Yang Seharusnya Jadi Idola Keluarga Muslim
Yang Seharusnya Jadi Idola Keluarga Muslim
Salah satu watak bawaan manusia sejak diciptakan Allah Ta’ala adalah kecenderungan untuk selalu meniru dan mengikuti orang lain yang dikaguminya, baik dalam kebaikan maupun keburukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“الأرواح جنود مجندة، فما تعارف منها ائتلف وما تناكر اختلف”
“Ruh-ruh manusia adalah kelompok yang selalu bersama, maka yang saling bersesuaian di antara mereka akan saling dekat, dan yang tidak bersesuaian akan saling berselisih”[1].
Oleh karena itulah, metode pendidikan dengan menampilkan contoh figur untuk diteladani adalah termasuk salah satu metode pendidikan yang sangat efektif dan bermanfaat.
Dalam banyak ayat al-Qur’an, Allah Ta’ala menceritakan kisah-kisah keteladanan para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadi panutan bagi orang-orang yang beriman dalam meneguhkan keimanan mereka. Allah Ta’ala berfirman,
{وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ}
“Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS Huud:120).
Ketika menjelaskan makna ayat ini, syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Yaitu: supaya hatimu tenang dan teguh (dalam keimanan), dan (supaya kamu) bersabar seperti sabarnya para Rasul ‘alaihimush sholaatu wa salaam, karena jiwa manusia (cenderung) senang meniru dan mengikuti (orang lain), dan (ini menjadikannya lebih) bersemangat dalam beramal shaleh, serta berlomba dalam mengerjakan kebaikan…”[2].
Fenomena Pemilihan Idola dalam Masyarakat
Jika kita memperhatikan kondisi mayoritas kaum muslimin, kita akan mendapati suatu kenyataan yang sangat memprihatikan, karena kebanyakan mereka justru mengagumi dan mengidolai orang-orang yang tingkah laku dan gaya hidup mereka sangat bertentangan dengan ajaran Islam, seperti para penyanyi, bintang film, pelawak dan bintang olah raga. Bahkan mereka lebih mengenal nama-nama idola mereka tersebut dari pada nama-nama para Nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam dan orang-orang yang bertakwa kepada Allah Ta’ala.
Kenyataan ini tentu saja sangat buruk dan berakibat fatal, karena setiap pengidola, tentu akan membeo segala tingkah laku dan gaya hidup idolanya, tanpa menimbang lagi apakah hal itu bertentangan dengan nilai-nilai agama atau tidak, karena toh memang mereka mengidolakannya bukan karena agama, tapi karena pertimbangan dunia dan hawa nafsu semata-mata.
Lebih fatal lagi, jika pengidolaan ini berakibat mereka mengikuti sang idola meskipun dalam hal-hal yang merusak keimanan dan akidah Islam, dan lambat laun sampai pada tahapan mengikuti keyakinan kafir dan akidah sesat yang dianut sang idola tersebut. Karena merupakan watak bawaan dalam jiwa manusia, bahwa kesamaan dalam hal-hal yang lahir antara seorang manusia dengan manusia lainnya, lambat laun akan mewariskan kesamaan dalam batin antara keduanya, disadari atau tidak. Ini berarti jika seorang muslim suka meniru tingkah laku dan gaya hidup orang kafir, maka lambat laun hatinya akan menerima dan mengikuti keyakinan rusak orang kafir tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan dengan keras bahaya perbuatan ini dalam sabda beliau: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka”[3].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata, “Sesungguhnya kesamaan dalam (penampilan) lahir (antara dua orang manusia) akan mewariskan kasih sayang, cinta dan loyalitas (antara keduanya) dalam batin/hati, sebagaimana kecintaan dalam hati akan mewariskan kesamaan dalam (penampilan) lahir.
Hal ini dapat dirasakan dan dibuktikan dengan percobaan. Sampai-sampai (misalnya ada) dua orang yang berasal dari satu negeri, kemudian mereka bertemu di negeri asing, maka (akan terjalin) di antara mereka berdua kasih sayang dan cinta yang sangat mendalam, meskipun di negeri asal mereka keduanya tidak saling mengenal atau (bahkan saling memusuhi”[4].
Memilih Teladan dan Idola yang Baik bagi Keluarga
Sebagai seorang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tentu kita wajib memilih idola yang baik bagi keluarga kita, yang akan memberi manfaat bagi pembinaan rohani mereka.
