Cinta Dan Pengorbanan dalam islam




Cinta Dan Pengorbanan dalam islam


Cinta Dan Pengorbanan
Cinta Dan PengorbananHari-hari ini kita menantikan datangnya hari Idul Qurban. Hari dimana kita kembali memperingati sejarah perjuangan sang kekasih Allah (KhaliluLlah) Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail alaihimas salam (keselamatan untuk keduanya) dalam menyebarkan dakwah tauhid di tengah manusia yang mempertuhankan selain Allah Azza wa Jalla.
Inilah kisah yang akan senantiasa mengharubiru perasaan kita saat menyimaknya kembali dalam Al-Qur’an surat ash-Shaffat, ayat 100 hingga 111. Kisah ketaatan dan kepatuhan dua orang hamba kepada Sang Khaliq yang akan selalu dikenang di sepanjang sejarah manusia, yang selanjutnya akan memberi kita energi cinta dan pengorbanan saat menapaktilasi perjalanan sang nabi, istrinya Hajar dan putra mereka Ismail dalam ritual haji.
Kesiapan seorang hamba untuk berkorban demi sosok yang dicintai, tentu tidak datang begitu saja. Ia tumbuh perlahan dalam jiwa, disemai dengan kepercayaan kepada yang dicinta, disertai gelegak rindu untuk kelak bertemu bahagia dalam keabadian. Bahkan cinta terkadang tak butuh imbalan dari sang kekasih, karena cinta itu mendorongnya untuk selalu memberi dan memberi, walau cinta hakiki tak pernah bertepuk sebelah tangan.
Cinta Ibrahim as. Kepada Robb-Nya yang tidak bertepi itu mengantarkannya meraih gelar KhaliluLlah, Sang Kekasih Allah. Oh, betapa indah dan merdunya panggilan itu, “Sang Kekasih Allah”. Panggilan yang juga mungkin dirindukan setiap nabi, namun itu hanya milik nabiyullah Ibrahim dan nabi kita, Muhammad saw. Cobalah Anda seru istri Anda dengan kalimat, “Wahai kekasihku”, itu sudah cukup bagi Anda membuatnya terlena dan mabuk kepayang. Demikianlah cinta Ibrahim as.
Kepada Robb-Nya menjelma dalam bentuk pengorbanan demi pengorbanan; saat ia dibakar oleh kaumnya, diusir oleh ayahandanya, meninggalkan istri dan putra tercinta yang masih kecil di atas tanah gersang nan tandus, dan puncaknya adalah ketika ia harus menyembelih sang anak yang mulai beranjak remaja. Inilah pengorbanan terbesar itu, dan Ibrahim as. Sukses membuktikan bahwa cintanya kepada sang Khalik tak pernah berubah sehelai rambut pun setelah Allah karuniakan padanya seorang anak yang sekian lama didambakannya.
Kerelaan mengorbankan apa pun adalah konsekuensi dari buah cinta yang lekat dalam jiwa. Itu pula yang tumbuh dalam diri sang anak. Maka ketika ayahnya menyampaikan padanya perintah tersebut, tanpa perasaan berat sedikit pun ia berkata, “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah padamu, sesungguhnya kan engkau temui aku sebagai orang yang sabar.” Ketulusan dan kepasrahan menampak betul dalam diri Ismail, membuatnya tak ragu untuk mengorbankan segenap jiwa dan raganya sebagai bukti ketundukan kepada Sang Pemilik.
Saudaraku, adakah pengorbanan lebih besar melebihi pengorbanan jiwa dan raga? Bila ini adalah pengorbanan terbesar seorang hamba kepada Tuhannya, maka itu telah diperlihatkan oleh kekasih Allah, Ibrahim dan putranya Ismail alaihima as-salam. Demikian pula para nabi, para sahabat dan salafush Shalih di atas medan jihad demi tegaknya kalimat Allah Azza wa Jalla.
Penggerak jiwa mereka untuk mempersembahkan yang terbaik dan mengorbankan sesuatu yang paling mereka cintai sekalipun adalah kekuatan cinta. Maka kita menemukan seorang Mush’ab bin Umair yang di masa jahiliyahnya dikenal sebagai pemuda tampan, perlente, memakai pakaian termahal disertai aroma wewangian yang berhembus dari tubuhnya, rela meninggalkan dunia yang memanjakannya demi agama baru yang dianutnya dan karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia rela tinggalkan seluruh kemewahan yang dihamparkan kedua orang tua yang menyayanginya, demi bukti cinta dan kasihnya kepada Sang Khalik. Perubahan gaya hidup itu pun dilakoninya setelah kedua orang tuanya tidak sudi harta dan makanannya dinikmati oleh orang yang menghinakan tuhannya, walau orang itu adalah putranya sendiri.
