Hukum Hukum Bergaul Dengan Non Muslim
Segala puji hanya untuk Allah
Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta
keluarga dan seluruh sahabatnya.
Sesungguhnya Allah subhanahu wa
ta’ala menciptakan makhluk untuk beribadah kepada-Nya. Sebagaimana firman
Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ
وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ . مَآأُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَآأُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ ﴾ [الذاريات: 56-57]
Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. * Aku tidak menghendaki
rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku
makan. (QS. azd-Dzariyat:56-57)
Maka Allah subhanahu wa ta’ala
menciptakan makhluk untuk beribadah kepada-Nya, bukan karena kebutuhan-Nya
kepada mereka dan tidak pula kepada ibadah mereka, karena Dia subhanahu wa
ta’ala Maha Kaya dari mereka, akan tetapi karena kebutuhan mereka
kepada-Nya. Maka dalam ibadah mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala,
mereka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu
wa ta’ala memuliakan dan memberi nikmat kepada mereka di dunia dan akhirat.
Maka ibadah mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk mashlahat
mereka. Adapun Allah subhanahu wa ta’ala maka sesungguhnya Dia Maha Kaya
dari mereka:
﴿ إن تَكْفُرُوا أَنتُمْ وَمَن فِي اْلأَرْضِ جَمِيعًا فَإِنَّ اللهَ
لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ ﴾ [إبراهيم: 8]
Jika
kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah),
maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". (QS. 14:8)
Dia subhanahu wa ta’ala
menciptakan makhluk untuk beribadah kepada-Nya dan memberikan mereka fitrah
untuk hal itu. Maka setiap makhluk menghadap kepada Allah subhanahu wa
ta’ala dengan fitrahnya, kepada Sang Penciptanya. Firman Allah subhanahu
wa ta’ala:
﴿ فَأَقِمْ وَجْهَكَ
لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
لاَتَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ {30}* مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا
الصَّلاَةَ وَلاَتَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ {31} مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا
دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ {32}﴾ [الروم: 30-32]
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah.(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui, * dengan kembali
bertaubat kepada-Nya dan bertaqwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, * yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan
mereka menjadi beberapa golongan.Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa
yang ada pada golongan mereka. (QS. ar-Rum:30-32)
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلَّا يُوْلَدُ
عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ
يُمَجِّسَانِهِ» [ أخرجه اليخاري ]
“Tidak ada bayi yang
terlahir kecuali dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanya yang
menjadikan dia Yahudi, atau Nashrani atau Majusi.”[1]
Dan di dalam hadits Qudsi, Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ
وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ» [ أخرجه
مسلم ]
“Aku menciptakan hamba hamba-Ku
semuanya dalam kondisi cenderung (kepada kebenaran), dan sesungguhnya syetan
datang kepada mereka lalu memalingkan mereka dari agama mereka.”[2]
Maka Allah subhanahu wa ta’ala
menciptakan makhluk untuk beribadah kepada-Nya dan memberikan mereka fitrah
untuk hal itu, maka mereka menghadap kepada Allah subhanahu wa ta’ala
dengan fitrah mereka, akan tetapi para syetan dari bangsa jin dan manusia
merusaka fitrah dengan pendidikan yang buruk yang dimulia dari kedua orang tua
(maka kedua orang tuanya yang menjadikan dia Yahudi, atau Nashrani atau
Majusi). Demikian pula para penyeru kepada kesesatan, mereka merusak fitrah
yang sebelumnya baik dan menerima kebaikan, lalu mereka merubahnya kepada fitrah
yang menyimpang.
