Jalan Menuju Surga
Jalan Menuju Surga
عَنْ أَبِـيْ عَبْدِِ اللهِ جَابِِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلأ َنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْـمُكْتُوْبَاتِ ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ ، وَأَحْلَلْتُ الْـحَلاَلَ ، وَحَرَّمْتُ الْـحَرَامَ ، وَلَـمْ أَزِدْ عَلَـى ذَلِكَ شَيْئًا ، أَأَدْخُلُ الْـجَنَّةَ ؟ قَالَ : « نَعَمْ». قَالَ : وَاللهِ ، لاَ أَزِيْدُ عَلَى ذَلِكَ شَيْئًا [ رواه مسلم ]
Dari Abu ‘Abdillâh Jâbir bin ‘Abdillâh al-Anshâri Radhiyallahu anhuma bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia berkata, “Bagaimana pendapat Anda jika aku melakukan shalat fardhu, berpuasa Ramadhan, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, dan aku tidak menambah sedikit pun akan hal itu, apakah aku akan masuk surga?” Beliau menjawab, “Ya.” Laki-laki itu berkata, “Demi Allah Azza wa Jalla , aku tidak akan menambah sedikit pun atas yang demikian itu.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 15 (18)),
Ahmad (III/316, 348), dan Abu Ya’ala (no. 1936, 2291), Abu ‘Awânah (I/4-5), dan
Ibnu Mandah dalam Kitâbul Imân (no. 137).
SYARAH HADITS
Orang laki-laki yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam hadits ini ialah an-Nu’mân bin Qauqal al-Khuzâ’i Radhiyallahu
anhu , seorang Sahabat yang mengikuti Perang Badar dan terbunuh pada Perang
Uhud.
1. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah rahmat
bagi seluruh alam Allah Azza wa Jalla telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi manusia, menyelamatkan mereka dari
kesesatan yang akan menjerumuskan mereka ke neraka dan menuntun mereka ke jalah
hidayah yang akan menyampaikan ke surga. Jalan ke sana adalah jalan yang jelas
dan mudah. Allah Azza wa Jalla memberikan batasan-batasannya dan mewajibkan
adab-adabnya. Barang-siapa komitmen dan berpegang teguh akan disampaikan ke
surga dan barangsiapa melewati batas dan menyalahinya akan dicampakkan ke dalam
neraka. Sesungguhnya yang telah ditetapkan dan diwajibkan oleh Allah Azza wa
Jalla ada pada batas kemampuan manusia karena Allah Azza wa Jalla menghendaki
kemudahan dan tidak menghendaki kesusahan bagi hamba-Nya. Inilah yang tampak
dengan jelas pada petunjuk Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits
ini dan hadits-hadits yang semisalnya. [1]
2. Rindu surga dan menempuh jalannya
Jâbir Radhiyallahu anhu menceritakan tentang seorang Mukmin yang bercita-cita masuk surga yang luasnya seperti langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Dia datang kepada Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan tentang jalannya dan meminta fatwa tentang amal yang akan memasukkannya ke dalam surga yang sangat luas, maka Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan kepada yang diinginkannya untuk mewujudkan cita-citanya.
Ada hadits yang semakna dengan hadits di atas. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang Arab Badui berkata, “Wahai Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Tunjukkanlah aku amalan yang jika aku kerjakan maka aku akan masuk surga.” Beliau menjawab: “Engkau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, mengerjakan shalat fardhu, membayar zakat yang wajib, dan berpuasa Ramadhan.” Orang itu berkata, “Demi (Allah Azza wa Jalla ) yang mengutus engkau dengan kebenaran, aku tidak akan menambahnya sedikit pun selamanya dan tidak akan menguranginya. Ketika ia telah pergi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang senang melihat kepada seseorang dari penghuni surga, maka hendaklah ia melihat orang ini.” [2]
Jâbir Radhiyallahu anhu menceritakan tentang seorang Mukmin yang bercita-cita masuk surga yang luasnya seperti langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Dia datang kepada Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan tentang jalannya dan meminta fatwa tentang amal yang akan memasukkannya ke dalam surga yang sangat luas, maka Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan kepada yang diinginkannya untuk mewujudkan cita-citanya.
