Masyarakat Yang Beribadah Kepada Allah
Masyarakat Yang
Beribadah Kepada Allah
Syi'ar ibadah di dalam masyarakat muslim
Keistimewaan
terpenting yang membedakan masyarakat muslim dengan masyarakat lainnya bahwa
dia adalah masyarakat yang beriman kepada Allah, bertauhid; tidak
mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, beribadah kepada Allah, mendirikan
syi'ar-syi'ar yang mencerminkan hubungannya dengan Allah, menerapkan
penghambaannya kepada Allah, dimulai dari kesaksian bahwa tiada tuhan (yang
berhak disembah dengan sebenarnya) selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah
utusan Allah, kemudian barulah datang kewajiban yang empat, yaitu: shalat,
zakat, puasa ramadhan, dan haji ke baitullah, ini terhimpun dalam hadits Nabi r yang masyhur:
بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لا إِِلهَ إِلا
اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ
الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
"Islam dibangun atas lima perkara: Kesaksian
bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa bulan ramadhan, dan haji ke
baitullah» (HR. Bukhari dan Muslim).
1- Shalat:
Shalat adalah rukun Islam pertama dan tiang Islam, kewajiban ini
dilaksanakan berulang lima kali dalam setiap sehari, dia adalah ibadah yang
paling pertama akan dihisab dari amal seorang mu'min di hari kiamat kelak,
dialah pemisah antara iman dan
kekafiran, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah r dengan sabdanya:
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاةِ
« "Antara seserang dengan kesyirikan
dan kekufuran adalah meninggalkan shalat» (HR. Muslim)
Maka, tidak heran
jika shalat menjadi ciri pertama bagi masyarakat muslim yang membedakannya dengan
masyarakat lainnya, dan menjadikan orang-orang mukmin beruntung, selamat dan
meraih kenikmatan abadi di surga.
(Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam
sembahyangnya,) (QS. al mukminun:
1-2)
(Dan orang-orang
yang memelihara sembahyangnya. Mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi,
(yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.) (QS. al Mukminun: 9-11)
Apabila shalat
dilaksanakan dan membekas di dalam jiwa, maka ia akan berpengaruh positif pada
moralitas sosial orang yang shalat, yaitu dengan terbentuknya kepribadian yang
stabil, pikiran yang jernih, dan keseimbangan di dalam sikap baik di waktu
senang maupun susah.
(Sesungguhnya
manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh
kesah, Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, Kecuali orang-orang yang
mengerjakan shalat, Yang mereka itu
tetap mengerjakan shalatnya,) (QS. al Ma'arij:
19-23).
Shalat berjamaah:
Oleh karena itulah
Islam menganjurkan shalat berjamaah, agar masyarakat muslim dipenuhi oleh
pribadi-pribadi yang berpikiran jernih, berjiwa terdidik, berakhlak tinggi,
layak menjadi khalifah di muka bumi, membangun alam semesta, dan menegakkan
kalimat Allah di muka bumi.
Oleh karena itulah,
maka shalat berjamaah lebih baik dilaksanakan di mesjid, baik karena dia adalah
perintah yang bersifat sunnah mu'akkadah atau fardhu kifayah, sebagaimana
pendapat kebanyakan para ulama, atau fardhu ain sebagaimana pendapat imam
Ahmad.
Perhatian
Rasulullah r terhadap shalat
berjamaah di dalam masyarakat muslim, generasi pertama sampai pada tingkat
bahwa beliau berniat membakar rumah orang-orang yang tanpa halangan tidak
mengikuti shalat berjamaah, beliau bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ
فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً
فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ
بُيُوتَهُمْ
«Demi yang jiwaku ada di tanganNya,
sungguh aku telah berniat menyuruh orang
mengambil kayu bakar, kemudian aku memerintahkan agar shalat didirikan,
kemudian aku menyuruh seseorang menjadi imam, kemudian aku pergi ke rumah
orang-orang yang meninggalkan shalat berjamaah untuk membakar rumah-rumah
mereka». (Muttafaq alaih).
Oleh karena
pentingnya shalat berjamaah ini, orang-orang yang sedang berperangpun tidak
diperkenankan meninggalkannya, maka disyari'atkanlah bagi mereka shalat khauf,
yaitu shalat berjamaah yang khusus didirikan pada waktu perang; dilaksanakan di
bawah satu imam yaitu panglima perang dalam dua tahap: tahap pertama dilakukan
oleh sekelompok mujahidin dengan satu raka'at di belakang imam, kemudian mereka
pergi ke kampnya masing-masing dan menyempurnakan shalat mereka di sana.
Kemudian datang kelompok kedua yang sebelumnya berada di hadapan dengan musuh
lalu shalat di belakang imam.
Islam
mensyari'atkan shalat khauf agar tidak seorangpun dari mujahidin yang
kehilangan fadhilah shalat berjamaah, dan dalam rangka itu pula syari'at Islam
membolehkan adanya beberapa gerakan dan perbuatan yang berbeda, yang tidak
boleh dilakukan dalam shalat berjamaah biasa. Allah berfirman tentang masalah
ini di dalam kitabNya:
(Dan apabila kamu
berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat
bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat)
besertamu dan menyandang senjata, Kemudian apabila mereka (yang shalat
besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), Maka hendaklah mereka pindah
dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang
kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan
hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin
supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu
kamu dengan sekaligus. dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu,
jika kamu mendapat sesuatu kesusahan Karena hujan atau Karena kamu memang
sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah Telah menyediakan azab yang menghinakan
bagi orang-orang kafir itu. ) (QS. an Nisa':
102)
Kedudukan shalat di dalam jiwa seorang muslim
Ayat ini merupakan
dalil yang kuat atas pentingnya shalat berjamaah, dan syari'at Islam sangat
menekankan agar tetap dilakukan walaupun orang-orang muslim dalam situasi
peperangan, dan hal ini sekaligus menunjukkan pentingnya kedudukan shalat di
dalam jiwa seorang muslim. Shalat harus dilaksanakan pada waktunya dalam
kondisi dan situasi apapun, dengan cara yang memungkinkan, dalam keadaan takut
terkadang dilakukan tanpa rukuk dan tanpa sujud, dan dalam keadaan perang
sedang berkecamuk mungkin dilakukan tanpa mengahadap kiblat, kondisi seperti
ini termasuk darurat, maka cukup dengan niat dan apa saja yang bisa dilakukan
berupa bacaan dan dzikir.
