Refleksi Kehidupan Salafushaleh Dalam Berinteraksi dengan Ayat-ayat al-Quran
Refleksi Kehidupan Salafusoleh
Dalam Berinteraksi Dengan Ayat-ayat al-Quran
Sungguh
generasi pendahulu kita dengan sadar telah menikmati sensasi ayat-ayat al-Quran
dan sunah Nabi. Mereka mengamalkannya dalam praktek keseharian. Kehidupan di
luar masjid tidak membuat mereka tidak menjalankannya. Mereka tidak memisahkan
dan menjadikan aktivitas kehidupan amaliah (duniawi) sebagai satu sisi dan
agama pada sisi yang lain, tetapi keduanya saling melengkapi. Interaksi mereka
dengan ayat-ayat qurâni dan sunah nawabi nampak dalam
aktivitas gerak dan diam mereka.
Abdullah
Ibn Umar respek dengan firman Allah :
“Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian
harta yang kamu cintai.” (QS.Ali
Imran:92)
Ketika
mendapatkan sesuatu yang amat disukainya pada hartanya, serta-merta ia jadikan
harta itu sebagai taqarub (pendekat) kepada Allah U.
Budak-budak
Ibnu Umar menyadari hal itu. Hingga salah seorang di antara mereka ada yang
sengaja berdiam diri di masjid. Ketika Ibnu Umar melihatnya dalam keadaan
demikian, diapun memerdekakan budak itu. Atas sikapnya itu, sebagian orang ada
yang berkata kepadanya,
“Budak-budak
itu hanya menipumu!”
Ibnu
Umar menjawab:
“Siapa
yang menipu kami untuk Allah, kami akan membiarkan seolah kami tertipu
untuknya.” .
Ibnu
Umar memiliki budak perempuan yang begitu disayanginya. Tetapi diapun
memerdekakan budak itu dan menikahkannya dengan Nâfi’, budak yang juga telah
dimerdekakannya sebelumnya.
Ibnu
Umar berkata:
“Sesungguhnya
Allah I berfirman:
“Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.” (QS.Ali Imran:92)
Pernah
Ibnu Umar membeli unta jantan dan merasa takjub ketika menungganginya. Diapun
berkata kepada ajudannya:
“Wahai Nâfi’, jadikan unta ini sebagai
sedekah.”
Pada
kesempatan yang lain, Ibnu Ja’far (seorang saudagar) ingin membeli Nafi’, budak
lelaki Ibnu Umar sebesar 10.000 dirham atau lebih dari itu. Ibnu Umar berkata:
“Aku telah memerdekakannya, dia bebas
untuk Allah.”
Pada
waktu yang lain Ibnu Umar membeli seorang budak dengan harga 40.000 dirham
kemudian dimerdekakannya. Setelah dimerdekakan budak itupun berkata:
“Wahai
tuanku, engkau telah memerdekakanku, maka berilah aku sesuatu agar aku bisa
hidup.”
Ibnu
Umar pun memberinya 40.000 dirham.
Pada
waktu yang lain Ibnu Umar membeli 5 orang budak. Manakala dia sedang shalat
kelima budak itu turut shalat di belakangnya. Ibnu Umarpun bertanya kepada
mereka:
“Untuk siapa kalian melakukan shalat
ini?”
“Untuk Allah!” Jawab mereka.
Mendengar
jawaban mereka Ibnu Umar berkata:
“Kalian
merdeka untuk Dia yang kalian shalat kepada-Nya.” Ibnu Umarpun memerdekakan
mereka semua.
[Al-bidayah
wa an-Nihayah 6/9]
Ayat:
“Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS.Ali Imran:92)
Jika
dipraktekkan di era kita sekarang ini, maka tidak akan lagi ditemukan seorang
miskin atau terlantar pun di tengah masyarakat muslim, walau hanya 10% saja
dari mereka yang mempraktekkannya.
*****
Ali
Ibn al-Husain respek dengan firman Allah :
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan.” (QS.Ali
Imran:134)
Abdurrazzak
berkata,
“Budak
perempuan Ali Ibn al-Husain menuangkan air kepada Ali untuk berwudhu, tetapi
bejana yang dipegangnya terlepas dari tangannya sehingga mengenai wajah Ali.