Dalam hal ini, idola terbaik bagi seorang muslim adalah Nabi mereka, nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diutus oleh Allah Ta’ala untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”[5].
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling kuat dan sempurna dalam menjalankan petunjuk Allah Ta’ala, mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya[6]. Oleh karena itulah Allah Ta’ala sendiri yang memuji keluhuran budi pekerti beliau dalam firman-Nya,
{وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ}
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS al-Qalam:4).
Dan ketika Ummul mu’minin ‘Aisyah t ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an“[7].
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok teladan dan idola yang sempurna bagi orang-orang yang beriman kepada Allah yang menginginkan kebaikan dan keutamaan dalam hidup mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).
Dalam ayat yang mulia ini, Allah Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “teladan yang baik“, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Y[8].
Kemudian setelah itu, idola yang utama bagi seorang mukmin adalah orang-orang yang teguh dalam menegakkan tauhid dan keimanan mereka, sehingga Allah Ta’ala sendiri yang memuji perbuatan mereka sebagai “suri teladan yang baik” dalam firman-Nya,
{قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ}
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada diri (nabi) Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya (yang mengikuti petunjuknya); ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah semata” (QS al-Mumtahanah:4).
Ketika mengomentari ayat ini, syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Sesungguhnya keimanan dan pengharapan balasan pahala (dalam diri seorang muslim) akan memudahkan dan meringankan semua yang sulit baginya, serta mendorongnya untuk senantiasa meneladani hamba-hamba Allah yang shaleh, (utamanya) para Nabi dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena dia memandang dirinya sangat membutuhkan semua itu” [9].
Demikian pula para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan shaleh yang utama bagi orang yang beriman, karena Allah memuji mereka dalam banyak ayat al-Qur’an, di antaranya firman-Nya,
{مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا}
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia (para sahabat y) adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi penyayang di antara sesama mereka, kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS al-Fath:29).
Dalam hal ini, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa di antara kamu yang ingin mengambil teladan, maka hendaknya dia berteladan dengan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di umat ini, paling dalam pemahaman (agamanya), paling jauh dari sikap berlebih-lebihan, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya, mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi sahabat nabi-Nya, maka kenalilah keutaman mereka dan ikutilah jejak-jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas petunjuk yang lurus”[10].
Menjadikan Diri sebagai Teladan dalam keluarga
Termasuk teladan yang utama bagi kelurga kita adalah diri kita sendiri, karena tentu saja kita adalah orang yang paling dekat dengan mereka dan paling mudah mempengaruhi akhlak dan tingkah laku mereka. Maka menampilkan teladan yang baik dalam sikap dan tingkah laku di depan anggota keluarga adalah termasuk metode pendidikan yang paling baik dan utama. Bahkan para ulama menjelaskan bahwa pengaruh yang ditimbulkan dari perbuatan dan tingkah laku yang langsung terlihat terkadang lebih besar dari pada pengaruh ucapan[11].
Hal ini disebabkan jiwa manusia itu lebih mudah mengambil teladan dari contoh yang terlihat di hadapannya, dan menjadikannya lebih semangat dalam beramal serta bersegera dalam kebaikan[12].
Dalam hal ini, imam Ibnul Jauzi membawakan sebuah ucapan seorang ulama salaf yang terkenal, Ibarahim al-Harbi[13]. Dari Muqatil bin Muhammad al-‘Ataki, beliau berkata, Aku pernah hadir bersama ayah dan saudaraku menemui Abu Ishak Ibrahim al-Harbi, maka beliau bertanya kepada ayahku: “Mereka ini anak-anakmu?”. Ayahku menjawab: “Iya”. (Maka) beliau berkata (kepada ayahku): “Hati-hatilah! Jangan sampai mereka melihatmu melanggar larangan Allah, sehingga (wibawamu) jatuh di mata mereka“[14].
Syaikh Bakr Abu Zaid, ketika menjelaskan pengaruh tingkah laku buruk seorang ibu dalam membentuk kepribadian buruk anaknya, beliau berkata, “Jika seorang ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan mahramnya, dan lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan (yang berupa) praktek (nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada) penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari pendidikan baik yang membuahkan hasil yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa malu, inilah yang dinamakan dengan ‘pengajaran pada fitrah (manusia)’ “[15].
Pengaruh Positif Teladan yang Baik bagi Keluarga
Di antara pengaruh positif teladan yang baik adalah hikmah yang Allah Ta’ala sebutkan dalam ayat tersebut di atas:
{وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ}
“Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS Huud:120).
