Jauhi Ghibah!
Jauhi Ghibah!
Segala puji hanya untuk Allah
Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Aku bersaksi bahwa tidak
ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Shubhanahu wa ta’alla semata yang tidak ada sekutu bagi -Nya, dan aku juga bersaksai
bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi wa
sallam adalah seorang hamba dan utusan -Nya. Amma ba'du:
Telah
menyebar dikalangan kaum muslimin penyakit akut yang telah diperingatkan oleh
Allah Shubhanahu wa ta’alla dan
Rasul -Nya supaya dijauhi. Sesungguhnya dia adalah pemangkas amal
yang merobohkan, menjauhkan kawan, pemicu perselisihan dan permusuhan,
sebagaimana juga telah digabungkan oleh para ulama masuk dalam kategori dosa
besar, namun, sayang sangat sedikit muslim yang bisa selamat darinya, kecuali
orang yang mendapat rahmat dari Allah
azza wa jalla, penyakit itu adalah ghibah (mengunjing orang).
Dan
peringatan tersebut ialah firman Allah ta'ala didalam firman -Nya:
﴿ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ
لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ ١٢﴾ [ الحجرات: 12]
"Dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya". (QS al-Hujurat: 12).
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dijelaskan tentang definisi ghibah secara gamblang. Dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: "Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya pada para sahabatnya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ. قَالُوا
اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيلَ:
أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ. قَالَ: إِنْ كَانَ فِيهِ مَا
تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ » [أخرجه مسلم]
"Tahukah kalian apa
itu ghibah? Para sahabat menjawab: "Allah dan Rasul -Nya yang lebih
mengetahui". Lantas beliau menjelaskan: "(Ghibah) itu ialah engkau
menyebut (keburukan) saudaramu yang ia tidak suka". Ada yang bertanya:
"Bagaimana sekiranya, jika yang ada pada saudaraku itu memang benar
seperti yang ku katakan? Beliau menambahkan: "Jika benar ada padanya apa
yang engkau katakan itulah yang namanya ghibah. Dan jika sekiranya apa yang engkau
katakan tidak ada pada saudaramu, itu namanya dusta". HR Muslim no: 2589.
Imam Tahanawi menjelaskan: "Ghibah ialah engkau
menyebut-yebut saudaramu dengan perkara yang ia benci kalau seandainya berita
tersebut sampai padanya, baik engkau menyebut tentang kekurangan yang ada pada
tubuh atau pada lisannya. Demikian pula tatkala engkau menyebut tentang
kekurangan yang ada pada postur tubuh, kelakuanya, ucapan, agama, harta, anak,
pakaian, rumah atau kendaraanya. Jadi, ghibah itu tidak khusus hanya terpaku
pada ucapan saja, namun, ghibah juga bisa berlaku pada perbuatan, yaitu dengan
menirukan gerakan tubuhnya atau menggunakan isyarat maupun dengan
tulisan". [1]
Dalam
firman Allah ta'ala yang dahulu disebutkan bahwa orang yang berghibah ria itu
diserupakan oleh Allah Shubhanahu wa
ta’alla seperti halnya orang yang sedang memakan daging bangkai saudaranya,
Allah ta'ala menyebutkan:
﴿ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ
لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ ١٢﴾ [ الحجرات: 12]
"Dan janganlah menggunjingkan
satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya". (QS al-Hujurat: 12).
Maksudnya sebagaimana kalian juga membenci perbuatan
diluar kebiasaan manusia ini, tentunya kalian juga tidak suka kalau sampai
melakukannya. Maka, perlu diketahui bahwa balasan orang yang mengunjing itu
lebih keras dari pada perumpaan ini. Sehingga bagi orang yang berakal tentunya
ayat ini sebagai bentuk peringatan dan cambuk untuk segera berpaling dari
kebiasaan buruk tersebut. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dalam musnadnya, dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma, beliau
mengkisahkan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَارْتَفَعَتْ رِيحُ جِيفَةٍ مُنْتِنَةٍ. فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَدْرُونَ مَا هَذِهِ. الرِّيحُ هَذِهِ رِيحُ الَّذِينَ
يَغْتَابُونَ الْمُؤْمِنِينَ
»
[أخرجه احمد]
"Kami pernah bersama
Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam, lalu datang angin dengan membawa bau busuk disekeliling
kami. Maka, beliau bertanya kepada kami pada saat itu: "Tahukah kalian
dari mana datangnya angin ini? Angin (yang membawa bau busuk) ini datang dari
orang-orang yang sedang berghibah ria terhadap orang-orang yang beriman".
