Tidak Boleh Membahayakan Orang Lain
Tidak Boleh Membahayakan Orang Lain
عَنْ أَبِـيْ سَعِيْدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ الْـخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Dari Abû Sa’îd Sa’d bin Mâlik bin Sinân al-Khudri Radhyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.”[1]
TAKHRIJ HADITTS
Hadits ini diriwayatkan oleh:
Mâlik dalam al-Muwaththa’ (II/571, no. 31).
Ad-Dâraquthni (III/470, no. 4461).
Al-Baihaqi (VI/69).
Al-Hâkim (II/57-58).
Dalam riwayat al-Hâkim dan al-Baihaqi ada tambahan,
َمَنْ ضَارَّ ضَرَّهُ اللهُ وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللهُ عَلَيْه
Barangsiapa membahayakan orang lain, maka Allâh akan membalas bahaya kepadanya dan barangsiapa menyusahkan atau menyulitkan orang lain, maka Allâh akan menyulitkannya.”
Hadits Abû Sa’îd di atas memiliki beberapa penguat dari sejumlah Sahabat lain, diantaranya ‘Ubâdah bin ash-Shâmit (Ibnu Mâjah, no. 2340), ‘Abdullâh bin ‘Abbâs (Ibnu Mâjah, no. 2341), Abu Hurairah, Jâbir bin ‘Abdillâh, Tsa’labah bin Abi Mâlik al-Qurazhi, Abu Lubâbah, dan ‘Aisyah Radhyallahu anhum. Hadits ini dinilai hasan oleh an-Nawawi rahimahullah dalam al-Arba’în, Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, dan Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah (no. 250), Irwâ-ul Ghalîl (no. 896), dan Shahîh Kitâbil Adzkâr wa Dha’îfuhu (II/985, no. 981/1247).
SYARAH HADITS
- Pengertian ad-Dharar dan ad-Dhirâr
Para Ulama berbeda pendapat tentang adakah perbedaan makna antara kata adh-dharar dan adh-dhirâr? Diantara mereka ada yang mengatakan, makna kedua kata tersebut sama, (diucapkan dua kali) untuk menguatkan. Namun pendapat yang terkenal yaitu antara kedua kata tersebut terdapat perbedaan makna.
Dharar (bahaya) adalah lawan dari manfaat. Makna hadits tersebut tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh menimbulkan madharat (bahaya) tanpa alasan yang dibenarkan dalam syariat. Ada juga yang mengatakan, dharar ialah memudharatkan orang lain yang tidak pernah melakukan hal yang sama padanya, sedang dhirâr ialah membuat kemudharatan terhadap orang lain yang pernah melakukan hal yang sama padanya (membalas-red) dengan cara yang tidak diperbolehkan.
Hadits ini menjelaskan kaidah «لاَ ضَرَرَ وَلاَضِرَار» yang telah dibakukan Ulama. Para ahli fiqih meng-qiyas-kan semua perkara-perkara yang berbahaya dengan kaidah ini, terutama masalah-masalah kontemporer yang tidak ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya, narkoba dan rokok. Keduanya dihukumi haram karena masuk dalam kaidah ini. Sebab hal tersebut berbahaya dan membahayakan orang lain. Dan masih banyak contoh lain yang dapat diambil dari kaidah ini. Karena itu, Imam Abu Dâwud rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini termasuk salah satu hadits yang menjadi poros hukum-hukum fiqih.
Kesimpulannya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak dharar (mudharat/bahaya) dan dhirâr (menimbulkan bahaya) tanpa alasan yang benar. Adapun menimpakan madharat kepada seseorang dengan cara yang benar, maka itu tidak termasuk yang dilarang dalam hadits di atas. Misalnya, seseorang yang melanggar hukum-hukum Allâh Azza wa Jalla , lalu dihukum sesuai dengan kejahatannya; atau seseorang menzhalimi orang lain, lalu orang yang dizhalimi menuntut balas dengan adil. Karena yang dimaksud dalam hadits di atas ialah menimbulkan madharat dengan cara yang tidak benar.[2]
Contoh لاَ ضَرَرَ yaitu, seseorang merokok atau mengkonsumsi narkoba. Orang ini berarti telah berbuat dharar (bahaya/kerugian) terhadap dirinya. Oleh karena itu, ia wajib dicegah dan dia wajib berhenti dari tindakannya itu, karena ia telah menzhalimi dirinya sendiri dan membahayakan orang lain.
