Dimanakan Muhasabah Kita?
Dimanakan Muhasabah Kita?
Segala puji hanya untuk Allah
Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Aku bersaksi bahwa tidak
ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Shubhanahu wa ta’alla semata yang tidak ada sekutu
bagi -Nya, dan
aku juga bersaksai bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi
wa sallam adalah seorang hamba dan utusan -Nya. Amma ba'du:
Dalam sebuah
ayat Allah azza wa jalla berfirman:
﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ
ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ
إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ ١٨ ﴾ [ الحشر: 18]
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk
hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan".
(AS al-Hasyr: 18).
Imam
Ibnu Qoyim menjelaskan tafsir ayat ini, "Ayat ini menunjukkan akan wajibnya
melakukan muhasabah (instropeksi) diri. Allah Shubhanahu wa ta’alla memerintahkan, "Supaya kalian
memperhatikan amalan apa yang telah kalian persiapkan untuk hari kiamat kelak,
apakah amal sholeh yang akan menyelamatkan dirimu? Ataukah amal kejelekan yang
justru akan menyengsarakannya?". [1] Imam
Hasan Bashri mengatakan, "Tidak ada waktu yang tersisa yang menjumpai
seorang mukmin melainkan ia harus gunakan untuk muhasabah. Apa yang akan
dikerjakan? Apa yang ingin dia makan dan minum? Adapun orang fajir maka dirinya
terus berlalu tidak pernah menghisab dirinya sendiri". [2]
Sedang
Imam al-Mawardi menerangkan, "Muhasabah adalah seseorang mengoreksi diri
secara tuntas diwaktu keheningan malam terhadap perbuatan yang dilakukan pada
siang hari. Jika hasilnya terpuji maka dia terus berlalu, sambil dibarengi
keesokannya dengan perbuatan yang serupa sambil memperbaikinya lagi. Dan bila
hasilnya tercela maka dia berusaha untuk mengoreksi dimana letaknya, lalu
mencegah untuk tidak mengulanginya lagi pada hari esok ". [3]
Muhasabah
itu ada dua macam: Muhasabah sebelum berbuat dan yang kedua muhasabah seusai
melakukan perbuatan.
1.
Adapun jenis yang pertama, yaitu
dirinya merenung sejenak manakala baru timbul keinginan serta kemauan lantas
dirinya melihat, apakah perbuatan yang akan dilakukannya ini sesusai dengan
al-Qur'an dan sunah Rasulallah Shalallah
'alaihi wa sallam atau tidak? Jika sesuai maka terus
kerjakan, bila menyelisihi maka tinggalkan.
Selanjutnya lihat, apakah kalau
dikerjakan membawa kebaikan padanya dari pada ketika tidak mengerjakan? Atau
meninggalkannya lebih membawa maslahat baginya? Jika lebih besar kemungkinan
yang kedua maka segera tinggalkan jangan dikerjakan dahulu. Kemudian lihat
lagi, kalau tujuan beramalnya untuk Allah Shubhanahu
wa ta’alla maka segera lakukan, bila hanya sekedar mencari kedudukan, atau
pujian atau harta dari makhluk segera tinggalkan.
2.
Adapun untuk jenis yang kedua,
yaitu muhasabah seusai mengerjakan perbuatan, maka dalam hal ini terbagi menjadi tiga
macam:
a.
Muhasabah pada ketaatan yang
banyak kekurangan didalamnya, disaat pengerjaan kewajiban kepada Allah ta'ala
belum sesuai dengan harapan yang seharusnya dituntut. Dan
hak Allah Shubhanahu
wa ta’alla dalam ketaatan itu ada enam perkara:
1)
Ikhlas kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla
didalam amalannya.
2)
Menasehati Allah Shubhanahu wa ta’alla
didalam amalan tersebut.
3)
Mengikuti Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam.
4)
Mengakui adanya ihsan
didalamnya.
5)
Mengakui nikmat Allah Shubhanahu wa ta’alla kepadanya.
6)
Mengakui kekurangan syukur
pada nikmat tersebut.
Selanjutnya dia berusaha untuk
muhasabah pada enam perkara diatas, apakah dirinya telah memenuhi enam perkara
tadi sesuai dengan kewajibannya? Apakah dirinya telah mengerjakan
ketaatan-ketaatan ini?
b.