HR Ahmad 23/97 no: 14784.
Bahkan, disebutkan balasan bagi orang yang senang
ghibah ialah akan diadzab didalam kuburnya sebelum siksaan yang akan diperoleh
dihari kiamat. Sebagaimana disebutkan dalam haditsnya Abu Bakrah radhiyallahu 'anhu, beliau menceritakan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « كُنْتُ أَمْشِي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرَّ عَلَى قَبْرَيْنِ. فَقَالَ: مَنْ يَأْتِينِي بِجَرِيدَةِ نَخْلٍ. قَال:َ فَاسْتَبَقْتُ أَنَا وَرَجُلٌ آخَرُ فَجِئْنَا
بِعَسِيبٍ فَشَقَّهُ بِاثْنَيْنِ فَجَعَلَ عَلَى هَذَا وَاحِدَةً وَعَلَى هَذَا
وَاحِدَةً ثُمَّ قَالَ: أَمَا إِنَّهُ سَيُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا كَانَ
فِيهِمَا مِنْ بُلُولَتِهِمَا شَيْءٌ. ثُمَّ قَالَ: إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ فِي الْغِيبَةِ وَالْبَوْلِ » [أخرجه أحمد]
"Aku pernah berjalan
bersama Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam, lantas kami melewati dua kubur. Beliau lalu meminta kepada
kami: "Siapa yang mau mengambilkan untukku pelepah kurma? Abu Bakrah
mengatakan: "Maka aku bersegera untuk mendapatkannya bersama sahabat yang
lain". Selanjutnya kami bawakan
pelepah kurma, kemudia beliau membelahnya menjadi dua, lalu beliau menjadikan
yang sebelah pada kubur yang satu dan yang sebelah untuk satunya lagi. Kemudian
beliau bersabda: "Adapun sungguh akan diringankan (siksa) keduanya selagi
pelepah kurma ini sebelum kering. Sesungguhnya
keduanya sedang disiksa karena (ketika didunia) senang ghibah dan (tidak
bersuci) ketika kencing". HR Ahmad 23/53 no:
20411.
Dalam
riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا
يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ » [أخرجه البخاري ومسلم]
"Adapun salah satunya
(dirinya disiksa) karena senang mengadu domba. Sedang yang satunya lagi karena
tidak menutup aurat tatkala kencing". HR Bukhari no: 1378. Muslim no:
292.
Al-Hafidh Ibnu Hajar menjelaskan: "Dan ghibah itu
bisa dijumpai pada sebagian kasus mengadu domba (namimah). Yaitu dengan
menyebut saudaranya manakala tidak hadir dihadapanya dengan perkara yang
menjelekan dirinya, supaya timbul kerusakan yang ia inginkan. Maka hal ini,
mungkin sekali terjadi sebagaimana kisah penghuni kubur yang disiksa dalam
kuburnya.
Kemungkinan lain dari makna hadits ini, sebagaimana
dijelaskan dalam beberapa redaksi lain yang menjelaskan tentang siksaan itu
berkaitan dengan ghibah, seperti hadits yang lalu. Yang jelas, bisa jadi
kisahnya sama atau adanya kemungkinan pada kejadian yang berbeda". [2] Bukan hanya cukup dikubur,
mereka orang yang senang ghibah itu juga akan disiksa pada hari kiamat. Hal
itu, berdasarkan sabdanya Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, dari Anas bin Malik
radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: "Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَمَّا عَرَجَ بِي رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ
مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ
وَصُدُورَهُمْ فَقُلْتُ مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ قَالَ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ » [أخرجه أحمد]
"Tatkala aku di mi'rajkan oleh Rabbku, aku
melewati sekelompok orang yang mereka mempunyai kuku tembaga yang digunakan
untuk mencabik-cabik wajah dan dada mereka. Aku pun bertanya: "Siapakah
mereka itu, wahai Jibril? Dia menjelaskan: "Mereka adalah orang-orang yang
(dulu) suka memakan dagingnya manusia (ghibah) dan mencabik-cabik kehormatan
orang". HR Ahmad 21/53 no: 13340.