Ada hadits yang semakna dengan hadits di atas. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang Arab Badui berkata, “Wahai Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Tunjukkanlah aku amalan yang jika aku kerjakan maka aku akan masuk surga.” Beliau menjawab: “Engkau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, mengerjakan shalat fardhu, membayar zakat yang wajib, dan berpuasa Ramadhan.” Orang itu berkata, “Demi (Allah Azza wa Jalla ) yang mengutus engkau dengan kebenaran, aku tidak akan menambahnya sedikit pun selamanya dan tidak akan menguranginya. Ketika ia telah pergi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang senang melihat kepada seseorang dari penghuni surga, maka hendaklah ia melihat orang ini.” [2]
Dari Thalhah bin ‘Ubaidillâh Radhiyallahu anhu bahwa seorang
Arab Badui datang menemui Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
keadaan rambutnya kusut, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam ! Kabarkan kepadaku, shalat apa yang diwajibkan Allah Azza wa Jalla
atasku?” Beliau menjawab, “Shalat yang lima waktu, kecuali jika engkau
mengerjakan salah satu yang disunnahkan.” Orang itu berkata, “Kabarkan kepadaku
puasa apa yang Allah Azza wa Jalla wajibkan atasku?” Beliau menjawab, “Puasa
Ramadhan, kecuali jika engkau mau mengerjakan puasa yang sunnah.” Orang itu
berkata, “Kabarkanlah kepadaku zakat apa yang Allah Azza wa Jalla wajibkan
atasku?” Kemudian Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkannya
tentang syari’at-syari’at Islam. Kemudian orang itu berkata, “Demi (Allah Azza wa
Jalla ) yang telah memuliakanmu dengan kebenaran, aku tidak mengerjakan suatu
amalan sunnah dan aku tidak mengurangi apa yang telah Allah Azza wa Jalla
wajibkan atasku sedikit pun.” Maka Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Jika ia benar (jujur), ia akan beruntung.” Atau beliau bersabda,
“Jika ia benar (jujur), ia akan masuk surga.”[3]
Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang Arab
Badui bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian dia
menyebutkan hadits semakna dengan di atas dan menambahkan di dalamnya, “Haji ke
Baitullâh bagi yang mampu menuju ke sana.” Maka orang itu berkata, “Demi (Allah
Azza wa Jalla ) yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan menambahnya
dan tidak akan menguranginya.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Jika ia benar (jujur), sungguh, ia akan masuk surga.”[4]
Yang dimaksud oleh orang Arab Badui itu adalah bahwa ia tidak
menambahkan ibadah-ibadah sunnah selain dari shalat yang wajib, zakat yang
wajib, puasa Ramadhan, dan haji ke Baitullâh. Jadi, ia bukan bermaksud tidak
mengerjakan satu pun dari syari’at-syari’at Islam dan kewajiban-kewajiban
selain ibadah di atas. Hadits-hadits di atas tidak menyebutkan sikap menjauhi
hal-hal yang diharamkan, karena penanya bertanya kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang perbuatan-perbuatan yang memasukkan pelakunya ke
surga.[5]
Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang melaksanakan
kewajiban dan menjauhi apa-apa yang diharamkan maka akan masuk surga. Dan
banyak hadits-hadits yang menunjukkan bahwa masuk Surga itu dengan melaksanakan
kewajiban mentauhidkan Allah Azza wa Jalla , di antaranya: diriwayatkan dari
Abu Dzar Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau
bersabda:
" مَا مِنْ عَبْدٍ
قَالَ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ثُمَّ
مَاتَ عَلَى ذَلِكَ إِلاَّ دَخَلَ
الْـجَنَّة " [رواه البخاري ومسلم ]
“Tidaklah seorang hamba mengucapkan, ‘Lâ
ilâha illallâh (tidak ada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah
Azza wa Jalla ) kemudian ia mati dalam keadaan seperti itu, kecuali ia masuk
surga.” Aku (Abu Dzar Radhiyallahu anhu)
bertanya, “Meskipun ia berzina dan mencuri? ” Beliau menjawab, “Meskipun ia berzina dan mencuri.” Beliau
mengulanginya tiga kali, kemudian pada kali keempat beliau bersabda, “Meskipun
Abu Dzar Radhiyallahu anhu tidak menyukainya.” Abu Dzar Radhiyallahu anhu pun
keluar dan berkata, “Kendati Abu Dzar Radhiyallahu anhu tidak menyukainya.”[6]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَنَّ
مُـحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَأَنَّ عِيْسَى عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ
وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَـى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ وَأَنَّ الْـجَنَّةَ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ
أَدْخَلَهُ اللهُ الْـجَنَّةَ عَلَـى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ" [ متفق عليه ]
“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada
ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Azza wa Jalla semata,
tidak ada sekutu bagi-Nya; bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
hamba dan Rasul-Nya, bahwa ‘Isa adalah hamba Allah Azza wa Jalla , Rasul-Nya,
kalimat dan ruh-Nya yang dimasukkan kepada Maryam, bahwa surga itu benar, dan
neraka itu benar, maka Allah Azza wa Jalla memasukkannya ke dalam surga menurut
apa yang ia amalkan.” [7]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda
kepada Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu :
"مَا مِنْ عَبْدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَـى النَّارِ"
“Tidaklah seorang hamba bersaksi bahwa
tidak ada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Azza wa Jalla
dan bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya,