Contoh “وَلاَ ضِرَارَ”, seseorang mengkhianati atau menipu kita, maka untuk mengamalkan potongan hadits itu, kita tidak boleh membalasnya dengan menipu atau mengkhianatinya. Contoh lain, si A menzinai wanita B, maka keluarga wanita yang dizinai tidak boleh membalas A dengan menzinai keluarga si A. Akan tetapi, hendaknya dilaporkan ke penguasa agar pelakunya dihukum.
- Haram, Menimbulkan Madharat Kepada Seorang Muslim
Hadits ini menunjukkan bahwa seorang Muslim tidak boleh memudharatkan (membahayakan) orang lain tanpa alasan yang benar. Seorang Muslim tidak boleh memudharatkan orang yang memudharatkannya, tidak boleh mencaci orang yang mencacinya dan tidak boleh memukul orang yang memukulnya. Untuk meminta haknya, ia bisa memintanya melalui hakim tanpa harus mencaci-maki. Dalam banyak hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang segala yang mendatangkan bahaya atas kaum Muslimin. Diantaranya, sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ…
Sesungguhnya darah kalian dan harta kalian haram atas kalian….[3]
Melakukan sesuatu yang membahayakan atau merusak kehormatan, harta atau jiwa kaum Muslimin adalah tindakan kezhaliman yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang beliau riwayatkan dari Rabbnya,
يَا عِبَادِيْ ! إِنِّـيْ حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَـى نَفْسِيْ ، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا ؛ فَلَا تَظَالَـمُوْ…
Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya Aku mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Ku dan Aku menjadikannya haram diantara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi…[4]
- Macam-Macam Tindakan Memberikan Mudharat
Pertama : Tindakan yang murni tujuannya untuk menimbulkan madharat kepada orang lain. Tindakan ini jelas buruk dan diharamkan. Larangan menimbulkan madharat disebutkan di beberapa tempat dalam al-Qur’ân, diantaranya :
Dalam wasiat. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ
“…Setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (setelah dibayarkan) utangnya dengan tidak menyusahkan (ahli waris)…” [an-Nisâ’/4:12]
Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Menimbulkan madharat dalam wasiat termasuk dosa besar.” Kemudian beliau Radhiyallahu anhuma membaca ayat di atas.[5]
Menimbulkan madharat dalam wasiat itu terkadang dalam bentuk:
− Melebihkan bagian ahli waris tertentu dari bagian yang telah ditentukan oleh Allâh Azza wa Jalla . Akibatnya, pasti akan merugikan ahli waris lainnya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Sesungguhnya Allâh telah memberi hak kepada para pemiliknya. Oleh karena itu, tidak ada wasiat bagi ahli waris.[6]
− Berwasiat kepada orang lain dengan harta yang lebih dari sepertiga hartanya. Akibatnya, jatah ahli waris berkurang. Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اَلثُّلُثُ ، وَالثُّلُثُ كَثِيْرٌ
Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak.[7]
Jika seseorang berwasiat untuk salah seorang ahli waris atau orang lain dengan harta yang melebihi sepertiga hartanya, maka wasiat itu tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan izin semua ahli waris; baik orang yang berwasiat tersebut sengaja dan berniat menimbulkan madharat atau tidak.
Jika ia sengaja dan berniat menimbulkan madharat dengan cara mewasiatkan lebih dari sepertiga hartanya, maka ia berdosa karena niatnya ini. Pertanyaannya apakah wasiat itu ditolak jika pelakunya memberikan pengakuan ataukah tidak ? Ibnu ‘Athiyah meriwayatkan sebuah riwayat dari Imam Mâlik bahwa wasiat tersebut harus ditolak. Ada yang mengatakan bahwa itu analogi pendapat Imam Ahmad.[8]
Dalam masalah rujuk nikah. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ۚ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). Dan janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzalimi mereka. Barang siapa melakukan demikian, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri… [al-Baqarah/2:231]
Barangsiapa bermaksud menimbulkan madharat ketika merujuk istrinya, ia berdosa. Ini seperti kejadian yang terjadi pada masa permulaan Islam sebelum talak dibatasi dengan tiga talak. Ketika itu, seseorang bisa mentalak istrinya kemudian meninggalkannya. Ketika iddah istrinya hampir habis, ia rujuk dengan istrinya kemudian mentalaknya lagi. Ia berbuat seperti itu tanpa batas akhir. Ia membiarkan istrinya dalam status yang tidak jelas, antara berstatus ditalak atau dirujuk. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla membatalkan perbuatan seperti itu dan membatasi talak hingga tiga kali saja.[9] Wallâhu a’lam.
