Hukum Zakat Profesi
Hukum Zakat Profesi
Pengertian Profesi
Dalam kamus Bahasa Inggris, istilah profesi disebut sebagai profession, yang artinya pekerjaan, sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa, profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kerajinan, dan sebagainya).Mahjuddin mengartikan profesi sebagai suatu pekerjaan tetap dengan keahlian tertentu, yang dapat menghasilkan gaji, honor, upah, atau imbalan.3 Jadi usaha profesi erat kaitannya dengan sikap profesional, yaitu sesuatu hal yang dilakukan dengan dukungan kepandaian khusus untuk menjalankannya.
Menurut Yusuf Qardlawi, profesi dibagi menjadi dua bagian, yaitu Kasb al-Amal dan Mihan al-Hurrah. Kasb al-Amal adalah pekerjaan seseorang yang tunduk pada perseroan atau perseorangan dengan mendapatkan upah. Mihan Al-Hurrah adalah pekerjaan bebas, tidak terikat pada orang lain. Dalam definisi yang lain menurut Fachrudin, sebagaimana dikutip oleh Muhammad mengklasifikasikan usaha profesi ke dalam beberapa kriteria bila dilihat dari bentuknya:
a. Usaha fisik
b. Usaha fikiran
c. Usaha kedudukan
d. Usaha modal
Kemudian bila ditinjau dari hasil usahanya, profesi itu bisa berupa:
a. Hasil yang teratur dan pasti, baik setiap bulan, minggu atau hari
b. Hasil yang tidak tetap dan tidak dapat diperkirakan secara pasti
Dari beberapa pengertian yang disebutkan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa secara umum, profesi adalah segala kegiatan atau aktifitas kerja yang dilakukan oleh manusia dengan dibekali keahlian dan ketrampilan tertentu untuk mendapatkan hasil berupa upah atau gaji dalam kurun waktu tertentu.
Pengertian profesi secara lebih terinci dapat dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, profesi yang tidak terkena kewajiban zakat, kedua profesi yang wajib zakat. Profesi yang tidak wajib zakat adalah profesi yang dilakukan oleh seseorang dengan keahlian tertentu untuk mendapatkan gaji. Adapun profesi yang wajib zakat adalah profesi yang dilakukan oleh manusia dengan keahlian tertentu yang dilakukan dengan mudah dan mendatangkan hasil (pendapatan) yang cukup melimpah (di atas rata-rata pendapatan penduduk). Seperti misalnya komisaris perusahaan, bankir, konsultan, analisis, broker, dokter spesialis, pemborong berbagai konstruksi, eksportir dan importir, akuntan, artis, notaris, dan berbagai penjual jasa, serta macam-macam profesi kantoran (white collar) lainnya.
Artinya bahwa, mudah dan cukup melimpah tersebut di atas adalah dimungkinkan dengan jangka waktu yang sama dalam melakukan pekerjaan atau profesinya, seseorang akan mendapatkan pendapatan atau penghasilan yang jauh berbeda. Misalkan antara seorang buruh bangunan yang bekerja siang dan malam dalam waktu satu bulan, mungkin hanya mendapatkan hasil yang cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari keluarganya, sedangkan seorang dokter spesialis juga dalam waktu satu bulan memungkinkan mendapatkan hasil yang lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari bersama keluarga. Jadi, profesi seperti dokter spesialis tersebut yang dimungkinkan wajib zakat atas dasar mudah dan melimpahnya hasil yang didapat. Mahjuddin juga menggambarkan beberapa contoh profesi yang dimungkinkan wajib zakat, antara lain:
a. Profesi dokter (The medical profession).
b. Profesi pekerja teknik/Insinyur (The engineering profession).
c. Profesi guru, dosen, guru besar atau tenaga pendidik (The teaching profession).
d. Profesi advokat (pengacara), konsultan, wartawan, dan sebagainya.
