Mengubah dengan Kekuatan Tauladan
Mengubah
dengan Kekuatan Tauladan
Mudah-Mudahan
kita semua tidak menjadi contoh keburukan bagi orang lain. Mudah-mudahan
anak-anak kita tidak mencontoh perilaku buruk yang pernah khilaf kita, para
orang tuanya lakukan. Dan mudah-mudahan pula anggota lingkungan masyarakat kita
tidak menjadikan kita sebagai salah satu figur keburukan, akibat perilaku buruk
yang kita lakukan.
Alangkah ruginya
dalam hidup yang cuma sekali-kalinya ini dan orang lain meniru keburukan kita,
naudxubillah. Ingatlah bahwa jika kita berperilaku buruk dan tidak bermoral,
maka ketika orang berbicara, akan berbicara tentang keburukan kita. Apalagi jika
orang lain mencontoh perilaku buruk itu, berarti kita juga akan memikul
dosanya.
Namun seandainya
justru orang atau masyarakat di sekitar kita yang berperilaku kurang baik, maka
sudah sewajarnya bila kita menekadkan diri untuk mengubahnya menuju arah
kebaikan. Lalu, bagaimana cara mengubah orang menjadi lebih baik secara efektif
?
Salah satu
caranya adalah dengan kekuatan suri tauladan atau menjadi contoh terlebih
dahulu. Jika ingin mengubah orang lain, maka pertanyaan pertama yang harus
dilakukan adalah sudah pantaskah kita menjadi contoh kebaikan akhlak bagi orang
lain? Sudahkah kita menjadi suri tauladan bagi apa yang kita inginkan ada pada
diri orang lain itu?
Rasulullah SAW
gemilang menyeru ummat ke jalan-Nya, mengubah karakter ummat dari zaman
kegelapan menuju jalan penuh cahaya yang ditempuh hampir 23 tahun. Salah satu
pilar strategi keberhasilannya adalah karena Rasul memiliki kekuatan suri
tauladan yang sungguh luar biasa. Yakinlah bahwa cara paling gampang mengubah
orang lain sesuai keinginan kita adalah dengan cara menjadikan diri kita sebagai
media atau contoh yang layak ditiru.
Karenanya,
jangan bercita-cita memiliki anak yang santun, lembut, kalau kesantunan dan
kelembutan itu tidak ada dalam diri orang tuanya. Jangan bercita-cita punya anak
yang tahu etika, kalau cara mendidik yang dilakukan orang tuanya tidak
menggunakan etika. Sangat mustahil akan terwujud ketika para pimpinan ingin
anggotanya berdisiplin, padahal disiplin itu bukan bagian dari diri pimpinannya.
Contoh sederhana, mengapa P4 gagal menjadi pedoman hidup yang jadi acuan bangsa
Indonesia ? Karena tidak ada contoh tauladannya. Siapa sekarang pemimpin bangsa
ini yang paling Pancasilais ? Susah mencarinya. Seumpama mata air di pegunungan
yang sudah keruh tercemar. Kalau dari sumbernya sudah keruh, walau yang di bawah
di bening-beningkan juga tidak akan bisa. Di hilir menjadi keruh karena di
hulunya juga keruh.
Orang tua ingin
anak-anaknya tidak merokok padahal ternyata orang tuanya perokok berat,
bagaimana mungkin ? Para guru ingin murid-muridnya tidak mengganja, padahal
ganja itu awalnya dari rokok, dan ternyata para guru merokok di depan
murid-muridnya. Jangan-jangan kita yang menjerumuskan mereka ?
Di Rumah Sakit
Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta ada sebuah contoh menarik tentang mengapa
anak-anak menjadi seorang perokok atau pengganja. Di salah satu dindingnya
tergantung sebuah potret seorang ibu yang sedang menimang-nimang bayinya, dan
ternyata si ibu ini melakukannya sambil merokok. Tidak bisa tidak. Perilaku si
Ibu ini merupakan contoh bagi si bayi yang ada dipangkuannya.
AH, sahabat.