Namun sayangnya ghibah ini sudah menjadi barang biasa
dan diremehkan oleh sebagian orang sehingga berubah menjadi 'buah atau makanan'
pada sebuah majelis, sedang dosa ghibah ini disisi Allah Shubhanahu wa ta’alla sangatlah besar. Allah ta'ala memperingatkan kita
dalam firman -Nya:
﴿ وَتَحۡسَبُونَهُۥ هَيِّنٗا وَهُوَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمٞ
١٥ ﴾ [ النور: 15]
"Dan kamu menganggapnya
suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar". (QS an-Nuur: 15).
Dibawakan oleh Imam Abu Dawud dan Tirmidzi sebuah
hadits dari Aisyah radhiyallahu 'anha, beliau menceritakan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « قلت للنبي صلى الله عليه و سلم حسبك من
صفية كذا وكذا قال غير مسدد تعني قصيرة. فقال: لقد قلت كلمة لو مزجت بماء البحر لمزجته. قالت: وحكيت له إنسانا. قال: ما أحب أني حكيت إنسانا وأن لي كذا وكذا » [أخرجه أبو داود والترمذي]
"Aku pernah mengatakan
pada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
"Cukuplah kalau Shafiyah ini begini dan begitu. Maksudnya berbadan pendek!
Maka beliau bersabda: "Sungguh dirimu telah mengucapkan sebuah kalimat
yang sekiranya dihapus dengan air laut tidak akan sanggup menghapusnya".
Pernah juga aku menceritakan seseorang dihadapan beliau, lantas beliau berkata:
"Aku tidak suka aku menceritakan tentang orang lain, dan pada diriku
begini dan begitu". HR Abu Dawud no: 4875. at-Tirmidzi no: 2520.
Beliau berkata hasan shahih.
Diantara
sebab munculnya ghibah ini ialah basa basi terhadap teman atau saudara, serta
ikut larut dalam pembicaraan mereka ketika sedang mengunjing orang. Adapun
penyembuhannya yaitu dengan cara memarahi padanya manakala menyebut keburukan
orang yang sedang dijadikan bahan ghibah. Dan mengingatkan supaya tidak mengejek, mengolok-olok
serta merendahkan orang lain, demikian pula tidak
iri terhadap orang yang mendapat pujian serta disebut-sebut orang banyak akan
kebajikannya. [3]
Imam
Nawawi mengatakan: "Ketahuilah, hendaknya bagi orang yang mendengar
saudaranya muslim digunjing untuk membela serta mencegah pelakunya, kalau tidak
mempan dengan ucapan maka cegahlah dengan tanganmu. Jika
belum juga mampu mencegahnya dengan tangan dan lisan, maka, segera tinggalkan
majelis tersebut. Dan seandainya dia mendengar
gunjingan tersebut diarahkan pada gurunya atau orang lain yang mempunyai hak
baginya, atau orang sholeh dan ahli ilmu, maka apa yang kami paparkan dimuka
lebih ditekankan lagi". [4] Hal tersebut mengacu pada
firman Allah tabaraka wa ta'ala:
﴿ وَإِذَا سَمِعُواْ ٱللَّغۡوَ أَعۡرَضُواْ عَنۡهُ وَقَالُواْ لَنَآ أَعۡمَٰلُنَا
وَلَكُمۡ أَعۡمَٰلُكُمۡ سَلَٰمٌ عَلَيۡكُمۡ لَا نَبۡتَغِي ٱلۡجَٰهِلِينَ ٥٥ ﴾ [ القصص: 55]
"Dan apabila mereka mendengar Perkataan yang
tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi
Kami amal-amal Kami dan bagimu amal-amalmu, Kesejahteraan atas dirimu, Kami
tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil". (QS al-Qashash: 55).
