Hukum Zakat Profesi

  Hukum Zakat Profesi 

Pengertian Profesi

Dalam kamus Bahasa Inggris, istilah profesi disebut sebagai profession,  yang  artinya  pekerjaan, sedangkan  menurut  kamus  besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa, profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan  keahlian (ketrampilan,  kerajinan,  dan sebagainya).

Mahjuddin mengartikan profesi sebagai suatu pekerjaan tetap dengan keahlian   tertentu,   yang  dapat   menghasilkan   gaji,  honor,   upah,   atau imbalan.3  Jadi usaha profesi erat kaitannya dengan sikap profesional, yaitu sesuatu  hal yang dilakukan  dengan  dukungan  kepandaian  khusus  untuk menjalankannya. 

Menurut Yusuf Qardlawi, profesi dibagi menjadi dua bagian, yaitu Kasb al-Amal dan Mihan al-Hurrah. Kasb al-Amal adalah pekerjaan seseorang yang tunduk pada perseroan atau perseorangan dengan mendapatkan upah. Mihan Al-Hurrah adalah pekerjaan bebas, tidak terikat pada orang lain. Dalam definisi yang lain menurut Fachrudin, sebagaimana dikutip oleh Muhammad mengklasifikasikan usaha profesi ke dalam beberapa kriteria bila dilihat dari bentuknya:

a. Usaha fisik
b. Usaha fikiran
c. Usaha kedudukan
d. Usaha modal

Kemudian bila ditinjau dari hasil usahanya, profesi itu  bisa berupa:

a. Hasil yang teratur dan pasti, baik setiap bulan, minggu atau hari
b. Hasil yang tidak tetap dan tidak dapat diperkirakan secara pasti

Dari beberapa  pengertian  yang disebutkan  di atas, penulis  dapat menyimpulkan  bahwa secara umum, profesi adalah segala kegiatan atau aktifitas kerja yang dilakukan oleh manusia dengan dibekali keahlian dan ketrampilan tertentu untuk mendapatkan hasil berupa upah atau gaji dalam kurun waktu tertentu.

Pengertian profesi secara lebih terinci dapat dibedakan menjadi dua kategori.  Pertama,  profesi  yang  tidak  terkena  kewajiban  zakat,  kedua profesi yang wajib zakat. Profesi yang tidak wajib zakat adalah profesi yang  dilakukan  oleh  seseorang  dengan  keahlian  tertentu  untuk mendapatkan gaji. Adapun profesi yang wajib zakat adalah profesi yang dilakukan oleh manusia dengan keahlian tertentu yang dilakukan dengan mudah dan mendatangkan  hasil (pendapatan) yang cukup melimpah (di atas rata-rata  pendapatan  penduduk). Seperti misalnya komisaris perusahaan, bankir,  konsultan, analisis,  broker,  dokter  spesialis, pemborong  berbagai  konstruksi,  eksportir  dan  importir, akuntan,  artis, notaris, dan berbagai penjual jasa, serta macam-macam  profesi kantoran (white collar) lainnya.

 Artinya bahwa, mudah dan cukup melimpah tersebut di atas adalah dimungkinkan   dengan   jangka waktu   yang   sama   dalam   melakukan pekerjaan atau profesinya, seseorang akan mendapatkan pendapatan atau penghasilan yang jauh berbeda. Misalkan antara seorang buruh bangunan yang bekerja siang dan malam dalam waktu satu bulan, mungkin hanya mendapatkan  hasil  yang  cukup untuk  makan  dan kebutuhan  sehari-hari keluarganya,  sedangkan  seorang dokter spesialis  juga dalam waktu satu bulan memungkinkan mendapatkan hasil yang lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari bersama keluarga. Jadi,  profesi seperti dokter spesialis tersebut yang dimungkinkan wajib zakat atas dasar mudah dan melimpahnya hasil yang didapat. Mahjuddin juga menggambarkan beberapa contoh profesi yang dimungkinkan wajib zakat, antara lain:

a. Profesi dokter (The medical profession).
b. Profesi pekerja teknik/Insinyur (The engineering profession).
c. Profesi guru, dosen, guru besar atau tenaga pendidik  (The teaching profession).
d. Profesi advokat (pengacara), konsultan, wartawan, dan sebagainya.