Allah subhanahu wa ta’ala
menciptakan nabi Adam ‘alaihissalam, bapak umat manusia dan
menjadikannya sebagai seorang nabi yang berbicara, menyembah Allah subhanahu
wa ta’ala, mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala, cenderung kepada
kebenaran serta ikhlas kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan diikuti
oleh anak anaknya dan keturunan sesudahnya hingga sepuluh abad/generasi dan
mereka tetap berada di atas agama bapak mereka nabi Adam ‘alaihissalam,
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu. Mereka
tetap berada di atas agama yang benar, menyembah Allah subhanahu wa ta’ala
dan tidak menyekutukannya, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللهُ النَّبِيِّينَ
مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ
بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ ﴾ [البقرة: 213]
Manusia
itu adalah ummat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus
para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah
menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara
manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. (QS. al-Baqarah:213)
Manusia adalah umat yang satu di atas
agama yang benar, tidak ada perbedaan di antara mereka dan tidak ada
perselisihan, kemudian mereka berselisih setelah itu, sebagaimana dijelaskan
dalam ayat yang lain:
﴿ وَمَاكَانَ النَّاسُ إِلآَّ أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوا ﴾ [يونس: 19]
Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih.. (QS. Yunus:19)
Kapan terjadi perselisihan ini? Terjadi
pada kaum nabi Nuh ‘alaihissalam. Pada awalnya, mereka berada di atas
agama yang benar, di tengah tengah mereka ada para ulama dan du’at yang menyeru
kepada agama Allah subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi Allah subhanahu
wa ta’ala mentaqdirkan bahwa pada mereka ada orang orang shalih dan para
ulama yang wafat dalam satu tahun. Maka manusia kehilangan mereka dan berduka
cita atas kepergian mereka. Lalu datanglah syetan kepada mereka mengambil
kesempatan ini, ia berkata kepada mereka: Gambarlah orang orang shalih tersebut
dan pajanglah di majelis majelis mereka agar kalian selalu mengingat kondisi
mereka lalu kalian rajin beribadah. Seperti inilah nasehat syetan kepada
keturunan Adam ‘alaihissalam. Ia menghiasi kepada mereka bahwa perbuatan
ini bertujuan untuk mengingat orang orang shalih tersebut dan mengikuti mereka
di saat mereka melihat gambar mereka. Lalu mereka menggambar rupa mereka dan
memajangnya untuk tujuan ini, sementara di tengah tengah mereka masih ada
ulama, dan syetan tidak bisa melakukan lebih dari cara ini dan ia menunggu
hingga wafat para ulama yang ada. Dan datanglah generasi berikutnya yang jahil
yang tidak ada ulama. Ilmu sudah dihapus atau dilupakan, datanglah syetan kedua
kalinya kepada mereka dan berkata: Sesungguhnya orang tua kalian tidaklah
memajang gambar gambar ini kecuali agar mereka menyembahnya dan diturunkan
hujan dengannya. Lalu ia menghiasi bagi mereka agar menyembah mereka (gambar/patung
patung tersebut), lalu mereka menyembahnya selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Ketika itulah terjadi kesyirikan dan berubah agama Nabi Adam ‘alaihissalam
dan terjadilah kesyrikan di muka bumi. Lalu Allah subhanahu wa ta’ala
mengutus nabi Nuh ‘alaihissalam kepada mereka mengajak mereka kepada
Allah subhanahu wa ta’ala, kepada menyembah Allah subhanahu wa ta’ala
yang dahulu dilakukan oleh bapak bapak dan nenek moyang mereka, mengajak mereka
kembali menyembah Allah subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi kesyirikan
sudah tertanam dalam hati mereka lalu mereka tetap menyembah gambar gambar ini
dan mereka berkata:
﴿
وَقَالُوا لاَ تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلاَتَذَرُنَّ وَدًّا وَلاَسُوَاعًا
وَلاَيَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا {23} وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا وَلاَتَزِدِ
الظَّالِمِينَ إِلاَّ ضَلاَلاً {24} ﴾ [نوح:23-24]
Dan
mereka berkata:"Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan)
ilah-ilah kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan)
wadd, dan jangan pula suwaa', yaghuts, ya'uq dan nasr", * Dan
sungguh mereka telah menyesatkan kebanyakan
(manusia); dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu
selain kesesatan. (QS. Nuh:23-24)
Inilah cerita terjadinya kesyirikan pada
umat manusia. Ketika itu terbagilah manusia kepada orang orang beriman dan
orang orang kafir. Orang orang yang mengikuti para rasul dan beriman kepada
mereka tetap di atas iman dan tauhid serta mengikuti para rasul, dan orang
orang yang durhaka kepada para rasul dan menyalahi mereka menyimpang kepada
kesyirikan dan kufur. Maka terbagilah manusia kepada kaum mukminin dan kaum
kafir sejak waktu itu. Akan tetapi termasuk rahmat Allah subhanahu wa ta’ala
bahwa Dia tidak membiarkan hamba hamba-Nya, namun mengutus para rasul secara
terus menerus, berkesinambungan mengajak manusia kepada mentauhidkan Allah subhanahu
wa ta’ala, dan manusia belajar dari agama Islam. Maka Allah subhanahu wa
ta’ala senantiasa mengutus para rasul pada semua umat, hingga datang masa
nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, penutup para nabi dan
imam para rasul. Allah subhanahu wa ta’ala mengutusnya kepada semua
manusia. Nabi nabi sebelumnya hanya diutus kepada kaumnya, adapun nabi kita
Muhammad maka sesungguhnya beliau diutus kepada semua manusia sebagai pemberi
kabar gembira dan memberi peringatan:
﴿
وَمَآأَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَآفَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ
أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ {28} ﴾ [السباء: 28]
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat
manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan
manusia tiada mengetahui. (QS. as-Saba`:28)
﴿ وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّرَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ {107} ﴾ [الأنبياء: 107]
Dan tiadalah
Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
(QS. al-Anbiya`:107)
﴿ قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكُمْ
جَمِيعًا﴾ [الأعراف: 158]
Katakanlah:"Hai
manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, (QS.