2. Pengertian Zakat Profesi
Menurut Yusuf Qardlawi, kategori zakat profesi (yang wajib dizakati) adalah segala macam pendapatan yang didapat bukan dari harta yang sudah dikenakan zakat. Artinya, zakat profesi didapat dari hasil usaha manusia yang mendatangkan pendapatan dan sudah mencapai nishab. Bukan dari jenis harta kekayaan yang memang sudah ditetapkan kewajibannya melalui al-Qur’an dan hadits Nabi, seperti hasil pertanian, peternakan, perdagangan, harta simpanan (uang, emas, dan perak), dan harta rikaz. Jadi kewajiban zakat profesi merupakan kewajiban baru dari hasil ijtihad ulama yang belum ditetapkan sebelumnya, melalui dalil al- Qur’an ataupun al-Sunnah.Mahjuddin berpendapat, zakat profesi memiliki arti zakat yang dikeluarkan dari sumber usaha profesi atau pendapatan jasa. Dalam bukunya Masail Fiqhiyah, Masjfuk Zuhdi juga memberikan keterangannya tentang zakat profesi, yaitu zakat yang diperoleh dari semua jenis penghasilan yang halal yang diperoleh setiap individu Muslim, apabila telah mencapai batas minimum terkena zakat (nishab) dan telah jatuh tempo / haul-nya.
Menurut Didin Hafidhuddin, zakat profesi adalah zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian tertentu, baik yang dilakukan sendirian maupun bersama orang lain / dengan lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nishab (batas minimum untuk berzakat).
Berdasarkan beberapa pengertian zakat profesi di atas, dapat disimpulkan bahwa zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha yang halal yang dapat mendatangkan hasil (uang) yang relatif banyak dengan cara yang mudah, melalui suatu keahlian tertentu dan sudah mencapai nishab.
3. Dasar Hukum Zakat Profesi
Kewajiban tentang zakat profesi memang masih perlu dipertanyakan, karena tidak ada nash yang sharih (jelas) dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Oleh karena itu, perlu dicari kejelasan hukumnya dengan jalan menggali hukum dengan metode ijtihad (ra’yu), yang antara lain meliputi: metode qiyqs, maslahah mursalah, istihsan, ataupun metode yang lain.Pada masa yang akan datang manusia akan lebih memerlukan ijtihad untuk mereformasi kebudayaan, menggeser tradisi, dan mengganti keputusan agar sejalan dengan perubahan zaman dan tempat. Karena sesuatu yang baik menurut suatu zaman tertentu kadang-kadang tidak selalu baik pada masa yang lain. Begitupun sesuatu yang dapat direalisasikan pada suatu tempat tertentu, belum tentu dapat direalisasikan pada suatu tempat yang lain.
Dalam masalah zakat hukum Islam berkembang, hal-hal yang dulu belum dikenai zakat sekarang sudah banyak yang ditetapkan zakatnya, di antaranya adalah zakat profesi.16 Ketika dikembalikan kepada nash-nash yang ada, pengambilan hukum tentang hukum-hukum 'amaliyah, jumhur ulama telah menyepakatinya bahwa dalil-dalil syar’iyyah berpangkal pada empat pokok, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Mengenai istinbath hukum tentang kewajiban membayar zakat profesi, terlebih dahulu mencari landasan hukumnya pada nash-nash al- Qur’an. Oleh karenanya, ketika mencari landasan hukum kewajiban membayar zakat profesi, Yusuf Qardlawi antara lain mendasarkannya pada al-Qur’an surat al-Baqarah: 267 yang berbunyi :
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan) Allah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. al-Baqarah: 267)
Yusuf Qardlawi menafsirkan keumuman lafal "Maa Kasabtum" dalam ayat di atas yang berarti mencakup segala macam usaha; perdagangan atau pekerjaan dan profesi, sedangkan jumhur ulama fiqh mengambil keumuman maksud surat Al-Baqarah: 267 tersebut di samping sebagai landasan wajibnya zakat perdagangan juga menjadikan wajibnya zakat atas usaha profesi Sesuai ayat tersebut di atas, kata “anfiquu” memfaedahkan wajib, karena kata “anfiquu” merupakan fiil amar dari fiil madhi “anfaqo” Sesuai dengan kaidah ushul fiqh “pada asalnya perintah itu memfaedahkan wajib” Menurut Fachrudin, sebagaimana dikutip oleh Muhammad kata “Maa Kasabtum” dalam surat tersebut bersifat umum (‘am) dan memang sudah mendapat takhsis-nya, yaitu hadis Rasulullah SAW. tentang bentuk dan jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Akan tetapi, karena hukum pada ‘am dan ‘khas ini sama, maka keumuman itu tetap berlaku secara utuh untuk menetapkan zakat profesi.
Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilalil Qur'an, menafsirkan surat al-Baqarah :267, bahwa nash tersebut mencakup seluruh hasil usaha manusia yang baik dan halal dan mencakup pula seluruh yang dikeluarkan Allah SWT. dari dalam dan atas bumi, baik yang terdapat di zaman Rasulullah SAW., maupun di zaman sesudahnya, sedangkan menurut
Amir Syarifuddin, penggunaan kata "Maa" dalam ayat tersebut di atas adalah mencakup segala apa-apa yang diperoleh melalui hasil usaha atau jasa, dan juga apa-apa yang dikeluarkan atau diusahakan dari bumi. Dengan argumentasi bahwa kekuatan lafadz umum terhadap semua satuan pengertian yang tercakup di dalamnya secara pasti, sebagaimana penunjukkan lafadz khusus terhadap arti yang terkandung di dalamnya. Penggunaan lafadz umum untuk semua satuan pengertian ini berlaku sampai ada dalil lain yang membatasinya.
Hamid Laonso juga mengatakan bahwa kata dalam ayat tersebut memberikan legitimasi terhadap semua jenis usaha dan profesi yang dimiliki yang kesemuanya mendatangkan penghasilan yang cukup banyak, seperti pengacara, dokter ahli, jasa perhotelan, jasa penginapan, dan sebagainya.
Makna terminologi generik ayat tersebut menunjuk pada harta kekayaan, tidak menunjuk dari mana harta itu diperoleh (usaha) yang bernilai ekonomi, dan karena spektrumnya lebih bersifat umum, maka di dalamnya termasuk jasa/gaji yang secara rasional adalah bagian dari harta kekayaan, sehingga wajib dikeluarkan zakatnya.Selanjutnya dengan dasar as-Sunnah untuk mengukuhkan kewajiban zakat profesi, berdasarkan pada keumuman makna hadits. Yang antara lain hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari sebagai berikut:
“Setiap orang muslim wajib bersedekah, Mereka bertanya: “Wahai Nabi Allah, bagaimana yang tidak berpunya?, Nabi menjawab:” Bekerjalah untuk mendapat sesuatu untuk dirinya, lalu bersedekah”. Mereka bertanya kembali: ”Kalau tidak mempunyai pekerjaan?, Nabi menjawab: “Kerjakan kebaikan dan tinggalkan keburukan, hal itu merupakan sedekah.” (H.R Bukhari)
Yusuf Qardlawi menafsirkan keumuman dari makna hadits tersebut di atas bahwa zakat wajib atas penghasilan sesuai dengan tuntunan Islam yang menanamkan nilai-nilai kebaikan, kemauan, berkorban, belas kasihan, dan suka memberi dalam jiwa seorang muslim. Untuk itu Nabi mewajibkan pada setiap muslim mengorbankan sebagian harta penghasilannya atau apa saja yang bisa ia korbankan.
Adapun dalam hal qiyas, wajibnya zakat profesi diqiyaskan pada tindakan khalifah Mu’awiyah yang mengenakan zakat atas pemberian menurut ukuran yang berlaku dalam negara Islam, karena beliau adalah khalifah dan penguasa umat Islam. Dan perbuatan khalifah Umar Ibnu Abdul Aziz yang memungut zakat pemberian (u'tiyat) dan hadiah. Juga memungut zakat dari para pegawainya setelah menerima gaji, serta menarik zakat dari orang yang menerima barang sitaan (mazalim) setelah dikembalikan kepadanya.