Allah I berfirman: (Peliharalah semua
shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam
shalatmu) dengan khusyu'. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), Maka
shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu Telah aman,
Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah Telah mengajarkan kepada
kamu apa yang belum kamu ketahui.) (QS. al Baqarah:
238-239)
Arti dari (sambil berjalan atau berkendaraan) adalah shalatlah
semampu kalian, baik sambil berjalan maupun berkendaraan, menghadap kiblat
maupun tidak menghadap kiblat. Contoh yang disebutkan oleh ayat al-Qur'an ini
berlaku bagi orang yang sedang berperang di masa sekarang ini, baik dalam
keadaan berada di dalam pesawat terbang, tank atau kendaraan lapis baja.
Adapun dalam
situasi yang aman, maka tetap wajib dilaksanakan pada waktunya, apaun kondisi
seseorang, jika ia tidak mampu shalat secara berdiri, maka dia mengerjakannya
dengan cara duduk, jika tidak mampu mengerjakannya dengan cara duduk karena
sakit, maka dia boleh shalat sambil berbaring. Demikianlah, dia bisa
dilaksanakan dengan cara yang mungkin bisa dilakukan, dan tidak boleh
ditinggalkan sama sekali.
Shalat sebagaimana
disyari'atkan oleh Islam, dan sebgaimana yang disyaratkan dalam rangka
mendirikannya seperti syarat harus bersih dan suci, memakai pakaian yang bagus
ketika pergi ke masjid, menghadap ke satu kiblat, penentuan waktu shalat, dan
apa-apa yang diwajibkan-padanya berupa dzikir, bacaan dan doa, perbuatan yang
dilakukan orang shalat berupa gerakan-gerakan dan perkataan, ini semua
menunjukkan bahwa shalat bukan hanya sekedar ibadah, akan tetapi ia adalah
aturan bagi kehidupan jiwa umat Islam, dan sebuah manhaj bagi tarbiyah dan
pendidikan masyarakat muslim.
Shalat berjamaah
yang menghimpun individu masyarakat muslim lima kali dalam satu hari dalam
ketaatan, kedisiplinan, kecintaan, persaudaraan dan persatuan di hadapan Allah
Yang Maha Tinggi dan Maha Besar, realita seperti ini lebih nampak daripada
sekedar bekumpulnya orang untuk melaksanakan shalat berjamaah. Sungguh, dia
adalah metode yang cocok untuk membangun hubungan sosial, sebab dengan shalat
berjamaah akan tercabut perasaan negatif, egois, dan terisolasi, shalat
berjama'ah mengangkat mereka dari kesibukan, ikatan dan kalalaian hidup, dimana
masjid mengumpulkan mereka dan mengakrabkan hati-hati mereka, maka shalat
berjamaah adalah taman pendidikan harian
untuk membina keakraban, persamaan, persatuan dan kasih sayang.
Shalat jum'at
Puncak kebersamaan
masyarakat muslim terlihat pada saat shalat jum'at, ia merupakan kewajiban
mingguan yang mesti dilaksanakan oleh setiap muslim di masjid jami', yang di
dalamnya disampaikan khutbah jum'at sebelum shalat, dia merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari shalat, semua jamaah mendengarkannya, memusatkan
perhatian mereka dengan telinga dan hati mereka pada kata-kata yang dikatakan
oleh khatib; hal ini karena khutbah jum'at dalam masyarakat muslim adalah syiar
agama yang disyari'tkan untuk membahas persoalan umat pada masa itu di dalam
kehidupan umat Islam, sebagai sarana untuk mengajarkan mereka tuntutnan agama
ini, yang datang untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat. Maka semestinya
khutbah rutin mingguan ini jika dilaksanakan dengan memenuhi syarat-syaratnya
untuk menciptakan berbagai keajaiban di dalam kehidupan umat Islam, sehingga
dengannya wawasan membuka diri untuk menerima kebenaran, membebaskan jiwa dari
kehinaan, mengangkat ruh mereka kepada tingkat yang lebih tinggi yang
dikehendaki oleh Islam.
Dan sungguh,
khutbah ini telah menunaikan tugasnya di suatu masa, di mana dia telah
membentuk umat Islam sebagai sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia,
mengajak kepada yang baik dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah. Semua ini telah terwujud di dalam realita kehidupan manusia, bukan
sekedar tertimbun di dalam buku-buku, kitab-kitab dan teori.
Oleh karena
itulah, langkah pertama yang dilakukan
oleh Rasulullah r setelah sampai di
Madinah saat berhijrah adalah mendirikan masjid, sebagai sarana beribadah, dan
sarana untuk pendidikan dan pengajaran serta tempat bermusyawarah.
Adzan untuk mendirikan shalat
Sudah diketahui
bahwa panggilan untuk melaksanakan shalat diwujudkan dengan mengumandangkan
adzan, dan adzan merupakan ciri khas masyarakat muslim yang membedakannya
dengan masyarakat lain, sebab hanya di dalam masyarakt muslim suara merdu
seorang mu'adzin menggema, dengan suaranya yang keras dia menggemakan panggilan
suci:
الله أكبر, الله أكبر, الله أكبر, الله أكبر, أشهد أن لا إله إلا
الله, أشهد أن لا إله إلا الله, أشهد أن محمدا رسول الله، أشهد أن محمدا رسول
الله, حي على الصلاة, حي على الصلاة, حي على الفلاح, حي على الفلاح, الله أكبر,
الله أكبر, لا إله إلا الله
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, aku bersaksi
bahwa tidak ada tuhan selain Allah, aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain
Allah, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan Allah, mari melaksanakan shalat, mari melaksanakan
shalat, mari meraih keberuntungan, mari meraih keberuntungan, Allah Maha Besar,
Allah Maha Besar, tidak ada tuhan selain Allah.
Panggilan suci ini
menggema dalam masyarakat muslim lima
kali dalam satu hari, telinga merasa senang mendengarnya, lisan-lisan ikut
mengucapkan adzan bersama mu'adzzin, sebagai pengkohan bagi maknanya di dalam
jiwa orang-orang yang mendengarnya, dan memantapkan maknanya di dalam akal dan
hati.