melainkan Allah Azza wa Jalla mengharamkannya atas neraka.” [8]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَـى النَّارِ
مَنْ قَالَ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِيْ بِهَا وَجْهَ اللهِ" [متفق
عليه]
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah
mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan, ‘Tidak ada ilâh yang berhak
diibadahi dengan benar selain Allah Azza wa Jalla ,’ dan ia mencari wajah Allah
Azza wa Jalla dengannya.”[9]
Sejumlah Ulama mengatakan bahwa sesungguhnya kalimat tauhid
sebagai sebab masuk ke dalam surga dan diselamatkan dari neraka. Tetapi ia
memiliki beberapa syarat, yaitu melakukan berbagai kewajiban dan menjauhi
penghalangnya yaitu menjauhi dosa-dosa besar [10]
Al-Hasan rahimahullah berkata kepada al-Farazdaq,
“Sesungguhnya kalimat lâ ilâha illallâh memiliki syarat-syarat. Maka jauhilah
olehmu menuduh zina wanita-wanita yang menjaga kehormatannya.”[11]
Dikatakan kepada Wahb bin Munabbih rahimahullah, “Bukankah
kalimat lâ ilâha illallâh itu kunci surga?” Ia menjawab, “Benar, tetapi tidak
ada satu kunci melainkan ia mempunyai gigi-gigi. Jika engkau datang dengan
kunci yang bergigi, maka engkau akan dibukakan, jika tidak, tidak akan dibukakan
baginya.”[12]
Sejumlah Ulama berkata bahwa hadits-hadits yang mutlak itu dibatasi, yaitu kalimat tauhid yang diucapkan dengan jujur (benar) dan ikhlas serta tidak melakukan maksiat terus-menerus.[13]
Realisasi hati terhadap makna lâ ilâha illallâh, kejujuran hati dengannya, dan keikhlasannya dengannya membuat hati beribadah kepada Allah Azza wa Jalla saja, mengagungkan-Nya, segan kepada-Nya, takut kepada-Nya, mencintai-Nya, berharap kepada-Nya, dan bertawakkal kepada-Nya, dan membuat hati tidak menjadikan makhluk sebagai tuhan yang disembah selain Allah Azza wa Jalla . Jika itu terjadi, maka di hati tersebut tidak ada cinta, keinginan, dan maksud kepada apa yang tidak diinginkan Allah Azza wa Jalla , dicintai-Nya, dan dikehendaki-Nya. Barangsiapa mencintai sesuatu dan taat kepadanya, mencintai dan membenci karenanya, maka sesuatu tersebut adalah Rabbnya. Jadi, barangsiapa tidak mencintai dan membenci kecuali karena Allah Azza wa Jalla , tidak berloyal dan memusuhi kecuali karena Allah Azza wa Jalla , sungguh, Allah Azza wa Jalla adalah Rabbnya. Dan barangsiapa mencintai hawa nafsunya, membenci karenanya, berdamai dan memusuhi karenanya, maka tuhannya ialah hawa nafsunya, seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla :
Sejumlah Ulama berkata bahwa hadits-hadits yang mutlak itu dibatasi, yaitu kalimat tauhid yang diucapkan dengan jujur (benar) dan ikhlas serta tidak melakukan maksiat terus-menerus.[13]
Realisasi hati terhadap makna lâ ilâha illallâh, kejujuran hati dengannya, dan keikhlasannya dengannya membuat hati beribadah kepada Allah Azza wa Jalla saja, mengagungkan-Nya, segan kepada-Nya, takut kepada-Nya, mencintai-Nya, berharap kepada-Nya, dan bertawakkal kepada-Nya, dan membuat hati tidak menjadikan makhluk sebagai tuhan yang disembah selain Allah Azza wa Jalla . Jika itu terjadi, maka di hati tersebut tidak ada cinta, keinginan, dan maksud kepada apa yang tidak diinginkan Allah Azza wa Jalla , dicintai-Nya, dan dikehendaki-Nya. Barangsiapa mencintai sesuatu dan taat kepadanya, mencintai dan membenci karenanya, maka sesuatu tersebut adalah Rabbnya. Jadi, barangsiapa tidak mencintai dan membenci kecuali karena Allah Azza wa Jalla , tidak berloyal dan memusuhi kecuali karena Allah Azza wa Jalla , sungguh, Allah Azza wa Jalla adalah Rabbnya. Dan barangsiapa mencintai hawa nafsunya, membenci karenanya, berdamai dan memusuhi karenanya, maka tuhannya ialah hawa nafsunya, seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla :
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya...”
[al-Jâtsiyah/45:23]
Al-Hasan rahimahullah berkata, “Orang yang dimaksud ialah
orang yang tidak menginginkan sesuatu melainkan menurutinya.”
Qatâdah rahimahullah berkata, “Dia adalah orang yang setiap kali menginginkan sesuatu maka ia menurutinya dan setiap kali menghendaki sesuatu maka ia mengerjakannya. Wara’ dan takwa tidak dapat menghalanginya darinya.”
Qatâdah rahimahullah berkata, “Dia adalah orang yang setiap kali menginginkan sesuatu maka ia menurutinya dan setiap kali menghendaki sesuatu maka ia mengerjakannya. Wara’ dan takwa tidak dapat menghalanginya darinya.”
Demikian juga orang yang mematuhi setan dalam bermaksiat
kepada Allah Azza wa Jalla , maka ia telah menjadi hambanya. Seperti
difirmankan Allah Azza wa Jalla :
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan?...” [Yâsîn/36:60]
Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa realisasi makna lâ ilâha illallâh tidak sah kecuali bagi orang yang di hatinya tidak ada maksud untuk mencintai apa saja yang dibenci Allah Azza wa Jalla . Jika di hati seseorang terdapat sesuatu darinya, maka itu mengurangi tauhid dan merupakan syirik yang tersembunyi. Oleh karena itu tentang firman Allah:
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan?...” [Yâsîn/36:60]
Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa realisasi makna lâ ilâha illallâh tidak sah kecuali bagi orang yang di hatinya tidak ada maksud untuk mencintai apa saja yang dibenci Allah Azza wa Jalla . Jika di hati seseorang terdapat sesuatu darinya, maka itu mengurangi tauhid dan merupakan syirik yang tersembunyi. Oleh karena itu tentang firman Allah:
“...Janganlah mempersekutukan-Nya dengan apa pun...”