2.  Pengertian Zakat Profesi

Menurut  Yusuf  Qardlawi,  kategori  zakat  profesi  (yang  wajib dizakati) adalah segala macam pendapatan yang didapat bukan dari harta yang sudah  dikenakan  zakat. Artinya,  zakat  profesi  didapat  dari hasil usaha  manusia  yang  mendatangkan   pendapatan   dan  sudah  mencapai nishab. Bukan dari jenis harta kekayaan yang memang sudah ditetapkan kewajibannya  melalui al-Qur’an dan hadits Nabi, seperti hasil pertanian, peternakan,  perdagangan,  harta  simpanan  (uang,  emas,  dan  perak),  dan harta rikaz. Jadi kewajiban zakat profesi merupakan kewajiban baru dari hasil ijtihad ulama yang belum ditetapkan sebelumnya,  melalui dalil al- Qur’an ataupun al-Sunnah.

Mahjuddin  berpendapat,  zakat profesi memiliki arti  zakat  yang  dikeluarkan  dari  sumber  usaha profesi atau pendapatan jasa. Dalam bukunya Masail Fiqhiyah, Masjfuk Zuhdi juga memberikan keterangannya tentang zakat profesi, yaitu zakat yang diperoleh dari semua jenis penghasilan  yang halal yang diperoleh setiap  individu  Muslim,  apabila  telah mencapai  batas minimum  terkena zakat (nishab) dan telah jatuh tempo / haul-nya.

Menurut Didin Hafidhuddin, zakat profesi adalah zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian tertentu, baik yang dilakukan sendirian maupun bersama orang lain / dengan lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nishab    (batas minimum untuk berzakat).

Berdasarkan beberapa pengertian zakat profesi di atas, dapat disimpulkan bahwa zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha yang halal yang dapat  mendatangkan  hasil  (uang)  yang  relatif banyak  dengan  cara  yang  mudah,  melalui  suatu  keahlian  tertentu  dan sudah mencapai nishab.

3.  Dasar Hukum Zakat Profesi

Kewajiban  tentang  zakat  profesi  memang  masih  perlu dipertanyakan, karena tidak ada nash yang sharih (jelas) dalam al-Qur’an maupun  as-Sunnah.  Oleh  karena  itu,  perlu  dicari  kejelasan  hukumnya dengan jalan menggali hukum dengan metode ijtihad (ra’yu), yang antara lain meliputi: metode qiyqs, maslahah mursalah, istihsan, ataupun metode yang lain.

Pada masa yang akan datang manusia akan lebih memerlukan ijtihad untuk mereformasi kebudayaan, menggeser tradisi, dan mengganti keputusan agar sejalan dengan perubahan  zaman dan tempat. Karena sesuatu yang baik menurut suatu zaman tertentu kadang-kadang  tidak selalu baik pada masa yang lain. Begitupun sesuatu yang dapat direalisasikan pada suatu tempat tertentu, belum tentu dapat direalisasikan pada suatu tempat yang lain.

Dalam masalah zakat hukum Islam berkembang, hal-hal yang dulu belum dikenai zakat sekarang sudah banyak yang ditetapkan zakatnya, di antaranya adalah zakat profesi.16  Ketika dikembalikan  kepada nash-nash yang ada, pengambilan hukum tentang hukum-hukum 'amaliyah, jumhur ulama telah menyepakatinya bahwa dalil-dalil syar’iyyah berpangkal pada empat pokok, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.

Mengenai istinbath hukum tentang kewajiban membayar zakat profesi, terlebih dahulu mencari landasan  hukumnya  pada nash-nash  al- Qur’an. Oleh karenanya, ketika mencari landasan hukum kewajiban membayar zakat profesi, Yusuf Qardlawi antara lain mendasarkannya pada al-Qur’an surat al-Baqarah: 267 yang berbunyi :

 Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan) Allah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya  lagi Maha Terpuji.” (Q.S.  al-Baqarah: 267)

Yusuf Qardlawi menafsirkan keumuman lafal "Maa Kasabtum" dalam ayat di atas yang   berarti mencakup segala macam usaha; perdagangan atau pekerjaan dan profesi, sedangkan jumhur ulama fiqh mengambil keumuman maksud surat Al-Baqarah: 267 tersebut di samping sebagai landasan wajibnya zakat perdagangan juga menjadikan wajibnya zakat atas usaha profesi Sesuai ayat tersebut di atas, kata “anfiquu” memfaedahkan wajib, karena kata “anfiquu” merupakan fiil amar dari fiil madhi “anfaqo” Sesuai dengan kaidah ushul fiqh “pada asalnya perintah itu memfaedahkan wajib” Menurut Fachrudin, sebagaimana dikutip oleh Muhammad kata “Maa Kasabtum” dalam surat tersebut bersifat umum (‘am) dan memang sudah mendapat takhsis-nya, yaitu hadis Rasulullah SAW. tentang bentuk dan  jenis  harta  yang  wajib  dikeluarkan  zakatnya.  Akan  tetapi,  karena hukum pada ‘am dan ‘khas ini sama, maka keumuman itu tetap berlaku secara utuh untuk menetapkan zakat profesi.