Dalam îlâ’ (bersumpah tidak menggauli istri).
Orang-orang jahiliyah jaman dahulu ada yang melakukan tindakan îlâ’ (bersumpah untuk tidak menggauli istrinya) selama setahun atau dua tahun. Tujuannya ialah menyengsarakan istrinya. Akibatnya, sang istri menjadi wanita yang terkatung-katung dan tidak merasa sebagai istri. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla menentukan masa îlâ‘ sampai batas empat bulan. Jika seorang suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya (îlâ‘), maka masa berlaku îlâ‘ tersebut adalah empat bulan. Jika suami menarik kembali îlâ‘nya dan menggauli istrinya, itulah bentuk taubatnya. Namun jika ia bersikeras tidak menggauli istrinya lebih dari empat bulan, maka ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Menurut generasi Salaf dan Khalaf, dalam masalah ini ada dua pendapat :
Pertama: Istrinya ditalak dengan berakhirnya masa îlâ‘.
Kedua: Dibiarkan. Jika suami menarik kembali îlâ‘nya dalam waktu empat bulan, maka tidak ada tindakan apa-apa, namun jika tidak, maka ia harus disuruh untuk mentalak istrinya.[10]
Dalam masalah menyusui. Allâh Azza wa Jalla berfirman,
لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ
Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya [al-Baqarah/2:233]
Tentang firman Allâh Azza wa Jalla di atas, Mujâhid rahimahulah menjelaskan, “Seorang ayah tidak boleh melarang wanita yang telah melahirkan (ibu-red) bayinya menyusui anaknya dengan tujuan membuat si wanita itu bersedih hati.”
‘Athâ’, Qatâdah, az-Zuhri, Sufyân, as-Suddi, dan lain-lain berkata, “Jika seorang ibu (wanita yang telah melahirkan anaknya lalu dicerai oleh suaminya-red) ridha dengan upah yang sama dengan wanita lain, maka ia lebih berhak menyusui anaknya (daripada wanita lainnya-red).”
Dan firman Allâh Azza wa Jalla , وَلَا مَوْلُوْدٌ لَهُ بِوَلَدِهِ “Dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya,” termasuk dalam hal ini ialah jika wanita yang ditalak meminta untuk menyusui bayinya dengan upah standar, maka ayah si bayi tersebut harus mengabulkan permintaan wanita tersebut; baik ada wanita lain atau tidak. Ini pendapat Imam Ahmad. Namun jika wanita itu meminta upah lebih tinggi dari upah standar dan ayah si bayi mendapati wanita lain yang bisa menyusui bayinya, maka sang ayah tidak wajib memenuhi tuntutan wanita yang telah dicerainya itu, karena wanita tersebut bermaksud menimbulkan mudharat. Imam Ahmad juga berpendapat seperti itu.[11]
Dharar dalam jual-beli.
Islam melarang seluruh bentuk jual-beli yang mengandung dharar (bahaya) dan membahayakan kaum Muslimin. Islam melarang jual-beli inah[12] , jual beli dengan lemparan batu, jual beli gharar (yang tidak jelas), jual beli dengan riba, dan lainnya.
Kedua : Tindakan yang tidak murni untuk memudharatkan, dia mempunyai tujuan lain yang benar., Misalnya, seseorang menggunakan barang miliknya untuk kebaikan dirinya, namun tindakannya menimbulkan madharat pada orang lain atau melarang orang lain memanfaatkan barang miliknya sehingga orang yang ia larang mendapatkan madharat karena larangannya.
Masalah pertama; Seseorang menggunakan barang miliknya untuk kebaikan dirinya, namun tindakannya menimbulkan madharat pada orang lain. Jika itu terjadi secara tidak wajar, misalnya seseorang menyalakan api di lahannya di hari yang panas kemudian api membakar apa saja yang ada di lahan itu dan di lahan sekitarnya. Pelaku tindakan ini berarti telah berbuat zhalim dan harus mengganti kerusakan yang diakibatkan oleh tindakannya. Namun, jika hal tersebut terjadi secara wajar, maka ada dua pendapat menurut ulama dalam masalah ini :
Ia tidak dilarang berbuat seperti itu. Ini pendapat Imam Syâfi’i rahimahullah, Abu Hanîfah rahimahullah dan lain-lain.