al-A’raf:158)
Maka senantiasa karunia Allah subhanahu
wa ta’ala kepada hamba hamba-Nya bahwa Dia tidak membiarkan mereka menjadi
santapan para syetan dari bangsa manusia dan jin, Dia subhanahu wa ta’ala
mengutus para rasul dan menurunkan kitab kitab, dan yang terakhir dari hal itu
adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, utusan Allah subhanahu
wa ta’ala, penutup para nabi. Agama Islam yang beliau datang dengannya
adalah penutup semua agama. Ia adalah agama semua manusia hingga akhir zaman.
Tatkala manusia terbagi kepada orang orang beriman dan orang orang kafir, maka
Allah subhanahu wa ta’ala mengutus para rasul untuk mengajak manusia
agar kembali kepada menyembah Allah subhanahu wa ta’ala dan meninggalkan
penyembahan selain-Nya.
﴿
وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ
إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ ﴾ [الأنبياء: 25]
Dan
Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya:"Bahwasanya tidak ada Ilah(yang hak) melainkan Aku, maka
sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS. al-Anbiya`:25)
Allah subhanahu wa ta’ala mensyari’atkan
hukum hukum terkait pergaulan seorang muslim bersama orang kafir, yaitu hukum
hukum yang tetap ada dan terus berlanjut hingga hari kiamat. Interaksi pertama
seorang muslim bersama orang kafir adalah berdakwah kepada Allah subhanahu
wa ta’ala, mengajak orang orang kafir kepada Islam, mengajak mereka kepada
Allah subhanahu wa ta’ala untuk mashlahat, petunjuk dan keberuntungan
mereka di dunia dan akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada
nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:
﴿اُدْعُ
إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ
سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ ﴾ [النحل: 125]
Serulah
(manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. an-Nahl:125)
Dan Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
﴿ يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّآ أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا
وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا {45} وَدَاعِيًا إِلَى اللهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا
مُّنِيرًا {46} ﴾ [الأحزاب: 45-46]
Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa
kabar gembira dan pemberi peringatan, * dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan
izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. (QS. al-Ahzab:45-46)
﴿قُلْ
هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاوَمَنِ اتَّبَعَنِي
وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ ﴾ [يوسف: 108]
Katakanlah:"Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci
Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. 12:108)
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam berdakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala seperti yang
Dia perintahkan kepada beliau dengan hal itu, menerima dakwah orang yang
menerima dari orang orang yang Allah subhanahu wa ta’ala menentukan
keberuntungan bagi mereka dan menolak dakwah orang yang menolak.
Allah subhanahu wa ta’ala
telah mensyari’atkan hukum hukum bagi seorang muslim dan hukum hukum bagi orang
kafir.
Pertama, berdakwah kepada Allah subhanahu
wa ta’ala, maka kita tidak membiarkan orang orang
kafir di atas kekufuran dan kesyirikan mereka, namun kita wajib berdakwah
mengajak mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk mashlahat dan
petunjuk mereka. Kita mengajak mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Ini adalah perkara wajib yang terus berlangsung hingga hari kiamat.
