Larangan Untuk Mencela Makanan
Larangan Untuk Mencela Makanan
Salah satu adab seorang muslim ketika makan adalah tidak mencela makanan, berikut penjelasannya
Tidak Boleh Mencela Makanan
Salah satu bentuk adab yang perlu diperhatikan berkaitan dengan makanan adalah adanya larangan untuk mencela (menghina) makanan. Sebagaimana diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ إِنْ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan sekali pun. Apabila beliau berselera (suka), beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, beliau pun meninggalkannya (tidak memakannya).” (HR. Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064)
Contoh Perbuatan Mencela Makanan
Contoh mencela makanan misalnya perkataan seseorang, “terlalu asin”; “makanan ini kurang garam”; “terlalu asam”; “terlalu encer”; “belum matang”; dan kalimat-kalimat semacam itu. Sebagaimana hal ini dicontohkan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini. (Syarh Shahih Muslim, 7: 135)
Kenapa Dilarang Mencela Makanan?
Sebab larangan tersebut adalah karena makanan (pada hakikatnya) merupakan ciptaan Allah Ta’ala, sehingga tidak boleh dicela. Ada sisi (penjelasan) yang lain terkait larangan ini, yaitu celaan terhadap makanan akan menyebabkan adanya rasa sedih dan menyesal di dalam hati orang yang telah membuat dan menyiapkan makanan tersebut. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup pintu ini sehingga tidak ada jalan masuknya rasa sedih ke dalam hati seorang muslim. Dan syariat selalu memperhatikan hal ini. (Kitaabul Adab, hal. 164)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
والذي ينبغي للإنسان إذا قدم له الطعام أن يعرف قدر نعمة الله سبحانه وتعالى بتيسيره وأن يشكره على ذلك وألا يعيبه إن كان يشتهيه وطابت به نفسه فليأكله وإلا فلا يأكله ولا يتكلم فيه بقدح أو بعيب
“Yang hendaknya dilakukan oleh seseorang jika dihidangkan makanan adalah menyadari besarnya nikmat Allah Ta’ala kepadanya dengan memudahkannya (mendapatkan makanan) dan juga bersyukur atasnya. Dan seseorang hendaknya tidak mencela makanan tersebut. Jika dirinya berselera dan senang (suka) terhadap makanan tersebut, hendaklah dimakan. Jika tidak, maka tidak perlu dimakan, dan tidak mengomentari makanan tersebut dengan komentar yang berisi celaan dan hinaan.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1; 817)
Penjelasan Terhadap Hadits Memakan Daging Dhabb
Apakah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas bertentangan dengan hadits yang berisi tentang keengganan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memakan dhabb, sebagaimana yang terdapat dalam hadits di Shahih Bukhari (no. 5537) dan Shahih Muslim (no. 1946). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan ketika beliau enggan memakan dhabb,
فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ
“Aku merasa jijik padanya.”
Dan dalam riwayat lain disebutkan,
هذا لحم لم آكله قط
“Aku tidak memakan daging ini sama sekali.”
Apakah perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dinilai mencela makanan?
Maka penjelasannya, perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut bukanlah termasuk mencela makanan. Akan tetapi, perkataan beliau tersebut adalah sebagai kabar penjelasan mengapa beliau tidak mau (enggan) untuk memakan daging dhabb. Yaitu, bahwa beliau tidak berselera memakannya dan memang beliau tidak terbiasa memakannya. Hal ini untuk menghindari salah paham di kalangan para sahabat karena bisa jadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memakannya karena daging tersebut diharamkan oleh syari’at.
An-Nawawi rahimahullah berkata,
وَأَمَّا حَدِيث تَرْك أَكْل الضَّبّ فَلَيْسَ هُوَ مِنْ عَيْب الطَّعَام إِنَّمَا هُوَ إِخْبَار بِأَنَّ هَذَا الطَّعَام الْخَاصّ لَا أَشْتَهِيه
“Adapun hadits beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memakan dhabb, bukanlah termasuk celaan terhadap makanan. Akan tetapi, perkataan itu hanyalah kabar (penjelasan) bahwa makanan tersebut tidak beliau sukai.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 135)
[Selesai]
***
Post a Comment