Larangan Mendebat Sesama Muslim
Larangan Mendebat Sesama Muslim
وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُمَارِ أَخَاكَ وَلَا تُمَازِحْهُ وَلَا تَعِدْهُ مَوْعِدًا فَتُخْلِفَهُ. أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ فِيهِ ضَعْفٌ
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah ﷺ bersabda, “Janganlah engkau mendebat saudaramu, janganlah engkau mencandainya, dan janganlah engkau berjanji kepadanya dengan satu janji yang tidak akan engkau penuhi.” ([1])
Status Hadis
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dengan sanad yang lemah karena diriwayatkan dari jalan Laits bin Abu Sulaim di mana dia adalah perawi yang lemah, sebagaimana didaifkan oleh para Imam ahli hadis, seperti Imam Ahmad dan selainnya. Tetapi Al-Hafizh Ibnu Hajar berharap dalam kitabnya Bulughul Maram, tidak mempersyaratkan hadis-hadis yang dibawakan di dalam kitabnya tersebut adalah hadis-hadis yang sahih saja. Hanya saja jika ada hadis yang daif, beliau akan menjelaskan bahwasanya hadis tersebut adalah hadis yang lemah, sebagaimana hadis ini.
Namun para ulama menjelaskan bahwa hadis ini meskipun secara sanad dinilai hadis yang lemah akan tetapi maknanya benar dan juga didukung oleh hadis-hadis yang lain. Banyak hadis-hadis yang menjadi syawahid (hadis lain yang maknanya mirip sehingga menjadi penguat) bagi hadis ini. Contohnya seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim secara marfu’ (sanadnya sampai kepada Rasulullah), Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الأَلَدُّ الخَصِمُ
“Orang yang paling dibenci oleh Allah ﷻ adalah orang yang suka berdebat (paling lihai dalam berdebat).” ([2])
Hadis ini menguatkan makna dari hadis Ibnu Abbas tadi. Demikian juga larangan-larangan menyelisihi janji yang merupakan sifat orang-orang munafik dan hadis-hadis lainnya yang berkaitan dengan pembahasan ini. Oleh karena itu, hadis ini meskipun secara sanad adalah daif namun maknanya benar.
Makna Hadis
Pada hadis ini ada tiga adab yang harus diperhatikan, yaitu:
- Larangan mendebat saudara muslim
Berdebat yang dilarang di sini adalah berdebat yang tujuannya bukan untuk mencapai kebenaran, tetapi berdebat untuk mencari kemenangan semata atau berdebat untuk mencari kebenaran tanpa menjaga adab-adabnya. Demikian pula berdebat untuk menampakkan kesalahan lawan debat kita atau untuk menunjukkan kehebatan kita, sehingga terlihat lebih spesial karena bisa mengalahkan lawan kita.
Bentuk-bentuk perdebatan semacam ini dilarang oleh Rasulullah ﷺ karena hanya akan menimbulkan kejengkelan dan permusuhan. Adapun perdebatan dalam rangka mencari kebenaran, berdebat dengan menempuh adab perdebatan yang baik, menghormati pendapat lawan debat, saling mendengarkan argumen, maka hal ini tidak jadi masalah. Karena bahkan kepada Ahli Kitab pun kita boleh berdebat dengan syarat harus dibangun di atas cara-cara yang baik. Allah berfirman,
وَلا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Janganlah kalian mendebat ahlul kitab kecuali dengan cara yang baik.” (QS Al-‘Ankabut: 46)
Jika berdebat dengan Ahli Kitab yang notabene mereka bukanlah saudara kita, kita diperintah mendebatnya dengan cara yang terbaik, apalagi berdebat dengan saudara kita sesama muslim tentu selaiknya lebih memperhatikan dan menjaga adab-adab debat.
Perhatikanlah orang yang suka berdebat (dalam rangka untuk memenangkan dirinya), kebanyakannya tidak disukai oleh orang-orang karena isi pembicaraannya hanya debat dan debat. Apabila kita bertemu dengan orang seperti ini hendaknya kita tinggalkan orang tersebut. Kemudian apabila kita berdialog dengan saudara kita dengan niat untuk mencapai kebenaran tetapi saudara kita tersebut hanya ingin memenangkan dirinya maka hendaknya kita meninggalkan debat tersebut. Hendaknya kita mengingat hadis Rasulullah ﷺ,
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا
“Aku menjamin istana di tepian surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun dia di atas kebenaran.” ([3])
Bentuk lainnya adalah perdebatan yang mencari kebenaran tapi tanpa adab. Misalnya dia memakai kata-kata kotor, menggunakan kata-kata cacian, mengangkat tinggi suaranya, dan menunjukkan kemarahan. Hendaknya kita meninggalkan pula perdebatan tersebut, karena apabila keadaannya telah diliputi amarah, maka setan mulai ikut campur. Tinggalkanlah, meskipun yang akan memenangkan perdebatan tersebut adalah kita tetapi setelah perdebatan selesai yang tersisa hanyalah kebencian, dendam, benih-benih permusuhan di antara kaum muslimin.
Oleh karena itu, Allah melarang debat tatkala ibadah haji tengah dilaksanakan. Allah ﷻ berfirman,
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ
“(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barang siapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok, berbuat maksiat, dan berdebat dalam (melakukan ibadah) haji.” (QS Al-Baqarah: 197)
Allah menginginkan haji sebagai momentum persatuan kaum muslimin. Jangan sampai persatuan tersebut terganggu oleh debat kusir, apalagi orang-orang yang sedang bersafar rawan terjadi perbedaan di antara mereka. Boleh jadi jemaah haji tersebut tidak menaati pemimpinnya atau dia berselisih dengan teman satu hajinya. Maka Allah menyuruh agar tidak usah berdebat atau berusaha mengalah sehingga haji bisa dilaksanakan dengan tenteram dan khusyuk.