Berkata al-Ghazali: "Adalah para sahabat mereka
biasa bersua dengan orang banyak, namun tidak menjadikan mereka sebagai lahan
untuk mengunjing orang yang tidak hadir dihadapan mereka, bahkan, mereka
menganggap hal tersebut merupakan amal sholeh yang paling utama. Serta
memasukan dalam barisan orang munafik bagi orang yang sedang ghibah".[5] Sebagian ulama mengatakan:
"Kami menjumpai ulama salaf mereka tidak beranggapan ibadah itu hanya pada
puasa dan sholat semata, akan tetapi, ketika menahan lisan untuk tidak mencabik
kehormatan orang, maka itu juga ibadah".[6]
Imam
Bukhari mengatakan tentang dirinya: "Aku berharap semoga ketika bertemu
Allah Shubhanahu wa ta’alla, Dia
tidak menghisabku dalam barisan orang yang mengghibah orang lain".[7] Imam Dzahabi mengomentari
ucapan beliau dengan mengatakan: "Sungguh benar ucapan beliau. Barangsiapa
yang mau meneliti ucapannya dalam masalah jarh wa ta'dil, dirinya akan
paham bagaimana sikap kehati-hatian beliau didalam membicarakan orang lain dan
sangat santun didalam menyebut (perawi hadits) yang lemah, dimana seringkali
beliau hanya mengatakan: "Munkarul hadits, atau para ulama mendiamkannya,
atau dalam perawi ini perlu diteliti, atau yang semisal ucapan ini. dan sangat
sedikit beliau mengatakan: "Fulan pendusta, atau dirinya pemalsu
hadits". Sampai sekiranya beliau memberi kaidah, jika aku berkata: 'Fulan
didalam haditsnya perlu diteliti, maksudnya adalah rawi yang tertuduh pemalsu
hadits".
Inilah
makna ucapan beliau diatas: "Aku berharap semoga ketika bertemu Allah Shubhanahu wa ta’alla, Dia tidak
menghisabku dalam barisan orang yang mengghibah orang lain". Inilah, demi
Allah yang dinamakan sikap wara'. [8]Imam
Muhammad bin Abi Hatim al-Waraq mengatakan: "Aku pernah mendengar beliau
mengatakan: "Aku tidak pernah mengghibah seorang pun semenjak aku
mengetahui bahwa ghibah itu merusak pelakunya".
Boleh
ghibah?
Para
ulama telah memberikan pengecualian pada beberapa kasus yang dibolehkan untuk
ghibah didalamnya, dengan menyimpulkan pada enam keadaan, sebagaimana
dijelaskan oleh Imam Nawawi, yaitu:
1.
Mengadukan kelaliman (ketidak
adilan).
Maka dibolehkan bagi orang
yang dizalimi untuk mengadu pada penguasa atau hakim atau selain keduanya, yang
mempunyai kekuasaan serta dikiranya mampu untuk menolong serta menghukum orang
yang menzaliminya. Yaitu dengan mengatakan pada mereka: "Orang itu telah
berbuat zalim padaku pada perkara ini..".
2.
Meminta bantuan untuk merubah
kemungkaran dan menuntun pelaku maksiat agar kembali kejalan yang benar.
Boleh mengatakan pada orang
yang dianggap mampu untuk menghilangkan kemungkaran: "Fulan melakukan ini
dan itu tolong dicegah". atau ucapan yang senada dengan ini. Yang penting
bisa tercapai maksud agar kemungkaran tadi hilang.
3.
Memohon fatwa.
Yaitu dengan mengatakan kepada
pemberi fatwa: "Ayahku atau saudaraku atau suamiku telah berbuat lalim
padaku, apakah boleh aku menuntutnya? Apa solusiku agar bisa lepas darinya dan
memperoleh hakku serta mencegah kelalimannya? Atau ucapan yang semisal ini.
4.
Memperingatkan kaum muslimin
atas keburukan seseorang. Dalam hal ini bisa dari beberapa sisi. Semisal
memberi kritikan pada para perawi hadits serta bersaksi atas kejelekannya.