Ia dilarang berbuat seperti itu. Ini pendapat Imam Ahmad rahimahullah, sejalan dengan pendapat Imam Mâlik rahimahullah pada sebagian bentuk (kasus).
Diantara contohnya ialah seseorang membuka lubang dinding di rumahnya yang tinggi atau membangun rumah tinggi, sehingga ia bisa melihat tetangganya dan ia tidak menutupnya. Akibatnya, tetangga merasa terganggu. Oleh karena itu, ia wajib menutupnya. Wallâhu a’lam.
Contoh lain ialah menggali sumur di dekat sumur tetangga hingga menghabiskan air sumur tetangga. Menurut pendapat Imam Mâlik dan Ahmad, sumur tetangganya harus diisi.
Contoh lain, melakukan sesuatu pada barang miliknya, namun aktifitas ini menimbulkan madharat pada milik tetangga, misalnya mengguncang, menumbuk, dan lain sebagainya. Itu dilarang menurut Imam Mâlik dan Ahmad. Itu juga salah satu pendapat sahabat-sahabat Imam Syâfi’i.
Contoh lain, menimbulkan madharat kepada sesama penghuni rumah. Misalnya, seseorang yang mempunyai bau badan yang tidak enak dan lain sebagainya. Orang ini harus menghilangkan bau badannya.
Masalah kedua; Melarang orang lain memanfaatkan barang miliknya, seperti melarang orang lain menyandarkan kayu pada tembok rumahnya. Ini tidak boleh kecuali kalau menimbulkan bahaya bagi pemilik tembok, misalnya temboknya kurang kuat sehingga dikhawatirkan roboh. Namun, pada asalnya tidak boleh melarang, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَا يَمْنَعْ أَحَدُكُمْ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَةً فِيْ جِدَارِهِ
Janganlah sekali-kali salah seorang dari kalian melarang tetangganya meletakkan kayu di temboknya.
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Kenapa aku lihat kalian berpaling dari sunnah ini. Demi Allâh, aku pasti melemparkannya ke tengah-tengah kalian.”[13]
‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu menjatuhkan vonis kepada Muhammad bin Maslamah Radhiyallahu anhu agar ia membiarkan air dari tetangganya mengalir ke lahannya. Beliau berkata, “Engkau harus mengalirkan airnya meskipun melewati perutmu.”[14]
Di antara hal yang dilarang pada seseorang karena akan menimbulkan madharat yaitu melarang orang memanfaatkan sisa air. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا تَـمْنَعُوْا فَضْلَ الْـمَـاءِ لِتَمْنَعُوْا بِهِ الْكَلَأَ
Jangan kalian melarang (pemanfaatan-red) sisa air (dengan tujuan-red) untuk melarang (pemanfaatan-red) rumput (di sekitarnya-red).[15]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الْـمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِـيْ ثَلَاثٍ : فِـي الْـمَـاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
Kaum Muslimin itu bersekutu dalam tiga hal yaitu air, rumput dan api[16]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ ا لْـمَـاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ
Tiga hal yang tidak boleh dilarang (pemanfaatannya-red) yaitu air, rumput dan api [17]
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa tidak boleh melarang orang lain secara mutlak untuk memanfaatkan sisa air yang mengalir dan memancar, baik air ini disebut sebagai milik dari pemilik lahan tempat air berada atau tidak. Ini pendapat Abu Hanîfah, asy-Syâfi’i, Ahmad, Ishâq, Abu ‘Ubaid dan lain-lain.
Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa sisa air wajib diberikan secara gratis tanpa kompensasi apa pun untuk minum manusia, minum binatang dan mengairi tanaman. Abu Hanîfah rahimahullah dan asy-Syâfi’i rahimahullah berpendapat bahwa kelebihan air tidak wajib diberikan untuk tanaman.[18]
Termasuk dalam cakupan kandungan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Tidak boleh memudharatkan” yaitu Allâh Azza wa Jalla tidak membebani para hamba-Nya untuk mengerjakan hal-hal yang mendatangkan madharat kepada mereka, karena apa saja yang Dia Azza wa Jalla perintahkan kepada mereka adalah intisari kebaikan agama dan dunia mereka, serta apa saja yang Dia k larang dari mereka adalah intisari kerusakan agama dan dunia mereka. Allâh Azza wa Jalla juga tidak memerintahkan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang akan membahayakan fisik mereka. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla menggugurkan kewajiban bersuci dengan air bagi orang sakit. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
…Allâh tidak ingin menyulitkan kamu… [al-Mâidah/5: 6]
Allâh Azza wa Jalla menghapus kewajiban puasa dari orang sakit dan musafir. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
…Allâh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” [al-Baqarah/2:185]
Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Agama apakah yang paling dicintai Allâh?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اَلْـحَنِيْفِيَّةُ السَّمْحَةُ
Agama lurus yang toleran.[19]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنِّيْ أُرْسِلْتُ بِحَنِيْفِيَّةٍ سَمْحَةٍ
Sesungguhnya aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran.[20]
Tentang makna ini, diriwayatkan dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang berjalan dan dikatakan bahwa orang itu bernazar untuk berangkat haji dengan berjalan kaki kemudian beliau bersabda :
إِنَّ اللهَ لَغَنِيٌّ عَنْ مَشْيِهِ ، فَلْيَرْكَبْ. (وَفِـيْ رِوَايَةٍ) إِنَّ اللهَ لَغَنِيٌّ عَنْ تَعْذِيْبِ هَذَا نَفْسَهُ
Sesungguhnya Allâh tidak membutuhkan jalan orang itu, karenanya hendaklah ia naik kendaraan. (Dalam riwayat lain), “Sesungguhnya Allâh tidak butuh kepada penyiksaan diri yang dilakukan orang ini.”[21]
KAIDAH USHUL (FIQH)
Hadits ini لاَ ضَرَرَ وَلاَضِرَار (tidak boleh membuat kemudharatan dan tidak boleh membalas kemudharatan) adalah kaidah ushûl. Contohnya: seseorang yang hartanya dirusak orang lain, maka ia tidak boleh membalas dengan merusak harta orang tersebut. Karena, tindakan ini tidak mendatangkan manfaat, justru memperluas kemudharatan. Ia hanya boleh menuntut agar orang yang merusak hartanya mengganti senilai kerusakan itu.
Kaidah-kaidah cabang yang muncul dari kaidah inti di atas ialah :
الضَّرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ
Kemadharatan itu harus dicegah semampunya.
Maksudnya, menghilangkan kemadharatan yang telah terjadi adalah suatu kewajiban, juga diwajibkan untuk memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan.
Contoh, jika ada seseorang yang membuat saluran air di jalan kemudian saluran air tersebut mengganggu orang yang lewat, maka ia wajib membuang saluran air itu dan juga mengganti atau memperbaiki kerusakan akibat saluran airnya.
الضَّرَرُ يُزَالُ
Kemadharatan harus dihilangkan.
Artinya, kemadharatan harus dicegah sebelum terjadi. Karena, mencegah sesuatu lebih ringan dan lebih mudah daripada menghilangkan kemudharatan yang sudah terjadi. Bagaimananapun pencegahan lebih baik daripada pengobatan. Namun demikian, usaha untuk mencegah madharat ini tentu dilakukan semampunya.
Contoh, khamr, narkoba, merokok mengganggu dan membahayakan diri dan orang lain, maka wajib dihilangkan. Karena itu, Pemerintah dan Majelis Ulama wajib melarang mengkonsumsi barang-barang yang haram.
الضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِمِثْلِهِ
Kemadharatan tidak dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding.
Contohnya, seorang anggota serikat tidak boleh memaksa anggota yang lain untuk membagi harta yang tidak bisa dibagi karena akan merugikan serikat.
الضَّرَرُ الْأَشَدُّ يُزَالُ بِالضَّرَرِ الْأَخَفِّ
Kemadharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemadharatan yang lebih ringan.
Contohnya, seorang hakim boleh mengambil bagian harta lebih banyak dari zakat yang seharusnya dikeluarkan oleh orang kaya, jika zakat yang telah dikumpulkan belum bisa memenuhi keperluan orang-orang fakir. Karena kemudharatan akibat pengambilan harta dari si kaya lebih ringan dibandingkan kemudharatan yang ditimbulkan apabila kebutuhan orang-orang fakir tidak terpenuhi.
وَيَتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُ لِدَفْعِ ضَرَرٍ عَامٍ
Membiarkan kemadharatan yang sifatnya khusus untuk menghilangkan kemudharatan yang sifatnya umum.
Artinya, jika ada dua kemadharatan, maka kemadharatan yang sifatnya umum harus lebih diutamakan untuk dihindari atau dihilangkan, meski akan menimbulkan kemadharatan bagi sekelompok kecil.
Contoh: seorang hakim boleh memaksa seseorang yang menimbun barang agar menjual sesuai dengan harga pasar. Keputusan hakim tersebut pada dasarnya memang merugikan orang yang menimbun barang, namun jika hakim membiarkannya justru akan terjadi kemadharatan terhadap masyarakat luas.
دَرْءُ الْـمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْـمَصَالِحِ
Menghindarkan kerusakan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemashlahatan.
Maksudnya, jika dalam satu perkara terdapat sisi kerusakan dan sisi kemaslahatan, maka yang lebih diutamakan adalah menghindarkan kerusakan. Meskipun dengan begitu, mengabaikan sisi kemaslahatannya.
Contoh, larangan menjual narkoba. Meskipun dengan menjualnya akan mendapatkan keuntungan materi. Karena, narkoba akan merusak akal, hati, fisik dan moral masyarakat.
Larangan menjual khamr (minuman keras), narkoba, dan menjual rokok karena akan menimbulkan kerusakan terhadap diri, keluarga dan masyarakat. Maka wajib dicegah meskipun ada keuntungan materi, pajak, dan lainnya.
إِذَا تَعَارَضَ الْـمَانِعُ وَالْـمُقْتَضِي يُقَدَّمُ الْـمَـانِعُ
Apabila penghalang dan pendukung bertentangan, maka penghalang didahulukan.
Contohnya, larangan untuk membelanjakan harta milik bersama. Meskipun ia memiliki hak untuk membelanjakannya, namun jika ia membelanjakan dapat memadharatkan anggota lainya yang juga memilikinya. Kepemilikannya merupakan pendukung, sedangkan kepemilikan orang lain adalah penghalang.
الضَّرَرُ لَا يَكُوْنُ قَدِيْمًـا
Kemadharatan yang ada tidak dapat dibiarkan karena lebih dulu ada
Hal ini dikarenakan semua jenis madharat harus dihilangkan, tidak peduli apakah kemudharatan tersebut lebih dulu ada atau tidak.
Contoh, seseorang yang memiliki jendela berhadapan dengan tanah kosong milik orang lain. Kemudian di atas tanah kosong itu didirikan bangunan sehingga jendela yang lebih dulu dibangun tepat menghadap rumah yang baru dibangun, sehingga mengganggu wanita yang menghuni rumah baru. Maka jendela tersebut harus dipindah, meskipun keberadaannya lebih dulu.
Kaidah ini merupakan kaidah yang membatasi kaidah lain, yaitu, “yang telah lama dibiarkan sebagaimana adanya.” Kaidah ini sifatnya umum, mencakup segala sesuatu yang sifatnya telah ada terlebih dahulu.
Contoh, seseorang yang mendapati kayu berada di atas dinding tetangganya, maka ia tidak boleh memindahkan kayu tersebut, karena kayu itu sudah di dinding itu sebelumnya dan diletakkan dengan benar[22]
FAWAA-ID HADITS
Hadits ini merupakan kaidah ushûl yang besar. Hadits ini dapat dijadikan landasaran untuk menghukumi perkara-perkara baru yang tidak ada nash (dalil) yang tegas melarangnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan oleh Allâh jawâmi’ul kalim (perkataan yang ringkas namun maknanya padat). Hadits ini termasuk jawâmi’ul kalim.
Menimbulkan bahaya/kerugian itu haram, baik dengan perkataan, perbuatan atau yang lainnya.
Menghilangkan madharat (bahaya/kerugian) itu hukumnya wajib.
Haram bagi seseorang untuk membahayakan dirinya, hartanya atau kehormatannya. Misalnya, dengan melakukan perbuatan yang membahayakan atau mengkonsumsi makanan dan minuman yang membahayakan.
Agama Islam adalah agama yang selamat yang menuntun manusia kepada kebaikan dunia dan akhirat, dan memerintahkan untuk meninggalkan perbuatan yang berbahaya dan tidak bermanfaat.