Sesungguhnya perdebatan itu sering kali menyisakan permusuhan, meskipun dalam rangka mencari kebenaran, namun jika tidak disertai adab maka perdebatan tersebut sebaiknya ditinggalkan, kemudian kita mengharap agar dibangunkan istana di surga oleh Allah ﷻ. Namun bila saudara yang mengajak kita berdebat menjaga adab maka tidak mengapa bagi kita untuk melayaninya asalkan dengan cara yang baik.
Ketika seseorang terlibat dalam sebuah forum perdebatan, maka dia harus siap untuk dikritik sebagaimana dia berhak mengkritik. Jika dia ingin mengkritik maka harus dilakukan dengan penuh adab karena mencari kebenaran itu perlu, tetapi menjaga kesatuan hati itu juga tidak boleh dikesampingkan. Jangan sampai karena ingin mencari kebenaran, tali persatuan dirobek-robek. Oleh karena itu, perdebatan yang dibangun di atas niat ingin mencari kemenangan atau kebenaran tetapi tanpa adab, hendaknya ditinggalkan karena tidak ada manfaatnya.
- Larangan bercanda
Larangan untuk bercanda tidak berlaku secara mutlak karena canda itu ada dua macam, yaitu:
– Canda yang terpuji
Canda yang terpuji yaitu canda yang dilakukan tidak terlalu sering dan hanya bertujuan agar kita lebih dekat dengan saudara kita, atau untuk memasukkan kesenangan dalam dirinya, dengan syarat merupakan perkataan yang benar. Canda seperti ini tidak mengapa. Karena Rasulullah ﷺ juga mencandai para sahabatnya, sebagaimana para sahabat mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ تُدَاعِبُنَا، قَالَ: إِنِّي لَا أَقُولُ إِلَّا حَقًّا
“Ya Rasulullah, sungguh Engkau mencandai kami.” Rasulullah ﷺ berkata, “Benar. Namun aku tidak bercanda kecuali dengan perkataan yang benar.” ([4])
– Canda yang tercela/dilarang
Adapun candaan yang dilarang, yaitu canda yang dilakukan terlalu sering, atau canda yang yang bisa menyakiti saudara kita, atau canda yang isinya adalah kebohongan. Canda seperti ini akan menyebabkan hilangnya haibah (karisma), sehingga orang tidak mau mendengar lagi pendapatnya. Pendapatnya tidak akan diperhatikan karena dianggap sebagai candaan semata.
Sebagaimana disebutkan di awal bahwasanya seseorang mendebat saudaranya itu dilarang karena dikhawatirkan akan menimbulkan permusuhan, maka begitupula dengan canda. Canda juga terkadang berlebihan. Mungkin menurut kita tidak mengapa, tapi menurut saudara kita adalah sebuah masalah, sehingga dia tersinggung dengan canda tersebut.
Adapun bercanda dengan tetap menghormati saudara kita, kemudian hanya dilakukan sesekali dengan tujuan untuk menyenangkan hatinya, maka ini adalah bercanda yang terpuji dan hal ini bisa mendekatkan seseorang dengan saudaranya.
Hendaknya waktu tidak dihabiskan dalam bercanda. Karena waktu kita terbatas, umur terbatas, kesehatan terbatas, harta terbatas. Beraktivitas harus serius, karena Allah menyukai pekerjaan yang dikerjakan secara profesional dan serius. Tetapi keseriusan yang terus-menerus juga tidak bagus, harus disertai dengan sedikit candaan, agar semangat kembali lagi, serta untuk menghilangkan kepenatan. Itulah sebabnya Rasulullah pun terkadang bercanda.
- Larangan menyelisihi janji
Larangan menyelisihi janji yang dimaksudkan di sini adalah jika berjanji tetapi sejak awal dia meniatkan untuk menyelisihi janji tersebut. Ini adalah perbuatan tercela dan merupakan sifat orang munafik.
Adapun bila seorang berjanji dan dia sudah meniatkan untuk menepati janji tersebut, namun qadarullah (dikarenakan takdir Allah yang tidak disengaja) dia tidak mampu menepatinya di kemudian hari atau dia mampu, tapi berubah pendapat (misalnya karena ada maslahat yang lebih besar sehingga dia tinggalkan janji tersebut) maka ini bukanlah ciri orang munafik. Karena sejak awal dia ingin menepati janjinya, tetapi ketika dia melihat kondisi maka dia terpaksa tidak menepati janjinya dengan alasan yang syar’i.
Kecuali, sebagaimana kata para ulama, apabila dia menyelisihi janji tersebut kemudian memberikan kemudaratan kepada saudaranya, maka dia harus berusaha menepati janji tersebut atau dia memilih menanggung kerugian orang tersebut([5]). Sebagai contoh, seseorang berjanji kepada saudaranya untuk mengumrahkannya pada bulan depan. Saudaranya pun bersiap-siap dengan membuat paspor dan keperluan-keperluan lainnya. Namun qadarullah, dia tidak bisa memenuhi janjinya sehingga saudaranya pun rugi karena telah mempersiapkan keperluan umrah yang banyak, maka orang yang telah berjanji ini wajib untuk menepati janjinya atau mengganti kerugian yang sudah dialami oleh saudaranya tersebut.
Footnote:
___________
([1]) HR. Tirmizi no. 1995 dengan sanad yang lemah
([2]) HR. Bukhari no. 2457 dan Muslim no. 2668
Post a Comment