[al-An’âm/6:151]
Mujâhid rahimahullah berkata, “Maksudnya, janganlah kalian mencintai selain Aku.”[14]
Mujâhid rahimahullah berkata, “Maksudnya, janganlah kalian mencintai selain Aku.”[14]
Dengan demikian menjadi jelaslah makna dari sabda Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada ilâh yang
berhak diibadahi dengan benar selain Allah Azza wa Jalla dengan benar dari
hatinya, maka Allah Azza wa Jalla mengharamkannya atas neraka.” Dan bahwa orang
yang masuk neraka dari orang-orang yang mengucapkan kalimat tersebut tidak lain
disebabkan karena minimnya kejujurannya dalam mengatakannya, karena jika
kalimat tersebut diucapkan dengan jujur (benar), hati pun menjadi bersih dari
apa saja selain Allah Azza wa Jalla . Barangsiapa benar dalam mengucapkan lâ
ilâha illallâh, ia tidak akan mencintai selain-Nya, tidak mengharap kecuali
kepada-Nya, tidak takut kecuali kepada Allah Azza wa Jalla , tidak bertawakkal
kecuali kepada Allah Azza wa Jalla , dan tidak tersisa pada dirinya untuk lebih
mendahulukan dirinya sendiri dan hawa nafsunya. Kapan saja dalam hatinya
terdapat keinginan mendahulukan selain Allah Azza wa Jalla , maka itu
disebabkan sedikitnya kejujuran dalam mengucapkannya.[15]
Makna ini diperkuat oleh hadits Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu
anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:
" مَنْ كَانَ
آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْـجَنَّـةَ " [ رواه أحمد
]
“Barangsiapa yang akhir ucapannya adalah
lâ ilâha illallâh maka ia masuk surga.”[16]
Karena itu, orang yang hampir meninggal dunia hendaklah
mengucapkan kalimat " لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ "
dengan ikhlas, taubat, menyesali dosa-dosa yang lalu, dan tekad untuk tidak
mengulanginya lagi. Pendapat ini dipilih oleh al-Khaththâbi dalam kitabnya
khususnya tentang tauhid dan itu hal yang baik.[17]
3. Senantiasa melaksanakan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan adalah pangkal kemenangan
An-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu bertanya apakah jika ia mengerjakan semua yang ditanyakannya dalam hadits di atas dan tidak menambahnya dengan keutamaan-keutamaan yang lain yang disunnahkan seperti mengerjakan ibadah-ibadah sunnah atau meninggalkan yang makruh, seperti wara’ terhadap hal-hal yang dimubahkan; apakah itu sudah cukup untuk dapat memasukkannya ke dalam surga yang merupakan harapan dan cita-citanya tertinggi bersama orang-orang yang mendekatkan diri dan para pendahulu yang baik tanpa menyentuh adzab dan siksaan sedikit pun? Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dengan jawaban yang menenangkan hatinya, melapangkan dadanya, membahagiakan hatinya, memuaskan keinginannya, dan mewujudkan cita-citanya. Beliau menjawab, ”Ya.”
Jadi, apabila seorang Muslim mengerjakan yang wajib-wajib saja yang didasari dengan mengikhlaskan ibadah (tauhid) kepada Allah Azza wa Jalla dan ittibâ’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjauhkan apa-apa yang diharamkan, maka ia akan masuk surga sebagaimana jawaban beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4. Mendirikan shalat wajib di masjid
Perkataan an-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu : ”Melakukan shalat yang fardhu.”
3. Senantiasa melaksanakan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan adalah pangkal kemenangan
An-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu bertanya apakah jika ia mengerjakan semua yang ditanyakannya dalam hadits di atas dan tidak menambahnya dengan keutamaan-keutamaan yang lain yang disunnahkan seperti mengerjakan ibadah-ibadah sunnah atau meninggalkan yang makruh, seperti wara’ terhadap hal-hal yang dimubahkan; apakah itu sudah cukup untuk dapat memasukkannya ke dalam surga yang merupakan harapan dan cita-citanya tertinggi bersama orang-orang yang mendekatkan diri dan para pendahulu yang baik tanpa menyentuh adzab dan siksaan sedikit pun? Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dengan jawaban yang menenangkan hatinya, melapangkan dadanya, membahagiakan hatinya, memuaskan keinginannya, dan mewujudkan cita-citanya. Beliau menjawab, ”Ya.”
Jadi, apabila seorang Muslim mengerjakan yang wajib-wajib saja yang didasari dengan mengikhlaskan ibadah (tauhid) kepada Allah Azza wa Jalla dan ittibâ’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjauhkan apa-apa yang diharamkan, maka ia akan masuk surga sebagaimana jawaban beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4. Mendirikan shalat wajib di masjid
Perkataan an-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu : ”Melakukan shalat yang fardhu.”
Maksudnya, shalat fardhu yang lima waktu yang diwajibkan
Allah Azza wa Jalla atas kita dalam sehari semalam, dan pelaksanaannya harus
sesuai dengan cara yang dilakukan oleh Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagaimana yang beliau sabdakan:
" صَلُّوْا كَمَـا رَأَيْتُمُوْنِـيْ أُصَلِّـيْ
" [ رواه البخاري ]
”Shalatlah kalian sebagaimana kalian
melihat aku shalat.” [18]
Melakukan shalat lima waktu wajib dilakukan dengan berjama’ah di masjid. Sebagian besar para Sahabat berpendapat wajibnya melakukan shalat dengan berjama’ah di masjid dan tidak ada seorang Sahabat pun yang menyelisihinya.
Pendapat ini juga dipegang oleh ‘Athâ` bin Abi Rabbâh, al-Hasan al-Bashri, al-Auzâ’i, Ibnu Khuzaimah, asy-Syâfi’i, al-Bukhâri, Ibnu Hibbân, Zhâhiriyyah, Ishâq bin Rahawaih dan seluruh ahlul hadits dan Hanâbilah, berdasarkan dalil-dalil yang banyak dan tegas yang menunjukkan kewajibannya. Di antara dalil tersebut ialah:
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
" لَيْسَ صَلاَةٌ أَثْقَلُ عَلَى الْـمُنَافِقِيْنَ مِنَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِـيْهِمَـا َلأَ تَوْهُمَـا وَلَوْ حَبْوًا وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ الْـمُؤَذِّنَ فَيُقِيْمَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً يَؤُمُّ النَّاسَ ثُمَّ آخُذَ شُعَلاً مِنْ نَارٍ فَأُحَرِّقَ عَلَى مَنْ لاَ يَـخْرُجُ إِلَـى الصَّلاَةِ بَعْدُ" [ رواه البخاري ]
Melakukan shalat lima waktu wajib dilakukan dengan berjama’ah di masjid. Sebagian besar para Sahabat berpendapat wajibnya melakukan shalat dengan berjama’ah di masjid dan tidak ada seorang Sahabat pun yang menyelisihinya.