Diapun mendongak (menatap tajam) kepada budaknya itu. Maka berkatalah budak
perempuan itu menyitir ayat dalam surat Ali Imran:
“Sesungguhnya
Allah I berfirman:
“…dan
orang-orang yang menahan amarahnya..”
“Aku
telah menahan amarahku.” Jawab Ali.
“...dan
memaafkan (kesalahan) orang...” lanjut budak perempuan itu.
“Semoga
Allah mengampunimu.” Jawab Ali.
“...Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan...” Mengakhiri ayat 134 dari
surat Ali Imran yang dibacanya.
“Kini
engkau aku merdekakan semata karena Allah.” Ungkap Ali.
[Al-Mushannif
Abdurrazzaq no.8317]
* * * * *
Umar
Ibn Abdul Aziz respek dengan firman Allah :
“Sesungguhnya pelindungku ialahlah yang telah
menurunkan Al kitab (Al-Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.” (QS.al-A’râf: 196)
Dikatakan
kepada Umar Ibn Abdul Aziz[1] ketika
berada dalam pembaringan menjelang kematiannya:
“Mereka
anak-anakmu (yang berjumlah 12),
tidakkah engkau berwasiat kepada mereka dengan sesuatu, sesungguhnya mereka itu
fakir.”
Umar
menjawab:
“Sesungguhnya
wali (pengayom)ku adalah Allah yang telah menurunkan al-kitab
(al-Quran) dan dia pula yang akan mengayomi orang-orang yang saleh. Demi Allah,
aku tidak akan memberikan hak orang lain kepada mereka. Mereka ada di antara
dua keadaan orang; orang yang saleh, maka Allah akan menjadi pengayomnya, atau
bukan orang saleh, maka aku tidak akan membantu kefasikan (perbuatan
dosanya) dengan memberinya harta. Aku sendiri tidak peduli pada posisi mana
pengakhiran mereka. Aku tidak akan meninggalkan untuk mereka sesuatu yang dapat
digunakan bermaksiat kepada Allah sehingga aku menjadi sekutunya setelah
kematianku.”
Kemudian
dia memanggil anak-anaknya untuk mengucapkan perpisahan seraya berpesan dengan
apa yang telah menjadi prinsipnya itu, lalu berkata:
“Pergilah
kalian semua, Allah akan menjaga kalian dan akan memperbaiki keadaan kalian
setelah ini. ” Pesan Umar.
Orang-orang
berkata (setelah kematian Umar):
“Kami
mendapati di antara anak-anak Umar Ibn Abdul Aziz ada yang membawa 80 ekor kuda
untuk digunakan berperang dijalan Allah. Sedangkan di antara putra Sulaiman Ibn
Abdul Mâlik[2],
meskipun banyak harta yang ditinggalkan untuk anak-anaknya (tapi pada akhirnya)
datang dan meminta kepada anak-anak Umar Ibn Abdul Aziz. Yang demikian karena
Umar mewakilkan anaknya kepada Allah U sedangkan Sulaiman
dan penguasa lainnya menggantungkan anak-anak mereka pada apa yang diberikan,
sehingga habis dan lenyaplah harta itu untuk memuaskan hawa nafsu anak-anak
mereka.
[kitab:
Al-Bidayah wa an-Nihaya 9/218.]
Dengan
satu ayat Umar Ibn Abdul Aziz mengejawantahkan ayat tersebut dalam urusan hak
anak-anaknya sehingga Allah jaga mereka dengan izin-Nya. Bahkan bukan hanya
itu, Allah gabungkan untuk mereka kebaikan dunia dan akhirat.
Bukankah
sudah seharusnya kaum muslimin menyadari betapa pentingnya mendidik anak
keturunan yang sesuai dengan sudut pandang Islam.
* * * * *
Penyair
pun memiliki bagian dalam memahami al-Quran dan sunah serta bagaimana mereka
berinteraksi dengan nas-nas keduanya dalam kehidupan nyata mereka sehari-hari.
