Dunia Ini Adalah Tempat Cobaan Dan Ujian

Dunia Ini Adalah Tempat Cobaan Dan Ujian

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

إِنَّالْـحَمْدَنَـحْمَدُهُ وَنَسْتَـعِيْنُهُ وَنَسْتَغْـفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّـئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِاللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنْلَاإِلٰـهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَـهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُـهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.

Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan kejelekan amalan-amalan kami. Siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan siapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.

Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.

Nikmat yang Allah Karuniakan Sangat Banyak Tidak Terhingga
Alhamdulillah kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala nikmat yang tidak terhingga. Kalau kita mau hitung nikmat-nikmat Allah, maka kita tidak akan bisa dan tidak akan mampu menghitungnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

“Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).”[Ibrahim/14:34]

Kalau kita bandingkan antara nikmat-nikmat Allah yang kita peroleh dengan musibah, pasti yang banyak adalah nikmat. Adapun musibah hanya sebentar tidak lama.

Alhamdulillah segala puji bagi Allah atas segala nikmat yang Allah karuniakan kepada seluruh makhluk-Nya.

Alhamdulillah segala puji bagi Allah atas semua nikmat yang Allah karuniakan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan taat kepada-Nya.

Nikmat Allah yang Allah karuniakan kepada kita sangatlah banyak tidak terhingga. Semua yang ada pada kita, yang kita peroleh dan nikmati, dan yang diperoleh dan dinikmati oleh seluruh makhluk, semua datangnya dari Allah Rabbul ‘Aalamiin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

“Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.”[An-Nahl/16: 53]

Allah Tabaraka wa Ta’ala Menciptakan Manusia Untuk Memberikan Cobaan dan Ujian
Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah menciptakan segala sesuatu dan segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik ciptaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” [At-Tiin/95:4]

Allah menciptakan manusia penuh dengan cobaan dan ujian yang akan manusia hadapi di dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ

“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah” [Al-Balad/90:4]

Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Nabi Adam Alaihissallam dari tanah di Sorga dengan kedua tangan Allah yang mulia, kemudian Allah menciptakan manusia keturunan Adam dari setetes air mani. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا ﴿٢﴾ إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا

“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sungguh, Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” [Al-Insaan/76:2-3]

Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia dan Allah tunjuki manusia ke jalan yang membawa manusia kepada kebahagiaan dan yang membawa kepada celaka.

Imam Mujahid bin Jabr (wafat th. 104 H) rahimahullah mengatakan, “maksud dari  ﱡإِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ   ‘Sungguh, Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus’, yang dimaksud adalah jalan celaka dan jalan bahagia”[1]

Di dalam ayat tersebut Allah menjelaskan jalan-jalan kebaikan dan jalan-jalan keburukan (kesesatan).[2]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.” [Al-Mulk/67:2]

Makna “…untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya…” Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan, “Yang paling ikhlas dan paling benar.” Orang-orang bertanya, “Wahai Abu ‘Ali! Apa yang dimaksud dengan yang paling ikhlas dan paling benar itu?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya amal apabila dilakukan dengan ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan diterima. Dan apabila dilakukan dengan benar namun tidak ikhlas, maka tidak akan diterima hingga ia dilakukan dengan ikhlas dan benar. Yang dilakukan dengan ikhlas ialah hanya ditujukan untuk Allah Tabaraka wa Ta’ala, sedangkan yang benar ialah sesuai dengan Sunnah.”[3]

Cobaan dan Ujian Merupakan Sunnatullah dalam Kehidupan
Hidup ini tidak bisa lepas dari cobaan dan ujian, bahkan cobaan dan ujian merupakan Sunnatullah dalam kehidupan.