Orang-orang muslim
yang pernah musafir ke negara-negara asing (selain negara Islam) dan mereka
yang menetap di negara tersebut merasa kehilangan dengan suara lantunan adzan
ini, yang telah terpatri dengan rasa cinta di dalam hati mereka, mereka rindu
untuk mendengarnya, dan merasakan kegalauan rohani selama mereka berada di
negeri tersebut, mereka menginginkan kembali ke negeri Islam, agar telinga
mereka dapat menikmati kembali panggilan yang indah ini, yang telah terbiasa
terdengar oleh telinga mereka lima kali dalam satu hari.
Kedudukan shalat di dalam masyarakat muslim
Kaum muslimin di
dalam masyarakat muslim pada saat mendengar kumandang adzan, mereka segera
mendirikan shalat, dan shalat berjamaah lebih utama dari shalat sendirian
dengan dua puluh tujuh derajat, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang mulia. Setiap shalat mempunyai
waktu-waktu tertentu, di mana dia mesti ditunaikan padanya, masyarakat muslim
tidak rela melihat sebagian anggota masyarakatnya lalai dalam melaksanakan
shalat, orang yang meninggalkan shalat dalam masyarakat muslim terhina dan
tercela, dan dia tetap dalam keadaan tersebut sehingga dia kembali kepada jalan
yang benar dan termasuk orang-orang yang mendirikan shalat.
Masyarakat muslim
yang dikehendaki oleh Islam adalah masyarakat yang teratur dalam urusannya,
mampu membangun lembaganya, mengatur jam kerjanya agar tidak bebenturan dengan
waktu-waktu shalat, dan tidak memaksa seorangpun dari para pekerja untuk
beraktifitas sehingga melewatkan waktu pelaksanaan shalat.
Termasuk dalam
kategori ini adalah acara-acara seminar, pesta, ceramah, dan rapat-rapat, semua
aktifitas ini tidak boleh menghalangi seseorang melaksanakan shalat pada
waktunya.
Setiap keluarga
yang telah dibangun oleh Islam di dalam masyarakat muslim dituntut untuk memerintahkan
anak-anak mereka untuk mendirikan shalat, jika mereka telah berumur tujuh
tahun, dan memukul mereka apabila enggan melakasnakan shalat setelah mereka berumur
sepuluh tahun Hal ini, demi melaksanakan peritah Rasulullah r, agar mereka terbiasa melaksanakan
shalat dari sejak kecil, dan setiap keluarga yang tidak memperhatikan arahan
Nabi ini maka ia berdosa, dan tidak layak menjadi anggota masyarakat muslim.
Terakhir, kedudukan
shalat di dalam masyarakat muslim yang benar sangat tinggi, hal ini sesuai
dengan kedudukannya yang sangat urgen di dalam agama ini, dia mempunyai wujud
yang nampak dan pengaruh yang jelas di dalam realita masyarakat, baik di bidang
pendidikan, budaya, penerangan, sosial, dan olah raga, dengan wujud yang layak
bagi sebuah masyarakat menghambakan dirinya kepada Allah.
2. Zakat
Zakat adalah rukun Islam yang kedua, ia selalu disebutkan secara
berbarengan dengan shalat di dalam al-Qur'an dan hadits. Dia disebutkan setelah
shalat dalam dua puluh delapan tempat di dalam al-Qur'an seperti pada ayat-ayat
berikut ini:
tûïÏ%©!$# tbqßJÉ)ã no4qn=¢Á9$# tbqè?÷sãur no4qx.¨9$# ÇÎÎÈ
(Yang mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)) (QS. al Maidah: 55)
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# ÇÍÌÈ
( Dan Dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat ) (QS. al Baqarah:
43)
(#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# (#âqs?#uäur no4q2¨9$# ÇËÐÐÈ
(Mendirikan shalat,
menunaikan zakat,) (QS. al Baqarah:
277)
Ia adalah ibadah
yang disyari'atkan sejak lama, sama seperti shalat (yang disyari'atkan di)
dalam agama Allah yang satu, yaitu agama yang dibawa oleh para nabi dan para
rasul. Kita mendapatkan di dalam banyak ayat yang menyebutkan secara beriringan
antara shalat dengan zakat, di antaranya adalah firman Allah I yang menyebutkan tentang pujianNya
terhadap bapak para nabi yaitu nabi Ibrahim, Ishak dan Ya'qub: (Kami Telah
menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan
perintah kami dan Telah kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan Hanya kepada Kamilah mereka selalu
menyembah,) (QS. al Anbiya':
73)
Di antaranya adalah firman Allah yang menyebutkan tentang pujianNya
kepada Ismail: (Dan ia menyuruh
ahlinya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai
di sisi Tuhannya) (QS. Maryam: 55)
Di antaranya juga adalah firman Allah ketika berbicara kepada
Musa: (Dan rahmat-Ku
meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang
yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada
ayat-ayat Kami".) (QS. al A'raf:
156)
Di antaranya adalah firman Allah melalui lisan Isa ketika dalam
pangkuan: (Dan dia memerintahkan
kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama Aku hidup;) (QS. Maryam: 31).
Dan di antaranya adalah perintah Allah kepada bani israil: (Serta ucapkanlah
kata-kata yang baik kepada manusia, Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.) (QS. Al Baqarah: 83)
Di antaranya adalah firman Allah tentang ahli kitab: (Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.) (QS. al Bayyinah: 5)
Zakat dan shalat
adalah dua syi'ar, dua kewajiban, dua ibadah yang dari sejak dahulu selalu
disebutkan secara beriringan di dalam agama Allah yang satu, yang telah
diturunkan sejak masa dahulu melalui lisan para rasul. Hingga pada saat Islam
telah datang, sebagai penutup semua agama (samawi), dia menjadikan zakat selain
sebagai ibadah juga sebagai sistem baru yang istimewa, di mana tidak ada
satupun dari agama samawi yang mendahuluinya dan tidak pula undang-undang
buatan manusia.