Farzadaq,
seorang penyair respek dengan firman Allah :
“Maka Kami telah memberikan pengertian kepada
Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka
telah Kami berikan Hikmah dan ilmu.” (QS.al-Anbiya: 79)
Dikabarkan
bahwa al-Walid[3]
mengirim utusan kepada raja Romawi meminta dikirimi ahli-ahli bangunan, baik
ahli marmer dan yang lainnya, untuk membantu membuatkan bangunan Masjid Umawi
di Damaskus sesuai keinginannya. Maka raja Romawi pun mengirim banyak ahli
bangunan sekitar 200 tukang seraya menulis surat kepadanya, yang isinya:
“Jika
ayahmu tahu apa yang kamu lakukan dan membiarkan saja sungguh itu adalah cela
bagimu. Jika dia tidak memahaminya sedang engkau memahaminya, sungguh itu
adalah cela baginya.”
Ketika
kiriman raja Romawi sampai kepada Walid, dia ingin membalas surat itu. Maka
berkumpullah orang-orang untuk membahasnya. Di antara mereka ada Farzadaq,
seorang penyair, dia berkata:
“Aku
yang akan menjawabnya dari kitabullah, wahai Amirul mukminin."
“Apa
itu?” Tanya Walid
“Allah
I berfirman:
“Maka
Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih
tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan Hikmah dan ilmu.” (QS.al-Anbiya:79)
Sulaiman
adalah putra Daud. Allah memberinya kefahaman apa yang tidak diberikan kepada
ayahnya.” Jelas Farzadaq.
Jawaban
Farzadaq membuat Walid salut. Maka Walidpun mengirim jawaban itu kepada Raja
Romawi. Farzadak mengatakan hal itu dalam syairnya:
Aku pisahkan antara Nasrani di gereja-gereja
mereka
Antara ahli ibadah, tukang sihir dan
ternak
Mereka semua jika sembahyang wajahnya
berbeda-beda
Ada yang sujud kepada Allah atau
kepada patung
Bagaimana mungkin berkumpul pemukul
lonceng ahli salib
Dengan para pembaca al-Quran yang tidak
tidur
Aku
pahami masalahannya seperti pemahaman Daud dan Sulaiman
Yang mengadili orang-orang pada kebun
dan ternak
....
[al-Bidayah wa an-Nihayah 9/153]
* * * * *
Abdul
Malik bin Marwan, yang telah banyak menaklukkan negeri-negeri di berbagai penjuru dan menjadikannya daulah
islamiah pada zamannya, ketika terbaring menyongsong kematiannya respek dengan
firman Allah :
“Dan Sesungguhnya kamu datang kepada Kami
sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya.” (QS. Al-An’âm: 94)
Abu
Mashar berkata:
“Ditanyakan
kepada Abdul Malik di saat sakit menjelang kematiannya:“Apa
yang engkau rasakan?”“Aku
mendapatkan diriku sebagaimana yang Allah firmankan:
“Dan Sesungguhnya kamu datang kepada Kami
sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu
tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu;
dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa'at yang kamu anggap bahwa mereka
itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguh telah terputuslah (pertalian)
antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai
sekutu Allah)." (QS.
Al-An’âm: 94)
“Seandainya
aku seorang tukang cuci yang hidup dari hasil tanganku sendiri.” Sesalnya.
Ketika
berita menjelang kematian Abdul Malik tersebut sampai kepada Sa’id Ibn
al-Musayib[4], dia
berkata:
“Segala
puji bagi Allah yang telah menjadikan pada akhir kematiannya mendekat kepada
kami (kepada akhirat), bukan kita yang mendekat kepadanya (kepada dunia).”
[Lihat:
al-Kamil fi at-Tarikh, peristiwa tahun 86H jilid 3]
* * * * *
Kepada
para hakim dari umat ini –kebanyakan mereka menjauhi kebenaran dan berpaling-
aku beritakan apa yang dilakukan oleh al-Mahdi, khalifah al-Abâsi yang berhukum
dengan adil dan respek dengan ayat al-Quran yang mulia.