Pendapat ini juga dipegang oleh ‘Athâ` bin Abi Rabbâh, al-Hasan al-Bashri, al-Auzâ’i, Ibnu Khuzaimah, asy-Syâfi’i, al-Bukhâri, Ibnu Hibbân, Zhâhiriyyah, Ishâq bin Rahawaih dan seluruh ahlul hadits dan Hanâbilah, berdasarkan dalil-dalil yang banyak dan tegas yang menunjukkan kewajibannya. Di antara dalil tersebut ialah:
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
" لَيْسَ صَلاَةٌ أَثْقَلُ عَلَى الْـمُنَافِقِيْنَ مِنَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِـيْهِمَـا َلأَ تَوْهُمَـا وَلَوْ حَبْوًا وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ الْـمُؤَذِّنَ فَيُقِيْمَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً يَؤُمُّ النَّاسَ ثُمَّ آخُذَ شُعَلاً مِنْ نَارٍ فَأُحَرِّقَ عَلَى مَنْ لاَ يَـخْرُجُ إِلَـى الصَّلاَةِ بَعْدُ" [ رواه البخاري ]
”Tidak ada shalat yang lebih berat atas
kaum munafik dibandingkan shalat Shubuh dan ’Isya'. Seandainya mereka
mengetahui pahala yang terdapat di dalamnya, niscaya mereka mendatangi keduanya
walaupun dengan merangkak. Sungguh, aku berkeinginan untuk memerintahkan
muadzin untuk mengumandangkan iqâmah kemudian aku memerintahkan seseorang
mengimami orang-orang, lalu aku mengambil seberkas api untuk membakar (rumah)
orang yang tidak keluar menuju shalat (berjama’ah).” [19]
Ini adalah dalil yang jelas tentang wajibnya shalat
berjama’ah, karena rumah orang yang meninggalkan perkara yang mustahab tidak
mungkin hendak dibakar oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak diragukan
lagi bahwa shalat fardhu apabila dikerjakan seorang hamba seperti yang
diperintahkan Allah Azza wa Jalla dan seperti yang dijelaskan oleh Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia memiliki pengaruh yang besar bagi
jiwanya, yaitu mensucikan dan membersihkannya dari yang mengotorinya; dan
mendorong pelakunya melakukan perbuatan kebajikan dan mencegahnya dari
perbuatan tercela.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قال الله تعالى : ﴿ إِنَّ الصَّلَاةَ
تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ﴾ (سورة العنكبوت: 45)
“…Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan
mungkar…” [al-‘Ankabût/29:45]
5.
Wajibnya puasa Ramadhan
Perkataan
an-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu :”Berpuasa Ramadhan.”
Puasa di bulan Ramadhan termasuk rukun Islam yang telah diketahui. Allah Azza wa Jalla berfirman:
”Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
[al-Baqarah/2:183]
Juga berdasarkan sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Islam dibangun atas lima pekara: (1) Persaksian bahwa tiada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Azza wa Jalla dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah Azza wa Jalla , (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) melaksanakan ibadah haji, dan (5) berpuasa di bulan Ramadhan.” [HR al-Bukhâri dan Muslim]
Juga berdasarkan sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Islam dibangun atas lima pekara: (1) Persaksian bahwa tiada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Azza wa Jalla dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah Azza wa Jalla , (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) melaksanakan ibadah haji, dan (5) berpuasa di bulan Ramadhan.” [HR al-Bukhâri dan Muslim]
Dan seluruh kaum Muslimin sepakat bahwa puasa Ramadhan adalah
salah satu rukun Islam, siapa yang mengingkarinya maka ia kafir keluar dari
Islam.
Melakukan ibadah puasa harus seperti yang diperintahkan Allah
Azza wa Jalla dan hendaklah tidak menyia-nyiakan tujuan dan kandungannya;
hingga puasanya memberikan pengaruh bagi jiwa seorang hamba sehingga dapat
mensucikannya, membersihkannya dan mewariskan ketakwaan.[20]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa puasa di bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.”[21]
6. Zakat dan haji
“Barangsiapa puasa di bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.”[21]
6. Zakat dan haji
Mengerjakan dua rukun yang diwajibkan ini, yaitu zakat dan
haji, adalah sebab diselamatkan dari neraka dan masuk surga, tanpa diadzab
terlebih dahulu. An-Nu’mân Radhiyallahu anhu tidak menyebutkan keduanya, yaitu
zakat dan haji sebagaimana ia menyebutkan tentang shalat dan puasa. Bisa jadi
karena keduanya belum diwajibkan atau bisa juga karena penanya bukan orang yang
terkena kewajiban tersebut disebabkan kefakiran atau ketidakmampuannya. Atau
karena keduanya akan memasukkan ke dalam surga, karena artinya terkandung dalam
keumuman lafazh : menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Juga
menuntut untuk mengerjakan semua yang wajib, karena di antara yang halal itu
ada yang hukumnya wajib dan meninggalkannya adalah haram.[22]
7. Meyakini keharaman apa yang Allah Azza wa Jalla halalkan adalah kekafiran.
Perkataan an-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu : ”Aku
menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.”