Islam telah
menjadikan zakat sebagai pilar penting bagi solidaritas sosial, karena Islam
telah menjadikannya sebagai ibadah dan kewajiban harta yang telah diatur secara
seksama, yang menjamin hak-hak orang-orang fakir, Islam tidak menjadikan zakat
sebatas tindakan kebaikan, kemuliaan dan sumbangan sukarela. Ia dipungut oleh
negara Islam, dengan mengangkat petugas tertentu yang bekerja secara khusus
untuk mengumpulkan zakat pada sebuah lembaga yang disebut dengan "Badan
amil zakat". Dan para petugas ini akan mendapat bagian tertentu yang
merupakan salah satu arah penyaluran zakat, sebagai bentuk penegasan atas
keterpisahannya dari harta-harta lain yang dipungut oleh negara Islam, dan agar
tidak bercampur dengan harta-harta lain sehingga dapat menghilangkan hak-hak
orang fakir, dalam hal ini Allah I menegaskan: (Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan)
budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang
sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.) (QS. at Taubah:
60)
Zakat dalam
masyarakat muslim merupakan kewajiban terhadap harta sebagai ibadah yang harus
dilakukan, yang dipungut oleh Negara. Namun, jika sautu negara tidak
mengumpulkannya seperti pada masa kita sekarang, maka kaum muslimin harus
segera menunaikannya dengan sempurna sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
syari'at, dan tidak ada seorang muslimpun yang ragu menunaikannya kecuali orang
yang lemah agamanya, lemah jiwanya, dan tidak baik akhlaknya.
Cukup kita
mengetahui bahwa orang yang menolak menunaikan zakat boleh diperangi dan darahnya
halal, sehingga dia menunaikannya dengan sempurna sebagaimana dijelaskan oleh
hukum agama. Penegasan Abu Bakar ash shiddiq tentang orang-orang murtad karena
menolak menunaikan zakat masih menggaung pada pendengaran masa, di mana dia
mengumumkan keagungan agama ini dalam menyatukan antara agama dan dunia:
"Demi Allah, sungguh aku akan memerangi orang yang membedakan antara
shalat dan zakat" ([1]). Ini adalah sumpah
dari Abu Bakar yang menggambarkan kedalaman pemahamannya terhadap agama yang
sempurna ini, dan karena adanya hubungan yang kuat antara shalat dan zakat
dalam menegakkan agama Islam.
3. Puasa bulan
Ramadhan
Ia adalah rukun Islam yang ketiga, masyarakat muslim menyambut
kedatangan bulan ramadhan dengan sambutan yang istimewa dan mereka juga memberikan
perhatian yang khusus kepada bulan ramadhan. Suasana ramadhan terlihat jelas di
jalan-jalan, rumah-rumah dan masjid-masjid. Orang-orang yang berpuasa menyadari
hak puasa terhadap mereka, dalam menjaga lisan, mata, dan anggota badan mereka
dari semua pelanggaran yang merusak puasa atau membatalkan amal mereka, sebab
mereka mengikuti petunjuk Nabi r yang mereka dengar
di masjid-masjid. Nabi r bersabda:
إِذَا كَانَ يَوْمُ صِيَامِ أَحَدِكُمْ فَلا يَرْفُثْ وَلا يَصْخَبْ
فَإِنْ سابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ
«Jika kalian sedang berpuasa maka
janganlah berbuat rafats, jangan membuat keributan, jika ada orang yang
memakinya atau mengajaknya berkelahi maka hendaklah berkata: aku sedang
berpuasa» (Muttafaq alaih).
Nabi r juga bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ
حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
«Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan
dusta dan melakukannya maka Allah tidak perlu memberikan pahala pada
perbuatannya dalam meninggalkan makan dan minum» (HR. Bukhari).
Sebagian besar umat Islam di dalam masyarakat muslim berusaha
memanfaatkan waktunya di bulan yang penuh berkah ini, mereka mengisinya dengan
amal shalih; pada waktu siang dimanfaatkan untuk berpuasa, membaca al-Qur'an,
bertasbih, bersedekah dan amal-amal shalih lainnya. Sementara, pada waktu malam
diisi dengan shalat tahajjud dan do'a, dalam rangka mencontohi Rasulullah r yang bersungguh-sungguh di bulan
ramadhan melebihi bulan-bulan lainnya, dan pada sepuluh hari terakhir melebihi
kesungguhan beliau dari hari-hari yang lainnya, hal ini sebagaimana disebutkan
di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah t. Selaian itu, mereka mengaharap
pahala yang besar yang disiapkan oleh Allah untuk orang-orang yang berpuasa dan
qiyamullail, sebagaimana disampaikan oleh Rasul yang mulia dengan sabdanya:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
« Barangsiapa yang qiyamullail di bulan
ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni baginya
dosa-dosanya yang telah lalu» (Muttafaq alaih).
Sesungguhnya umat Islam yang berada di dalam masyarakat muslim
yang bernaung di bawah petunjuk al-Qur'an dan hadits, mengerti bahwa bulan
ramadhan adalah bulan ibadah, sehingga tidak ada kesempatan bagi pribadi muslim
serius untuk menghabiskan waktu malam dengan kesia-siaan dan bergadang yang
lama dengan sesuatu yang tidak berguna, sehingga apabila waktu subuh telah
mendekat, mereka menyantap makanan beberapa suap lalu pergi ke tempat tidur
kemudian tenggelam di dalam tidur yang pulas sehingga tidak bangun untuk shalat subuh.
Pribadi-pribadi muslim di dalam masyarakat muslim kembali dari
shalat tarawih dengan tidak begadang panjang, kerena beberapa saat lagi mereka
akan bangun untuk qiyamullail dan makan sahur, kemudian pergi ke masjid untuk
melaksanakan shalat subuh.
Sahur dalam masyarakat muslim adalah suatu keharusan di bulan
ramadhan, sebagai pelaksanaan dari perintah Rasulullah r yang bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً
«Makan sahurlah, karena di dalam makan
sahur itu terdapat berkah» (Muttafaq alaih).
Hal ini karena bangun untuk makan sahur mengingatkan mereka kepada
qiyamul lail, dan menggiatkan diri mereka untuk melangkah ke masjid untuk
shalat subuh berjamaah, selain itu dia juga menguatkan badan untuk berpuasa.
Inilah yang selalu dilakukan oleh Rasulullah r dan dengannya pula
beliau melatih para para sahabat di dalam masyarakat muslim generasi pertama.
Dari zaid bin tsabit t berkata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ rثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا
بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِينَ آيَةً
«Kami makan sahur bersama Rasulullah r kemudian kami
bangkit untuk shalat, dikatakan kepadanya: "Berapa lamakah jarak waktu antara
sahur dan shalat? Beliau berkata: (Kira-kira) selama membaca lima puluh ayat» (Muttafaq alaih).