Berdakwah kepada Allah subhanahu
wa ta’ala termasuk kewajiban yang paling kuat, padanya adalah berbuat baik
kepada umat manusia, agar Allah subhanahu wa ta’ala mengeluarkan orang
yang dikehendaki-Nya dari berbagai kegelapan kepada cahaya benderang:
﴿كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ
الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ
الْحَمِيدِ {1} اللهِ الَّذِي لَهُ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ {2}﴾ [إبراهيم: 1-2]
Ini adalah)
Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap
gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Rabb mereka, (yaitu) menuju
jalan Rabb Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. * Allah yang memiliki segala
apa yang ada dilangit dan di bumi. (QS. Ibrahim:1-2)
Ini adalah kewajiban agung kita terhadap
orang orang kafir, kita mengajak mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala,
untuk masuk Islam, meninggalkan kufur dan syirik kepada kembali menyembah Allah
subhanahu wa ta’ala yang mereka diciptakan karenanya. Padanya ada
keberuntungan dan kebaikan mereka. Berdakwah kepada Allah subhanahu wa
ta’ala adalah perkara yang berdiri tegak, tidak pernah berhenti hingga hari
kiamat. Ia adalah wajib terhadap umat Islam, fardhu kifayah, apabila sudah
dilaksanakan oleh orang yang memadai niscaya gugur dosa dari yang lain. Dan
jika ditinggalkan sama sekali, maka sesungguhnya kaum muslimin semuanya berdosa
karena mereka meninggalkan kewajiban ini.
Kemudian setelah dakwah kepada Allah subhanahu
wa ta’ala, siapa yang beriman kepada Allah, menerima dakwah dan jadilah ia
termasuk kaum muslimin, maka orang ini telah kembali kepada petunjuknya dan
berpulang kepada kebenarannya. Membebaskan dirinya dari kufur dan syirik dan
menyelamatkan jiwanya dari api neraka. Maka kita mengajak mereka untuk
mashlahat dan petunjuk serta mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya
karena mengamalkan perintah Rabb kita subhanahu wa ta’ala.
Kemudian setelah dakwah kepada Allah subhanahu
wa ta’ala, siapa yang menjawab dakwah kita menerimanya dan ia menjadi
saudara kita, ia menjadi bagian dari kita dan kita bagian darinya, dan siapa
yang enggan dan tidak menerima dakwah, maka ini terbagi dua:
Bagian pertama: manusia yang kufurnya
hanya terhadap dirinya, tidak berdakwah kepada kufur dan tidak berdakwah kepada
syirik, sesungguhnya kufur dan syiriknya hanya terhadap dirinya saja, maka ini
dibiarkan, seperti orang tua, anak kecil, wanita, dan para rahib di tempat
peribadatan mereka. Mereka memilih kufur untuk diri mereka sendiri, tidak
menyebarkan kufur di muka bumi, tidak berdakwah kepada kufur, maka mereka tidak
diganggu karena tidak dikhawatirkan dari mereka penyebaran kufur dan kesesatan.
Sesungguhnya keburukan mereka hanya terbatas pada diri mereka sendiri dan kita
tidak bisa memberi hidayah kepada mereka:
﴿
إِنَّكَ لاَتَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَن يَشَآءُ وَهُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ﴾ [القصص: 56]
Sesungguhnya
kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi
Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih
mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS. al-Qashash:56)
Bagian kedua: yang menahan dari agama
Allah subhanahu wa ta’ala, menghalangi dakwah kepada Allah subhanahu
wa ta’ala, menyebarkan kufur di muka bumi, mengajak kepada kufur dan
syirik. Maka Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan kepada kita memerangi
orang orang tersebut untuk menahan keburukan mereka dan menampakkan kebenaran.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ ِللَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلاَ
عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِينَ ﴾ [البقرة: 193]
Dan
perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu
hanya untuk Allah semata. Jika
mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali
terhadap orang-orang yang zalim. (QS. al-Baqarah:193)
Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَتَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ
كُلُّهُ للهِ فَإِنْ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرُُ {39}
وَإِن تَوَلَّوْا فَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ مَوْلاَكُمْ نِعْمَ الْمَوْلىَ وَنِعْمَ
النَّصِيرُ {40} ﴾ [الأنفال: 39-40]
Dan peranglah mereka, supaya jangan ada fitnah dan
supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari
kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. * Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwasanya Allah Pelindungmu.
Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. (QS. al-Anfaal: 39-40)
Dan memerangi mereka karena dua perkara:
Perkara pertama: menahan kejahatan
mereka dari Islam dan kaum muslimin, dan memberikan jalan bagi Islam agar
mengambil jalannya kepada manusia.
Perkara kedua: Barangkali mereka
mendapat petunjuk setelah peperangan dan kembali kepada kebenaran. Karena
inilah di dalam hadits:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « عَجِبَ اللهُ مِنْ قَوْمٍ يَدْخُلُوْنَ
الْجَنَّةَ فِى السَّلاَسِلِ» [ أخرجه البخاري ]
Maksudnya mereka tertawan dalam peperangan dengan
rantai/belenggu, kemudian mereka masuk Islam, maka Allah subhanahu wa ta’ala
menerima taubat mereka dan mereka masuk surga.