Menurut para Imam Madzhab terjadi perbedaan pendapat. Menurut Imam Syafi’i, zakat penghasilan tidak wajib zakat meskipun ia memiliki harta sejenis yang sudah cukup nishab. Tetapi ia mengecualikan anak-anak binatang piaraan, di mana anak-anak binatang itu tidak dikeluarkan zakatnya bersamaan dengan zakat induknya yang sudah mencapai nishab.
Dan bila belum mencapai nishab, maka tidak wajib zakatnya. Dalam kitabnya al-Umm, Imam Syafi’i mengatakan apabila seseorang menyewakan rumahnya kepada orang lain dengan harga 100 dinar selama 4 tahun dengan syarat pembayarannya sampai batas waktu tertentu, maka apabila ia telah mencapai satu tahun, ia harus mengeluarkan zakatnya untuk 25 dinar pada satu tahun pertama dan membayar zakat untuk 50 dinar pada tahun kedua, dengan memperhitungkan uang 25 dinar yang telah dikeluarkan zakatnya pada tahun pertama dan seterusnya, sampai ia mengeluarkan zakatnya dari 100 dinar dengan memperhitungkan zakat yang telah dikeluarkan, baik sedikit atau banyak.
Menurut Imam Malik, harta penghasilan tidak dikeluarkan zakatnya kecuali sampai penuh waktu setahun. Baik harta tersebut sejenis dengan harta yang ia miliki atau tidak, kecuali jenis binatang piaraan. Karena orang yang memperoleh penghasilan berupa binatang piaraan yang sejenis dan sudah mencapai nishab, maka ia harus mengeluarkan zakat dan keseluruhan binatang itu apabila sudah genap satu tahun. Dan apabila kurang dari satu nishab, maka tidak wajib zakat.
Dalam suatu kasus tentang seseorang yang memiliki 5 dinar hasil dari sebuah transaksi, yang kemudian ia investasikan dalam perdagangan, maka begitu jumlahnya meningkat pada jumlah yang harus dibayarkan zakat dan satu tahun telah berlalu dari transaksi pertama, menurut Imam Malik ia harus membayar zakat meskipun jumlah yang harus dizakatkan itu tercapai satu hari sebelum ataupun sesudah satu tahun. Karena itu, tidak ada zakat yang harus dibayarkan sejak hari zakat diambil (oleh pemerintah) sampai dengan waktu satu tahun telah melewatinya.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya bila mencapai masa satu tahun penuh pada pemiliknya kecuali jika pemiliknya mempunyai harta sejenis yang harus dikeluarkan zakatnya, yang untuk itu zakat harta penghasilan. Dari beberapa dalil dan pendapat-pendapat tersebut di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa wajibnya zakat profesi didasarkan pada surat al-Baqarah: 267 yang bersifat umum dan hadits-hadits yang bersifat umum pula, baik keumumannya menyangkut materi hasil usaha, apakah yang diperoleh dari perdagangan, investasi modal, honorarium, gaji, dan sebagainya. Atau keumumannya dari segi waktu yang tidak membatasi harus sudah satu tahun pemilikan harta Untuk menetapkan teknis penerapan ketentuan zakat profesi mulai dari nishab, kadar, dan waktunya menggunakan dalil qiyas (analogical reasoning). Sudah barang tentu menggunakan dalil qiyas sebagai dalil syar’i, harus memenuhi syarat dan rukunnya agar menemukan hukum ijtihadi yang aktual dan proporsional.