Hidup ini penuh dengan ujian dan cobaan dan itu merupakan Sunnatullah yang tidak akan bisa berubah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُسُلِنَا ۖ وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلًا

“(Yang demikian itu) merupakan ketetapan bagi para rasul Kami yang Kami utus sebelum engkau, dan tidak akan engkau dapati perubahan atas ketetapan Kami.” [Al-Israa’/17:77]

سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ ۖ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا

“Sebagai sunnah Allah yang (berlaku juga) bagi orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan engkau tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.” [Al-Ahzab/33:62]

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,

اسْتِكْبَارًا فِي الْأَرْضِ وَمَكْرَ السَّيِّئِ ۚ وَلَا يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلَّا بِأَهْلِهِ ۚ فَهَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا سُنَّتَ الْأَوَّلِينَ ۚ فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَبْدِيلًا ۖ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَحْوِيلًا

“Karena kesombongan (mereka) di bumi dan karena rencana (mereka) yang jahat. Rencana yang jahat itu hanya akan menimpa orang yang merencanakannya sendiri. Mereka hanyalah menunggu (berlakunya) ketentuan kepada orang-orang yang terdahulu. Maka kamu tidak akan mendapatkan perubahan bagi Allah, dan tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi ketentuan Allah itu.” [Faathir/35:43]

Manusia akan diuji dengan segala sesuatu, baik dengan hal-hal yang disenanginya dan disukainya maupun dengan berbagai perkara yang dibenci dan tidak disukainya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.” [Al-Anbiyaa’/21:35]

Tentang ayat ini, Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan serta maksiat, petunjuk dan kesesatan.”[4]

Dalam riwayat lain darinya, “Dengan kesenangan dan kesulitan, dan keduanya merupakan cobaan.”[5]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَقَطَّعْنَاهُمْ فِي الْأَرْضِ أُمَمًا ۖ مِنْهُمُ الصَّالِحُونَ وَمِنْهُمْ دُونَ ذَٰلِكَ ۖ وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Dan Kami pecahkan mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan ada yang tidak demikian. Dan Kami uji mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).”[Al-A’raaf/7:168]

Ibnu Jarirath-Thabari rahimahullah menafsirkan, “Kami menguji mereka dengan kemudahan dalam kehidupan, dan dengan kesenangan dunia serta kelapangan rizki. Inilah yang dimaksud dengan kebaikan-kebaikan (الـحَسَنَاتُ) yang Allah sebutkan (dalam ayat). Sedangkan yang buruk-buruk (السَّيِّئَاتُ) adalah kesempitan dalam hidup, kesulitan, musibah, serta sedikitnya harta. Adapun (لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ) “agar mereka kembali”, yaitu kembali taat kepada Rabb, agar kembali kepada Allah dan bertaubat dari perbuatan dosa dan maksiat (yang mereka lakukan).”[6]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Kami menguji mereka dengan kemudahan, kesulitan, kesenangan, rasa takut, ‘afiat, dan bencana.”[7]

Dari ayat-ayat di atas, kita tahu bahwa berbagai macam penyakit itu merupakan bagian dari cobaan-cobaan Allah yang diberikan kepada hamba-Nya, dan ia merupakan Sunnatullah yang telah ditetapkan berdasarkan rahmat dan hikmah-Nya.

Ketahuilah wahai saudaraku yang sedang terkena wabah, yang sedang sakit atau yang sedang tertimpa musibah, atau yang sedang mengalami kesulitan, kefakiran, kemiskinan, kelaparan dan lainnya, bahwa sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala tidak menetapkan sesuatu, baik itu takdir kauni atau syar’i, melainkan di dalamnya terkandung kebaikan dan rahmat bagi hamba-Nya. Di dalam cobaan wabah virus Corona ini terkandung hikmah yang amat besar yang tidak mungkin bisa dinalar oleh akal manusia.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Andai kata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah. Namun, akal kita sangatlah terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit, dan ilmu semua makhluk akan sia-sia (tidak ada artinya) jika dibandingkan dengan ilmu Allah, sebagaimana sinar lampu yang sia-sia (tidak ada artinya) di bawah sinar matahari. Dan ini pun hanya gambaran saja, yang sebenarnya tentu lebih dari sekedar gambaran ini.”[8]

Berbagai cobaan, ujian, penderitaan, wabah, penyakit, kesulitan, dan kesengsaraan mempunyai manfaat dan hikmah yang sangat banyak.

