Kekuatan Dalam Ketenangan
Kekuatan Dalam Ketenangan
Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberipetunjuk orang-orang yang taubat kepada-Nya. Yaitu orang-orang yangberiman dan hati mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah. Sadarilah hanya dengan mengingat Allah hati akan tenang. (Ar-Ra’d: 27-28).Ayat di atas dipetik dari surat Ar-Ra’d yang berarti guruh. Disebutsurat Ar-Ra’d karena ada bagian yang menyinggung tentang guruh, yaknipada ayat ke-13 yang berbunyi, Dan guruh itu bertasbih sambil memujiAllah. Ayat ini memberi pelajaran kepada manusia bahwa guruh punbertasbih, apalagi semestinya manusia.
Sedangkan ayat ke-27 dan 28 yang tertera di atas menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) akan memberi petunjuk dan bimbingan kepadaorang-orang yang bertaubat kepada-Nya. Artinya, orang-orang yang sadarlalu kembali ke jalan Allah; orang-orang yang telah menyesaliperbuatan-perbuatan tercela yang pernah dilakukannya.
Dijelaskan dalam ayat ke-28 bahwa, “Yaitu orang-orang yang beriman.”Artinya, dengan bertaubat itu berarti kembali memasuki kancahkeberimanan atau kembali melakukan kewajiban-kewajiban sebagai orangberiman. Hal tersebut dibuktikan dengan banyak mengingat Allah sehinggatidak mudah lagi terpeleset dari jalan petunjuk. Dalam keadaan demikianitu, jiwanya menjadi tenang dan tenteram, karena memang ada jaminandalam lanjutan ayat itu bahwa, “Dengan banyak mengingat Allah hati akantenteram.”
Orang yang telah melalui proses ini yaitu menyongsong gerbang taubatdan memasuki istana iman--lalu memanfaatkan kondisi tersebut untukselalu mengingat Allah, maka itulah orang yang telah mendapatkebahagiaan yang tiada bandingannya. Apalagi dalam kondisi sepertisekarang ini, ketenangan jiwa sungguh sangat mahal harganya. Bukankah disekitar kita sekarang penuh dengan hal-hal yang memproduksi kegelisahan,kecemasan, keputusasaan, keraguan, duka cita, dan lain sebagainya?
Kalau kita tidak memiliki ketenangan jiwa, tidak memiliki pegangan kuat, dantidak mempunyai pandangan, niscaya mudah terombang-ambing.
Ketenangan jiwa membuat orang dapat hidup tenang. Inilah yang sangatdiperlukan pada situasi seperti sekarang, di tengah-tengah gelombangkehidupan yang serba tidak menentu. Apalagi bagi seorang pemimpin yangbercita-cita mewujudkan kecerah-ceriaan masa depan bagi negeri yangsedang terpuruk ini. Hanya orang yang memiliki ketenangan jiwa yangdibalut oleh iman dan dzikrullah yang dapat berpikir tenang;berpandangan jitu, dan mampu membuat program yang mengenai sasaran untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan.
Sekarang ini kita bukannya miskin manusia intelek, tetapi ibu-ibu dinegeri ini tidak subur rahimnya untuk melahirkan insan-insan yangmemiliki jiwa dan pikiran tenang. Yaitu insan yang tidak terkontaminasidengan virus kegelisahan, kecemasan, keputusasaan, dan keraguan.
Hendaknya secuil ketenangan jiwa yang telah kita peroleh bisa senantiasa dipelihara, kita pupuk dengan shalat, shiyam, baik yang fardhu atau yang sunnah, infaq, dzikir, dan tadabbur (telaah) Al-Qur'an. Insya Allahsemua itu akan menghidupkan hati, menenangkan jiwa, membuka pikiran, dan meluruskan langkah. Lebih jauh dari itu, akan mengantar kita agar dapatterhindar dari kesulitan di akhirat, yang sekaligus akan mempermudahkita dalam urusan dunia ini.
Sekarang ini kita tidak mengharapkan lahirnya pakar manajemen yang telah menghabiskan separoh umurnya belajar dari satu negara ke negara yanglain, namun kering dari nilai-nilai wahyu. Tapi yang diharapkan adalahyang tercerahkan dengan wahyu dan kaya dengan bahan perbandingan.
Kita bisa belajar dari sejarah. Kaisar Romawi, Heraclius, beberapa saatsetelah pasukannya dipukul mundur oleh tentara Muslim, dia bertanyakepada pembesar-pembesarnya, “Kabarkanlah kepadaku tentang kaum Muslimin yang memerangi kalian itu. Bukankah mereka juga manusia seperti kalian?”
Pembesarnya menjawab, “Benar.”
Kaisar bertanya lagi, “Lalu mana yang lebih banyak jumlahnya, kalianatau mereka?”
Para pembesar menjawab, “Jumlah kami lebih banyak.”
Kaisar melanjutkan pertanyaannya, “Kenapa kalian bisa kalah?”
Seorang tua di kalangan pembesar menjawab, “Karena tentara Islam shalatdi malam hari dan berpuasa di siang hari, mereka menepati janji,melaksanakan amar ma'ruf dan nahi munkar, saling membagi, tidak salingmementingkan diri. Yang menyebabkan kita kalah karena kita gemar minumkhamr, berzina, suka melakukan yang haram, terbiasa melanggar janji,mudah marah, berbuat zhalim, memerintah dengan kekerasan, mencegah darihal yang diridhai Allah, dan kita banyak berbuat kerusakan di muka bumiini.”
Kaisar Heraclius berkata, “Lewat keteranganmu ini membuat aku yakinbahwa kita memang pantas dikalahkan oleh mereka, dan mereka akan merebut dan menguasai tempat berpijak kedua telapak kakiku ini.”
Kita dapat melihat bahwa kemenangan yang dicapai ummat Islam bukan hanya dengan mengandalkan persenjataan yang lengkap dan jumlah personil yangbanyak, tapi terletak pada ketaatan dan kepatuhan berpegang teguh padaajaran yang dianutnya. Dalam kondisi genting pun tetap menjaga moral dan mematuhi norma-norma yang telah digariskan untuknya.Mereka memilikiketenangan jiwa dan pikiran jernih, baik panglima perangnya ataupunperajurit-prajuritnya. Mereka mampu menahan diri melihat lawannyaberpesta khamar dan melampiaskan nafsu seksnya. Kaum Muslimin sadarbahwa dalam ketenangan dan pengendalian dirilah terletak potensi maharaksasa untuk mencapai kemenangan. Wallahu a’lam.
Post a Comment