Hukum Mengambil Hadiah Dari Bank
Hukum Mengambil Hadiah Dari Bank
Ada beberapa kemungkinan jika kita mendapat hadiah dari bank:
Pertama, karena kita memiliki tabungan di bank.
Ketika anda menyetorkan uang Anda ke bank, pihak bank akan memanfaatkan uang itu sesuai keinginannya. Sekalipun tanpa meminta izin nasabah. Meskipun bank memberikan jaminan, kapanpun nasabah mengambil uangnya, pihak bank siap untuk mengucurkan dananya.
Karena pihak bank berhak memanfaatkan uang itu, maka hakikat dari rekening tabungan di bank adalah utang. Bank mendapatkan utang dari nasabah. Di bank-bank Saudi, produk tabungan diistilahkan dengan al–Hisab al-Jari (rekening giro), dan secara status, sama persis dengan skema rekening bank di Indonesia.
Dalam juklak panduan perbank-kan syariah yang dikeluarkan AAIOFI (lembaga internasional standarisasi produk perbankkan syariah) dalam Bab: Al-Qadrh, dinyatakan,
حقيقة الحسابات الجارية أنها قروض؛ فتتملكما المؤسسة ويثبت مثلها في ذمتها
“Al-hisabat al-Jariah (rekening giro), hakikatnya adalah qardh, di mana lembaga keuangan syariah memiliki dana yang disimpan dalam rekening giro dan menjamin dana tersebut dalam tanggungannya.” (al-Ma’ayir Asy-Syar’iyyah, hlm. 271).
Mengingat rekening tabungan yang ada di bank adalah utang maka hadiah yang diberikan bank statusnya hadiah karena utang. Dan itu termasuk riba yang terlarang. Karena dalam Islam, kita tidak diizinkan untuk mendapat manfaat dari utang sedikitpun.
Al-Baihaqi menyebutkan riwayat pernyataan sahabat Fudhalah bin Ubaid radhiallaahu’anhu,
كل قرض جرّ منفعة فهو ربا
“Setiap piutang yang memberikan keuntungan, maka (keuntungan) itu adalah riba.” (Sunan as-Sughra, 4/353).
Al-Khalil mengatakan,
“وحرم هديته” والمعنى أن من عليه الدين يحرم أن يهدي لصاحب الدين هدية ويحرم على صاحب الذين قبلها
Dalam Mukhtashar Khalil dinyatakan, “Haram menerima hadiah dari debitor ke kreditor.” Maknanya, bahwa siapa yang memiliki utang ke orang lain (misal, ke si A), maka terlarang baginya memberikan hadiah kepada kreditor (di A), dan haram bagi si A untuk menerimanya (Syarah Mukhtashar Khalil –al-Kharsyl, 16/301).
Keterangan lain disampaikan Syaikhul Islam,
فنهى النبي صلى الله علبه وسلم المقرض عن قبول هدية المقترض فبل الوفاء، لأن المقصود بالهدية أن يؤخر الاقتضاء وإن كان لم يشترط ذلك
“Larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang menghutangi untuk menerima hadiah sebelum pelunasan, karena tujuan memberi hadiah adalah agar masa pelunasan bisa ditunda, meskipun dia tidak mempersyaratkan hal itu” (al-Fatawa al-Kubra, 6/160).
Kita sangat memahami, bentuk memberikan hadiah semacam ini, sebagai bentuk terima kasih atas dana yang disetorkan nasabah kepadanya. Dengan demikian, payung dari bank atau merchandise lainnya, jika diberikan karena Anda menjadi nasabah bank, tidak boleh diterima.
Kedua, hadiah dari bank, namun bukan karena keberadaan rekening kita di bank, bukan pula karena kerja sama yang menguntungkan bank.
Namun murni pemberian bank, lalu pihak bank memberikan makanan atau hadiah lainnya. Atau makanan ringan, seperti permen dan air minum yang disediakan bank untuk semua yang berkunjung ke kantornya.
Aturan dalam masalah ini kembali kepada hukum menerima pemberian dari orang yang penghasilannya riba.
Sebagian ulama membolehkan untuk menerimanya, meskipun ada juga yang keras melarangnya. Diantara yang keras melarang adalah Ibnu Rusyd al-Jadd –kakeknya Ibnu Rusyd penulis Bidayah al-Mujtaahid. Ketika membahas masalah harta haram, beliau mengatakan,
وسواء كان له مال سواه أو لم يكن لا يحل أن يشترىه منه إن كان عرضا، ولا يبيعه فيه إن كان عين، ولا يأكل منه إن كان طعاما، ولايقبل شيئا من ذلك هبة… ومن فعل شيئأ من ذلك وهو عالم كان سبيله سبيل الغاسب في جميع أحواله
“Baik dia memiliki harta lain, atau tidak punya harta selain itu, tidak halal baginya untuk melakukan jual beli dengannya, baik barang dagangan atau benda lainnya. Tidak boleh mengkonsumsi makanannya atau menerima sedikitpun dari hibahnya. Siapa yang melakukannya, sementara dia telah tahu –bahwa itu riba – maka kebiasaannya seperti kebiasaan orang yang suka ghasab.” (Fatawa Ibnu Rusyd, 1/645).
Sementara ulama yang membolehkan, diantaranya Imam Ibnu Utsaimin. Beliau berdalil dengan aktivitas muamalah yang terjadi antara Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat dengan orang-orang Yahudi di sekitar Madinah. Sementara banyak di antara orang Yahudi itu yang pekerjaannya sebagai rentenir bagi penduduk Madinah di masa sebelum Islam datang (Tafsir Surat al-Baqarah, Ibnu Utsaimin).
Dan insyaa Allah inilah yang lebih mendekati kebenaran. Wallaamu a’lam.
***
Post a Comment