Ramadhan memiliki nilai kemuliaan dan kesakralan di dalam
masyarakat muslim yang dipelihara oleh negara. Negara tidak membolehkan makan
(di siang hari bulan ramadhan) dengan terang-terangan dan tidak boleh melanggar
kemuliaan bulan yang penuh berkah dalam bentuk apapun. Bahkan, pemerintah
memberi sanksi kepada siapa yang melanggar adab-adab syara' di bulan ini, dan
menetapakan berbagai kebijakan yang bisa
menjadikan masjid bercahaya dan berkilau, menarik manusia untuk
melakukan ketaatan, menyenangkan mereka beribadah dan mendorong mereka untuk
menyambut hidayah. Hal ini terwujud dengan memperhatikan mimbar-mimbar masjid,
majlis-majlis ilmu, nasihat dan bimbingan agama, sehingga tidak ada yang
menempatinya kecuali para ulama, para khatib ulung yang bisa berbicara dengan
baik, memahami hukum-hukum syari'at, dan bersifat jujur, konsisten, bertakwa
dalam perkataan dan perbuatan.
Dalam suasana yang suci dan bersih inilah umat Islam melewati
hari-hari di bulan ramadhan di dalam masyarakat muslim, sebuah suasana yang
sehat dan bersih yang membantu terlaksananya ibadah sehingga setiap individu
benar-benar merasakan bahwa dirinya betul-betul hidup di dalam masyarakat yang
mengbadikan dirinya kepada Allah.
- Haji
Ia adalah rukun Islam yang keempat, pada musim inilah umat Islam
berkumpul di Mekkah al Mukarramah, mereka datang dari berbagai penjuru dunia.
Warna mereka berbeda, bahasa dan bentuk mereka berbeda, namun dengan pakaian
ihram, mereka tampak dalam satu pakian yang sama, tidak ada perbedaan antara
yang tua dan yang muda, yang kaya dan yang miskin, raja dan rakyat, semuanya
mengahadap ke satu kiblat, berdoa kepada satu Tuhan, melakukan satu amal;
berupa thawaf, sa'i, wukuf di arafah, bermalam di muzdalifah, Mina dan masya'ir
yang lainnya serta kesamaan di dalam menjalankan ibadah-ibadah lainnya yang
dilakukan oleh para jamaah haji.
Jika perkumpulan umat Islam
pada satu kiblat merupakan simbol persatuan abadi dan penanaman rasa kesatuan
bagi kaum muslimin, maka ibadah haji memwujudkan persatuan ini dengan
berkumpulnya umat Islam secara lahir dan batin; bukan sekedar perkumpulan yang
bersifat simbolis bagi perasaan semata, akan tetapi dia mewujudkan persatuan
ini dengan berkumpul dan bertemu dengan jiwa dan jasad, setelah sebelumnya
persatuan tersebut tercipta dengan perasaan. Selain itu, ia juga menciptakan
persamaan ketika semua jemaah haji menanggalkan pakaian mereka (masing-masing),
pakaian yang menjadikan antara manusia berbeda ketika mamakainya; pakaian itu
memperlihatkan wibawa pemuka agama, kekuasaan seorang tentara, dan kedudukan
para petinggi. Dengan pakaian, orang yang kaya raya akan tanpak berbeda dengan
orang yang fakir, para pembesar dengan orang kecil. Sehingga, setelah setiap
pribadi menanggalkan pakaian mereka masing-masing, maka meleburlah mereka dalam
satu tingkatan, yaitu sebagai jamaah haji kaum muslimin. Di padang Arafah, tidak (pantas) kita mengatakan
kepada seorang pemimpin: Wahai pemimpin yang mulia, tidak juga kepada seorang
prisiden: Wahai presiden yang terhormat, tidak juga kepada seorang direktur:
Wahai direktur yang terhormat. Kita tidak berkomunikasi dengan seorang penguasa
dengan mengungkapkan kata kebesaran. Tidak ada di padang Arafah orang yang tetap mengaku
sebagai penguasa, direktur, orang kaya, orang miskin, tua dan muda.
Islam telah menghapuskan perbedaan yang disebabkan oleh pakaian,
tempat tinggal dan gelar di padang
Afarah. Di mana hal ini tidak pernah dikenal sejak terdahulu kecuali di dalam
ibadah haji yang Islami. Terkadang manusia datang dengan jumlah yang besar
dalam pertemuan internasional, pameran umum, pesta-pesta pertandingan dan
acara-acara tradisional lainnya, bahkan terkadang jumlah mereka menyamai jumlah
para jamaah haji, akan tetapi mereka datang dengan membawa tujuan duniawi
mereka masing-masing yang menyebabkan mereka berbeda dalam pakaian yang mereka
kenakan, hotel yang mereka tinggali, dan kendaraan yang mereka tumpangi.
Namun, di dalam ibadah haji, semuanya tunduk pada satu aturan,
setiap mereka berkumpul di tempat tertentu yang sama, melakukan amal yang sama,
pada waktu tertentu, tidak ada kelebihan bagi seseorang atas yang lain.
Rasulullah r telah menunaikan
haji bersama umat Islam, mengajarkan kepada umat ini bagaimana cara mereka
berhaji, dimana beliau bersabda:
خُذُوا عَنيِّ مَنَاسِكَكُمْ
« Ambillah dariku cara kalian melakukan
ibadah haji » (HR. Muslim).
Beliau telah menggambarkan kepada mereka dengan manasik ini sebuah
bentuk persatuan yang paling indah, dan wujud persamaan yang paling tinggi,
dalam sebuah pemandangan yang mana matahari tidak pernah melihat gambaran yang
sebanding dengannya.
Masyarakat muslim
berhimpun dan membentang menjadi satu sekali dalam satu tahun, yaitu pada musim
haji, mereka adalah masyarakat dunia yang terbuka, mengumpulkan semua bangsa-bangsa
di dunia di sekitar ka'bah, haji merupakan mukmatar internasional yang tidak
pernah dikenal oleh dunia kecuali dalam pelaksanaan haji, jamaah haji dengan
berbagai warna, jenis dan bahasa mengumandangkan talbiyah, tahlil, takbir,
tasbih dan pujian bagi Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Tinggi dan Maha Besar.