Peperangan kita terhadap orang orang
kafir bukan karena rakus terhadap harta mereka, atau pada negeri mereka, atau
karena ingin menumpahkan darah, namun jihad dalam Islam karena tujuan mulia dan
hikmah. Dan padanya merupakan perbuatan baik kepada manusia, maka ia (perang)
bukanlah tujuan utama, dan tujuannya adalah untuk mashlahat yang agung.
Ia adalah tingkatan kedua dari
berinteraksi bersama orang orang kafir, yaitu berperang dan berjihad fi
sabilillah, apabila kaum muslimin berada dalam posisi kuat dan
mampu berperang, terpenuhi syarat syarat jihad dan tidak ada penghalang
penghalangnya, maka sesungguhnya ia adalah wajib terhadap kaum muslimin, maka
tidak boleh meninggalkan jihad padahal sudah mampu. Adapun bila kaum muslimin
dalam kondisi tidak mampu jihad bersamanya, maka sesungguhnya mereka menundanya
hingga adanya kesempatan dan cukup membatasi diri terhadap dakwah, sebagaimana
kondisinya dalam sirah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka
sesungguhnya saat beliau berada di kota Makkah hanya membatasi diri terhadap
dakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan beliau dilarang berperang,
karena kaum muslimin tidak mampu berperang. Dan jika mereka berusaha niscaya
musuh akan membasmi mereka. Maka tatkala beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam hijrah ke Madinah dan mendapatkan para penolong dan pembantu, dan
kaum muslimin menjadi kuat, Allah subhanahu wa ta’ala mensyari’atkan
jihad di jalan-Nya. Dan setelah peperangan, jika mereka tidak masuk Islam, bisa
jadi mereka membayar jizyah untuk kaum muslimin dan masuk di bawah pemerintahan
Islam, atau mereka melakukan perjanjian bersama kaum muslimin dan mereka tetap
di negeri mereka dan berlakulah di antara mereka dan kaum muslimin perjanjian
yang intinya mereka tidak menggangu kaum muslimin, tidak menghalangi dari jalan
Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menghalangi dakwah kepada Allah subhanahu
wa ta’ala. Maka dilakukan perdamaian dan perjanjian bersama mereka,
sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perjanjian
dan perdamaian bersama kaum musyrikin,
apabila untuk mashlahat Islam dan kaum muslimin.
Ketika itu, kaum muslimin tidak boleh
melakukan tindakan melewati batas terhadap mereka. Haram melakukan tindakan
melewati batas terhadap kafir mu’ahad (yang melakukan perjanjian) pada
darah atau hartanya, karena sesungguhnya untuknya sesuatu yang untuk kaum
muslimin dan atasnya sesuatu yang atas kaum muslimin. Maka ia masuk dalam
jaminan kaum muslimin. Karena inilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرحْ
رَائِحَةَ الْجَنَّةَ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ
سَنَةً» [ أخرجه البخاري ]
“Siapa
yang membunuh kafir mu’ahad niscaya ia tidak akan mencium aroma surga dan
sesungguhnya aromanya tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.”[4]
Ini adalah ancaman keras terhadap orang
yang membunuh kafir mu’ahad, dan Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
﴿ وَلاَتَقْتُلُوا
النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ﴾ [الإسراء: 33]
Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. ...". (QS. al-Isra`:33)
Jiwa yang diharamkan Allah subhanahu
wa ta’ala adalah jiwa orang yang beriman dan jiwa kafir mu’ahad.
Maka kafir mu’ahad, Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan
jiwanya dan membunuhnya. Siapa yang membunuhnya berarti ia telah berkhianat dan
melanggar jaminan, maka atasnya ancaman berat dan Allah subhanahu wa ta’ala
mewajibkan diyat padanya. Maka siapa yang membunuh mereka karena keliru maka
hukumnya sama seperti hukum kaum muslimin, padanya wajib diyat dan kafarat:
﴿وَإِن
كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقُُ فَدِيَةُُ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى
أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ ﴾ [النساء: ٩١]
Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai)
antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut...
