Anjuran Untuk Shalat Malam
Anjuran
Untuk Shalat Malam
Al-Qur`an, sunnah dan ijma’, semuanya menunjukkan disyari’atkan shalat
malam. adapun al-Qur`an, maka sudah dijelaskan ayat-ayat yang menunjukkan hal
itu.
Adapun dari sunnah maka sangat banyak, di antaranya:
1.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya melaksanakan shalat malam di masjid di bulan Ramadhan hingga malam
ke empat, sebagaimana dalam al-Bukhari dan Muslim dari hadits Aisyah radhiyallahu
‘anha.
2.
Dalam hadits al-Bukhari dan Muslim, dari hadits Mughirah radhiyallahu
‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam hingga
bengkak kedua kakinya. Dikatakan kepada beliau: ‘Allah subhanahu wa ta’ala
sudah mengampuni dosa-dosamu yang terdahulu dan kemudian.’ Beliau bersabda: ‘Apakah
aku tidak ingin menjadi hamba yang bersyukur.’
3.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhu bahwa dia shalat malam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
4.
Diriwayatkan bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya
Abdullah adalah laki-laki yang shalih jika ia shalat malam.” Muttafaqun
‘alaih dari hadits Hafshah radhiyallahu ‘anha.
5.
Diriwayatkan dalam keistimewaan bulan Ramadhan, sabda
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama: “Barangsiapa yang
mendirikan (shalat malam) bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala
niscaya diampuni dosanya yang terdahulu.”Muttafaqun ‘alaih dari hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Para ulama
menceritakan ijma’ dan mengutipnya dalam disyari’atkan shalat malam, terutama
di bulan Ramadhan. Ibnu Abdil Barr berkata: shalat malam bulan Ramadhan adalah
sunnah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memulainya
kemudian meninggalkannya karena khawatir diwajibkan kepada umatnya, dan Umar
bin Khathab radhiyallahu ‘anhu mensunnahkannya di hadapan para sahabat,
maka tidak ada yang mengingkarinya dan mereka ijma’ untuk mengamalkannya.[1]
An-Nawawi
berkata: Shalat Tarawih hukumnya sunnah dengan ijma’ para ulama.[2]
Dan ia berkata: para ulama sepakat mensunnahkannya.[3]
Ibnu Rusyd berkata: Mereka (Ulama) ijma’ bahwa shalat bulan Ramadhan dianjurkan
melebihi semua bulan.[4]
Melaksanakan
shalat malam di bulan Ramadhan secara berjamaah hukumnya sunnah. Al-Baghawi
berkata: Shalat malam di bulan Ramadhan secara berjama’ah hukumnya sunnah,
bukan bid’ah.[5]
Bahkan as-Sarakhsi berkata: Shalat Tarawih adalah sunnah, tidak boleh
meninggalkannya.[6]
Faidah:
Shalat malam di bulan Ramadhan secara berjamaah lebih utama dari pada
melakukannya sendirian di rumah.
Ibnu
Mundzir berkata: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Sesungguhnya
apabila seorang laki-laki berdiri (shalat) bersama imam sehingga ia (imam)
berpaling niscaya ditulis untuknya malamnya yang tersisa.’ Merupakan dalil
bahwa shalat dalam jamaah bersama imam di bulan Ramadhan lebih utama dari pada
shalat sendirian.[7]
An-Nawawi berkata: Mereka berbeda pendapat dalam
masalam bahwa yang lebih utama melaksanakan shalatnya sendirian di rumahnya
atau berjamaah di masjid. Asy-Syafii, jumhur sahabatnya, Abu Hanifah, Ahmad dan
sebagian ulama Maliki dan selain mereka berkata: Yang lebih utama adalah melaksanakannya
secara berjamaah, seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khathab radhiyallahu
‘anhu dan para sahabat. Perbuatan kaum muslimin terus berlanjut karena ia
termasuk syi’ar yang nampak, maka ia menyerupai shalat ied.
Imam Malik, Abu Yusuf, sebagian ulama Syafii dan
selain mereka berkata: Yang lebih utama adalah sendirian di rumah.[8]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata: Para ulama berbeda pendapat dalam masalah shalat
malam di bulan Ramadhan, apakah melakukannya berjamaah di masjid lebih utama
atau di rumah lebih utama? Ada dua pendapat yang masyhur, keduanya adalah dua
pendapat bagi imam Syafii dan imam Ahmad. Satu golongan mengutamakan
melakukannya di masjid berjamaah, termasuk di antara mereka imam Laits. Dan
satu golongan mengutamakan melakukannya di rumah dan berhujjah dengan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
((أَفْضَلُ الصَّلاَةِ صَلاَةُ اْلمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلَّا الْمَكْتُوْبَةَ))
(متفق عليه)
“Shalat paling utama
adalah shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat fardhu.” Muttafaqun
‘alaih.