Sayyid  Quthb  dalam  tafsirnya  Fi  Zhilalil  Qur'an,  menafsirkan surat al-Baqarah :267, bahwa nash tersebut mencakup seluruh hasil usaha manusia yang baik dan halal dan mencakup pula seluruh yang dikeluarkan Allah SWT. dari dalam dan atas bumi, baik yang terdapat di zaman Rasulullah  SAW., maupun  di  zaman  sesudahnya,  sedangkan  menurut

Amir Syarifuddin, penggunaan kata "Maa" dalam ayat tersebut di atas adalah mencakup segala apa-apa yang diperoleh melalui hasil usaha atau jasa, dan juga apa-apa yang  dikeluarkan atau diusahakan dari bumi. Dengan argumentasi bahwa kekuatan lafadz umum terhadap semua satuan pengertian yang tercakup di dalamnya secara pasti, sebagaimana penunjukkan lafadz khusus terhadap arti yang terkandung di dalamnya. Penggunaan lafadz umum untuk semua satuan pengertian ini berlaku sampai ada dalil lain yang membatasinya.

Hamid Laonso juga mengatakan  bahwa  kata dalam ayat tersebut memberikan  legitimasi  terhadap  semua  jenis usaha dan profesi yang dimiliki  yang kesemuanya  mendatangkan  penghasilan yang cukup banyak, seperti pengacara, dokter ahli, jasa perhotelan,  jasa penginapan, dan sebagainya.


 Makna terminologi generik ayat tersebut menunjuk pada harta kekayaan,  tidak  menunjuk  dari  mana  harta  itu  diperoleh  (usaha)  yang bernilai ekonomi, dan karena spektrumnya lebih bersifat umum, maka di dalamnya termasuk jasa/gaji yang secara rasional adalah bagian dari harta kekayaan, sehingga wajib dikeluarkan zakatnya.Selanjutnya dengan dasar as-Sunnah untuk mengukuhkan kewajiban zakat profesi, berdasarkan pada keumuman makna hadits. Yang antara lain hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari sebagai berikut:

“Setiap  orang muslim wajib bersedekah, Mereka bertanya: “Wahai Nabi Allah, bagaimana yang tidak berpunya?, Nabi menjawab:” Bekerjalah untuk mendapat sesuatu untuk dirinya, lalu bersedekah”.  Mereka bertanya kembali: ”Kalau tidak mempunyai pekerjaan?,  Nabi menjawab: “Kerjakan  kebaikan  dan tinggalkan keburukan, hal itu merupakan sedekah.” (H.R Bukhari)

Yusuf Qardlawi menafsirkan keumuman dari makna hadits tersebut  di  atas  bahwa  zakat  wajib atas penghasilan sesuai  dengan tuntunan  Islam yang menanamkan nilai-nilai    kebaikan, kemauan, berkorban, belas kasihan, dan suka memberi dalam jiwa seorang muslim. Untuk itu Nabi mewajibkan pada setiap muslim mengorbankan  sebagian harta penghasilannya atau apa saja yang bisa ia korbankan.

Adapun dalam hal qiyas, wajibnya zakat profesi diqiyaskan pada tindakan khalifah Mu’awiyah yang mengenakan zakat atas pemberian menurut ukuran yang berlaku dalam negara Islam, karena beliau adalah khalifah  dan  penguasa  umat  Islam.  Dan  perbuatan  khalifah Umar Ibnu Abdul Aziz yang memungut zakat pemberian (u'tiyat) dan hadiah. Juga memungut zakat  dari  para  pegawainya  setelah  menerima  gaji,  serta menarik zakat dari orang yang menerima barang sitaan (mazalim) setelah dikembalikan kepadanya.

Menurut para Imam Madzhab terjadi perbedaan pendapat. Menurut Imam Syafi’i, zakat penghasilan tidak wajib zakat meskipun ia memiliki harta sejenis yang sudah cukup nishab. Tetapi ia mengecualikan anak-anak binatang  piaraan,  di  mana  anak-anak  binatang  itu  tidak  dikeluarkan zakatnya bersamaan dengan zakat induknya yang sudah mencapai nishab.