(QS. an-Nisa`:92)
Perhatikanlah, bagaimana Allah subhanahu
wa ta’ala mewajibkan diyat dan kafarat dalam membunuh orang kafir, apabila
ia kafir mu’ahad. Maka siapa yang membunuh kafir mu’ahad secara tidak sengaja
hukumnya sama seperti membunuh seorang mungkin secara tidak sengaja, yaitu
wajib membayar diyat dan kafarat, dan hal itu karena perjanjian yang ada di antara kita dan mereka. Dan Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman:
﴿وَأَوْفُوا
بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً {34} ﴾ [الإسراء: 34]
dan
penuhilah janji;
sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (QS. al-Isra`:34)
﴿ وَأَوْفُوا
بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدتُّمْ وَلاَتَنقُضُوا اْلأَيْمَانَ بَعْدَ
تَوْكِيدِهَا﴾ [النحل: ٩١]
Dan
tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu
membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, (QS. an-Nahl:91)
Dan demikian pula orang kafir yang tidak
ada perjanjian di antara kita dan mereka, akan tetapi ia masuk ke negeri kita
dengan ijin dari pemerintah (waliyul amri) yang membawa risalah dari
negaranya, atau datang sebagai duta besar bagi negaranya, atau datang untuk
belajar dan mengetahui Islam, maka ini dinamakan kafir musta`man
(diberikan jaminan aman), firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ
حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
قَوْمٌ لاَّيَعْلَمُونَ ﴾ [التوبة: 6]
Dan jika seseorang dari orang-orang musyirikin itu
meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar
firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke
tempat yang aman baginya. Demikian itu
disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. (QS. at-Taubah:6)
Ini adalah yang mendapat jaminan
keamanan, dipelihara terhadap hidupnya, tidak boleh disakiti sehingga ia
kembali ke negerinya.
Demikian pula orang yang berbuat baik
terhadap kaum muslimin dan tidak berbuat jahat kepada mereka, tidak terjadi
gangguan terhadap mereka, atau terjadi darinya kebaikan untuk kaum muslimin,
maka orang ini dibalas dengan kebaikan, sebagaimana firman Allah subhanahu
wa ta’ala:
﴿لاَيَنْهَاكُمُ
اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن
دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ ﴾ [الممتحنة: 8]
Allah tiada
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. al-Mumtahanah:8)
Maka orang orang kafir yang tidak
menggangu kaum muslimin, atau memberikan mashlahat bagi kaum muslimin, maka
mereka dibalas dengan kebaikan, karena agama Islam adalah agama keadilan dan
kesetiaan, maka berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka adalah
berdasarkan perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Seperti ini juga apabila
kedua orang tua masih kafir, maka sang anak wajib berbuat bakti kepada mereka,
akan tetapi tidak mengikuti mereka di atas agama kufur. Akan tetapi tidak gugur
hak mereka -hak berbakti kepada mereka-
dari sang anak:
﴿
وَوَصَّيْنَا اْلإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ
وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَىَّ الْمَصِيرُ
{14} وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَى أَن تُشْرِكَ بِي مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ
تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ
أَنَابَ إِلَىَّ ثُمَّ إِلَىَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ
تَعْمَلُونَ {15} ﴾ [لقمان: 14-15]
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibubapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. * Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah
kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah
kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Luqman:14-15)
Maka sang anak memperlakukan mereka dengan baik.
Ibu Asma` binti Abu Bakar radhiyallahu
‘anhuma datang kepadanya di Madinah, ia masih kafir, meminta pertolongan
dan bantuan darinya. Maka Asma` radhiyallahu ‘anha tidak berani
bertindak sehingga lebih dulu bertanya kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ia berkata: ‘Sesungguhnya ibuku datang dan ia membutuhkan bantuan,
apakah aku harus berbakti kepadanya? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: ‘Ya,hubungilah (berbaktilah) kepadanya ibumu.”[5]
Demikian pula orang yang datang ke
negeri kita, datang untuk bekerja, maka ini masuk dalam pemeliharaan kita,
dalam jaminan kita, kita tidak boleh menyakitinya, tidak membiarkan seseorang
menyakitinya atau menggangunya sehingga ia pulang ke negerinya, karena kita
yang mendatangkan mereka dan memberi jaminan keamanan kepadanya. Maka kita
wajib menepati janji dengan benar, karena Islam bukan agama khianat atau agama melanggar
janji. Menggangunya menyebabkan orang orang kafir menjauh dari masuk agama
Islam. Adapun bila mereka melihat perlakukan baik dari kaum muslimin, maka hal
ini merupakan dorongan agar mereka masuk Islam dan mendapatkan keadilan dalam
Islam. Dan Allah subhanahu wa ta’ala melarang melakukan tindakan
melewati batas terhadap orang orang kafir, firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا
تَعْمَلُونَ ﴾ [المائدة: 8]
...Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Maidah:8)
Jika terjadi sengketa di antara seorang
muslim dan seorang kafir di hadapan hakim/qadhi, maka hakim tidak boleh
cenderung kepada yang muslim apabila kebenaran bersama orang kafir, maka
sesungguhnya ia memutuskan untuknya (kafir) atas yang muslim. (Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu...)