B. Metode Qiyas dalam Penghitungan Zakat
Salah satu sumber hukum Islam yang disepakati oleh jumhur ulama setelah al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’ adalah qiyas. Menurut jumhur ulama, qiyas merupakanhujjah syar’iyyah atas hukum-hukum mengenai perbuatan manusia (amaliyyah). Qiyas menduduki peringkat keempat di antara hujjah- hujjah syar’iyyah, dengan maksud apabila dalam suatu kasus hukum tidak ditemukan ketetapannya dalam nash (al-Qur’an dan Sunnah) serta ijma’, tetapi diperoleh ketetapan bahwa kasus tersebut menyamai suatu kejadian yang ada nash hukumnya dari segi illath hukumnya, maka kasus tersebut di-qiyas-kan dengan kasus tersebut dan dikenai hukum berdasarkan hukum kasus yang terdapat ketetapannya dalam nash, dan hal ini termasuk dalam ketetapan syar’i.1. Pengertian Qiyas
Secara bahasa qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Misalnya, “saya mengukur baju dengan hasta,” sedangkan menurut istilah, qiyas adalah memberlakukan hukum asal kepada hukum furu disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja. Menurut al-Amidi, qiyas adalah mempersamakan illat yang ada pada furu’ dengan illat yang ada pada asal yang diistinbatkan dari hukum asal, yang terakhir menurut Wahbah az- Zuhaili, qiyas yaitu menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat hukum antara keduanya.Menurut istilah ahli Ushul Fiqh, qiyas adalah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada hukumnya, dalam hukum yang ada nash-nya karena persamaan keduanya dalam illat hukumnya.44 Karena qiyas selalu bersendikan persamaan illat hukum, maka qiyas dapat dilakukan hanya jika illat hukum nash dapat diketahui dengan akal.
2. Macam-Macam Qiyas
a. Dilihat dari kekuatan illat yang terdapat pada furu’ dibandingkan dengan yang terdapat pada ashl, terdiri atas:1) Qiyas Aula, yaitu qiyas yang hukumnya pada furu’ lebih kuat daripada hukum ashl, karena illat yang terdapat pada furu’ lebih kuat dari yang ada pada ashl. Seperti meng-qiyaskan perbuatan memukul, kepada kata-kata yang kurang mengenakkan terhadap Ibu-Bapak karena illatnya menyakiti. Keharaman memukul orang tua lebih kuat daripada sekedar mengatakan kata-kata yang kurang mengenakan, seperti kata ah.
2) Qiyas Musaway, yaitu illat yang terdapat pada yang diqiyaskan (furu’) sama dengan illat yang ada pada tempat mengqiyaskan (asal), karena itu hukum keduanya sama. Seperti mengqiyaskan membakar harta anak yatim dengan memakannya, karena illatnya sama-sama menghabiskan.
3) Qiyas al-Adna, yaitu illat yang ada pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan illat’ yang ada pada ashl. Misalnya mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhl, karena keduanya mengandung illat yang sama, yaitu sama-sama jenis makanan.
b. Dari segi kejelasan illat yang terdapat pada hukum, terbagi atas:
1) Qiyas al-Jaliy, yaitu qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum ashl, atu nash tidak menetapkan illat- nya, tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antar ashl dengan furu’.
2) Qiyas al-Khafiy, qiyas yang illat-nya tidak disebutkan dalam nash.
Contohnya, meng-qiyaskan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam dalam memberlakukan hukuman qishas, karena illat-nya sama-sama pembunuhan sengaja dengan unsur permusuhan.
c. Dilihat dari segi keserasian illat dengan hukum, terbagi atas:
1) Qiyas al-Mu’atstsir, qiyas yang menjadi penghubung antara ashl dengan furu’ ditetapkan melalui nash sharih atau ijma.’ Contohnya, meng-qiyaskan hak perwalian dalam menikahkan anak di bawah umur kepada hak perwalian atas hartanya, dengan illat belum dewasa. Illat belum dewasa ini ditetapkan melalui ijma’.
2) Qiyas al-Mula’im, yaitu qiyas yang illat hukum ashl-nya mempunyai hubungan yang serasi. Misalnya mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam. Illat pada hukum ashl mempunyai hubungan yang serasi.
d. Dilihat dari segi dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas tersebut, terbagi atas:
1) Qiyas Dalalah, yaitu illat yang ada pada qiyas menjadi dalil (alasan) bagi hukum, tetapi tidak diwajibkan baginya (furu’). Seperti mengqiyaskan wajib zakat pada harta anak-anak kepada harta orang dewasa yang telah sampai senishab, tetapi bagi anak- anak tidak wajib mengeluarkan zakatnya diqiyaskan pada haji yang tidak diwajibkan atas anak-anak.