Dan bila belum mencapai nishab, maka tidak wajib zakatnya. Dalam   kitabnya   al-Umm,   Imam   Syafi’i   mengatakan   apabila seseorang  menyewakan  rumahnya  kepada  orang  lain dengan  harga  100 dinar selama 4 tahun dengan syarat pembayarannya  sampai batas waktu tertentu, maka apabila ia telah mencapai satu tahun, ia harus mengeluarkan zakatnya  untuk  25 dinar pada satu tahun  pertama  dan membayar  zakat untuk 50 dinar pada tahun kedua, dengan memperhitungkan uang 25 dinar yang  telah  dikeluarkan  zakatnya  pada  tahun  pertama  dan  seterusnya, sampai ia mengeluarkan zakatnya dari 100 dinar dengan memperhitungkan zakat yang telah dikeluarkan, baik sedikit atau banyak.

Menurut   Imam   Malik,   harta   penghasilan   tidak   dikeluarkan zakatnya kecuali sampai penuh waktu setahun. Baik harta tersebut sejenis dengan  harta  yang  ia  miliki  atau  tidak,  kecuali  jenis  binatang  piaraan. Karena orang yang memperoleh penghasilan berupa binatang piaraan yang sejenis dan sudah mencapai nishab, maka ia harus mengeluarkan zakat dan keseluruhan  binatang  itu  apabila  sudah  genap  satu  tahun.  Dan  apabila kurang dari satu nishab, maka tidak wajib zakat.

Dalam suatu kasus tentang seseorang yang memiliki 5 dinar hasil dari sebuah transaksi, yang kemudian ia investasikan dalam perdagangan, maka  begitu  jumlahnya  meningkat  pada  jumlah  yang  harus  dibayarkan zakat dan satu tahun telah berlalu dari transaksi pertama, menurut Imam Malik ia harus membayar zakat meskipun jumlah yang harus dizakatkan itu  tercapai  satu  hari  sebelum  ataupun  sesudah  satu  tahun.  Karena  itu, tidak ada zakat yang harus dibayarkan sejak hari zakat diambil (oleh pemerintah) sampai dengan waktu satu tahun telah melewatinya.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan   zakatnya   bila mencapai masa   satu   tahun   penuh   pada pemiliknya kecuali jika pemiliknya mempunyai harta sejenis yang harus dikeluarkan zakatnya, yang untuk itu zakat harta penghasilan. Dari beberapa  dalil dan pendapat-pendapat  tersebut  di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa wajibnya zakat profesi didasarkan pada surat al-Baqarah: 267 yang bersifat umum dan hadits-hadits yang bersifat umum pula, baik keumumannya menyangkut materi hasil usaha, apakah yang diperoleh dari perdagangan, investasi modal, honorarium, gaji, dan sebagainya.  Atau  keumumannya  dari  segi  waktu  yang  tidak  membatasi harus sudah satu tahun pemilikan harta Untuk menetapkan teknis penerapan ketentuan zakat profesi mulai dari nishab,  kadar,  dan  waktunya  menggunakan  dalil  qiyas  (analogical reasoning).  Sudah  barang  tentu  menggunakan  dalil  qiyas  sebagai  dalil syar’i,  harus  memenuhi  syarat  dan  rukunnya  agar  menemukan  hukum ijtihadi yang aktual dan proporsional.

B.  Metode Qiyas dalam Penghitungan Zakat

Salah satu sumber hukum Islam yang disepakati  oleh jumhur ulama setelah al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’ adalah qiyas. Menurut jumhur ulama, qiyas merupakanhujjah syar’iyyah  atas hukum-hukum mengenai  perbuatan manusia (amaliyyah). Qiyas menduduki peringkat keempat di antara hujjah- hujjah syar’iyyah, dengan maksud apabila dalam suatu kasus hukum tidak ditemukan ketetapannya dalam nash (al-Qur’an dan Sunnah) serta ijma’, tetapi diperoleh ketetapan bahwa kasus tersebut menyamai suatu kejadian yang ada nash hukumnya dari segi illath hukumnya, maka kasus tersebut di-qiyas-kan dengan kasus tersebut dan dikenai hukum berdasarkan hukum kasus yang terdapat  ketetapannya  dalam  nash,  dan  hal  ini  termasuk  dalam  ketetapan syar’i.