Artinya, agama yang karateristiknya
seperti in?! perlakuannya seperti ini bersama manusia?! Ini adalah agama yang
agung, jika para pemeluknya mengenal hukum hukumnya dan menerapkannya niscaya
jadilah bagi agama ini keistimewaan yang agung, sebagaimana yang ada di masa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Saya menyebutkan satu cerita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berupa sikapnya bersama orang kafir. Tsumamah bin Atsal radhiyallahu ‘anhu
pemuka penduduk Yamamah dibawa dalam kondisi kafir. Ia ditawan oleh pasukan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ia datang dari
melaksanakan umrah. Mereka menawannya
dan membawanya ke Madinah, dan ia dalam kondisi kafir. Maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengikatnya di tiang masjid. Setiap kali Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melewatinya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya: ‘Apa yang ada di belakangmu, wahai Tsumamah? Ia menjawab:
‘Baik wahai Muhammad, jika engkau menghendaki harta maka ambillah harta, dan
jika engkau memaafkan niscaya engkau memberi maaf kepada orang yang berterima
kasih. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi pertanyaan
setiap kali melewatinya: ‘Apa yang ada di belakangmu, wahai Tsumamah?
Dan ia menjawab dengan jawaban yang sama. Akhirnya beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Lepaskanlah Tsumamah.’ Maka mereka
melepaskannya, lalu Tsumamah pergi ke dekat pohon kurma yang ada di dekat
masjid, lalu berwudhu dan bersuci, kemudian ia datang kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan berkata: ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang
berhak disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dan aku bersaksi bahwa
engkau adalah utusan Allah. Demi Allah, tidak ada seorang pun di muka yang
lebih kubenci selain engkau dan tidak ada wajah di muka bumi yang lebih kubenci
selain wajah engkau, dan tidak ada agama yang paling kubenci selain agamamu. Dan
sekarang demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau adalah yang paling
kucintai dan sesungguhnya agamamu adalah agama yang paling kucintai.[6]
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memperlakukannya dengan baik karena ia berada dalam
jaminan kaum muslimin dan tertawan di sisi mereka dan tidak berbuat jahat
kepadanya. Maka hal itu menjadi sebab ia masuk islam, dan hal itu menjadi sebab
Tsumamah memblokade terhadap penduduk Mekkah karena mereka membeli biji bijian
dari Yamamah. Tatkala Tsumamah radhiyallahu ‘anhu masuk Islam, ia
melarang penduduk Mekah mengimpor biji bijian (gandum dll) dari Yamamah.
Maka ini adalah hasil sikap lembut
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap tawanan ini. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman dalam memuji orang orang yang berbakti:
﴿ وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا
وَأَسِيرًا ﴾ [الإنسان: 8]
Dan
mereka memberikan makanan yang disukainya kepada
orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (QS. al-Insan:8)
Allah subhanahu wa ta’ala
menjadikan sifat berbuat baik kepada para tawanan termasuk sifat orang orang
abrar, dan ini termasuk sebab banyaknya orang orang masuk Islam.
Sebagai kesimpulan dari hal ini bahwa
apabila orang kafir berada di tengah tengah kita dan di bawah keamanan kita,
maka tidak boleh bagi seseorang melakukan tindakan melewati batas terhadapnya,
dan siapa yang melakukan tindakan melewati batas terhadapnya maka sesungguhnya
ia maksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya, serta pantas
mendapat hukuman, karena ia telah berbuat buruk terhadap Islam dan
mencemarkannya. Demikian pula kita melakukan transaksi bersama orang orang
kafir dalam hal hal yang dibolehkan, seperti jual beli, mengimfor barang barang
kebutuhan, mengimfor senjata dan mengambil manfaat dengan keahlian mereka, karena ini adalah termasuk yang dibolehkan
oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan ini mengandung kekuatan bagi kaum
muslimin.