Allah Tabaraka wa Ta’ala menciptakan makhluk-Nya untuk memberikan cobaan dan ujian, lalu dia menuntut konsekuensi dari kesenangan, yaitu bersyukur dan konsekuensi dari kesusahan, yaitu sabar. Hal ini tidak bisa terjadi kecuali jika Allah membalikkan berbagai keadaan manusia sehingga peribadahan manusia kepada Allah menjadi jelas.

Jika seseorang benar-benar beriman, maka segala urusannya merupakan kebaikan. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur dan ketika susah, ia bersabar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ.

“Sungguh amat menakjubkan urusan orang Mukmin, sesungguhnya semua urusannya merupakan kebaikan, dan hal ini tidak terjadi kecuali bagi orang Mukmin. Jika dia mendapat kegembiraan, maka dia bersyukur dan itu merupakan kebaikan baginya, dan jika mendapat kesusahan, maka dia bersabar dan itu merupakan kebaikan baginya.”[9]


Orang yang Beriman Pasti Diberikan Cobaan dan Ujian oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ﴿٢﴾ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” [Al-‘Ankabuut/29:2-3]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H) mengatakan, أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji?”, ini adalah istifhaaminkariy (pertanyaan yang bersifat mengingkari). Maknanya, bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala harus menguji hamba-hamba-Nya yang beriman sesuai dengan kadar keimanan yang mereka miliki. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman di ayat yang lain,

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” [Ali ‘Imraan/3:142]

 وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ “Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta”, Allah  sudah menguji orang-orang sebelum mereka, yaitu orang-orang yang jujur dalam pengakuan keimanannya dari orang-orang yang dusta dalam perkataan dan pengakuannya. Allah Maha Mengetahui apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi, apa yang belum terjadi seandainya terjadi dan bagaimana terjadinya. Ini merupakan sesuatu yang disepakati oleh para Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah.[10]

Syaikh Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqithiy rahimahullah (wafat th. 1393 H), “Makna ayat (di atas), bahwasanya manusia tidak akan dibiarkan oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala tanpa fitnah yaitu cobaan dan ujian, karena mereka berkata, ‘Kami beriman’. Bahkan apabila mereka berkata, ‘Kami beriman’, maka mereka pasti dicoba dan diuji dengan berbagai macam cobaan dan ujian, sehingga jelas dengan cobaan dan ujian tersebut siapa yang jujur dengan perkataan beriman dan siapa yang tidak jujur.[11]

Satu hal yang mustahil di dunia ada orang yang tidak diuji oleh Allah, kalau ada mestinya yang pertama kali adalah orang-orang yang dicintai Allah yaitu para Nabi dan Rasul عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ. Seluruh Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ adalah orang-orang yang diuji oleh Allah dengan ujian yang berat, padahal mereka ma’shum[12] (terpelihara dari dosa).

Para Nabi dan Rasul عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ Mereka Diuji oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala dengan Ujian yang Berat
Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Ya’qub, Nabi Yusuf, Nabi Musa, Nabi Ayyub, Nabi Zakaria, Nabi Yahya, Nabi ‘Isa, dan Nabi Muhammad عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ. mereka semua diuji oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala.

Nabi Nuh Alaihisshalatu wa sallam, Rasul yang pertama Allah uji dengan istrinya dan anaknya yang kufur, menentang Nabi Nuh dan tidak mau mengikuti agama Islam yang dibawa Nabi Nuh Alaihisshalatu wa sallam. Bagaimana Nabi Nuh Alaihisshalatu wa sallam melihat anaknya tenggelam di telan air bah dan ombak yang besar bersama orang-orang yang membangkang. Belum lagi ujian Nabi Nuh Alaihisshalatu wa sallam sebelum itu di ejek, dihina, dan diolok-olok oleh kaumnya.