Dalam suasana yang
indah dengan ketakwaan ini, ketika mereka sedang menunaikan ibadah haji, kaum
muslimin merasakan bahwa mereka adalah hamba Allah, datang dari berbagai
penjuru dunia, mengharapkan ridha Allah U dan melaksanakan
perintahNya dengan haji: (Mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah.) (QS. Ali Imran:
97)
Dan dengan amal ibadah yang mereka laksanakan di dalam ibadah
haji, mereka menegaskan tentang kesatuan
orientasi mereka, yaitu menghadap kepada Allah, di mana hal ini merupakan wujud
persatuan yang paling tinggi yang dikenal oleh manusia, dan dengannyalah
tercipta keunggulan umat ini, sekalipun mereka berbeda dalam warna kulit,
bahasa dan jenis: (Kamu adalah umat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.) (QS. Ali Imran: 110)
Luasnya pemahaman ibadah dalam Islam
Di dalam Islam
ibadah bukan hanya terbatas pada syi'ar dan amal-amal yang bersifat ubudiah,
akan tetapi mencakup pelaksanaan semua hukum Islam, penghambaan kepada Allah
tidak tercipta secara sempurna kecuali dengan melaksanakan syari'at secara
keseluruhan, mempraktekkan dan melaksanakan hukum-hukumnya, menghadirkan
perasaan merendah dan ubudiah kepada Allah Yang Maha Esa dalam melaksanakan
semua hukum ini.
Sayyid Quthb berkata tentang makna ubudiah kepada Allah: ((Kalau
hakikat ibadah hanya sekedar syi'ar ibadah semata, maka hal itu tidak
membutuhkan diutusnya para rasul dan risalah yang mereka bawa, serta tidak
membutuhkan kepada perjuangan yang sulit yang dilakukan oleh para rasul, dan
tidak perlu adanya tantangan dan rintangan yang menghalangi para da'i dan orang-orang
yang beriman sepanjang masa!. Yang berhak mendapat harga yang tinggi adalah mengeluarkan manusia
dari penghambaan kepada manusia, dan mengembalikan mereka kepada penghambaan
kepada Allah Yang Maha Esa dalam setiap aspek dan urusan, serta dalam manhaj
hidup mereka secara keseluruhan baik di dunia dan akhirat.
Sesungguhnya dalam
rangka menegakkan tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah, tauhid di dalam
kepemimpinan, bertauhid di dalam
menegakkan hukum, bertauhid di dalam sumber syari'at, bertauhid di dalam
manhaj kehidupan dan bertauhid di dalam kiblat yang dengannya manusia bisa
beragama secara menyeluruh … sungguh tauhid inilah yang menjadi tujuan
diutusnya para rasul, dikorbankannya segala usaha untuk mewujudkan tujuan
tersebut, semua penderitaan ditanggung demi menegakkannya sepanjang masa, bukan
karena Allah I perlu padanya,
Allah tidak butuh kepada alam semesta, akan tetapi karena kehidupan manusia
tidak akan baik, tidak akan tegak lurus, tidak mulia dan tidak layak bagi
manusia kecuali dengan tegakknya tauhid ini, yang pengaruhnya tidak terbatas
pada kehidupan manusia dalam segala segmen kehidupannyan.
Beragama kepada
Allah membebaskan manusia dari beragama kepada selain Allah, dan mengeluarkan
manusia dari mengamba kepada makhluk menuju pengambaan diri kepada Allah Yang
Maha Esa. Dengan demikian inilah manusia akan meraih kemuliaan dan kemerdekaan
yang hakiki, di mana kebebasan dan
kemuliaan ini tidak bisa didapatkan dalam aturan mana saja selain di dalam Islam,
dimana manusia saling menyembah satu sama lain dengan berbagai macam bentuknya,
baik penghambaan di dalam keyakinan, atau penghambaan di dalam perasaan, atau
penghambaan di dalam syari'at. Semua ini adalah pengahambaan di mana yang satu
seperti yang lain, leher ditundukkan kepada selain Allah, dengan menundukkannya
agar mengikuti dalam segala sisi kehidupan kepada selain Allah.
Manusia tidak bisa
hidup tanpa beragama, manusia mesti mempunyai agama, orang yang tidak menyembah
Allah, ia akan terjatuh kepada penyembahan kepada selain Allah, dalam segala
aspek kehidupan.
Mereka terjatuh
pada perangkap hawa nafsu dan syahwat mereka yang tanpa batas. Karena itulah
mereka kehilangan keistimewaan mereka sebagai manusia dan masuk ke dalam
golongan hewan.
(Dan orang-orang
kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang.
dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka.) (QS. Muhammad: 12)
Manusia tidak akan
pernah merugi seperti kerugian mereka ketika kehilangan kemanusiaanya, dan
masuk ke dalam golongan alam hewan, inilah yang terjadi ketika manusia terlepas
dari penghambaan kepada Allah semata lalu terjatuh pada penyembahan kepada hawa
nafsu dan syahwat: (Terangkanlah
kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka
apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?,) (QS. al Furqaan:
43).
Kemudian, mereka
mesti terjatuh sebagai mangsa bagi berbagai macam penghambaan kepada hamba;
mereka terjerumus untuk menghambakan diri kepada para penguasa dan peminpin
yang membuat aturan uintuk diri mereka sendiri, di mana tidak ada tujuan bagi
mereka kecuali kepentingan mereka sendiri –baik hal ini terwujud dalam seorang
penguasa, atau sekelompok orang-orang yang berkuasa, atau keluarga penguasa-
hal ini tanpak jelas dari prikehidupan manusia secara umum yang memperlihatkan
fenomena ini dalam setiap aturan buatan manusia, yang tidak bersumber dari
Allah I, dan tidak terkait
dengan syari'at Allah.
Namun demikian,
penghambaan tersebut tidak akan berhenti pada penghambaan kepada para pemimpin
dan orang-orang yang membuat undang-undang… ini adalah bentuk yang paling
nyata!, akan tetapi bukan sebatas itu! Penghambaan kepada manusia masih
terwujud dalam bentuk lain yang tersembunyi, namun bisa jadi dia lebih kuat dan
lebih melekat serta lebih keras dari bentuk ini! Misalnya penghambaan kepada
para perancang mode dan pakaian, kekuasaan apa yang mereka miliki atas
kebanyakan manusia? Semua yang mereka namakan orang-orang maju… Sesungguhnya
mode yang dibuat oleh tuhan-tuhan pemuja mode berupa pakaian, kendaraan,
bangunan, pemandangan, atau pesta… dan seterusnya, sungguh merupakan bentuk
penghambaan penghambaan yang keji, tidak ada jalan bagi orang jahiliyah baik
laki-laki maupun wanita untuk bisa terlepas darinya, atau berpikir untuk tidak
terpengaruh dengannya! Kalau seandainya manusia tunduk kepada Allah dengan
sebagaian bentuk penghambaan mereka kepada para perancang mode, niscaya dengan
hal itu, mereka menjadi para ahli ibadah yang bersungguh-sungguh. Maka bentuk
ketundukan manakah yang bisa dikatakan penghambaan kalau bukan ini?