Imam Ahmad dan yang lainnya
berhujjah dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits
Abu Dzarr:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((
اَلرَّجُلُ إِذَا قَامَ مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كَتَبَ اللّه لَهُ
قِيَامَ لَيْلَةٍ )) (رواه أحمد)
“Apabila seseorang shalat
bersama imam sehingga ia berpaling niscaya Allah subhanahu wa ta’ala menulis
untuknya shalat satu malam.”
Adapun sabdanya: “Shalat
paling utama adalah shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat fardhu.”
Maksudnya adalah selama tidak disyari’atkan berjamaah, adapun yang
disyari’atkan berjamaah seperti shalat gerhana (kusuuf) maka
melakukannya di masjid lebih utama dengan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang mutawatir dan kesepakatan para ulama. Mereka
berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengumpulkan manusia
untuk melaksanakan shalat malam karena khawatir menjadi wajib, dan hal ini
sudah terhindar dengan wafatnya beliau, maka hal ini sama seperti mengumpulkan
al-Qur`an dan yang lainnya. Apabila shalat berjamaah disyari’atkan padanya maka
melaksanakannya berjamaah lebih utama.
Adapun
ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu: ‘Dan yang kamu tidur darinya lebih
utama’ maksudnya adalah akhir malam dan manusia melaksanakan shalat di
permulaannya. Ini adalah pendapat yang shahih. Maka sesungguhnya akhir malam
lebih utama, sebagaimana shalat isya di permulaannya lebih utama, dan waktu
yang tidak utama terkadang ditentukan amal ibadah padanya padahal yang lebih
utama adalah di waktu yang lain. Sebagaimana menjama’ di antara dua shalat di
Arafah dan Muzdalifah lebih utama dari pada memisahnya karena suatu sebab yang
mengharuskan hal itu. Sekalipun asalnya: bahwa shalat dalam waktunya dan
mendinginkan shalat (Zhuhur) di saat cuaca sangat panas lebih utama.
Adapun hari
Jum’at maka shalat setelah gelincir matahari lebih utama dan tidak disunnah ibrad(menunggu
agak dingin) di hari Jum’at karena hal itu menyusahkan manusia. Dan
menunda shalat isya hingga sepertiga
malam lebih utama kecuali bila manusia sudah berkumpul dan menunggu menyusahkan
mereka, maka melaksanakannya sebelum hal itu lebih utama. Demikian pula
berkumpul di bulan Ramadhan di separo malam yang kedua (setelah tengah malam)
apabila menyusahkan manusia.
Di dalam
sunnah, dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Shalat seseorang bersama seorang
laki-laki lebih utama dari pada shalatnya sendirian, shalatnya bersama dua
orang laki-laki lebih utama dari pada shalatnya bersama satu orang laki-laki,
dan yang lebih banyak maka ia lebih
dicintai di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Karena alasan inilah, imam
Ahmad dalam salah satu riwayatnya:disunnahkan melakukan shalat Subuh apabila
sudah mulai terang karena lebih banyak jamaah, sekalipun di saat masih gelap
(setelah terbit fajar) lebih utama. Berdasarkan nash dan ijma’: Sesungguhnya
waktu yang tidak utama, terkadang ditentukan melakukan padanya hukumnya lebih
utama.
Catatan: Apakah disyari’atkan berjamaah untuk shalat
sunnat di luar bulan Ramadhan? Segolongan ulama menyebutkan bahwa shalat sunnah
boleh dilaksanakan berjamaah, dengan syarat bahwa hal itu jangan dijadikan
kebiasaan, berdasarkan dalil:
1.
Dalam Shahihain, dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di rumah Ummu
Sulaim radhiyallahu ‘anha. Anas berkata: ‘Maka aku shalat di belakang
beliau bersama seorang yatim, dan Ummu Sulaim di belakang kami.”
2.
Hadits ‘Itban bin Malik radhiyallahu ‘anhu saat
meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berkunjung ke
rumahnya lalu shalat di rumahnya, maka ia menjadikannya sebagai tempat shalat.’
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkunjung kepadanya, lalu
shalat di rumahnya dan para sahabatnya shalat di belakang beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. HR. Al-Bukhari.
3.
Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dalam
shalatnya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Muttafaqun
‘alaih.
4.
Hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dan Jabbar radhiyallahu
‘anhu dalam shalat mereka bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam shalat malam. HR. Muslim.