Mereka di masa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam melakukan perdagangan bersama orang orang kafir, membeli dari
mereka dan menjual kepada mereka. Ini termasuk mashlahat di antara sesama
manusia. Demikian pula para ahli dari mereka, kita mengambil faedah dari
keahlian mereka, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala
keluar berhijrah dari Makkah ke Madinah menyewa seorang laki laki dari orang
kafir, yaitu Abdullah bin Uraiqizh al-Laitsy, ia adalah seorang penunjuk jalan
yang ahli, maka beliau menyewanya untuk menunjukkan jalan.[7] Maka beliau mengambil
faedah dari keahliannya tentang jalan dan memberi upah kepadanya. Maka ini
untuk mashlahat kaum muslimin dan memberi kesempatan kepada orang kafir agar
mereka menyukai Islam apabila ia melihat perilaku yang baik ini.
Ringkasnya, Islam adalah agama dakwah
dan agama jihad fi sabilillah, jihad yang sesuai al-Qur`an dan sunnah, bukan
permusuhan dan tindakan melewati batas terhadap orang orang yang diberi jaminan
keamanan dan kafir mu’ahad dengan ledakan,
atau pelanggaran perjanjian dan khianat. Ini bukanlah akhlak Islam dan bukan
pula dari akhlak Islam, bahkan termasuk akhlak orang orang jahat dan
pengkhianat, dan bukan termasuk akhlak kaum muslimin.
Kita wajib mengingatkan perkara besar
ini, dan di antaranya adalah pergaulan di antara kaum muslimin dan orang orang
kafir, dan ini tidak mungkin kecuali dengan kembali kepada Kitabullah (al-Qur `an) dan kepada Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan kepada kitab para ulama.
Demikian pula di antara yang kita
bergaul dengannya bersama orang orang kafir, bahwa apabila mereka adalah ahlu
dzimmah (kafir dzimmy) atau ahli ‘ahdy (orang kafir yang terikat
perjanjian) yang hidup di negara kita dan di bawah pemerintahan kita, maka
sesungguhnya kita memberi kesempatan kepada mereka untuk melakukan ibadah
mereka, apabila hanya di antara mereka secara rahasia dan tidak menampakkan hal
itu di antara manusia. Mereka hanya melakukannya di rumah rumah dan tempat
tempat khusus mereka. Adapun mereka menampakkan ibadah mereka di negara kaum
muslimin maka ini tidak boleh, dan ini bukanlah hak mereka.
Ringkasnya, sesungguhnya bergaul bersama
orang orang kafir dalam agama Islam ada ruang lingkup yang sangat banyak, ada
hukum hukumnya, ada catatan catatannya yang kita temukan dalam al-Qur`an, dalam
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dalam sirahnya shallallahu
‘alaihi wa sallam, serta dalam kitab para ulama. Maka barangsiapa yang
ingin mengenal hal ini maka ia merujuk referensi referensi yang dipercaya dari para ulama, seperti kitab ‘Ahkam ahli
dzimmah’ karya Ibnul Qayyim, setelah al-Qur`an, sunnah dan sirah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, agar seorang muslim berdasarkan ilmu dari perkara ini.
Karena sesungguhnya ia menjadi samar terhadap manusia pada masa ini dalam
perkara bergaul bersama orang orang kafir. Maka manusia dari kalangan ekstrem
atau dari orang orang bertujuan khusus bahwa agama Islam adalah agama
permusuhan, sesungguhnya ia tidak menepati janji, bahwa hukum orang kafir
adalah dibunuh, ditumpahkan darahnya, diambil hartanya tanpa catatan syar’i,
tanpa kembali kepada pemerintah (waliyul amri) dan kepada para ulama, yang
menyebabkan kekacauan di sisi kaum muslimin, penguasaan orang orang kafir
terhadap kaum muslimin, dan jadilah sekarang orang orang kafir menggambarkan
setiap muslim sebagai teroris, disebabkan perlakukan sembarangan dari sebagian
kaum muslimin yang bodoh.
Kita wajib bertaqwa kepada Allah subhanahu
wa ta’ala, kembali kepada agama kita dengan benar, kita bertanya kepada
para ulama kita:
﴿ وَإِذَا جَآءَهُمْ أَمْرُُ مِّنَ اْلأَمْنِ أَوْ الْخَوْفِ
أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِى اْلأَمْرِ
مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللهِ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً ﴾ [النساء: 83]
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada
Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil
Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah
kamu mengikut syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu). (QS. an-Nisa`:83)
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala
memberi taufik kepada saya dan kamu serta semua umat Islam untuk keridhaan-Nya,
semoga Dia subhanahu wa ta’ala memberi taufik kepada semua untuk
mendapat ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, serta faham terhadap agama Allah
subhanahu wa ta’ala. Semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada
nabi kita Muhammad, para keluarga dan sahabatnya...
Post a Comment