Sebagian Ulama menafsirkan menghalalkan yang halal dengan meyakini kehalalannya dan mengharamkan yang haram dengan meyakini keharamannya dan menjauhinya.[23] Ini sudah cukup meskipun ia tidak melakukan-nya, karena meyakini keharaman apa yang Allah Azza wa Jalla halalkan atau meyakini kehalalan apa yang Allah Azza wa Jalla haramkan menyebabkan kekafiran.[24]
Bisa juga dipahami bahwa yang dimaksud menghalalkan yang halal adalah dengan melaksanakannya. Halal di sini berarti sesuatu yang tidak diharamkan maka masuk kepadanya sesuatu yang wajib, sunnah, dan mubah. Jadi, makna menghalalkan yang halal ialah mengerjakan apa saja yang tidak haram dan tidak melewati apa yang diperbolehkan dan menjauhi hal-hal yang diharamkan.[25]
Mengenai firman Allah Azza wa Jalla:
Sebagian Ulama menafsirkan menghalalkan yang halal dengan meyakini kehalalannya dan mengharamkan yang haram dengan meyakini keharamannya dan menjauhinya.[23] Ini sudah cukup meskipun ia tidak melakukan-nya, karena meyakini keharaman apa yang Allah Azza wa Jalla halalkan atau meyakini kehalalan apa yang Allah Azza wa Jalla haramkan menyebabkan kekafiran.[24]
Bisa juga dipahami bahwa yang dimaksud menghalalkan yang halal adalah dengan melaksanakannya. Halal di sini berarti sesuatu yang tidak diharamkan maka masuk kepadanya sesuatu yang wajib, sunnah, dan mubah. Jadi, makna menghalalkan yang halal ialah mengerjakan apa saja yang tidak haram dan tidak melewati apa yang diperbolehkan dan menjauhi hal-hal yang diharamkan.[25]
Mengenai firman Allah Azza wa Jalla:
قال الله تعالى : ﴿ الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ
الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَنْ
يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ ٰۖ ﴾ (سورة البقرة: 121)
“Orang-orang yang telah Kami beri Kitab,
mereka membacanya sebagaimana mestinya, mereka itulah yang beriman kepadanya.
Dan barangsiapa ingkar kepadanya, mereka itulah orang-orang yang rugi.”
[al-Baqarah/2:121]
Sejumlah ulama Salaf, di antara mereka Ibnu Mas’ûd dan Ibnu
‘Abbâs menafsirkan ayat di atas dengan berkata, “Mereka menghalalkan apa saja
yang dihalalkan al-Kitâb, mengharamkan apa saja yang diharamkannya, dan tidak
mengubahnya dari tempat aslinya.”[26]
Yang dimaksud dengan menghalalkan yang halal dan mengharamkan
yang haram adalah mengerjakan yang halal dan menjauhi yang haram. Allah Azza wa
Jalla berfirman:
قال الله تعالى : ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا
ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ
حَلَالًا طَيِّبًا ﴾ (سورة الأحزاب: 33)
“Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah kepadamu, dan
janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas. Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu
sebagai rezeki yang halal dan baik…” [al-Mâidah/5:87-88]
Ayat ini turun disebabkan adanya suatu kaum yang menolak
makan salah satu yang baik-baik karena zuhud terhadap dunia dan ingin hidup
sengsara. Sementara sebagian mereka mengharamkannya terhadap dirinya sendiri,
baik karena suatu sumpah atau karena memang mengharamkannya terhadap dirinya
sendiri. Namun itu semua tidak menjadikan makanan itu menjadi haram. Dan
sebagian mereka menolak makan sebagian yang baik bukan karena sumpah bukan juga
karena mengharamkannya. Mereka semua dikatakan mengharamkan yang halal, dimana
maksud menolak makanannya itu karena dianggap bisa membahayakan diri dan
menjaga diri dari syahwat-syahwatnya.[27]
8.Membolehkan perkara yang diharamkan Allah Azza wa Jalla adalah kekafiran
8.Membolehkan perkara yang diharamkan Allah Azza wa Jalla adalah kekafiran
Perkataan an-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu:“Mengharamkan
yang haram.”
Imam Ibnu Shalâh rahimahullah berkata, “Yang zhâhir bahwa
yang dikehendaki dari perkataannya aku mengharamkan yang haram adalah dua hal:
pertama, meyakini keharamannya dan kedua, tidak melakukan keharaman tersebut
berbeda dengan menghalalkan yang halal; karena hal itu cukup dengan meyakini
kehalalannya.”[28]
Di antara hal yang Allah Azza wa Jalla wajibkan atas kaum Muslimin ialah hendaklah mereka meyakini keharaman apa saja yang Allah Azza wa Jalla haramkan dan tidak melakukannya; karena siapa yang meyakini kehalalan apa yang Allah Azza wa Jalla haramkan maka ia dikafirkan meskipun ia tidak melakukan keharaman tersebut. Dan siapa yang meyakini keharaman apa yang Allah Azza wa Jalla haramkan lalu ia melakukan keharaman itu karena menuruti hawa nafsu dan syahwatnya maka ia tidak dikafirkan tetapi dianggap fasik dan tetap dikatakan sebagai seorang Muslim.
Di antara hal yang Allah Azza wa Jalla wajibkan atas kaum Muslimin ialah hendaklah mereka meyakini keharaman apa saja yang Allah Azza wa Jalla haramkan dan tidak melakukannya; karena siapa yang meyakini kehalalan apa yang Allah Azza wa Jalla haramkan maka ia dikafirkan meskipun ia tidak melakukan keharaman tersebut. Dan siapa yang meyakini keharaman apa yang Allah Azza wa Jalla haramkan lalu ia melakukan keharaman itu karena menuruti hawa nafsu dan syahwatnya maka ia tidak dikafirkan tetapi dianggap fasik dan tetap dikatakan sebagai seorang Muslim.
Haram menurut definisi ulama ushûl ialah apa yang diberikan
pahala bagi orang yang meninggalkannya karena menjalankan perintah dan
diberikan siksa bagi pelakunya.
Menghalalkan dan mengharamkan adalah hak Allah Azza wa Jalla
, Pencipta manusia Yang Maha Mengetahui kemaslahatan mereka di dunia dan akhirat.
Tidak halal bagi seorang hamba melampaui hak Rabb-nya. Barangsiapa melakukannya
maka ia telah mengukuhkan dirinya sebagai tuhan bagi manusia dan sebagai sekutu
bagi Rabb-nya dalam ulûhiyyah-Nya.[29]
Tetapi yang jelas, hadits ini menunjukkan bahwa barangsiapa
mengerjakan kewajiban-kewajiban dan berhenti dari hal-hal yang diharamkan, ia
masuk surga.[30]
9. Bolehnya meninggalkan hal-hal yang mustahab (disunnahkan)
Perkataan an-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu : ”Dan aku tidak menambah sedikit pun akan hal itu, apakah aku akan masuk surga?”