Hadits-hadits ini
menunjukkan bahwa boleh shalat sunnah berjamaah dan al-Bukhari menyebutkan satu
bab dalam shahihnya: ‘Bab shalat sunnah berjamaah’, disebutkan oleh Anas
radhiyallahu ‘anhu dan Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Ibnu Quddamah berkata:
‘Boleh shalat sunnah secara berjamaah dan sendirian, karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melakukan keduanya, dan sebagian besar shalat beliau
adalah sendirian. Beliau shalat dengan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu satu
kali, dengan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu satu kali, dengan Anas,
ibunya dan anak yatim satu kali, shalat bersama sahabatnya di rumah Itban
sekali, mengimami mereka di malam-malam bulan Ramadhan tiga kali...dan semuanya
shahih dan baik.[9] Akan tetapi hal itu disyaratkan dengan syarat
yang sudah disebutkan, yaitu: jangan dijadikan sebagai sunnah ratibah (terus
menerus), agar tidak menyerupai shalat yang disyari’atkan berjamaah.
Syaikhul
Islam berkata: Berkumpul untuk shalat sunnah terkadang termasuk yang
disunnahkan berjamaah padanya apabila ia tidak menjadikannya sebagai kebiasaan,
demikian pula apabila untuk mashlahat, seperti tidak bisa shalat sendirian atau
tidak rajin sendirian, maka jama’ah lebih utama bila tidak dijadikan sebagai
ratibah, dan melakukannya di rumah lebih utama kecuali untuk mashlahat yang
lebih utama.[10]
Dan ia
berkata: ‘Tidak dimakruhkan shalat sunnah berjamaah, sebagaimana dilakukan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak menjadikan hal itu
sebagai sunnah ratibah.[11]
Shalat
sunnah berjamaah ada dua macam: salah satunya: yang disunnahkan berjamaah
secara rutin seperti shalat gerhana, istisqa dan shalat bulan Ramadhan, maka
ini selalu dilakukan berjamaah, sebagaimana disebutkan dalam sunnah.
Kedua, yang
tidak disunnahkan berjamaah secara rutin, seperti shalat malam, sunah rawatib,
shalat dhuha, tahiyatul masjid dan semisalnya, maka semua ini bila terkadang
dilaksanakan berjamaah tidak mengapa. Adapun berjamaah secara rutin dalam hal
itu maka tidak disyari’atkan, bahkan termasuk bid’ah. Sesungguhnya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, sahabat, dan para tabi’in tidak membiasakan berkumpul
untuk hal itu. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang
melakukan hal itu dalam jamaah yang sedikit, beliau biasanya shalat malam
sendirian. Akan tetapi tatkala Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menginap,
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersamanya. Di malam yang
lain beliau shalat bersama Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu. Di malam yang
lain beliau shalat bersama Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Demikian pula
beliau shalat di sisi ‘Itban bin Malik al-Anshari radhiyallahu ‘anhu di
satu tempat untuk dijadikan sebagai tempat shalat. Juga beliau shalat bersama
Anas radhiyallahu ‘anhu, ibunya, dan anak yatim, dan shalat sunnah
beliau secara umum dilakukan sendirian.[12]
Di dalam
syarah al-Muntaha[13]:
Shalat sunnah secara tersembunyi lebih utama, tidak mengapa berjamaah padanya.
Al-Majd dan yang lainnya berkata: kecuali dijadikan sebagai kebiasaan dan
sunnah (maka tidak dibolehkan).
Syaikhul
Islam berkata: ‘Kamu harus mengetahui bahwa bila disunnahkan shalat sunnah
mutlak di waktu tertentu dan dibolehkan shalat sunnah berjamaah, tidak berarti
boleh shalat sunnah secara berjamaah secara turin yang tidak disyari’atkan,
bahkan harus dibedakan di antara dua bab. Dan penjelasan hal itu bahwa
berkumpul untuk shalat sunnah, atau mendengarkan al-Qur`an, atau dzikir kepada
Allah subhanahu wa ta’ala dan semisal yang demikian itu, apabila hal itu
dilakukan sewaktu-waktu maka ini sesuatu yang baik.
Diriwayatkan dalam hadits
shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sunnah berjamaah
sewaktu-waktu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi
para sahabatnya, dan di tengah mereka ada yang sedang membaca al-Qur`an dan
yang lain mendengarkan, lalu beliau duduk bersama mereka ikut mendengarkan.
Apabila para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumpul,
mereka menyuruh salah seorang membaca (al-Qur`an) dan mereka mendengarkan...
hingga ia berkata: adapun menjadikan berkumpul secara rutin yang terus berulang
dengan berputarnya minggu atau bulan atau tahun selain berkumpul yang
disyari’atkan, maka hal itu menyerupai berkumpul untuk shalat lima waktu,
shalat Jum’at, shalat dua hari raya dan haji, dan hal itu adalah bid’ah yang
baru.
Maka
berbeda di antara yang dijadikan sebagai sunnah dan kebiasaan, maka hal itu
menyerupai yang disyari’atkan. Perbedaan inilah yang disebutkan dari imam Ahmad
dan para imam yang lainnya.[14]
Imam Ahmad
ditanya: Shalat sunnah berjamaah selain bulan Ramadhan? Ia menjawab: Aku tidak
pernah mendengar.[15]
Post a Comment