2) Qiyas al-Illat, yaitu qiyas yang dijelaskan illat-nya dan Illat itu sendiri merupakan motivasi bagi hukum ashl. Contohnya, meng- qiyaskan minuman keras yang terbuat dari perasan selain anggur (nabidz) kepada khamar, karena kedua minuman tersebut sama- sam memiliki rangsangan yang kuat , baik pada ashl maupun pada furu’.
3) Qiyas al-Ma’na, yaitu qiyas yang di dalamnya tidak dijelaskan illat-nya tetapi antara ashl dengan furu’ tidak dapat dibedakan, sehingga furu’ seakan-akan ashl, Contohnya, meng-qiyaskan membakar harta anak yatim dengan memakannya.
e. Dilihat dari segi metode dalam menemukan illat, terdiri atas :
1) Qiyas al-Ikhalah, yaitu qiyas yang illat-nya ditetapkan melalui munashabah dan ikhalah.
2) Qiyas al-Sibru, yaitu qiyas yang illat-nya ditetapkan melalui metode al-sibru wa al-taqsim
3) Qiyas al-Thard, yaitu qiyas yang illat-nya ditetapkan melalui metode third
4) Qiyas Syabah, yaitu qiyas yang illat-nya menggunakan metode syabah, (mempunyai keserupaan). Menurut ulama Ushul Fiqh, terbagi atas dua bentuk :
a) Melakukan qiyas kesamaan yang dominan dalam hukum dan sifat, yaitu mengkaitkan furu’ yang mempunyai bentuk kesamaan dengan dua hukum ashl. Tetapi kemiripannya dengan salah satu sifat lebih dominan dibandingkan dengan sifat lainnya. Contohnya, menyamakan hamba sahaya dengan harta, karena statusnya yang bisa dimiliki, atau menyamakan hamba sahaya dengan orang merdeka, disebabkan keduanya adalah manusia. Dalam persoalan ganti rugi akibat suatu tindakan hukum yang dilakukan seorang hamba sahaya, sifat kesamaannya dengan orang merdeka lebih dominan dibandingkan sebagai sesuatu yang dimiliki. Artinya, apabila kesamaannya dengan harta yang dimiliki lebih dominan, maka ganti rugi terhadap kelalaiannya tidak dapat dituntut. Oleh sebab itu, dalam kasus ganti rugi ini, hamba sahaya lebih mirip dan lebih dominan kesamaannya dengan orang merdeka, sehingga tindakan hukumnya harus dipertanggung-jawabkan.
b) Qiyas shuri atau qiyas yang semu, yaitu meng-qiyaskan sesuatu kepada yang lain semata-mata karena kesamaan bentuknya. Contohnya, menyamakan kuda dengan keledai dalam kaitannya dengan masalah zakat, sehingga apabila keledai tidak wajib zakat, maka kuda pun tidak wajib zakat.
3. Rukun dan Syarat Qiyas
a. Asal, yaitu dasar, titik tolak di mana suatu masalah itu dapat disamakan (musabbah bih), syaratnya :
1) Hukum asal-nya tidak berubah-ubah atau belum dinasakhkan, artinya hukum yang tetap berlaku.
2) Asal serta hukumnya sudah ada ketentuannya menurut agama, artinya sudah ada menurut ketegasan al-Qur’an dan al-Hadits.
3) Hukum yang berlaku pada asal berlaku pula qiyas, artinya hukum asal itu dapat diperlakukan pada qiyas
b. Furu’ (cabang) yaitu suatu masalah yang akan diqiyaskan disamakan dengan asal (musabbah), syaratnya :
1). Hukum furu’ tidak boleh lebih dahulu dari hukum asal, karena untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada illatnya.
2). Hukum yang ada pada furu’ harus sama dengan hukum yang ada pada asal, tidak boleh hukum furu’ menyalahi hukum asal.