Al-Khatib
meriwayatkan:
"Seorang
lelaki meminta bantuan kepada al-Mahdi untuk mengadili dirinya dan lawan
sengketanya. Al-Mahdipun mengadili mereka dengan adil. Sehingga lelaki itupun memuji
dalam bait-bait syair:
Engkau
mengadilinya dan membuat keputusan
Seperti
terang benderangnya bulan purnama
Tidak
menerima suap dalam pengadilan hukummu
Tidak
peduli kekecewaan mereka yang merugi
Al-Mahdi
berkata mengomentari bait-bait syair lelaki itu:
“Adapun
engkau wahai kisanak, semoga Allah menjadikan baik ucapanmu dan aku tidak
terlena dengan apa yang engkau katakan. Adapun aku, tidaklah aku duduk di
majelisku ini hingga membaca firman Allah :
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada
hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika
(amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya.
Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (QS.al-Anbiya:47)
Orang-orang
yang ada di majelis menangis. Belum pernah terlihat orang menangis lebih banyak
dari hari itu sebelumnya.
[Lihat
kitab: al-Kâmil fi at-Târikh, kejadian tahun 256H jilid 4]
* * * * *
Maimun
bin Mahrân respek dengan ayat dari kitab Allah I.
Umar,
putra Maimun berkata:
“Aku
keluar bersama ayahku menyusuri bangunan dan jalan-jalan Bashroh. Ketika
melewati parit, syaikh (ayahku) tidak dapat melampauinya, sehingga akupun
merebahkan tubuhku agar beliau dapat melintas menaikiku. Diapun melintas
menaiki punggungku, setelah itu akupun berdiri dan memegang tangannya hingga
tibalah kami di rumah al-Hasan. Akupun mengetuk pintu rumah al-Hasan. Tidak
lama berselang keluarlah seorang budak wanita dan berkata:
“Siapa
yang datang?”
“Ini
adalah Maimun Ibn Mahran, ingin bertemu dengan al-Hasan.” Jawabku.
“Apakah
Maimun juru tulis (sekretaris) Umar Ibn Abdul Aziz?!” tanyanya lagi.
“Ya.”
Jawabku lagi.
“Alangkah
menyedihkannya, engkau masih hidup pada zaman yang penuh dengan keburukan
sekarang ini.” Ujar budak wanita itu.
Syaikh
menangis mendengarnya, hingga al-Hasanpun keluar karena mendengar tangisan itu,
lalu mereka saling berangkulan, kemudian masuk. Maimun bekata:
“Wahai
Abu Sa’id[5], sungguh
aku galau dengan kerasnya hatiku, karenanya lembutkanlah ia.”
Al-Hasanpun
membaca firman Allah :
“Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan
kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun kemudian datang kepada mereka
azab yang telah diancamkan kepada mereka. Niscaya tidak berguna bagi mereka apa
yang mereka selalu menikmatinya.” (QS.as-Syu’arâ’: 205-207)
Mendengar
itu Maimun langsung jatuh pingsan. Aku melihat kedua kakinya saling bergesekan
seperti biri-biri yang disembelih. Keadaan seperti itu berlangsung cukup lama.
Kemudian datanglah budak perempuan tadi dan berkata:
“Kalian
telah membuat al-Hasan lelah. Tinggalkanlah dia agar beristirahat.”
Akupun
memegang tangan ayahku lalu keluar. Aku katakan kepada ayahku:
“Wahai ayah, apakah dia al-Hasan.”
“Ya.” Jawab ayahku.
“Aku mengira ia lebih hebat dari ini[6].”
Ayahku menepuk dadaku seraya
berkata:
“Wahai
anakku, telah dibacakan kepada kita ayat yang jika engkau memahaminya dengan
hatimu sungguh engkau akan merasakan adanya kepedihan.”
[Kitab
al-Bidayah wa an-Nihayah 9/327]
* * * * *
Al-Hajjaj
Ibn Yusuf ats-Tsaqofi adalah sosok yang zalim dan bengis. Hanya saja dia begitu
sensitif dengan ayat-ayat al-Quran, respek dan mendahulukan firman Allah U dibanding perkataan yang
lain.