1. Pengertian Qiyas

Secara bahasa qiyas  berarti  ukuran,  mengetahui  ukuran  sesuatu, membandingkan, atau    menyamakan sesuatu dengan yang lain. Misalnya, “saya mengukur baju dengan hasta,” sedangkan menurut istilah, qiyas adalah memberlakukan hukum asal kepada hukum furu disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.  Menurut al-Amidi, qiyas adalah mempersamakan illat yang ada pada furu’ dengan illat yang ada pada asal yang diistinbatkan dari hukum asal,  yang terakhir menurut Wahbah az- Zuhaili, qiyas yaitu menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash   dengan  sesuatu yang   disebutkan hukumnya   oleh   nash, disebabkan kesatuan illat hukum antara keduanya.

Menurut  istilah  ahli  Ushul  Fiqh,  qiyas  adalah  mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada hukumnya, dalam hukum yang ada nash-nya karena persamaan keduanya dalam illat hukumnya.44  Karena qiyas selalu bersendikan persamaan illat hukum,  maka qiyas dapat dilakukan  hanya jika illat hukum nash dapat diketahui dengan akal.

2. Macam-Macam Qiyas

a.   Dilihat  dari  kekuatan  illat  yang  terdapat  pada  furu’  dibandingkan dengan yang terdapat pada ashl, terdiri atas:

1)  Qiyas  Aula,  yaitu  qiyas  yang  hukumnya  pada  furu’  lebih  kuat daripada hukum ashl, karena illat yang terdapat pada furu’ lebih kuat dari yang ada pada ashl. Seperti meng-qiyaskan perbuatan memukul,  kepada  kata-kata  yang  kurang  mengenakkan  terhadap Ibu-Bapak karena illatnya menyakiti. Keharaman memukul orang tua lebih kuat daripada sekedar mengatakan kata-kata yang kurang mengenakan, seperti kata ah.

2)  Qiyas  Musaway,  yaitu  illat  yang  terdapat  pada  yang  diqiyaskan (furu’)  sama  dengan  illat  yang  ada  pada  tempat  mengqiyaskan (asal),  karena  itu  hukum  keduanya  sama.  Seperti  mengqiyaskan membakar harta anak yatim dengan memakannya, karena illatnya sama-sama menghabiskan.

3) Qiyas al-Adna, yaitu illat yang ada pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan illat’ yang ada pada ashl. Misalnya mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhl, karena  keduanya  mengandung  illat yang sama,  yaitu sama-sama jenis makanan.

b.   Dari segi kejelasan illat yang terdapat pada hukum, terbagi atas:

1) Qiyas al-Jaliy, yaitu qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan  dengan hukum ashl, atu nash tidak menetapkan  illat- nya, tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan  antar ashl dengan furu’.

2)  Qiyas al-Khafiy, qiyas yang illat-nya tidak disebutkan dalam nash.

Contohnya,   meng-qiyaskan   pembunuhan   dengan   benda   berat kepada  pembunuhan  dengan  benda  tajam dalam  memberlakukan hukuman qishas, karena illat-nya sama-sama pembunuhan sengaja dengan unsur permusuhan.

c.   Dilihat dari segi keserasian illat dengan hukum, terbagi atas:

1)  Qiyas al-Mu’atstsir,  qiyas yang menjadi penghubung  antara ashl dengan  furu’  ditetapkan  melalui  nash  sharih  atau  ijma.’ Contohnya, meng-qiyaskan hak perwalian dalam menikahkan anak di bawah umur kepada hak perwalian atas hartanya, dengan illat belum dewasa. Illat belum dewasa ini ditetapkan melalui ijma’.

2)  Qiyas   al-Mula’im,   yaitu   qiyas   yang   illat   hukum   ashl-nya mempunyai hubungan yang serasi. Misalnya mengqiyaskan pembunuhan  dengan  benda  berat  kepada  pembunuhan   dengan benda  tajam.  Illat pada  hukum  ashl  mempunyai  hubungan  yang serasi.

d.   Dilihat  dari  segi  dijelaskan  atau  tidaknya  illat  pada  qiyas  tersebut, terbagi atas:

1)  Qiyas  Dalalah,  yaitu  illat  yang  ada  pada  qiyas  menjadi  dalil (alasan)  bagi  hukum,  tetapi  tidak  diwajibkan  baginya  (furu’). Seperti  mengqiyaskan  wajib  zakat  pada  harta  anak-anak  kepada harta orang dewasa yang telah sampai senishab, tetapi bagi anak- anak tidak wajib mengeluarkan zakatnya diqiyaskan pada haji yang tidak diwajibkan atas anak-anak.