3.) Illat yang ada pada furu’ harus sama dengan illat yang ada pada asal
c. Illat, yaitu suatu sebab yang menjadikan adanya hukum sesuatu dengan persamaan. Dengan sebab ini baru dapat diqiyaskan masalah kedua (furu’) kepada masalah yang pertama (asal), syaratnya :
1) Illat harus selalu ada.
2) Illat tidak bertentangan dengan ketentuan agama.
d. Hukum, yaitu ketentuan yang ditetapkan pada furu’ bila sudah ada ketetapan hukumnya pada asal (buahnya).
C. Makna Filosofis Dibalik Kewajiban Membayar Zakat Profesi
Zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda. Seseorang yang telah memenuhi syarat-syaratnya dituntut untuk menunaikannya, bukan semata-mata atas dasar kemurahan hatinya, tetapi kalau perlu dengan tekanan penguasa. Pensyari'atan zakat di dalam Islam menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan masalah-masalah kemasyarakatan, terutama nasib orang-orang yang lemah secara ekonominya. Sehingga mendekatkan hubungan kasih sayang antara sesama manusia dalam mewujudkan kata-kata bahwa Islam itu bersaudara, saling membantu, dan tolong-menolong; yang kuat menolong yang lemah, yang kaya membantu yang miskin.Salah satu tujuan zakat yang terpenting adalah mempersempit ketimpangan ekonomi dalam masyarakat sampai batas yang seminimal mungkin. Tujuannya adalah menjadikan perbedaan ekonomi di antara masyarakat secara adil dan seksama, sehingga yang kaya tidak semakin kaya (dengan mengeksploitasi anggota masyarakat yang miskin) dan yang miskin tidak semakin miskin.
Makna filosofi yang bisa digali dari adanya kewajiban zakat profesi kiranya mengacu dari garis besar tujuan disyariatkannya zakat. Namun dalam kesempatan lain, kewajiban zakat pada semua hasil kerja profesi menunjukkan tingkat apresiasi yang lebih pada sumber-sumber harta yang wajib dizakati yang muncul di masa setelah Nabi.
Pengertian filosofis adalah sesuatu yang berhubungan dengan filsafat, sedangkan filsafat yang dimaksud adalah ajaran hukum dan perilaku. Memahami adanya kewajiban membayar zakat profesi, kiranya dari sudut keadilan, yang merupakan ciri utama ajaran (hukum) Islam dan anjuran dalam berperilaku, adalah sangat tepat.
Penetapan zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat jelas, dibandingkan dengan hanya menetapkan kewajiban zakat pada komoditas- komoditas tertentu saja yang konvensional. Petani yang kondisinya secara umum kurang beruntung, tetap harus berzakat, apabila hasil pertaniannya telah mencapai nishab. Karena itu sangat adil pula apabila zakat profesi bersifat wajib pada penghasilan yang didapatkan para dokter, ahli hukum, konsultan dalam berbagai bidang, dosen, pegawai, dan karyawan yang memiliki gaji tinggi, dan profesi lainnya.
Di samping itu, kewajiban zakat atas usaha profesi merupakan investasi produktif yang menghasilkan sumber produktif. Yang berarti bahwa al maal harus diupayakan untuk tidak mandeg, agar fungsinya untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat terpenuhi. Menurut syari’at, investasi mengutamakan hal-hal yang menyentuh kebutuhan pokok masyarakat, yakni berkenaan dengan sandang, pangan, dan papan yang dinilai vital dalam peningkatan kesejahteraan orang banyak.
Menurut Prof. Dr. Quraisy Shihab, ada tiga alasan yang bisa dijadikan landasan filosofis mengapa Allah SWT. mensyari'atkan kewajiban zakat. Dan juga merupakan pemaknaan yang tepat ketika zakat profesi menjadi wajib untuk ditunaikan. Menurutnya tiga alasan tersebut antara lain:
1. Istikhlaf (Penugasan sebagai Khalifah di Bumi)
Allah SWT. adalah pemilik seluruh alam raya dan segala isinya, termasuk pemilik harta benda. Seseorang yang beruntung memperolehnya pada hakikatnya hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemiliknya (Allah SWT). Manusia yang dititipi itu berkewajiban memenuhi ketetapan-ketetapan yang digariskan oleh sang pemilik, baik dalam pengembangan harta maupun dalam penggunaannya.
