari Allah Subhanahu wata’ala, bukan dari pohon, batu, atau yang lainnya.
Seandainya Nabi Musa ’Alaihissalam
mendengar dari selain Allah Subhanahu
wata’ala; dari pohon atau batu, atau yang lainnya, niscaya tidak ada
kelebihan dan keutamaan beliau dari nabi yang lain, bahkan dari bani Israil.
Mengapa? Karena bani Israil mendengar Kalam Allah Subhanahu wata’ala langsung dari Nabi Musa ‘Alaihissalam;
seutama-utama manusia yang mendengar dari Allah Subhanahu wata’ala pada masa itu. Akan tetapi—menurut kaum
Mu’tazilah—Nabi Musa ’Alaihissalam
mendengarnya bukan dari Allah Subhanahu
wata’ala, melainkan dari pohon!?
Ayat ini
menunjukkan pula bahwa Kalam Allah Subhanahu
wata’ala itu adalah suara dan huruf, yang sesuai dengan kemuliaan dan
kesempurnaan -Nya, bukan makna atau pikiran yang ada di dalam diri Allah Subhanahu wata’ala. Sebab, kalau Kalam
Allah Subhanahu wata’ala adalah
buah pikiran atau sesuatu yang ada di dalam diri Allah Subhanahu wata’ala, niscaya Nabi Musa ’Alaihissalam tidak dapat mendengarnya, dan tidak akan digelari
Kalimur Rahman.
Ibnu Hajar
asy-Syafi’i rahimahullah dalam Syarah Shahih al-Bukhari menegaskan
bahwa siapa yang menafikan suara dia harus menerima bahwa itu berarti Allah Subhanahu wata’ala tidak memperdengarkan
Kalam- Nya kepada siapa saja, baik malaikat- Nya maupun para rasul -Nya, tetapi
mengilhamkan kepada mereka Kalam tersebut. Dalam bagian lain di kitab itu juga,
beliau menegaskan bahwa suara adalah sifat Dzat -Nya, tidak serupa dengan suara
makhluk -Nya. Wallahu a’lam.
Kita kembali kepada kisah ini.
Setelah mendengar Kalam Allah Subhanahu
wata’ala, menerima penghargaan yang demikian tinggi, dipilih oleh Allah Subhanahu wata’ala, Nabiyullah
Musa ’Alaihissalam semakin rindu
kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Akhirnya, beliau berkata (sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala),
قال الله تعالى: ﴿ رَبِّ أَرِنِي
أَنظُرْ إِلَيْكَ ﴾
[:]
“Wahai
Rabbku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat -Mu.”
Sebuah permintaan yang wajar dan
bukan terlarang. Akan tetapi, tentu saja tidak di dunia. Oleh sebab itulah,
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قال الله تعالى: ﴿ قَالَ لَن تَرَانِي وَلَٰكِنِ
انظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي ﴾ [:]
“Allah berfirman, ‘Kamu
sekali-kali tidak sanggup melihat -Ku, tetapi lihatlah ke bukit itu. Jika ia
tetap di tempatnya (seperti sediakala), niscaya kamu dapat melihat -Ku’.”
Dengan penuh ketundukan dan harap,
Nabi Musa ’Alaihissalam
memandang gunung besar yang ada di dekatnya, apa yang terjadi? Ternyata gunung
itu hancur luluh dan Nabi Musa ’Alaihissalam
pingsan. Itulah firman Allah Subhanahu
wata’ala, “Tatkala Rabbnya menampakkan
diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh
pingsan.”
Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,
قال الله تعالى: ﴿ فَلَمَّآ أَفَاقَ
قَالَ سُبۡحَٰنَكَ تُبۡتُ إِلَيۡكَ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ﴾ [الأعراف: ١٤٣]
“Maka setelah Musa sadar
kembali, dia berkata, ‘Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku
adalah orang yang pertama-tama beriman’.” (al-A’raf: 143)
Setelah itu Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قال الله تعالى: ﴿ قَالَ يَٰمُوسَىٰٓ إِنِّي ٱصۡطَفَيۡتُكَ عَلَى ٱلنَّاسِ
بِرِسَٰلَٰتِي وَبِكَلَٰمِي فَخُذۡ مَآ ءَاتَيۡتُكَ وَكُن مِّنَ ٱلشَّٰكِرِينَ وَكَتَبۡنَا لَهُۥ فِي ٱلۡأَلۡوَاحِ مِن كُلِّ شَيۡءٖ
مَّوۡعِظَةٗ وَتَفۡصِيلٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ فَخُذۡهَا بِقُوَّةٖ وَأۡمُرۡ قَوۡمَكَ يَأۡخُذُواْ
بِأَحۡسَنِهَاۚ سَأُوْرِيكُمۡ دَارَ ٱلۡفَٰسِقِينَ ﴾
[الأعراف: ١٤٤-١٤٥]
“Allah berfirman, ‘Hai Musa,
sesungguhnya aku memilih (melebihkan) kamu dan manusia yang lain (di masamu)
untuk membawa risalah -Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu
berpegang teguhlah kepada apa yang aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu
termasuk orang-orang yang bersyukur.’ Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada
luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala
sesuatu.” (al-A’raf: 144—145)
Allah Subhanahu wata’ala memilih dan mengutamakan beliau dari sekalian
manusia pada masa itu, tidak mencakup masa sebelum atau sesudahnya. Hal itu
karena sebelum beliau, yang paling utama adalah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam,
sedangkan sesudah beliau adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam,.
Dalam riwayat yang sahih
disebutkan bahwa salah satu keistimewaan Taurat adalah dia ditulis sendiri oleh
Allah Subhanahu wata’ala dengan
kedua Tangan -Nya yang mulia.
Post a Comment