Agama yang paling besar perhatiannya kepada keluarga adalah Islam, tidak ada tatanan dan aturan yang memberi perhatian kepada keluarga seperti -alih-alih mengungguli- Islam. Islam memiliki tatanan sempurna dan unggul di segala bidang kehidupan tanpa kecuali, keluarga, mulai dari fase pra keluarga; bagaimana seorang muslim mendapatkan pasangannya secara baik dan benar, apa saja yang boleh dan tidak boleh dia lakukan, lalu bagaimana berakad dengan pasangan, akad mana yang shahih dan akad mana yang rusak, setelah akad harus bagaimana, apa hak dan kewajiban dan seterusnya, dalam semua itu Islam memiliki tatanan sempurna dan terbaik yang tidak akan ditemukan pada selain Islam.
Islam berhasrat membentuk dan membangun masyarakat yang baik, bersih dan mulia, di mana anggota-anggotanya hidup dalam strata kemanusiaan yang luhur sesuai dengan derajat kemanusiaan yang dimuliakan oleh penciptanya, dan sudah dimaklumi bahwa sebuah masyarakat adalah susunan atau kumpulan dari rumah-rumah yang lazim disebut dengan keluarga, ibarat sebuah tembok yang menjulang tinggi lagi kokoh, di mana ia merupakan susunan batu bata yang terekat oleh pasir dan semen, batu bata tersebut adalah keluarga dan tembok kokoh itu adalah sebuah masyarakat. Bata yang baik lagi kuat menyumbang dan memberi andil besar dalam membangun sebuah tembok yang kokoh, sebaliknya dengan bata yang rapuh, sebuah tembok tidak akan bertahan lama.
Tidak keliru kalau dikatakan bahwa kebaikan sebuah masyarakat kembali kepada kebaikan keluarga-keluarga, sebaliknya adalah sebaliknya, dari sini kita memahami besarnya perhatian Islam kepada keluarga, khususnya menjaganya dari keretakan dan perpecahan, membendung sebab-sebabnya, menutup sarana-sarananya dan memblokade jalan-jalannya, hal ini supaya keluarga tetap tegak karena tegaknya keluarga membawa kebaikan kepada banyak pihak.
Penjagaan Islam terhadap keluarga terlihat dari ungkapan al-Qur`an yang menyebut seorang wanita yang bersuami dengan al-muhshanah, kata ini adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti yang terjaga, jadi wanita yang bersuami adalah wanita yang terjaga, terjaga dari perkara-perkara di mana dia patut terjaga darinya, karena dia terjaga maka Islam mengharamkan menikahi wanita yang bersuami,
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ [النساء : 24]
“Dan diharamkan pula kamu mengawini wanita yang bersuami.” (An-Nisa`: 24).
Tidak sampai batas ini, bahkan Islam mengharamkan menikahi wanita yang telah ditalak suami tetapi masih dalam masa iddah, hal ini demi menjaga dan melindungi sebuah bangunan keluarga, karena dia terjaga maka dia harus menjaga kerterjagaan tersebut dengan tidak merobeknya melalui perbuatan yang bisa merobeknya, hal seperti ini ditegaskan pula oleh ayat yang lain, di mana ayat ini mengungkapkannya dengan hafizhah yang berarti yang menjaga atau memelihara,
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ [النساء : 34]
“Sebab itu wanita yang shalih adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri.” (An-Nisa`: 34).
Jadi wanita yang berkeluarga adalah wanita yang terjaga, terpelihara dan terlindungi, dia sekaligus menjaga, memelihara dan melindungi dirinya, termasuk keluarganya agar tidak hancur berantakan.
Karena wanita yang berkeluarga adalah wanita yang terjaga dan menjaga, maka siapa pun tidak boleh merusaknya dengan tujuan apapun, dengan maksud hendak menikahinya setelah dia rusak dari suaminya, atau hanya sekedar merusaknya dan setelah itu habis manis sepah dibuang atau hanya sekedar untuk iseng seperti isengnya seorang bocah dengan seekor burung emprit, “Bukan termasuk golongan kami orang yang merusak seorang wanita atas suaminya dan seorang hamba atas majikannya.” Begitu baginda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah.
Benar, orang yang merusak wanita atas suaminya dengan mengomporinya supaya dia berani terhadap suaminya, memanas-manasinya supaya dia melawan suaminya, memprovokasinya supaya dia durhaka kepada suaminya, mendorongnya supaya dia berkacak pinggang di depan suaminya bukan termasuk golongan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, karena dia salah seorang bala tentara iblis yang dia sebar demi tujuan tersebut, Imam at-Tirmidzi meriwayatkan –dan dia berkata, “Hadits hasan shahih”- dari Jabir bin Abdullah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air, lalu dia menyebar bala tentaranya, yang paling dekat kepadanya adalah yang paling besar fitnahnya dari mereka, salah seorang dari mereka datang, dia berkata, ‘Aku melakukan ini dan ini.’ Iblis berkata, “Kamu tidak melakukan apa-apa.’ Lalu salah seorang dari mereka datang, dia berkata, ‘Aku tidak meninggalkannya sebelum aku memisahkan antara dia dengan istrinya.’ Maka iblis mendekatkannya dan dia berkata, ‘Kamulah orangnya.” Al-A’masy, salah seorang rawi hadits berkata, menurutku dia berkata, “Maka iblis merangkulnya dan mendekatkannya.”
Karena wanita yang berkeluarga adalah wanita yang terjaga dan menjaga, maka dia tidak layak menjadi penghancur rumah tangganya sendiri dengan tangannya melalui talak yang dia minta kepada suami tanpa alasan yang dibenarkan, “Wanita mana pun yang meminta talak kepada suami tanpa sebab maka haram atasnya bau surga.”(HR. Al-Hakim 3/196 dan dia menshahihkannya, disetujui oleh adz-Dzahabi). Wanita peminta talak tanpa alasan adalah wanita yang tidak menjaga, dia kufur nikmat maka layak kalau dia dibalas dengan diharamkannya aroma surga baginya.
Karena wanita yang berkeluarga adalah wanita yang terjaga dan menjaga maka dia tidak boleh merusak rumah tangga saudarinya dengan meminta suaminya untuk mentalaknya agar dia bisa memonopoli suami, di samping hal ini merusak sebuah keluarga, ia juga menumpahkan bejana saudarinya, maksudnya menghalangi rizkinya dan seorang wanita muslimah tidak layak melakukan hal ini. “Seorang wanita tidak meminta (suami) mentalak saudarinya untuk menumpahkan apa yang ada di piring atau bejananya, hendaknya dia menikah karena rizkinya atas Allah.” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah).
Karena wanita yang berkeluarga adalah wanita yang terjaga dan menjaga, maka dia tidak patut membicarakan seorang perempuan di depan atau kepada suaminya dengan pembicaraan yang membuat suami seolah-olah melihatnya, hal ini bisa memicu perasaan suami kepada perempuan tersebut, menyibukan pikirannya kepadanya, seandainya perempuan itu adalah kekasih atau istriku, begitu yang terbersit di benaknya, selanjutnya setan meniup sihirnya dan memasang jaring perangkapnya, maka suami berusaha mencari cara dan tangga untuk bisa sampai kepada perempuan itu, ini berarti istri telah menghancurkan rumahnya sendiri dengan tangannya.
Dari sini maka syariat mengharamkan membicarakan perempuan tanpa sebab yang dibenarkan, Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Janganlah seorang wanita menyifati seorang wanita kepada suaminya sehingga seolah-oleh suaminya melihat kepadanya.” Wallahu a'lam.
Post a Comment