Zakat merupakan salah satu ketetapan Tuhan menyangkut harta, bahkan shadaqah dan infaq pun demikian. Karena Allah SWT. menjadikan harta benda sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya, maka harta tersebut harus diarahkan guna kepentingan bersama. Allah melarang manusia memberikan harta benda kepada siapapun yang diduga keras akan menyia- nyiakannya, walaupun harta itu "milik" (atas nama) orang yang menyia- nyiakannya., karena tindakan penyia-nyiaan akan merugikan semua pihak.
Sejak semula Tuhan telah menetapkan bahwa harta hendaknya digunakan guna kepentingan bersama, bahkan agaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa "pada mulanya"masyarakatlah yang berwenang menggunakan harta tersebut secara keseluruhan, kemudian Allah menganugerahkan sebagian dari harta tersebut kepada pribadi-pribadi yang mengusahakan perolehannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
2 . Solidaritas Sosial
Manusia adalah makhluk sosial. Kebersamaan antara individu dalam suatu wilayah membentuk masyarakat yang walaupun berbeda sifatnya dengan individu-individu tersebut, namun manusia tidak dapat dipisahkan darinya.
Manusia tidak dapat hidup tanpa adanya masyarakat, karena sekian banyak pengetahuan diperoleh manusia melalui masyarakatnya, seperti bahasa, adat istiadat, sopan santun, dan lain-lain. Demikian juga dalam bidang material, betapapun seseorang memiliki kepandaian, namun hasil-hasil material yang diperolehnya adalah berkat bantuan pihak-pihak lain, baik secara langsung dan disadari, maupun tidak langsung.
Seorang petani dapat berhasil karena adanya irigasi, alat-alat, makanan, pakaian, stabilitas keamanan yang kesemuanya tidak mungkin dapat diwujudkan secara mandiri. Demikian pula bagi seorang pedagang, siapakah yang menjual atau membeli dari dan kepadanya?. Dari segi lain, harus disadari bahwa produksi apapun bentuknya, pada hakikatnya merupakan pemanfaatan materi-materi yang diciptakan dan dimiliki Tuhan. Dalam berproduksi, manusia hanya mengadakan perubahan, penyesuaian, perakitan satu bahan dengan bahan lain yang telah diciptakan Allah SWT.
Manusia mengelola, tetapi Tuhan yang menciptakan dan memilikinya. Dengan demikian wajar jika Allah memerintahkan untuk mengeluarkan sebagian kecil dari harta yang diamanatkannya kepada seseorang itu demi kepentingan orang lain.
3. Persaudaraan
Manusia berasal dari satu keturunan, antara seorang dengan lainnya terdapat pertalian darah, dekat atau jauh. Pertalian darah tersebut akan menjadi lebih kokoh dengan adanya persamaan-persamaan lain, yaitu agama, kebangsaan, lokasi, domisili, dan sebagainya.
Disadari oleh manusia semua bahwa hubungan persaudaraan menuntut bukan sekedar hubungan take and give (memberi dan menerima), atau pertukaran manfaat. Tetapi melebihi itu semua, yakni memberi tanpa menanti imbalan, atau membantu tanpa dimintai bantuan.
Kebersamaan dan persaudaraan inilah yang mengantarkan kepada kesadaran menyisihkan sebagian harta kekayaan khususnya kepada mereka yang membutuhkan, baik dalam bentuk dalam kewajiban membayar zakat, maupun shadaqah dan infaq.
Kewajiban membayar zakat profesi adalah sesuai dengan tuntunan Islam yang menanamkan nilai-nilai kebaikan, kemauan berkorban, belas kasihan, dan suka memberi dalam jiwa seorang Muslim. Sesuai pula dengan prinsip kemanusiaan yang memang harus ada dalam masyarakat; ikut merasakan beban orang lain dan menanamkannya dalam keyakinan beragama juga, sebagai pokok sifat kepribadiaannya.
Post a Comment