2)  Qiyas  al-Illat,  yaitu  qiyas  yang  dijelaskan  illat-nya  dan Illat itu sendiri merupakan  motivasi bagi hukum ashl. Contohnya,  meng- qiyaskan minuman keras yang terbuat dari perasan selain anggur (nabidz)  kepada  khamar,  karena  kedua  minuman  tersebut  sama- sam memiliki rangsangan yang kuat , baik pada ashl maupun pada furu’.

3)  Qiyas  al-Ma’na,  yaitu  qiyas  yang  di  dalamnya  tidak  dijelaskan illat-nya  tetapi  antara  ashl  dengan  furu’  tidak  dapat  dibedakan, sehingga   furu’   seakan-akan   ashl,   Contohnya,   meng-qiyaskan membakar harta anak yatim dengan memakannya.

e. Dilihat dari segi metode dalam menemukan illat, terdiri atas :

1) Qiyas  al-Ikhalah,  yaitu  qiyas  yang  illat-nya  ditetapkan  melalui munashabah dan ikhalah.

2)  Qiyas  al-Sibru,  yaitu  qiyas  yang  illat-nya  ditetapkan   melalui metode al-sibru wa al-taqsim

3) Qiyas  al-Thard,  yaitu  qiyas  yang  illat-nya  ditetapkan  melalui metode  third

4) Qiyas Syabah, yaitu  qiyas  yang  illat-nya  menggunakan  metode syabah,  (mempunyai  keserupaan). Menurut  ulama  Ushul  Fiqh, terbagi atas dua bentuk :

a) Melakukan qiyas kesamaan yang dominan  dalam hukum dan sifat, yaitu   mengkaitkan   furu’ yang mempunyai bentuk kesamaan dengan dua hukum ashl. Tetapi  kemiripannya dengan  salah  satu  sifat  lebih  dominan  dibandingkan  dengan sifat lainnya. Contohnya,  menyamakan  hamba sahaya dengan harta, karena statusnya  yang bisa dimiliki,  atau menyamakan hamba sahaya dengan orang merdeka, disebabkan keduanya adalah   manusia. Dalam  persoalan ganti  rugi  akibat  suatu tindakan  hukum yang dilakukan  seorang  hamba sahaya,  sifat kesamaannya dengan orang  merdeka  lebih dominan dibandingkan  sebagai  sesuatu  yang dimiliki. Artinya,  apabila kesamaannya dengan harta yang dimiliki lebih dominan, maka ganti  rugi  terhadap  kelalaiannya  tidak  dapat  dituntut.  Oleh sebab itu, dalam kasus ganti rugi ini, hamba sahaya lebih mirip dan   lebih   dominan   kesamaannya   dengan   orang   merdeka, sehingga tindakan hukumnya harus dipertanggung-jawabkan.

b)  Qiyas shuri atau qiyas yang semu, yaitu meng-qiyaskan sesuatu kepada yang lain semata-mata karena kesamaan bentuknya. Contohnya, menyamakan kuda dengan keledai dalam kaitannya dengan  masalah  zakat, sehingga  apabila  keledai  tidak  wajib zakat, maka kuda pun tidak wajib zakat.

3. Rukun dan Syarat Qiyas

a. Asal,  yaitu  dasar, titik  tolak  di  mana  suatu  masalah  itu  dapat disamakan (musabbah bih), syaratnya :

1) Hukum asal-nya  tidak berubah-ubah  atau belum dinasakhkan, artinya hukum yang tetap berlaku.
2) Asal serta hukumnya sudah ada ketentuannya  menurut agama, artinya    sudah ada menurut ketegasan al-Qur’an dan al-Hadits.
3) Hukum  yang  berlaku  pada  asal  berlaku  pula  qiyas,  artinya hukum asal itu dapat diperlakukan pada qiyas
b. Furu’ (cabang) yaitu suatu masalah yang akan diqiyaskan disamakan dengan asal (musabbah), syaratnya :

1). Hukum furu’ tidak boleh lebih dahulu dari hukum asal, karena untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada illatnya.
2). Hukum yang ada pada furu’ harus sama dengan hukum yang ada pada asal, tidak boleh hukum furu’ menyalahi hukum asal.
3.) Illat yang ada pada furu’ harus sama dengan illat yang ada pada asal

c. Illat,  yaitu  suatu  sebab  yang  menjadikan  adanya  hukum  sesuatu dengan persamaan. Dengan sebab ini baru dapat diqiyaskan masalah kedua (furu’) kepada masalah yang pertama (asal), syaratnya : 
1)  Illat harus selalu ada.
2)  Illat tidak bertentangan dengan ketentuan agama.

d. Hukum, yaitu ketentuan yang ditetapkan  pada furu’ bila sudah  ada ketetapan hukumnya pada asal (buahnya).

