ALLAH GANTI YANG LEBIH BAIK
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik .” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih)
Hadits agung ini memuat berbagai kalimat:
Pertama: Sabdanya, ‘Meninggalkan sesuatu’, ini mencakup meninggalkan segala sesuatu yang mengharapkan ridha Allah.
Kedua: Sabdanya, ‘Karena Allah’, maksudnya Nabi menerangkan bahwa meninggalkan sesuatu harus karena mencari ridha Allah, dan bukan karena takut terhadap penguasa, malu dari orang lain, terpaksa, atau karena tidak mampu melakukannya, dan seterusnya.
Ketiga: Sabdanya, ‘Niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik,’maksudnya bahwa balasan orang yang melakukan itu adalah ganti rugi dari Allah dengan yang lebih baik atau lebih utama dari apa yang telah ia tinggalkan. Ganti dari Allah bisa berupa dari jenis yang ditinggalkan, atau dari jenis lain. Bisa juga berupa kecintaan, ketenangan jiwa dan lapang dada kepada Allah baik di dunia maupun akhirat. Sebagaimana Allah mengajari kaum mukmin untuk berdoa:
رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدًّنْيَا حَسَنَةُ وَفِى الْاِخَرِةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Ya Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat.
Qotadah as Sadusi berkata: Seseorang yang mampu melakukan sesuatu yang haram kemudian meninggalkannya yang niatnya tiada lain melainkan karena khawatir kepada Allah kecuali niscaya akan Allah beri ganti kepadanya di dunia sebelum di akhirat.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Allah Ta’ala berfirman:
إِذَا أَرَادَ عَبْدِي أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً فَلَا تَكْتُبُوهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَا فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا بِمِثْلِهَا وَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِي فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ
“Jika hamba-Ku ingin melakukan kejahatan maka janganlah kalian (para malaikat) catat hingga ia melakukannya, dan jika ia telah melakukannya maka catatlah sebagaimana adanya (yakni satu dosa), tapi jika ia meninggalkannya karena Aku maka catatlah itu sebagai satu kebaikan baginya. Jika ia berniat melakukan kebaikan sedang ia belum melakukannya maka catatlah itu sebagai satu kebaikan baginya, dan jika ia melakukannya maka catatlah itu untuknya sebagai 10 kebaikan sampai 700 kali lipat.” (HR. Al-Bukhari no. 7501)
Banyak contoh cerita yang menjelaskan bagaimana keagungan Allah mengganti milik para hamba-Nya yang ditinggalkan karena wujud ketaqwaan mereka kepada Allah.
Contoh Pertama: Cerita Nabi Sulaiman di dalam surat Shad.
Dahulu kala Nabi Sulaiman sangat senang berjihad di jalan Allah, oleh karenanya beliau memiliki kuda yang sangat banyak sekali, dan beliau sangat mencintai kuda-kudanya tersebut. Suatu saat beliau tersibukkan dengan kuda-kudanya hingga terlewatlah shalat Ashar. Matahari telah tenggelam namun beliau lupa belum menunaikannya karena sibuk dengan kuda-kuda yang sangat beliau cintai itu. Kemudian beliau perintahkan untuk membawa kuda-kuda tersebut, dan beliau potong kaki dan lehernya dengan pedang sebagai wujud kecintaan kepada Allah. Dan hal seperti ini adalah boleh dalam syariat beliau saat itu. Kemudian setelah beliau bertaubat dan berdoa kepada Allah, beliau mendapatkan ganti dari Allah berupa angin yang berhembus dengan baik menurut kemana saja yang beliau kehendaki. Kisah lengkapnya bisa dilihat dalam surat Shad ayat 30-36.
Contoh yang kedua: Cerita Nabi Muhammad dan para shahabatnya
Nabi Muhammad dan para shahabatnya tatkala berhijrah ke Madinah, meninggalkan rumah dan harta mereka. Namun selepas hijrah, Allah ganti untuk para shahabat tersebut berupa menjadikan mereka para pemimpin, dan raja dan Allah tundukkan untuk mereka istana-istana yang memiliki kekuasan yang besar beserta kekayaan di dalamnya. Inilah kenikmatan yang Allah berikan kepada mereka di dunia, dan mereka mensyukuri dan tidak kufur, mereka rendah hati dan tidak sombong. Mereka memerintah manusia dengan adil sebagaimana firman Allah:
وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًۭا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًۭٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur: 55)
Contoh ketiga: Cerita Nabi Yusuf
Nabi Yusuf diuji dengan perbuatan saudara-saudaranya, ditambah ujian godaan istri Al ‘Aziz penguasa Mesir kala itu, namun Allah melindungi beliau. Beliau tinggalkan perbuatan haram, bahkan rela memilih penjara kemudian Allah ganti dengan ganti yang lebih baik. Allah jadikan dia sebagai seorang raja, dan mengajari beliau mentafsirkan mimpi manusia.
Kemudian Dia berfirman:
وَكَذَٰلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِى ٱلْأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَآءُ ۚ نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَن نَّشَآءُ ۖ وَلَا نُضِيعُ أَجْرَ ٱلْمُحْسِنِينَ
Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja yang ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (QS. Yusuf: 56)
Post a Comment