Kemudian Nabi Ibrahim Alaihisshalatu wa sallam diuji oleh Allah dengan bapaknya yang membuat patung dan menyembah berhala, diuji juga dengan dilemparkan ke dalam api, diuji setelah menunggu lama kelahiran anaknya yang tercinta yaitu Ismail Alaihissalam agar anaknya disembelih atas perintah Allah, kemudian Allah ganti dengan domba yang besar, dan ujian-ujian yang lainnya, Nabi Ibrahim Alaihisshalatu wa sallam pun sabar atas cobaan dan ujian tersebut.

Kemudian Allah uji Nabi Musa Alaihisshalatu wa sallam dengan Bani Israil, Fir’aun, Samiri, dan ujian-ujian lainnya yang banyak sekali. Nabi Musa Alaihisshalatu wa sallam pun sabar atas cobaan dan ujian tersebut.

Dan orang Yahudi juga berusaha untuk membunuh Nabi Isa Alaihisshalatu wa sallam, kemudian usaha mereka digagalkan oleh Allah, Allah mengangkat Nabi Isa Alaihisshalatu wa sallam ke Langit.

Kemudian yang paling banyak cobaan dan ujiannya adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mulai lahir sampai beliau wafat.

Bagaimana beliau di Mekkah dicela, diejek, dilempari kotoran binatang ketika shalat di depan Ka’bah, diusir, diboikot, diancam mau dibunuh beberapa kali, bahkan para shahabatnya Radhiyallahu anhum  disiksa, dibunuh, diusir, dan lainnya.

Nabi Ayyub Alaihishalatu wa sallam diuji oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala dengan Penyakit yang Parah
Penderitaan dan penyakit Nabi Ayyub Alaihissallam sungguh sangat berat. Nabi Ayyub Alaihissallam terkena penyakit yang amat parah selama 18 (delapan belas) tahun. Tidak hanya itu saja, bahkan Allah  mewafatkan anak-anaknya yang ia cintai, begitu pula hartanya habis, ia menjadi orang yang fakir, ia hanya ditemani oleh istrinya dan dua orang temannya yang membantunya setiap hari.[13] Namun semua ujian dan cobaan itu diterima Nabi Ayyub Alaihisallam dengan sabar. Beliau Alaihisallam sabar dan ridha dengan takdir Allah yang pahit. Ia berkata dan berbuat dengan apa-apa yang diridhai oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala.

Allah Tabaraka wa Ta’ala memuji kesabaran Nabi Ayyub Alaihissallam di dalam firman-Nya,

وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِبْ بِهِ وَلَا تَحْنَثْ ۗ إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا ۚ نِعْمَ الْعَبْدُ ۖ إِنَّهُ أَوَّابٌ

“Dan ambillah seikat (rumput) dengan tanganmu, lalu pukullah dengan itu dan janganlah engkau melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah).”[Shaad/38:44]

Nabi Ayyub Alaihissallam senantiasa berdo’a terus kepada Allah, memohon kepada Allah agar Allah mengampuninya dan mengangkat penyakitnya. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,

وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.’” [Al-Anbiyaa’/21:83]

ﱠ ارْكُضْ بِرِجْلِكَ ۖ هَٰذَا مُغْتَسَلٌ بَارِدٌ وَشَرَابٌ

“(Allah berfirman), ‘Hentakkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.’” [Shaad/38:42]

Dengan kesabaran Nabi Ayyub Alaihissallam dalam menghadapi cobaan dan ujian dari Allah Tabaraka wa Ta’ala, Nabi Ayyub Alaihissallam sembuh dari penyakit, seolah-olah belum pernah sakit sebelumnya, ia mendapatkan nikmat dari Allah. Allah  memberikan kembali kekayaan yang dimilikinya dulu, bahkan lebih baik dan lebih banyak. Allah mengganti dengan lahirnya anak-anak sebagai ganti dari anak-anaknya yang sudah meninggal, bahkan jumlah anaknya lebih banyak, lebih baik, dan juga sholeh dan sholehah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ ۖ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَىٰ لِلْعَابِدِينَ