Dalam ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an tentang ketabahan dan kesabaran para Nabi ‘alaihimush shalaatu wa salaam dalam memperjuangkan dan mendakwahkan agama Allah sangat berpengaruh besar dalam meneguhkan hati dan keimanan orang-orang yang beriman di jalan Allah Ta’ala.
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir berkata, “Allah Ta’ala berfirman: semua yang kami ceritakan padama tentang kisah para rasul yang terdahulu bersama umat-umat mereka, ketika mereka berdialog dan beradu argumentasi (dengan umat-umat mereka), ketabahan para Nabi dalam (menghadapi) pengingkaran dan penyiksaan (dari musuh-musuh mereka), serta bagaimana Allah menolong golongan orang-orang yang beriman dan menghinakan musuh-musuh-Nya (yaitu) orang-orang kafir, semua ini adalah termasuk perkara yang (membantu) meneguhkan hatimu, wahai Muhammad, agar engkau bisa mengambil teladan dari saudara-saudaramu para Nabi yang terdahulu”[16].
Imam Abu Hanifah pernah berkata: “Kisah-kisah (keteladanan) para ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai dari pada kebanyakan (masalah-masalah) fikh, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk diteladani)” [17].
Demikian pula termasuk manfaat besar teladan yang baik bagi keluarga adalah menumbuh suburkan rasa kagum dan cinta dalam diri mereka kepada orang-orang bertakwa dan mulia di sisi Allah Ta’ala, yang ini merupakan sebab utama meraih kemuliaan yang agung di sisi Allah Ta’ala, yaitu dikumpulkan bersama orang-orang shaleh tersebut di surga kelak, karena seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya pada hari kiamat nanti.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau bersama orang yang kamu cintai (di surga kelak)”. Sahabat yang mulia, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yang meriwayatkan hadits ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata: “Kami (para sahabat) tidak pernah merasakan suatu kegembiraan (setelah masuk Islam) seperti kegembiraan kami sewaktu mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Engkau bersama orang yang kamu cintai (di surga kelak)”, maka aku mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan aku berharap akan (dikumpulkan oleh Allah Ta’ala) bersama mereka (di surga nanti) karena kecintaanku kepada mereka, meskipun aku belum mengerjakan amalan seperti amalan mereka”[18].
Penutup
Demikianlah, semoga Allah Ta’ala senantiasa memudahkan kita untuk mengambil teladan dan petunjuk yang baik dari kisah-kisah para Nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam dalam al-Qur’an, serta memuliakan kita dengan dikumpulkan di surga kelak bersama para Nabi, para shidiq, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang shaleh, Amin.
{وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا}
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan (dikumpulkan) bersama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” (QS an-Nisaa’:69).
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 26 Shafar 1431 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id
[1] HSR al-Bukhari (no. 3158) dan Muslim (no. 2638).
[2] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 392).
[3] HR Ahmad (2/50) dan Abu Dawud (no. 4031), dinyatakan hasan shahih oleh syaikh al-Albani.
[4] Kitab “Iqtidha-ush shiraathal mustaqiim” (hal. 221).
[5] HR Ahmad (2/381) dan al-Hakim (no. 4221), dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no. 45).
[6] Lihat keterangan imam an-Nawawi dalam kitab “Syarh shahih Muslim” (6/26).
[7] HSR Muslim (no. 746).
[8] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 481).
[9] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 856).
[10] Dinukil oleh imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan sanadnya dalam kitab “Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi” (no. 1118).
[11] Lihat “al-Mu’in ‘ala tahshili adabil ‘ilmi” (hal. 50) dan “Ma’alim fi thariqi thalabil ‘ilmi” (hal. 124).
[12] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 271).
[13] Beliau adalah Imam besar, penghafal hadits, Syaikhul Islam Ibrahim bin Ishak bin Ibrahim bin Basyir al-Baghdadi al-Harbi (wafat 285 H), biografi beliau dalam “Siyaru a’alamin nubala’” (13/356).
[14] Kitab “Shifatush shafwah” (2/409).
[15] Kitab “Hirasatul fadhiilah” (hal. 127-128).
[16] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (2/611).
[17] Dinukil oleh imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan sanadnya dalam kitab “Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi” (no. 595).
[18] HSR al-Bukhari (no. 3485) dan Muslim (no. 2639).
Post a Comment