Indikator Utama Baik Dan Buruknya Seseorang

Indikator Utama Baik Dan Buruknya Seseorang 

Hidup di zaman ini terkadang membuat diri kita melihat beragam hal-hal aneh dan mengherankan yang dengan mudahnya terjadi di sekitar kita. Fenomena rusaknya moral yang hampir merata di semua lapisan masyarakat. Kriminalitas dan kejahatan yang begitu beragam dan tidak mengenal waktu serta tempat. Begitu mudahnya menemukan pengkhianatan, penipuan, saling membunuh dan saling memusuhi hanya karena sesuatu yang sepele. Dan keburukan-keburukan lainnya.

Tahukah kalian apa faktor terbesar yang mendorong seseorang untuk melakukan semua hal itu?

Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya faktor terbesar rusaknya seseorang adalah rusaknya hati dan penuhnya ia dengan kotoran-kotoran. Hati merupakan indikator utama untuk mengetahui baik atau buruknya perangai dan moral seseorang. Mereka yang memiliki hati yang bersih, maka seluruh gerak-gerik dan tingkah lakunya pun akan ikut bersih dan membaik. Adapun mereka yang memiliki hati yang rusak dan kotor, maka akan nampak pula pada perangai dan gerak-geriknya sehari-hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah menyampaikan hal ini dalam salah satu hadisnya,

ألَا وإنَّ في الجَسَدِ مُضْغَةً: إذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، وإذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، ألَا وهي القَلْبُ

“Ingatlah, sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, maka baik pula seluruh jasad. Namun, apabila segumpal daging itu rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599)

Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya mengatakan,

الْقَلْبُ هُوَ الْأَصْلُ فَإِذَا كَانَ فِيهِ مَعْرِفَةٌ وَإِرَادَةٌ سَرَى ذَلِكَ إلَى الْبَدَنِ بِالضَّرُورَةِ لَا يُمْكِنُ أَنْ يَتَخَلَّفَ الْبَدَنُ عَمَّا يُرِيدُهُ الْقَلْبُ

“Hati adalah asalnya (segala sesuatu). Jadi, jika ada pengetahuan dan keinginan di dalamnya, maka akan berimbas ke tubuh secara otomatis. Tidak mungkin anggota tubuh dengan serta merta menyelisihi apa yang diinginkan oleh hati.” (Majmu’ Fatawa, 7: 187)

Ibnul Qayyim  rahimahullah juga mengatakan, “Hati adalah raja dari seluruh anggota badan, dan badan itu taat terhadap perintah hati, siap menerima petunjuk hati. Tidaklah lurus suatu amal sehingga amal tersebut berasal dari tujuan dan niat hati, dan hati itu bertanggung jawab atas seluruh (amalan badan).” (Ighasah Al-Lahfan, 1: 5)

Apa yang dimaksud dengan ‘hati’?

Saat menyebutkan kata ‘hati’ sebagian dari kita mungkin bingung, karena hati menurut kedokteran dan istilah bahasa yang sering kita gunakan bermakna “salah satu anggota tubuh berwarna kemerahan di bagian kanan atas rongga perut, yang berfungsi untuk mengambil sari-sari makanan di dalam darah kita.” Atau jika dalam literasi Arab, maka maknanya adalah “jantung”. Lalu, apa hubungan kedua organ tubuh tersebut dengan baik atau buruknya seseorang?

Perlu kita pahami terlebih dahulu, ‘hati’ yang kita maksudkan pada pembahasan kali ini bukanlah hati yang merupakan anggota tubuh kita. Akan tetapi, ‘hati’ di sini memiliki makna lain yang bersifat tak kasat mata, sesuatu yang bersifat maknawi.

Sebagian ulama memaknainya dengan, “Sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia, tak kasat mata, karunia dari Allah kepada manusia dan bersifat spiritual, memiliki keterkaitan dengan ‘hati/ jantung’ manusia yang sesungguhnya. Akan tetapi, keterkaitannya tersebut hanya diketahui oleh Allah Ta’ala.”

Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan rincian,

ويطلق القلب على معنيين: أحدهما: أمر حسي وهو العضو اللحمي الصنوبري الشكل المودع في الجانب الأيسر من الصدر وفي باطنه تجويف وفي التجويف دم أسود وهو منبع الروح. والثاني: أمر معنوي وهو لطيفة ربانية رحمانية روحانية لها بهذا العضو تعلق واختصاص، وتلك اللطيفة هي حقيقة الإنسانية

“Hati (القلب) disebut dalam dua arti: Yang pertama, bersifat indrawi (bisa dirasakan oleh panca indera), yaitu organ berdaging berbentuk cemara (lengkungan) yang berada di sisi kiri dada, di dalamnya ada rongga, dan di dalam rongga itu ada darah hitam, yang mana adalah sumber jiwa.  Yang kedua, bersifat maknawi (moral), yang mana merupakan kelembutan spiritual bersumber dari Allah, penuh belas kasihan, yang memiliki keterikatan dan kekhususan pada organ (hati) ini, dan kelembutan itu adalah realitas kemanusiaan.” (At-Tibyan fii Aqsami Al-Qur’an, 1: 263)

Peranan hati dalam membangun karakter manusia

Hati memiliki peranan yang sangat penting  di dalam membangun karakter seseorang melebihi anggota tubuh lainnya, karena pada hati itulah Allah Ta’ala uji ketakwaan seorang hamba. Allah Ta’ala berfirman,

 أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى

“Mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 3)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

التَّقْوَى هاهُنا. ويُشِيرُ إلى صَدْرِهِ ثَلاثَ مَرَّاتٍ

“Takwa itu letaknya di sini.” sambil menunjuk ke dadanya sebanyak tiga kali. (HR. Muslim no. 2564)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menunjuk dada beliau karena hati manusia terletak di dalamnya. Nabi menjelaskan bahwa ketakwaan (yang mana sumbernya adalah pengetahuan dan rasa takut) semuanya berasal dari hati seseorang. Seseorang tidak akan bisa mengerjakan sebuah amalan dengan benar dan menjauhkan diri dari dosa-dosa, kecuali hatinya telah bersih terlebih dahulu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menegaskan bahwa Allah Ta’ala akan menilai seseorang berdasarkan hati dan amalan mereka, bukan berdasarkan harta kekayaan maupun penampilan mereka. Beliau bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa-rupa kalian dan harta-harta kalian, akan tetapi Allah melihat pada hati-hati kalian dan amalan-amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564)

Al-Munawi rahimahullah mengatakan, “Berapa banyak orang yang berlidah baik, rupawan, terpandang, akan binasa esok di hari kiamat karena perbuatan buruknya, keburukan perilakunya, dan keburukan ketidaktulusannya. Sungguh hati merupakan sisi yang diperhatikan saat melihat hakikat sesuatu, tidak berguna indahnya penampilan dan indahnya ucapan jika ia memiliki hati yang kotor.” (Faidhul Qadiir, 5: 50)

Ibnul Qayyim rahimahullah bahkan menyebutkan,

 الْأَعْمَالَ لَا تَتَفَاضَلُ بِصُوَرِهَا وَعَدَدِهَا، وَإِنَّمَا تَتَفَاضَلُ بِتَفَاضُلِ مَا فِي الْقُلُوبِ، فَتَكُونُ صُورَةُ الْعَمَلَيْنِ وَاحِدَةً، وَبَيْنَهُمَا فِي التَّفَاضُلِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، وَالرَّجُلَانِ يَكُونُ مَقَامُهُمَا فِي الصَّفِّ وَاحِدًا، وَبَيْنَ صَلَاتَيْهِمَا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

“Sejatinya amalan satu dengan yang lainnya, tidaklah saling unggul hanya karena bentuknya yang berbeda dan jumlahnya yang berbeda, akan tetapi ia saling unggul karena saling unggulnya apa yang ada di dalam hati. Dua amalan yang berbentuk sama (sangatlah mungkin) memiliki kualitas yang berbeda sebagaimana perbedaan antara langit dan bumi. Dua orang yang salat dalam satu saf yang sama (bisa jadi) kualitas salat mereka (berbeda) layaknya bumi dan langit.” (Madarijus Salikiin, 1: 340)

Dari pemaparan di atas, seorang mukmin dituntut untuk lebih memperhatikan kebersihan dan kesucian hatinya, menjauhkan diri dari apa-apa yang dapat mengotori kesucian hatinya serta senantiasa istikamah di dalam bertauhid dan kuat di atas kebenaran.

Mengapa? Karena hati merupakan indikator baik atau buruknya diri seseorang, di samping ia merupakan salah satu sisi manusia yang paling rapuh dan rentan, begitu mudahnya ia berbolak-balik, dari yang sebelumnya condong kepada kebenaran berubah condong kepada kejelekan, ataupun sebaliknya.

Pada pembahasan selanjutnya, insyaAllah akan kita bahas beberapa hal yang memiliki pengaruh buruk terhadap kebersihan dan kesucian hati serta bagaimana cara mengobatinya

Wallahu Ta’ala a’lam bis-shawab.

***

Tidak ada komentar