“Maka Kami kabulkan (doa)nya, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan (Kami lipat gandakan jumlah mereka) sebagai suatu rahmat dari Kami, dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Kami.” [Al-Anbiyaa’/21:84]

Semua ini berkat kesabaran Nabi Ayyub Alaihissallam dengan cobaan dan ujian yang berat yang Allah timpakan kepadanya, agar menjadi contoh bagi manusia tentang kesabaran dalam menghadapi penyakit, hartanya yang habis, menjadi fakir dengan sebab ujian tersebut, dan anak-anaknya semua meninggal dunia, dan lainnya. Beliau Alaihissallam terus berdo’a minta tolong kepada Allah bahwa tidak ada yang dapat menghilangkan atau mengangkat penyakit, bala’, wabah, kecuali hanya Allah semata. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ ۚ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۚ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Yunus/10:107]

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

“Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan dan menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah (pemimpin) di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu ingat.” [An-Naml/27: 62]

Ujian Manusia Bertingkat-Tingkat Tergantung Imannya
Manusia diberikan cobaan dan ujian oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tergantung kadar keimanan mereka.

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu, beliau bertanya: Wahai Rasulullah, Siapakah manusia yang paling berat ujiannya? Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ فَإِنْ كَانَ دِيْنُهُ صُلْبًا اِشْتَدَّ بَلَاؤُهُ وَإِنْ كَانَفِيْ دِيْنِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ.

“(Orang yang paling berat ujiannya adalah) para nabi, kemudian yang semisalnya dan yang semisalnya, diuji seseorang sesuai dengan kadar agamanya, kalau kuat agamanya maka semakin keras ujiannya, kalau lemah agamanya maka diuji sesuai dengan kadar agamanya. Maka senantiasa seorang hamba diuji oleh Allah sehingga dia dibiarkan berjalan di atas permukaan bumi tanpa memiliki dosa.”[14]

Dari Abu Sa’idal-Khudri Radhiyallahu anhu beliau bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?’, maka beliau bersabda,

أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ، قُلْتُ: يَارَسُوْلُ اللهِ، ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ الصَّالِحُوْنَ، إِنْ كَانَ أَحَدُهُمْ لَيُبْتَلَى بِالْفَقْرِ حَتَّى مَا يَجِدُ أَحَدُهُمْ إِلَّا الْعَبَاءَةَ يُحَوِّيْهَا، وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمْ لَيَفْرَحُ بِالْبَلَاءِ كَمَا يَفْرَحُ أَحَدُهُمْ بِالرَّخَاءِ.

“Orang yang paling berat ujiannya adalah para Nabi’, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, kemudian siapa lagi?’ Beliau bersabda, ‘Kemudian orang-orang sholeh. Sesungguhnya seorang dari mereka (dari orang-orang sholeh) diuji dengan kefakiran (kemiskinan), sehingga seorang dari mereka tidak mempunyai kecuali hanya satu pakaian saja yang dapat menutupi (auratnya). Dan sesungguhnya seorang dari mereka sungguh bergembira dengan bala’ (cobaan, ujian, musibah) yang menimpanya, sebagaimana seorang dari kalian bergembira di waktu lapang (kaya).[15]


Dari Anas Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْـجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ، وَإِنَّ اللهَ تَعَالَى إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا اِبْتَلاَهُمْ ، وَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ.

“Sungguh, besarnya pahala setimpal dengan besarnya cobaan; dan sungguh, Allah Tabaraka wa Ta’ala apabila mencintai suatu kaum, Allah menguji mereka (dengan cobaan). Barang siapa yang ridha maka baginya keridhaan dari Allah, sedang barang siapa yang marah maka baginya kemarahan dari Allah.[16]