C.  Makna Filosofis Dibalik Kewajiban Membayar Zakat Profesi

Zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda. Seseorang yang telah   memenuhi   syarat-syaratnya dituntut untuk menunaikannya,   bukan semata-mata atas dasar kemurahan hatinya, tetapi kalau perlu dengan tekanan penguasa. Pensyari'atan  zakat  di  dalam  Islam  menunjukkan  bahwa  Islam sangat   memperhatikan   masalah-masalah   kemasyarakatan,   terutama nasib orang-orang yang lemah secara  ekonominya. Sehingga mendekatkan hubungan kasih sayang antara sesama manusia dalam mewujudkan kata-kata bahwa  Islam  itu bersaudara,  saling  membantu,  dan  tolong-menolong;  yang kuat menolong yang lemah, yang kaya membantu yang miskin.

Salah  satu  tujuan  zakat  yang terpenting  adalah  mempersempit ketimpangan ekonomi dalam masyarakat sampai batas yang seminimal mungkin. Tujuannya adalah menjadikan perbedaan ekonomi di antara masyarakat secara adil dan seksama, sehingga yang kaya tidak semakin kaya (dengan mengeksploitasi  anggota masyarakat yang miskin) dan yang miskin tidak semakin miskin.

Makna  filosofi  yang  bisa  digali  dari  adanya  kewajiban  zakat  profesi kiranya mengacu dari garis besar tujuan disyariatkannya zakat. Namun dalam kesempatan lain, kewajiban zakat pada semua hasil kerja profesi menunjukkan tingkat  apresiasi  yang lebih pada sumber-sumber  harta yang wajib dizakati yang muncul di masa setelah Nabi.

Pengertian filosofis adalah sesuatu yang berhubungan dengan filsafat, sedangkan   filsafat  yang  dimaksud   adalah  ajaran  hukum  dan  perilaku. Memahami adanya kewajiban membayar zakat profesi, kiranya dari sudut keadilan, yang merupakan ciri utama ajaran (hukum) Islam dan anjuran dalam berperilaku, adalah sangat tepat.

Penetapan zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat jelas, dibandingkan dengan hanya menetapkan kewajiban zakat pada komoditas- komoditas  tertentu  saja  yang  konvensional.  Petani  yang  kondisinya  secara umum kurang beruntung, tetap harus berzakat, apabila hasil pertaniannya telah mencapai  nishab.  Karena  itu sangat adil pula apabila zakat profesi bersifat wajib pada penghasilan yang didapatkan   para dokter, ahli hukum, konsultan dalam  berbagai bidang,  dosen, pegawai, dan  karyawan  yang  memiliki  gaji tinggi, dan profesi lainnya.

Di samping itu, kewajiban zakat atas usaha profesi merupakan investasi produktif yang menghasilkan sumber produktif. Yang berarti bahwa al maal harus diupayakan untuk tidak mandeg, agar fungsinya untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat  terpenuhi.  Menurut  syari’at,  investasi mengutamakan  hal-hal yang menyentuh kebutuhan pokok masyarakat, yakni berkenaan dengan sandang, pangan, dan papan yang dinilai vital dalam peningkatan kesejahteraan orang banyak.

Menurut Prof. Dr. Quraisy Shihab, ada tiga alasan yang bisa dijadikan landasan filosofis mengapa Allah SWT. mensyari'atkan kewajiban zakat. Dan juga  merupakan  pemaknaan  yang  tepat  ketika  zakat  profesi  menjadi  wajib untuk ditunaikan. Menurutnya tiga alasan tersebut antara lain:

1.   Istikhlaf (Penugasan sebagai Khalifah di Bumi)

Allah  SWT.  adalah  pemilik  seluruh  alam  raya  dan  segala  isinya, termasuk  pemilik  harta  benda.  Seseorang  yang  beruntung  memperolehnya pada hakikatnya hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemiliknya (Allah SWT). Manusia yang dititipi itu berkewajiban memenuhi ketetapan-ketetapan  yang digariskan oleh sang pemilik, baik dalam pengembangan harta maupun dalam penggunaannya.