Dalam hal ini, maka dibolehkan sebagaimana yang telah disepakati oleh para
ulama. Meminta pendapat tentang
kondisi seseorang yang meminang puterinya. Atau orang yang ingin diajak bisnis
atau muamalah lainnya. Maka, wajib bagi orang yang dimintai pendapat bila
mengetahui keadaannya memberikan pendapat tersebut, sambil menyebutkan sisi
kebaikan dan keburukan orangnya, dengan niatan ingin memberi nasehati padanya.
Diantaranya pula, jika melihat
ada seorang pelajar yang bolak-balik datang kepada ahli bid'ah atau orang fasik
untuk menuntut ilmu padanya. Dan ditakutkan
dirinya akan terkena racun pemikirannya. Maka, wajib bagi dirinya untuk
menasehati sambil menjelaskan jati diri orang tersebut, dengan catatan dia
niatkan hanya memberi nasehat. Seseorang
yang diberi amanah untuk pegang kekuasaan, namun, tidak melaksanakan
sebagaimana mestinya. Bisa karena memang bukan ahli dibidangnya. Atau disebabkan dirinya fasik atau merasa
masa bodoh, atau sebab lainnya. Maka, wajib untuk mengadukan pada atasannya
atau orang yang punya kekuasan lebih diatasnya supaya diperbaiki atau diganti
dengan pemimpin yang lebih baik.
5.
orang yang terang-terangan
berbuat maksiat atau bid'ah.
Seperti halnya, orang yang
terang-terang minum khamr, pemungut atau penarik pajak. Maka dalam hal ini,
kita sebutkan keburukannya saja, tanpa menyebutkan kekurangan yang lainnya.
6.
Pengenalan.
Maksudnya, jika ada orang yang
memang dikenal dengan julukan 'si tuli' atau 'si buta' atau 'si pincang' atau
'si rabun'. Dan sebagainya, maka boleh menyebut mereka dengan julukan-julukan
tersebut. namun, terlarang bila di maksudkan untuk merendahkannya. Dan kalau
sekiranya mampu mengenalkan dengan selain julukan tersebut maka itu lebih
utama. [9]
Inilah
enam kondisi yang disebutkan oleh para ulama bolehnya ghibah, bahkan,
kebanyakan kondisi ini disepakati oleh mereka, sedang dalilnya adalah
hadits-hadits yang shahih. Dan Jumhur ulama mengatakan: "Cara taubatnya
seorang yang terlanjur berghibah ialah dengan meninggalkan perbuatan cela itu,
bersungguh-sungguh tidak ingin mengulangi kembali, serta meminta maaf pada
orang yang pernah digunjingnya". Sebagian ulama mengatakan: "Tidak
disyaratkan untuk meminta maaf, karena bisa jadi kalau dikabarkan padanya akan
mengakibatkan keburukan yang lebih besar dari pada kalau dirinya tidak dikasih
tahu. Maka, caranya yaitu dengan memuji kebaikan orang
yang pernah digunjing di majelis yang sama ketika dulu mengunjingnya. Serta
menolak sebisa mungkin orang yang ingin menjelek-jelekan orang tersebut. Maka
itu sebagai balasan bagi perbuatanmu ketika dulu menggunjingnya".[10]
Catatan:
Termasuk
perkara terbesar yang bisa membuat kapok seorang mukmin dari penyakit ghibah,
selain dari ayat-ayat dan hadits-hadits populer yang mencela dan memberi peringatan
keras bagi para pelaku ghibah, ialah mengingat bahwa kelak orang yang digunjing
akan diberi hadiah dari amal sholatnya, puasa, haji serta ibadah lainnya. Atau
akan dipikulkan dosa dan kejelekan orang tadi kalau sekiranya amal kebaikannya
belum mencukupi untuk melunasi orang yang dulu pernah digunjing. Maka, ini
sudah cukup, karena merupakan kerugian terbesar serta kebangkrutan total
sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya.
Akhirnya kita ucapkan segala puji bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla
Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla
curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.
Post a Comment