Terkadang manusia
melihat seorang wanita malang
mengenakan pakaian yang mempertontonkan auratnya, padahal pada saat yang sama
hal itu tidak sesuai dengan model dan bentuk pribadinya, ia berdandan dengan
sesuatu yang membuatnya menjadi buruk atau menjadikannya sebagai bahan ejekan
orang lain. Akan tetapi karena penghambaan terhadap para perancang mode
dan modelis telah menguasai dirinya dan
menghinakannya pada kehinaan seperti ini sehinga dia tidak mampu untuk menghadapinya
dan tidak pula kuat untuk menolak penghambaan tersebut, karena semua masyarakat
di sekitarnya menghambakan diri kepadanya, maka ketundukan manakah yang
dimaksud dengan penghambaan jika bukan ketundukan seperti ini? Bagaimana
kerajaan dan ketuhanan jika bukan itu?
Dalam setiap keadaan,
kondisi, dan aturan di mana manusia
menghambakan dirinya kepada sesama manusia, maka mereka (pada saat yang
bersamaan telah) mengorbankan harta dan jiwa mereka sebagai harganya, mereka
membayarnya kepada tuhan yang bermacam-macam.
Penghambaan adalah suatu
kemestian!; Jika tidak kepada Allah, maka seseorang akan menghambakan diri
kepada selain Allah. Dan penghambaan kepada Allah akan membentuk manusia
menjadi merdeka, mulia, dan terhormat. Pemghambaan kepada selain Allah akan
menghancurkan derajat kemanusiaan, kemuliaan dan kehormatan manusia, sehingga
akibatnya, menghancurkan harta dan maslahat mereka sendiri)) ([2]).
Jika undang-undang
masyarakat muslim adalah syari'at Islam, maka pelaksanaan hukum dan taat kepada
peraturan ini di dalam masyarakat muslim merupakan ibadah dan ketaatan kepada
Allah, bukan wujud kepatuhan dan ketundukan kepada aturan yang dibuat oleh
dewan permusyawaratan rakyat, tidak pula kepada keputusan penguasa atau
pemerintah, inilah perbedaan besar (yang membedakan) antara hukum syari'at dan
hukum buatan manusia, di mana taat kepada yang pertama merupakan ibadah dan
ketaatan pada peraturan, sementara (taat kepada) yang kedua hanya merupakan
ketaatan kepada peraturan semata.
Dari sisi inilah,
muncul keistimewaan masyarakat musilm dalam kesiagaan pribadi masyaraktnya
untuk segera mentaati peraturan dan hukum dengan jiwa yang suka rela, karena
orang yang melanggar aturan dan hukum ini merasa bahwa dirinya telah bermaksiat
kepada Allah, melanggar perintah dan mengingkari janji kepadaNya:
(Sesungguhnya
jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya
agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami
mendengar, dan kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.) (QS. an Nuur: 51)
(Hai orang-orang
yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu) (QS. al Maidah: 1)
(Dan penuhilah
janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.) (QS. al Isra': 34).
Oleh karena itulah,
para da'I Islam yang jujur pada masa ini, berusaha menerapkan syari'at Islam
secara keseluruhan, karena penerapan syari'at inilah yang menjadi standar yang
membedakan masyarakat muslim dengan masyarakat-masyarakat lainnya.
(Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah
diturunkan Allah kepadamu.) (QS. al Maidah:
49)
Tidak cukup dengan
menjadikan hukum buatan manusia sehingga
menyerupai hukum syari'at agar bisa diterapkan dalam masyarakat muslim.
Oleh karena itulah, salah seorang ulama fiqh dalam sebuah gerakan Islam
menjawab ketika ditanya: Apakah tidak mungkin menerapakan hukum buatan manusia
yang menyerupai hukum syari'at Islam?. Beliau menjawab: "Tidak boleh
menerapkan hukum buatan manusia walaupun menyerupai hukum syari'at, karena kita
dituntut untuk menerapkan syari'at Islam, bukan yang menyerupainya, Allah
berfirman: (Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka …) dan Allah tidak
mengatakan dengan yang menyerupai apa yang diturunkan oleh Allah.
Syari'at Islam
adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan, tidak boleh menerapkan sebagiannya
dan meninggalkan sebagian yang lain, walaupun yang ditinggalkan ini
seperseribunya. Kita diperintahkan untuk mengambil syari'at Islam yang
sebenarnya, bukan undan-undang yang meyerupainya, walaupun memiliki titik
kesamaan yang banyak.
Urgensi persoalan
ini menjadi bertambah, karena dia berkaitan dengan ibadah kepada Allah yang
tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaNya: (Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.) (QS. adz dzariyaat: 56)
Sesungguhnya agama Allah yang satu, yang diturunkan oleh Allah
kepada umat manusia dalam waktu dan kurun yang panjang didasari oleh satu
kaidah yang permanen, yaitu agama tersebut diterapkan secara keseluruhan, bukan
secara parsial. Ketika Bani Israil berkeras kepala melakukan penentangan, tipu
daya dan penipuan agar mereka bisa menerapkan hukum yang sesuai dengan
keinginan mereka dan meninggalkan apa yang tidak cocok bagi mereka, maka Allah
mengingkari perbuatan buruk mereka ini, dan mengancam mereka dengan kehinaan
dalam kehidupan dunia, dan siksa yang pedih di akhirat. Kita mendapatkan hal
ini dalam firman Allah:
(Apakah kamu beriman
kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?
tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan
kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan
kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat) (QS. al Baqarah: 85)
Ini adalah kaidah yang permanent dan tetap berlaku, yaitu agar
agama diambil secara keseluruhan, tidak boleh ada sediktipun yang ditolak, dan
penolakan terhadap suatu bentuk hukum yang bersifat pasti (qath'i) dari
hukum-hukum syari'at, yang telah diketahui dari agama secara pasti, maka hal
itu adalah kekufuran terhadap Islam yang bisa mengeluarkan seseorang dari
keislamannya, dan mengeluarkannnya dari barisan orang-orang beriman, dan keluar
dari masyarakat yang menghambakan diri mereka kepada Allah.