Sayang sekali kita terlalu banyak menuntut pada orang lain, padahal sebenarnya
yang paling layak kita tuntut adalah diri kita sendiri. Para guru bertanggung
jawab kalau para murid akhlaknya menjadi jelek. Karena mungkin akhlak Pak
Gurunya dan Akhlak BU Gurunya kurang baik. Lihat moral para mahasiswa yang
bejat, kumpul kebo, mengganja, dan sebagainya. Tidak usah heran, lihatlah akhlak
para dosennya, moral para dosennya yang mungkin tidak jauh berbeda. Santri di
pondok-pondok jadi turun ibadahnya, jelek akhlaknya, jarang tahajutnya, lihat
saja akhlak para ustadnya. Di kantor karyawan sering datang terlambat,
kinerjanya tidak optimal, kasus kehilangan meningkat, lihat saja akhlak
pimpinannya. Pimpinan mencuri, karyawan pun akan mencontohnya dengan mencuri
pula.
Oleh karena itu,
pertanyaan yang harus selalu kita lakukan adalah sudahkah diri kita ini menjadi
contoh kebaikan atau belum ? Omong kosong kita bicara masalah disiplin atau
masalah aturan, kalau ternyata kita sendiri belum membiasakan diri untuk
berdisiplin atau taat aturan. Sehebat apapun kata-kata yang terlontar dari mulut
ini, perilaku yang terpancar dari pribadi kita justru akan jauh berpengaruh
lebih dahsyat daripada kata-kata.
Bersiap-siaplah
untuk menderita bagi seorang ayah yang tidak bisa menjadi contoh kebaikan bagi
anak-anaknya. Bersiaplah untuk memikul kepahitan bagi seorang ayah yang tidak
dapat menjadi suri tauladan bagi keluarga dan keturunannya. Bersiap-siaplah
untuk menghadapi perusahaan yang ruwet dan rumit kalau seorang atasan tidak
menjadi contoh bagi karyawannya. Bersiaplah menghadapi kepusingan jikalau
seorang pimpinan tidak menjadi contoh bagi yang dipimpinnya.
Ingat, jangan
mimpi mengubah orang lain sebelum diawali dengan mengubah diri sendiri. Allah
SWT, dengan tegas menyatakan kemurkaannya bagi orang yang menyuruh berperilaku
apa-apa yang sebenarnya tidak ia lakukan.
"Sungguh besar
kemurkaan di sisi ALLAH bagi orang yang berkata-kata apa-apa yang tidak
diperbuatnya" (QS Ash Shaaf 21 : 3).
Bukan tidak
boleh berkata-kata, tapi kemuliaan akhlak pribadi akan jauh lebih memperjelas
kata-kata kita.
Dan menjadi
contoh juga tidak akan efektif kecuali contoh itu penuh keikhlasan. Karena ada
pula yang memberi contoh tapi riya, ingin dipuji, ingin dinilai orang lain
hebat, ingin dihormati, dan ingin dihargai. Kalau tujuannya seperti ini, tidak
akan berarti apa-apa. Hati hanya bisa disentuh oleh hati lagi. Contoh yang tidak
ikhlas tidak akan dicontoh oleh orang lain. Contoh yang karena pujian, over
acting tidak akan masuk kepada hati orang lain. Contoh haruslah dilakukan dengan
ikhlas. Jangan berharap atau bahkan berpikir untuk dipuji dan dihormati.
Nah Sahabat.
Selalulah tanya pada diri ini contoh apa yang akan kita tunjukkan dalam hidup
yang sekali-kalinya ini. Apakah contoh tauladan kebaikan ? Ataukah malah
sebaliknya contoh tauladan keburukan ? Naudzhubillah.
Apakah contoh
pribadi yang matang ataukah malah pribadi yang kekanak-kanakan? Karenanya
menjadi suatu keharusan bagi seorang ayah, seorang ibu, seorang pemimpin, dan
bagi siapa pun untuk memberikan contoh terbaik dari dirinya. Hidup cuma sekali
dan belum tentu panjang umur. Akan menjadi suatu yang sangat indah jikalau
kenangan dan warisan terbesar bagi keluarga dan lingkungan sekitar adalah
terpancarnya cahaya pribadi kita yang layak di tauladani oleh siapa pun.
Semuanya tiada lain adalah buah dari mulianya akhlak.
Post a Comment