Zakat merupakan salah satu ketetapan Tuhan menyangkut harta, bahkan shadaqah  dan  infaq  pun  demikian.  Karena  Allah  SWT.  menjadikan  harta benda sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya, maka harta tersebut harus diarahkan guna kepentingan bersama. Allah melarang manusia memberikan  harta benda kepada siapapun  yang diduga keras akan menyia- nyiakannya, walaupun harta itu "milik" (atas nama) orang yang menyia- nyiakannya., karena tindakan penyia-nyiaan akan merugikan semua pihak.

Sejak semula Tuhan telah menetapkan bahwa harta hendaknya digunakan guna kepentingan bersama, bahkan agaknya tidak berlebihan jika dikatakan  bahwa "pada  mulanya"masyarakatlah  yang  berwenang menggunakan harta tersebut secara keseluruhan, kemudian Allah menganugerahkan sebagian dari harta tersebut kepada pribadi-pribadi yang mengusahakan perolehannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

2 .  Solidaritas Sosial

Manusia adalah makhluk sosial. Kebersamaan  antara individu dalam suatu wilayah   membentuk   masyarakat   yang  walaupun   berbeda   sifatnya dengan individu-individu tersebut, namun manusia tidak dapat dipisahkan darinya.

Manusia tidak dapat hidup tanpa adanya masyarakat, karena sekian banyak   pengetahuan   diperoleh   manusia   melalui   masyarakatnya,   seperti bahasa, adat istiadat, sopan santun, dan lain-lain. Demikian juga dalam bidang material,   betapapun   seseorang   memiliki   kepandaian, namun hasil-hasil material  yang  diperolehnya  adalah  berkat  bantuan  pihak-pihak  lain,  baik secara langsung dan disadari, maupun tidak langsung.

Seorang   petani   dapat   berhasil   karena   adanya   irigasi,   alat-alat, makanan, pakaian, stabilitas keamanan yang kesemuanya tidak mungkin dapat diwujudkan secara mandiri. Demikian pula bagi seorang pedagang, siapakah yang menjual atau membeli dari dan kepadanya?. Dari segi lain, harus disadari bahwa produksi apapun bentuknya, pada hakikatnya merupakan pemanfaatan materi-materi yang diciptakan   dan  dimiliki   Tuhan.   Dalam   berproduksi, manusia hanya mengadakan perubahan, penyesuaian, perakitan satu bahan dengan bahan lain yang telah diciptakan Allah SWT.

Manusia mengelola, tetapi Tuhan yang menciptakan dan memilikinya. Dengan  demikian   wajar  jika  Allah  memerintahkan   untuk  mengeluarkan sebagian kecil dari harta yang diamanatkannya kepada seseorang itu demi kepentingan orang lain.

3.  Persaudaraan

Manusia  berasal dari satu keturunan,  antara seorang  dengan  lainnya terdapat pertalian darah, dekat atau jauh. Pertalian darah tersebut akan menjadi lebih kokoh dengan adanya persamaan-persamaan  lain, yaitu agama, kebangsaan, lokasi, domisili, dan sebagainya.

Disadari oleh manusia semua bahwa hubungan persaudaraan menuntut bukan  sekedar  hubungan  take  and  give  (memberi  dan  menerima), atau pertukaran manfaat. Tetapi melebihi itu semua, yakni memberi tanpa menanti imbalan, atau membantu tanpa dimintai bantuan.

Kebersamaan dan persaudaraan inilah yang mengantarkan kepada kesadaran  menyisihkan  sebagian  harta kekayaan  khususnya  kepada  mereka yang  membutuhkan,  baik dalam  bentuk  dalam  kewajiban  membayar  zakat, maupun shadaqah dan infaq.

Kewajiban  membayar  zakat  profesi  adalah sesuai dengan tuntunan Islam  yang  menanamkan   nilai-nilai  kebaikan,  kemauan  berkorban,  belas kasihan, dan suka memberi dalam jiwa seorang Muslim. Sesuai pula dengan prinsip  kemanusiaan   yang  memang  harus  ada  dalam  masyarakat;  ikut merasakan beban orang lain dan menanamkannya dalam keyakinan beragama juga, sebagai pokok sifat kepribadiaannya.

Tidak ada komentar