Maknanya: ”Aku tidak menambah pelaksanaan kewajiban tersebut dengan ibadah-ibadah sunnah.” Maka Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dengan, ”Ya.” Ini sebagai dalil bahwa mengerjakan kewajiban, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram serta tidak melakukannya dapat memasukkan seorang hamba ke surga.
Perkataan an-Nu’mân bin Qauqal Radhiyallahu anhu : ”Dan aku tidak menambah sedikit pun akan hal itu, apakah aku akan masuk surga?”
Maknanya: ”Aku tidak menambah pelaksanaan kewajiban tersebut dengan ibadah-ibadah sunnah.” Maka Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dengan, ”Ya.” Ini sebagai dalil bahwa mengerjakan kewajiban, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram serta tidak melakukannya dapat memasukkan seorang hamba ke surga.
Akan tetapi orang yang meninggalkan ibadah-ibadah sunnah
telah kehilangan keuntungan yang besar, pahala yang besar. Demikian pula
ibadah-ibadah sunnah tersebut sebagai sebab mendatangkan kecintaan Allah Azza
wa Jalla . Allah berfirman dalam hadits qudsi:
.." وَلاَ يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَـيَّ
بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ"... [ رواه البخاري ]
”Dan tidaklah hamba-Ku senantiasa
mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku
mencintainya.”[31]
Selain itu, ibadah-ibadah sunnah dapat menambal kekurangan yang ada pada ibadah fardhu, mengangkat derajat seorang hamba di sisi Rabb-nya, dan membersihkan jiwanya. Para ulama Salaf adalah orang yang paling semangat melakukan ibadah-ibadah sunnah.
Selain itu, ibadah-ibadah sunnah dapat menambal kekurangan yang ada pada ibadah fardhu, mengangkat derajat seorang hamba di sisi Rabb-nya, dan membersihkan jiwanya. Para ulama Salaf adalah orang yang paling semangat melakukan ibadah-ibadah sunnah.
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
mengingatkannya tentang ibadah sunnah sebagai bentuk kemudahan dan kelapangan
kepadanya karena ia adalah orang yang masih baru memeluk Islam.[32]
FAWA-ID
HADITS
1. Penjelasan tentang semangat para Sahabat dalam bertanya tentang ilmu.
2. Kewajiban seorang Muslim ialah bertanya kepada para Ulama tentang perkara-perkara agama yang tidak diketahuinya.
3. Selayaknya bagi ahli ilmu dan para pendidik untuk memperhatikan keadaan orang yang belajar kepadanya sebelum ia menyampaikan ilmu kepadanya sehingga ia dapat memberikannya ilmu yang sanggup ia amalkan.
4. Anjuran memberi kabar gembira, memberikan kemudahan ketika menyebarkan ilmu.
5. Sederhana dalam melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan dapat memasukkan ke surga.
6. Amal shalih adalah sebab seseorang masuk surga .
7. Prinsip pokok untuk masuk surga adalah mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan menjauhkan syirik.
8. Penjelasan tentang cita-cita tertinggi para Sahabat adalah masuk surga dan dijauhkan dari neraka, bukan banyaknya harta, anak, dan kedudukan di dunia.
9. Hadits ini juga sebagai bantahan terhadap thariqat Shûfiyah yang mengatakan bahwa seseorang beribadah bukan untuk masuk surga dan dijauhkan dari api neraka!
10. Bahwa seorang Muslim jika hanya mencukupkan diri dengan shalat wajib saja maka tidak ada cela baginya dan ia tidak diharamkan masuk surga.
11. Bahwa shalat dan puasa adalah salah satu sebab masuk surga.
12. Seseorang tidak boleh melarang atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Azza wa Jalla .
13. Seseorang tidak boleh menghalalkan apa yang diharamkan Allah Azza wa Jalla .
14. Seorang hamba yang menghindarkan diri dari yang halal tanpa sebab yang syar’i adalah tercela dan tidak terpuji.
15. Perkara haram adalah apa yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dalam kitab-Nya atau melalui sabda Rasul-Nya. Menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram adalah umum pada setiap yang halal dan pada setiap yang haram.
Marâji’
1. Al-Qur-ân dan terjemahnya.
2. Tafsîr Ibni Katsîr.
3. Tafsîr ath-Thabari.
4. Shahîh al-Bukhâri.
5. Shahîh Muslim
6. Musnad Imam Ahmad dan kitab Sunan yang empat.
7. Musnad Abi ’Awânah.
8. Musnad Abu Ya’la al-Mushîli.
9. Mustadrak al-Hâkim.
10. Syarah Shahîh Muslim lin Nawawi.
11. Kitâbul Iman li Ibni Mandah.
12. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis.
13. Qawâ’id wa Fawâid minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthân.
14. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
15. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn.
1. Penjelasan tentang semangat para Sahabat dalam bertanya tentang ilmu.
2. Kewajiban seorang Muslim ialah bertanya kepada para Ulama tentang perkara-perkara agama yang tidak diketahuinya.
3. Selayaknya bagi ahli ilmu dan para pendidik untuk memperhatikan keadaan orang yang belajar kepadanya sebelum ia menyampaikan ilmu kepadanya sehingga ia dapat memberikannya ilmu yang sanggup ia amalkan.
4. Anjuran memberi kabar gembira, memberikan kemudahan ketika menyebarkan ilmu.
5. Sederhana dalam melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan dapat memasukkan ke surga.
6. Amal shalih adalah sebab seseorang masuk surga .
7. Prinsip pokok untuk masuk surga adalah mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan menjauhkan syirik.
8. Penjelasan tentang cita-cita tertinggi para Sahabat adalah masuk surga dan dijauhkan dari neraka, bukan banyaknya harta, anak, dan kedudukan di dunia.