Dalam hadits-hadits di atas menunjukkan bahwasanya ujian manusia itu bertingkat-tingkat, ujian orang-orang sholeh lebih berat, dan diantara kaum Muslimin yang ada sekarang ini belum lah sama ujian mereka dengan ujian orang-orang terdahulu. Ujian orang-orang terdahulu lebih berat, lebih sulit, dan bahkan banyak sekali memakan korban jiwa. Ujian berupa penyakit, kematian, kemiskinan, kelaparan, dan tantangan di medan dakwah. Ujian yang Allah berikan kepada kaum Muslimin pada zaman sekarang ini lebih ringan dibanding pada zaman dahulu. Misalnya dibunuhnya kaum Muslimin, pada zaman dahulu banyak kaum Muslimin yang disiksa, dibunuh, bahkan ratusan ribu kaum Muslimin yang dibunuh. Bahkan para Nabi  banyak yang dibunuh, sebagaimana Allah sebutkan dalam surat Al-Baqarah/2: 61, Ali ‘Imraan/3: 21-22,112. Sedangkan seorang Nabi lebih mulia dari ratusan ribu manusia. Begitu pula ujian kelaparan, kefakiran, dan penyakit umat terdahulu lebih parah dibanding pada zaman sekarang. Seperti pada zaman dahulu ketika penyakit Tha’uun (wabah penyakit menular) menimpa para Shahabat, Tabi’iin dan seterusnya, yang membinasakan ribuan bahkan puluhan ribu kaum Muslimin yang meninggal. Sangat berat cobaan dan ujian mereka. Allahul Musta’aan. Allahumma Inna Nas-alukalal-‘Afwa wal ‘Afiyah.

Tujuannya Allah jadikan mereka sebagai contoh teladan bagi ummat Islam, bagaimana kuatnya iman mereka, tawakkal mereka kepada Allah, rasa harap mereka kepada Allah, dan yang paling penting lagi bagaimana kesabaran mereka dalam menghadapi cobaan dan ujian. Dan Sorga disediakan bagi orang-orang yang sabar. Allah Tabaraka wa Ta’ala  berfirman,

قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Katakanlah (Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu.”Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” [Az-Zumar/39:10]

وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ ﴿٢٢﴾ جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ ۖ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ ﴿٢٣﴾ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ

“Dan orang yang sabar karena mengharap keridhaan Tuhannya, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),(yaitu) surga-surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya bersama dengan orang yang saleh dari nenek moyangnya, pasangan-pasangannya dan anak cucunya, sedangkan para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu ; (sambil mengucapkan), “Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu.” Maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu.” [Ar-Ra’du/13: 22-24]

Wajib Beriman kepada Takdir Baik dan Buruk
Kondisi yang ada sekarang ini yang kita lihat, kita wajib mengimani tentang takdir yang buruk, takdir yang pahit, dan bahwasanya dengan adanya cobaan dan ujian wabah virus Covid-19, banyak kaum Muslimin yang meninggal dunia, banyak juga orang-orang kafir yang mati setiap hari. Adanya wabah virus Covid-19 ini dan adanya himbauan untuk di rumah saja, maka menimbulkan problem baru di masyarakat. Otomatis dengan adanya wabah virus Covid-19 ini roda perekonomian jadi lesu bahkan macet. Orang-orang miskin dan orang-orang yang susah tambah banyak, yang di PHK banyak, pengangguran pun tambah banyak. Yang seperti ini menimbulkan penyakit baru, yaitu penyakit stres, takut kena virus Corona dengan ketakutan yang berlebihan, sampai orang yang kena virus Covid-19 kemudian meninggal jenazahnya dibenci oleh masyarakat bahkan ditolak?? Sehingga jenazahnya tidak dishalatkan dan tidak bisa dikuburkan?? Apakah ini bukan kezhaliman? Atau masyarakat sudah hilang hati nurani dan akalnya?? Bagaimana yang meninggal dari keluarga kita kemudian diperlakukan seperti itu?? ini kondisi yang sudah sakit. Nas-alullaha as-Salaamatawal-‘Afiyah.