Muhasabah atas
larangan-larangan yang ada. Jika dirinya menjumpai telah menerjang salah
satunya maka segera iringi dengan bertaubat, istighfar, dan amalan-amalan kebajikan yang bisa
menghapusnya.
c.
Muhasabah atas setiap amalan
yang telah ditinggalkan namun membawa kebajikan jikalau ia kerjakan.
d.
Muhasabah pada perkara mubah
atau kebiasaan, kenapa ia kerjakan? Apakah ia kerjakan ingin mengharap ridho
Allah Shubhanahu
wa ta’alla dan kampung akhirat? Sehingga
ia beruntung, atau dia mengerjakannya hanya bertujuan dunia yang ia inginkan?
Maka dirinya telah merugi serta luput dari keuntungan tersebut. [4]
Sahabat
Umar bin Khatab radhiyallahu 'anhu pernah memberi petuahnya, "Hisablah
diri kalian sendiri sebelum datangnya hisab atas kalian. Timbanglah (amal
sholeh) kalian sebelum ditimbang (kelak pada hari kiamat). Sesungguhnya lebih
mudah atas kalian menghisab pada hari ini dari pada didalam hisab esok (pada
hari kiamat). Perbaguslah
amalan-amalan yang baik sebagai bekal esok, sebagai persiapan pada hari yang
ketika itu akan dinampakan amal kalian sehingga tidak ada
yang tersembunyi sedikitpun". [5]
Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu juga pernah
mengatakan, "Aku pernah mendengar Umar bin Khatab pada suatu hari ketika
aku pergi bersamanya sampai masuk pada sebuah kebun maka aku mendengar beliau
berkata sedang antara diriku dan beliau ada tembok penghalang, ketika beliau
berada didalam kebun tersebut beliau berkata, "Umar bin Khatab Amirul
Mukminin celaka kamu. Demi Allah, benar-benar kiranya engkau bertakwa kepada
Allah Shubhanahu wa ta’alla, wahai
Ibnu Khatab atau -Dia akan mengadzabmu".[6]
Ibrahim
at-Taimi mengatakan, "Aku pernah membayangkan diriku berada didalam surga.
Memakan buah-buahannya, aku minum dari sungainya, mencumbui bidadarinya.
Kemudian aku juga pernah membayangkan diriku berada didalam neraka,
memakan zaqum makanan penduduk neraka, minum air nanah bercampur darah penghuni
neraka, berusaha melepas tali dan rantai yang mengikatku. Lantas aku katakan
pada diriku sendiri, "Duhai diriku, dimana tempat yang engkau inginkan?
Hatiku menyahut, "Aku ingin untuk kembali kedunia lalu beramal
sholeh". Maka aku jawab, "Engkau akan terturuti maka
kerjakanlah".[7]
Al-Ghazali
mengatakan, "Orang-orang yang berakal dari kalangan hamba Allah Shubhanahu wa ta’alla mengetahui
bahwa Allah ta'ala selalu mengawasinya. Dan bahwasannya mereka akan didebat atas amalannya kelak pada
hari hisab, lalu mereka dituntut untuk menambah bobot timbangan
dari peluang-peluang amal yang terlintas dalam pikiran. Maka mereka
mendapatkan bahwa tidak mungkin mereka selamat dari apa yang terlintas tersebut
melainkan dengan cara muhasabah, benar didalam muroqobahnya, selalu menuntut
pada jiwa, polah dan tingkah lakunya. Serta muhasabah dalam setiap pikiran yang
terlintas dalam benaknya.
Maka
barangsiapa yang mengintropeksi diri sebelum dihisab dirinya akan ringan
didalam hisabnya kelak pada hari kiamat, manakala hadir dalam pertanyaan serta
jawaban, serta akan berakibat baik. Dan barangsiapa yang enggan untuk
instropeksi diri dia akan cepat merasakan kerugian, menunggu dalam waktu yang
lama pada hari kiamat kelak, dan kesalahannya sebagai penuntun pada kehinaan
dan siksaannya".[8]
Dan
perkara yang paling berbahaya bagi seorang muslim adalah lalai dan enggan untuk
muhasabah, membiarkan dan bermudah-mudah dalam urusannya serta berjalan apa
adanya. Maka hal ini akan mengantar dirinya pada kebinasaan. Inilah keadaan
orang-orang yang tertipu, memicingkan mata, tidak mau tahu akan akhir
perjalanan, berjalan dengan keadaan, bersandar pada kemurahan Allah Shubhanahu wa
ta’alla sehingga menjadikan dirinya enggan untuk muhasabah dan
melihat pada hukumannya.