Islam adalah jalan hidup yang bersifat universal, tidak hanya
sebatas perkara ibadah dan syi'ar semata, akan tetapi mencakup
aktifitas-aktifitas sosial yang dianjurkan oleh Islam, yaitu mencakup hubungan seorang muslim dengan kedua
orang tuanya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya, teman-temannya,
semua keluarga dan semua anggota masyarakat. Mengamalkan hal itu sesuai dengan
syari'at merupakan ibadah.
Maka seorang muslim yang benar, semua aktifitasnya adalah ibadah,
dan kewajiban-kewajiban yang ditunaikannya jika niatnya baik, maka itu merupakan
ibadah, mempelajari ilmu dan mengajarkannya, berdakwah kepada Allah, mendidik
anak dan membinanya, mengurusi keluarga, berbuat baik kepada manusia, berkorban
dalam membantu mereka, memberikan solusi terhadap orang-orang yang kesusahan
dan kebingungan, memberikan manfaat kepada orang lain dengan amal yang
dibolehkan, mencari rezeki yang halal,
itu semua merupakan ibadah kepada Allah I jika niatnya baik.
Masyarakat muslim tegak di atas manhaj yang universal ini, dan
menanamkan bentuk hubungan sosial seperti kepada manusia, sehingga dia
tercermin hidup di dalam perilaku, di mana mereka menghiasi diri dengannya dan
menerapkannya dalam kehidupan mereka; tidak hanya sekedar perkataan, aturan,
filsafat dan teori yang dihimpun dalam buku-buku. Realita inilah yang telah
dirasakan oleh bangsa Arab yang musyrik pada saat datangnya Islam dan mereka
mendengar hukum-hukum dan syari'at Islam dari lisan Rasulullah r, mereka merasakan bahwa mereka
berhadapan dengan manhaj hidup yang sempurna dan menyeluruh, yang akan
menggantikan tradisi, budaya dan gaya hidup mereka. Oleh karena itulah timbul
permusuhan antara umat Islam dan orang-orang musyrik, dan suku Quraisy berusaha
menghalangi bangsa Arab agar mereka tidak masuk ke dalam agama yang baru ini,
yang akan merubah kehidupan mereka secara total, dan mengeluarkan mereka dari
kegelapan kepada cahaya.
Seandainya Rasulullah r yang mulia dan
para sahabatnya hanya menunaikan ritual keagamaan tanpa memasuki urusan sosial,
pemikiran, politik dan ekonomi, niscaya tidak akan terjadi permusuhan antara
mereka dengan orang-orang Arab yang musyrik, dan umat Islam tidak akan terpaksa
untuk berhijrah dengan menanggung kesulitan yang besar dan pengorbanan yang
agung agar mendapat kesempatan di Madinah untuk mendirikan masyarakat muslim
yang dibawa oleh Islam; sebuah masayarakat yang dibangun atas dasar
prinsip-prinsip Islam yang orisinil, dan ini semua termasuk ibadah di dalam
Islam.
Di dalam tuntunan Islam, semua ibadah memiliki hubungan sinergis
dengan masyarakat. Oleh karena itulah, shalat berjamaah lebih besar pahalanya
dibandingkan dengan shalat sendirian, dan shalat jum'at merupakan kewajiban
setiap individu yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, dimana umat Islam
berkumpul pada sebuah masjid jami' guna mendengarkan khutbah jum'at sebelum
shalat. Demikian pula dengan ibadah puasa dan haji, di mana umat Islam
melaksanakannya dalam bingkai jama'ah sangat unik, sebagaimana telah ditegaskan
dalam pemabahasan sebelumnya.
Islam mewajibkan berbagai ibadah bagi manusia untuk mensucikan
hatinya, mendidik jiwanya, dan mengantarkannya kepada ridha Tuhannya U, semua ini tidak bisa dicapai oleh
manusia kecuali jika dia jujur kepada Allah di dalam menjalankan
ibadah-ibadahnya, yang dengannya dia mengharapkan ridha Tuhannya. Dengan dasar
inilah Islam memerangi sikap dusta dalam beragama, yaitu sikap beragama yang
tidak menghunjam ke dalam jiwa manusia yang dengannya jiwa menjadi suci dan
perilaku menjadi bersih, tegak di atas ketaatan kepada Allah, melaksanakan
perintahNya, menjauhi laranganNya, serta (memerangi sikap beragama yang) tidak (mengarahkan (seseorang) kepada
mengamalkan manhaj Islam secara totalitas di dalam semua sendi kehidupan.
Oleh karena itulah terdapat ancaman keras bagi orang-orang yang
shalat, yaitu orang yang keluar dari masjid dengan tujuan ingin mendapat pujian
orang lain (riya'), dan mencegah kebaikan dari orang yang berhak menerimanya: (Tahukah kamu
(orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, Dan
tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi
orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
Orang-orang yang berbuat riya, Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.) (QS. al Ma'un: 1-7)
Selain itu, terdapat ancaman keras bagi yang curang di dalam menimbang,
dengan mengurangi timbangan: (Kecelakaan besarlah
bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran
dari orang lain mereka minta dipenuhi, Dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan
dibangkitkan, Pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri
menghadap Tuhan semesta alam?) (QS. al
Muthaffifiin: 1-6)
Maka dengan realita seperti, akan tampak sebuah perbedaan yang
jelas dan jauh antara masyarakat muslim yang benar dan berbagai masyarakat
lainnya dalam kedisiplinan anggota masyarakatnya dalam bersikap istiqamah, jujur, amanat, adil dan
nilai-nilai luhur Islam lainnya. Semua ini termasuk di dalam bingkai ibadah
yang dibawa oleh Islam, dan menjadikannya sebagai tujuan diciptakannya jin dan
manusia: (Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.) (QS. adz Dzariyaat: 56).
Sebab, Islam memperluas makna ibadah di dalam ayat yang mulia ini,
karena tidak masuk akan kalau maknanya adalah Allah tidak menciptakan jin dan
manusia kecuali untuk berdiam di masjid untuk mendirikan shalat sepanjang siang dan malam, akan tetapi Allah
bekehendak: agar mereka menghabiskan umur mereka dalam membangun alam ini,
mengembangkan kehidupan, menebarkan petunjuk dan kebaikan, mereka mencari ridha
Allah, melaksanakan perintahNya, menjauhi laranganNya, dan inilah penghambaan
kepada Allah.
Post a Comment