Marilah kita mengenang sejenak perubahan yang dijalani sahabat agung ini. Suatu ketika Mush’ab datang di majelis Rasulullah saw., dan sahabat-sahabatnya yang sedang duduk mengelilinginya. Tatkala mereka menyaksikannya, kepala mereka pun tertunduk disertai air mata haru mengalir tak tertahan. Mereka menyaksikan Mush’ab dengan pakaiannya yang lusuh, kasar dan dipenuhi tambalan di sana-sini. Seraya mengenang kehidupannya dahulu dengan pakaian mewah, halus nan indah laksana bunga mekar di taman dengan aroma semerbak. Rasulullah saw. Pun menyambut kedatangannya dengan tatapan cinta kasih, dan senyum mengembang pada kedua bibirnya seraya berkata, “Telah aku saksikan Mush’ab dahulu di Mekah sebagai pemuda yang paling dimanjakan dengan berbagai kemewahan oleh kedua orang tuanya. Namun kini, ia rela tinggalkan semua itu karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Ya, energi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya membuat Mush’ab rela meninggalkan seluruh jenis kenikmatan yang selama ini disiapkan kedua orang tuanya. Ia tinggalkan tanah kelahirannya menuju Madinah sebagai duta Islam yang pertama untuk mengajarkan Islam kepada para penduduknya.
Seperti itulah akhirnya konsekwensi dari keimanan seorang Mush’ab; rela mengorbankan dunianya demi akhiratnya, berpaling dari kenikmatan dunia yang fana, demi kenikmatan akhirat nan abadi.
Seperti itulah hakikat cinta kepada sang kekasih; patuh padanya dan siap berkorban demi kebahagiannya. Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya tentu jauh lebih besar daripada kecintaan kita dari siapa pun di dunia ini; tidak istri, anak-anak atau orang tua sekalipun. Mungkin belum banyak yang kita persembahkan, atau kita korbankan sebagai realisasi cinta kepada sang Khalik. Sehingga terlalu sulit bagi kita mensejajarkan cinta kita dan cinta Allah Azza wa Jalla.
Namun kita juga yakin, bahwa Allah Ta’ala tidak pernah menuntut lebih dari apa yang sanggup kita berikan. Tapi, adakah pengorbanan itu terasa berat dan menjadi menjadi beban bila diperuntukkan bagi sang kekasih? Tidak! Pengorbanan itu akan selalu ringan bahkan menyenangkan bila dipersembahkan untuk yang tercinta. Tak pernah ada beban yang memberati jiwa kala pengorbanan adalah kehendak yang dicinta. Maka ini pula yang seharusnya menjadi landasan utama setiap kita kala belajar berkorban; didasari cinta kepada Sang Pemilik semesta raya, agar kita tidak hanya rela berkorban saat lapang dan senang, tapi juga tulus bila dituntut untuk berkorban dalam kondisi sempit dan sulit (ath-Tha’atu fil mansyat wal makrah)
Seorang alim berkata, “Barang siapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan selalu menyebutnya.” Cinta kepada seseorang, membuat kita sering mengingat dan menyebut namanya. Demikian pula cinta kita kepada Allah Azza wa Jalla, menciptakan kebiasaan berdzikir kepada-Nya, mentaati perintah-Nya dan menjauh dari larangan-Nya, dan cinta Rasulullah saw., membiasakan kita bershalawat dan mengikuti sunnah-sunnahnya.
Salah satu momentum untuk membuktikan ketundukan dan cinta kita kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya saw., adalah mempersembahkan kurban terbaik pada hari Iedul Adha 1427 tahun ini, bila kita memiliki kesanggupan untuk melakukannya, dan tentu saja disertai keikhlasan dan harapan meraih ridha Allah Azza wa Jalla. Semoga kita tidak termasuk orang yang dilarang oleh Rasulullah saw. mendekati tempat shalat sebagaimana sabdanya, “Barang siapa yang memiliki keluasan untuk berkurban, lalu dia tidak melakukannya, maka hendaklah ia tidak mendekati tempat shalat kita.”
Kurban terbaik yang kita persembahkan pada hari itu, juga adalah implementasi dari rasa syukur kita kepada Sang Khalik atas curahan nikmat yang tiada putus-putusnya. Bagi kita yang ditakdirkan Allah Ta’ala memperoleh keluasan rizki, maka seekor sapi atau kambing bukan sesuatu yang berat. Tapi itu sulit dilakukan bila di dalam hati kita terpendam penyakit kikir, dan tidak sadar bahwa apa yang kita miliki adalah titipan Allah Ta’ala dan ada hak orang yang tidak berpunya.
Bagi kita yang penghasilan bulanan, mingguan atau hariannya pas-pasan, atau hanya menyisakan sedikit dari kebutuhan keluarga, maka itu juga bukan sesuatu yang berat bila sejak awal kita berkomitmen menabung khusus untuk kurban di hari raya Iedul Adha. Ini tentu terkait dengan kemauan dan bagaimana mengelola penghasilan tersebut agar kita dapat menyisihkannya sebagian untuk kurban. Insya Allah dengan keikhlasan jiwa, momentum ini takkan kita lewatkan begitu saja. Dan Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa meredhai amal ibadah kita dan mengganjarnya dengan pahala berlipat ganda. Amin ya Robbal ‘Alamin.

Tidak ada komentar