Semua perintah dalam Islam akan mendatangkan maslahat dan semua larangan dalam Islam wajib dijauhkan karena mengandung madharat (bahaya).
Madharat (bahaya) tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan (bahaya) semisalnya apalagi kemadharatan yang lebih besar.
Apabila mafsadah (kerusakan) dan maslahat (kebaikan) berbenturan maka menolak kerusakan harus didahulukan daripada meraih kebaikan.
Footnote
[1] Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Diriwayatkan oleh Mâlik dalam al-Muwaththa’ dari ‘Amr bin Yahya, dari ayahnya, dari Nabi n secara mursal. Imam Mâlik rahimahullah tidak menyebutkan Abu Sa’îd dalam sanadnya. Hadits ini mempunyai banyak jalan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. Diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah, ad-Dâraquthni, dan selain keduanya dengan musnad
[2] Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/212)
[3] HR. Muslim (no. 1218)
[4] HR. Muslim (no. 2577), Ahmad (V/154, 160, 177), at-Tirmidzi (no. 2495), Ibnu Mâjah (no. 4257), ‘Abdurrazzâq (no. 20272), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ‘ (V/125-126), al-Baihaqi dalam al-Asmâ‘ wash Shifât (hlm. 65, 159, 213-214, 227, 285)
[5] Atsar mauqûf diriwayatkan oleh ‘Abdur Razzâq dalam al-Mushannaf (no. 16456), Ibnu Abi Syaibah (no. 31454), Sa’îd bin Manshûr dalam Sunan-nya (no. 258-260)
[6] Hadits mutawatir riwayat Abu Dâwud (no. 2870), at-Tirmidzi (no. 2120), Ibnu Mâjah (no. 2713), Ahmad (V/267), al-Baihaqi (VI/264), dan lainnya dari Sahabat Abu Umâmah Radhiyallahu anhu. Hadits ini diriwayatkan juga oleh Sahabat lainnya. Lihat Irwâul Ghalîl (no. 1655)
[7] Muttafaq ‘alaih, riwayat Bukhâri (no. 1295) dan Muslim (no. 1628)
[8] Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/212-213)
[9] Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/213)
[10] Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/214)
[11] Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/214-215)
[12] Bai’ul ‘înah (jual beli ‘înah) yaitu menjual suatu barang kepada seseorang dengan cara menghutangkannya untuk jangka waktu tertentu dan barang tersebut diserahkan kepadanya, kemudian si penjual membelinya kembali dari pembeli secara kontan dengan harga yang lebih murah, sebelum menerima pembayaran dari si pembeli tersebut.
Lihat ‘Aunul Ma’bûd (IX/263, cet. Dârul Fikr) dan Silsilah al-Ahâdîtsish Shahîhah (I/42)
[13] HR. al-Bukhâri (no. 2463, 5627), Muslim (no. 1609), Ahmad (II/396), Abu Dâwud (no. 3634), at-Tirmidzi (no. 1353), Ibnu Mâjah (no. 2335) dan Ibnu Hibbân (no. 516, at-Ta’lîqâtul Hisân)
[14] Diriwayatkan oleh Mâlik dalam al-Muwaththa’ (II/572, no. 33), asy-Syâfi’i dalam Musnadnya(III/2494, no. 1493), dan al-Baihaqi (VI/157)
[15] HR. al-Bukhâri (no. 2353, 6962), Muslim (no. 1566), Abu Dâwud (no. 3473), at-Tirmidzi (no. 1272) dan Ibnu Hibbân (no. 4935 at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[16] Hadits shahîh. HR. Ibnu Majah (no. 2472) dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma .
[17] Hadits shahîh. HR. Ibnu Mâjah (no. 2473) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[18] Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/217-223).
[19] Hadits hasan lighairihi. HR. Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad (no. 287), Ahmad (I/236), dan lainnya. Lihat Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah (no. 881)
[20] Hasan: HR. Ahmad (VI/116, 233).
[21] Hadits shahîh. HR. al-Bukhâri (no. 1865, 6701), Muslim (no. 1642), at-Tirmidzi (no. 1537), Abu Dâwud (no. 3301), an-Nasâi (VII/30), dan Ibnu Hibbân (no. 4367, 4368 at-Ta’lîqâtul Hisân).
[22] Qawâ’id wa Fawâ-id (hlm. 275-277), al-Wâfi Syarh al-Arba’în (hlm. 252-254) dengan beberapa tambahan.
Post a Comment