Al-Haitsam
Ibn Adi berkata:
“Datang seorang lelaki kepada
al-Hajjaj dan berkata:
“Sesungguhnya
saudara laki-lakiku keluar bersama Ibnu al-Asy’ab[7],
sehingga namaku dihapus dari daftar, tidak mendapat bantuan dan tempat
tinggalku digusur.”
Al-Hajjaj berkata:
“Tidakkah
engkau mendengar ungkapan syair:
Harapanmu
kepada orang yang menyakitimu
Tak
ubahnya menjadikan kesehatan yang berkah menjadi kusta
Bisa
jadi seorang itu di hukum karena kesalahan orang dekatnya
Sedangkan
pelakunya selamat dari dosa yang dilakukannya
Lelaki
itupun menjawab:
"Wahai
amir, sungguh aku mendengar firman Allah I tidak seperti syair
yang telah engkau bacakan tadi, dan firman Allah I lebih benar.”
"Apa yang Allah firmankan?"
Tanya al-Hajjaj.
Lelaki
itu membaca firman Allah I dalam surat Yusuf:
"Mereka berkata:
"Wahai Al-Aziz, sesungguhnya ia mempunyai ayah yang sudah lanjut usianya,
lantaran itu ambillah salah seorang di antara kami sebagai gantinya,
sesungguhnya kami melihat kamu termasuk orang-orang yang berbuat baik".
Yusuf berkata: "Aku mohon perlindungan kepada Allah daripada menahan
seorang, kecuali orang yang kami ketemukan harta benda kami padanya, jika kami
berbuat demikian, Maka benar-benarlah kami orang-orang yang zalim". (QS. Yusuf: 78-79)
Al-Hajjaj
langsung merespons firman Allah itu dan berkata kepada bawahannya:
"Wahai
ghulam, masukkan kembali namanya ke dalam daftar, bangun kembali tempat
tinggalnya dan beri dia apa yang berhak diterimanya. Panggil juru penyeru untuk
menyerukan bahwa Allah-lah yang benar dan penyair itu salah."
[
Al-Bidayah wa An-Nihayah 9/130]
* * * * *
Akan
tetapi respons yang menjurus pada kebinasaan jiwa adalah tertolak. Sekalipun
dalam catatan sejarah kita ada orang-orang yang begitu sensitif dan merespons
ayat-ayat al-Quran sehingga menjadi penutup kehidupan mereka. Yang demikian itu
menyelisihi sunah Nabi r.
Zurarah
Ibn Aufa Ibn Hajib al-Âmiri adalah hakim di Bashroh. Dia termasuk ulama besar
Bashrah. Kisah mengenai riwayat dirinya banyak sekali. Suatu saat ketika
mengimami shalat subuh dia membaca surat al-Mudatsir. Ketika sampai kepada
ayat:
"Apabila
ditiup sangkakala.." (QS.al-Mudatsir:
8)
Seketika
itu pula ia menemui ajalnya.
[Kitab:
Al-'Ibar Fi khabarin man ghabar (Pelajaran mengenai berita bagi yang
tidak tahu)]
* * * * *
Ya'kub
al-Kûfi seorang yang zuhud (sederhana) lagi ahli ibadah juga meninggal
ketika mendengarkan ayat al-Quran.
Ali
Ibn al-Muwaffaq berkata bahwa Manshur Ibn Ammar berkata:
"Pada
suatu malam aku keluar (ke masjid) yang aku kira waktu subuh sudah masuk, tapi
ternyata masih malam. Akupun bergegas duduk di pintu kecil masjid. Ternyata ada
seorang pemuda yang tengah menangis sambil berujar:
"Demi
kemuliaan dan keagungan-Mu, bukan maksud memaksiati-Mu ingin menyelisihi-Mu,
akan tetapi jiwaku memaksaku, kesusahanku mengalahkanku dan tabir dosaku yang
Kau tutupi telah menipuku. Sekarang siapa yang akan menyelamatkanku dari
azab-Mu. Tali siapa yang dapat menghubungkanku kepada-Mu jika Engkau telah
memutus tali penghubung itu dariku. Oh, sesal atas apa yang telah berlalu dari
hari-hari memaksiati Tuhan-ku. Celaka aku, sudah berapa kali aku bertobat dan
berapa kali pula aku mengulanginya. Kini telah tiba saatnya bagiku untuk malu
kepada Tuhan-ku Y."