9. Hadits ini juga sebagai bantahan terhadap thariqat Shûfiyah yang mengatakan bahwa seseorang beribadah bukan untuk masuk surga dan dijauhkan dari api neraka!
10. Bahwa seorang Muslim jika hanya mencukupkan diri dengan shalat wajib saja maka tidak ada cela baginya dan ia tidak diharamkan masuk surga.
11. Bahwa shalat dan puasa adalah salah satu sebab masuk surga.
12. Seseorang tidak boleh melarang atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Azza wa Jalla .
13. Seseorang tidak boleh menghalalkan apa yang diharamkan Allah Azza wa Jalla .
14. Seorang hamba yang menghindarkan diri dari yang halal tanpa sebab yang syar’i adalah tercela dan tidak terpuji.
15. Perkara haram adalah apa yang diharamkan Allah Azza wa Jalla dalam kitab-Nya atau melalui sabda Rasul-Nya. Menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram adalah umum pada setiap yang halal dan pada setiap yang haram.
Marâji’
1. Al-Qur-ân dan terjemahnya.
2. Tafsîr Ibni Katsîr.
3. Tafsîr ath-Thabari.
4. Shahîh al-Bukhâri.
5. Shahîh Muslim
6. Musnad Imam Ahmad dan kitab Sunan yang empat.
7. Musnad Abi ’Awânah.
8. Musnad Abu Ya’la al-Mushîli.
9. Mustadrak al-Hâkim.
10. Syarah Shahîh Muslim lin Nawawi.
11. Kitâbul Iman li Ibni Mandah.
12. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis.
13. Qawâ’id wa Fawâid minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthân.
14. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
15. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Al-Wâfi (hlm. 160).
[2]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 1397) dan Muslim (no. 14).
[3]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 46), Muslim (no. 11 ), dan Ibnu Hibbân (no. 1721-At-Ta’lîqâtul Hisân). Lafazh ini milik al-Bukhâri.
[4]. Shahîh: HR. Muslim (no. 12).
[5]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/517).
[6]. Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 5827), Muslim (no. 94), dan Ahmad (V/166).
[7]. Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 3435), Muslim (no. 28), Ahmad (V/313-314), dan Ibnu Hibbân (no. 207-at-Ta’lîqâtul Hisân) dari ‘Ubâdah bin ash-Shâmit z .
[8]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 128) dan Muslim (no. 32).
[9]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 425) Muslim (no. 33), dan Ibnu Hibbân (no. 223) dari ‘Itbân bin Mâlik Radhiyallahu anhu
[10]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/522).
[11]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/522).
[12]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/522).
[13]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/523).
[14].Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/524-525) dengan diringkas.
[15]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/526).
[16]. Shahîh: HR. Ahmad (V/233, 247), Abu Dâwud (no. 3116), dan al-Hâkim (I/351).
[17]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/527).
[18]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 631).
[19]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 657).
[20]. Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hlm. 191).
[21]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 38) dan Muslim (no. 760) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[22]. Lihat Al-Wâfi (hlm. 164).
[23]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/513).
[24]. Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hlm. 191).
[25]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/513)
[26]. Diriwayatkan oleh ath-Thabari dalam Tafsîrnya (no. 1885-1886) dan al-Hâkim (II/266) dari Ibnu ‘Abbâs. Diriwayatkan pula oleh ath-Thabari (no. 1888-1889) dari Ibnu Mas’ûd.
[27]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/514).
[28]. Syarah Shahîh Muslim (I/175).
[29]. Lihat Qawâid wa Fawâid (hlm. 192-194) dengan diringkas.
[30]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/514).
[31]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 6502).
[32]. Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hlm. 194).
_______
Footnote
[1]. Lihat Al-Wâfi (hlm. 160).
[2]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 1397) dan Muslim (no. 14).
[3]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 46), Muslim (no. 11 ), dan Ibnu Hibbân (no. 1721-At-Ta’lîqâtul Hisân). Lafazh ini milik al-Bukhâri.
[4]. Shahîh: HR. Muslim (no. 12).
[5]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/517).
[6]. Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 5827), Muslim (no. 94), dan Ahmad (V/166).
[7]. Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 3435), Muslim (no. 28), Ahmad (V/313-314), dan Ibnu Hibbân (no. 207-at-Ta’lîqâtul Hisân) dari ‘Ubâdah bin ash-Shâmit z .
[8]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 128) dan Muslim (no. 32).
[9]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 425) Muslim (no. 33), dan Ibnu Hibbân (no. 223) dari ‘Itbân bin Mâlik Radhiyallahu anhu
[10]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/522).
[11]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/522).
[12]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/522).
[13]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/523).
[14].Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/524-525) dengan diringkas.
[15]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/526).
[16]. Shahîh: HR. Ahmad (V/233, 247), Abu Dâwud (no. 3116), dan al-Hâkim (I/351).
[17]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/527).
[18]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 631).
[19]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 657).
[20]. Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hlm. 191).
[21]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 38) dan Muslim (no. 760) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[22]. Lihat Al-Wâfi (hlm. 164).
[23]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/513).
[24]. Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hlm. 191).
[25]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/513)
[26]. Diriwayatkan oleh ath-Thabari dalam Tafsîrnya (no. 1885-1886) dan al-Hâkim (II/266) dari Ibnu ‘Abbâs. Diriwayatkan pula oleh ath-Thabari (no. 1888-1889) dari Ibnu Mas’ûd.
[27]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/514).
[28]. Syarah Shahîh Muslim (I/175).
[29]. Lihat Qawâid wa Fawâid (hlm. 192-194) dengan diringkas.
[30]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/514).
[31]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 6502).
[32]. Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hlm. 194).
Post a Comment