Jika dirinya sudah biasa melakukan hal tersebut maka
akan begitu mudah bagi dirinya untuk terjatuh dalam perbuatan dosa tanpa
malu-malu. Dia akan kesulitan untuk menyadari untuk segera berhenti, kalau
seandainya pikiranya bangkit tentu dia akan paham bahwa merawat itu lebih mudah
dari pada menyapihnya. Lalu dirinya segera
meninggalkan perkara jelek yang dicintai dan biasa dilakukan.[9]
Maka seharusnya bagi seorang mukmin yang beriman
kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dan
hari akhir yang bijaksana, tidak melalaikan untuk senantiasa muhasabah dan
mempersempit ruang geraknya, baik ketika bertindak, dalam keadaan diam,
berpikiran, serta berjalannya. Karena setiap desahan nafas yang keluar darinya
adalah bagian dari umurnya yang sangat berharga yang
tidak mungkin bisa dibeli dengan harta paling berharga sekalipun, sebuah
kenikmatan yang tidak pernah terputus selama-lamanya. Sehingga menyia-yiakan
desahan nafas ini atau pemiliknya berusaha untuk membelinya maka tidak akan
merubah kebinasaanya, serta kerugian yang sangat besar yang tidak akan
dirasakan kecuali oleh orang yang paling bodoh, pandir, dan minim akalnya. Hanya saja kerugian nyata ini,
akan dia rasakan pada hari pembalasan kelak. Allah ta'ala berfirman:
﴿ يَوۡمَ تَجِدُ كُلُّ نَفۡسٖ مَّا عَمِلَتۡ مِنۡ خَيۡرٖ مُّحۡضَرٗا وَمَا عَمِلَتۡ مِن سُوٓءٖ تَوَدُّ لَوۡ أَنَّ بَيۡنَهَا
وَبَيۡنَهُۥٓ أَمَدَۢا بَعِيدٗاۗ ٣٠﴾ [آل عمران: 30 ]
"Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala
kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah
dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang
jauh". (QS al-Imran: 30).[10]
Faidah dari muhasabah:
1.
Menjumpai adanya kekurangan dalam dirinya. Dan orang
yang tidak menyadari adanya kekurangan dari dirinya tidak mungkin sanggup untuk
mengobatinya.
2.
Bukti akan takutnya kepada Allah Shubhanahu wa
ta’alla dan persiapan untuk bertemu dengan -Nya.
3.
Akan menjadi jelas bagi seorang mukmin hakekat
keuntungan dan kerugian sejati.
4.
Muhasabah didunia akan memudahkan seorang mukmin kelak
pada hari kiamat.
5.
Sebagai bentuk memenuhi perintah Allah ta'ala.
6.
Menjauhkan diri dari kelalaian, terjatuh dalam lumpur
kemaksiatan dan dosa.
7.
Akan menolong seorang mukmin dan membantunya untuk
segera mendapatkan sisi kekurangan dari pengerjaan kewajiban dan amalan sunah.
8.
Akan membuahkan kecintaan kepada Allah Shubhanahu wa
ta’alla dan mendapat keridhoan -Nya.
- Dengan cara tersebut akan mengetahui hak Allah Shubhanahu wa ta’alla yang harus ia tunaikan. Dan bagi siapa yang tidak mengetahui hak Allah Shubhanahu wa ta’alla yang harus ia kerjakan maka ibadahnya hanya sekedarnya dan sangat sedikit sekali memberi dampak positif baginya.
- Bahwa baiknya hati bisa tercapai dengan muhasabah, sebaliknya rusaknya hati akibat dari jauhnya muhasabah dan tidak memperdulikannya.[11]
[11] . Ighatsatul Lahfan 1/156, karya
Ibnu Qoyim. Dan Nadhratun Na'im fii Makarimi Akhlakir Rasul Karim 8/3317-3324.
Post a Comment