Mendengar
ujaran pemuda itu spontan Manshur berkata:
"Aku
berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk. Dengan menyebut nama
Allah yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang.
"Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS.at-Tahrim:
6)
Selesai
itu aku mendengar pekikan dan kepanikan yang sangat. Tapi kemudian aku
meniggalkan tempat itu untuk satu keperluan. Ketika kembali dan melintasi pintu
itu aku lihat sesosok jenazah tergolek di sana. Ketika aku tanyakan jenazah
siapakah itu, ternyata pemuda tadi telah wafat setelah mendengar ayat yang aku
bacakan."
[kitab
Al-Bidâyah wa an-Nihâyah 10/185]
* * * * *
Nabi
r sendiri ketika mendengar
ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya, beliau tersentuh dan respek sehingga
keluarlah air matanya dan menangis, tetapi tidak lebih dari itu, selain juga
semakin bertambah takut, khawatir, harap dan tunduknya kepada Tuhan-nya Y. Adapun peristiwa-peristiwa
ganjil yang terjadi dalam catatan sejarah umat ini, di mana mereka meninggal
setelah mendengar ayat-ayat al-Quran adalah menyelisihi manhajul islam
(metodologi islam).
* * * * *
Sa'id
Ibn Abi Waqqôs sang penakluk negeri-negeri, yang di antaranya adalah kekaisaran
Faris[8]. Ketika
mereka berhasil merebut istana, dia menjadikan majelis istana sebagai mushola
(tempat shalat). Ketika memasukinya ia membaca firman Allah:
"Alangkah
banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan. Dan kebun-kebun serta
tempat-tempat yang indah-indah. Dan kesenangan-kesenangan yang mereka
menikmatinya. Demikianlah. dan Kami wariskan semua itu kepada kaum yang lain.
Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan merekapun tidak diberi
tangguh."
(QS.
Ad-Dukhôn: 25-29)
Aku
katakan kepada hakim-hakim kaum muslimin; kapan kita memasuk Paris, Wina,
Wasingthon dan London seraya mengatakan:
"Alangkah banyaknya
taman dan mata air yang mereka tinggalkan. Dan kebun-kebun serta tempat-tempat
yang indah-indah. Dan kesenangan-kesenangan yang mereka menikmatinya.
Demikianlah. dan Kami wariskan semua itu kepada kaum yang lain. Maka langit dan
bumi tidak menangisi mereka dan merekapun tidak diberi tangguh." (QS. Ad-Dukhôn:
25-29)
Mereka
adalah generasi yang menaklukkan dunia dengan segala isinya. Dahulu al-Quran
dan sunah mengalir dalam darah mereka, yang bercampur dengan daging dan lemak.
Adapun sekarang, engkau tidak mendapati seorang hakim atau terpidana pun –selain
yang dirahmati Allah- paham terhadap kitab Allah (al-Quran) atau respek dengan
suber hukum itu dalam praktek kehidupan mereka. Innalillah wa inna ilaihi rojiun.
Aku
meminta kepada Allah yang Mahaagung, Tuhan Arsy yang agung agar mengutus kepada
kita manusia-manusia teladan seperti mereka, yang akan mengembalikan kemuliaan
yang telah kita abaikan, dan memudahkan tegaknya daulah islamiah
di muka bumi.
Wallahu
A'lam.
[3] Al-Walid putra dari
Abdul Malik Ibn Marwan, salah satu khalifah Umawiah pada tahun 73H-86H.
[5] Kunyah atau panggilan
dari al-Hasan, ulama besar di masa itu dari generasi Atba At-Tabi’in.
[6] Maksudnya bahwa sebagai seorang ulama al-Hasan
tidak banyak bicara saat kunjungan mereka, tetapi hanya membacakan beberapa
ayat al-Quran saja.
Post a Comment