Begitu pula ketakutan yang berlebihan berkaitan dengan ibadah shalat di masjid, sampai tidak mau ke masjid untuk shalat berjama’ah, shalat Jum’at, tapi kerja masih jalan, masih suka ke pasar dan ke mall untuk belanja? Kenapa shalat berjama’ah di masjid ditempat yang bersih dan tidak kena wabah takut?? Shalat jum’at takut? Kenapa takut berlebihan??[17] Ingat bahwa kematian merupakan satu kepastian. Kalo sudah datang ajalnya, kita pasti mati, bagaimanapun keadaannya. Kita wajib menjaga diri dan berhati-hati sesuai petunjuk dari pihak yang berwenang dan ahli dalam masalah ini.

Kemudian problem lain yang timbul akibat wabah Corona ini adalah timbulnya kerugian yang banyak dari para pengusaha kecil, pedagang-pedagang kecil, guru-guru dan lainnya. Membuat mereka tidak punya penghasilan, tidak punya uang, tidak bisa beli apa-apa, kelaparan, dan lainnya.

Inilah kehidupan, inilah cobaan, inilah ujian. Kita wajib melihat bahwa semua ini Allah yang menakdirkan dan Allah sudah tulis dalam Lauh Mahfuzh sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. Kewajiban kita mengimani bahwa Allah yang menakdirkan semua ini, kita wajib meyakini bahwa Allah Maha Adil, Maha Sayang kepada hamba-hamba-Nya. Dan semua itu ada hikmahnya, dan apa yang Allah takdirkan semuanya baik.

Iman kepada takdir ada dua, sebagaimana di dalam hadits Jibril ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang apa itu iman? Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ ، وَمَلَائِكَتِهِ ، وَكُتُبِهِ ، وَرُسُلِهِ ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.

”Iman adalah engkau beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk.”[18]

Kita wajib mengimani takdir yang baik maupun takdir yang buruk, yang manis maupun yang pahit. Seluruh manusia tidak akan bisa menolak, ataupun menghindar dari takdir Allah. Semua berjalan menurut apa yang Allah sudah takdirkan, termasuk yang sekarang ini sedang menimpa kaum Muslimin. Apakah itu bentuknya ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, kekurangan jiwa (banyak orang yang mati), dan kurangnya bahan-bahan makanan, buah-buahan dan lain sebagainya. Ini semua merupakan cobaan dari Allah.

Kalau semua terjadi di langit dan di bumi dan di alam semesta, dari hidup mati, senang susah, panas dingin, sehat sakit, kaya miskin, rasa aman takut, dan lainnya semua Allah sudah takdirkan, maka kewajiban kita dalam kondisi susah, sulit, fakir, sakit, ada yang meninggal dalam keluarga kita maupun masyarakat, kewajiban kita sabar, dengan mengimani dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Sayang. Kita sabar dengan melaksanakan perintah-perintah Allah, menjauhkan larangan-larangan-Nya, menjauhkan dosa-dosa dan maksiat. Dan sabar dengan tidak berkeluh kesah, tidak marah, tidak kesal terhadap takdir Allah. Berkeluh kesah, marah, bersedih, dan putus asa tidak dapat menghilangkan musibah, bencana, dan wabah yang sedang kita hadapi ini.

Bersambung ke bagian 2


Footnote
[1] Tafsiirath-Thabari(XIV/251, no. 35767) cet. 1 Daarul A’lam-Jordan, th. 1423 H.
[2] Tafsiir Ibnu Katsiir (VIII/286) cet. III Daar Thaybah, th. 1426 H.
[3] Lihat Tafsiiral-Baghawi Ma’aalimut Tanziil (IV/435) cet. Daar Thaybah, dan al-‘Ubudiyyah (hlm. 84-85), tahqiq Syaikh Ali Hasan.
[4] Tafsiir ath-Thabari (X/35, no. 24590) cet. 1 Daarul A’lam-Jordan, th. 1423 H.
[5] Tafsiir ath-Thabari (X/35, no. 24587) cet. 1 Daarul A’lam-Jordan, th. 1423 H.
[6] Tafsiir ath-Thabari (VI/131). cet. 1 Daarul A’lam-Jordan, th. 1423 H.
[7] Tafsiir Ibnu Katsiir (III/498), tahqiq Sami bin Muhammad as-Salamah, cet. III Daar Thaybah, th. 1426 H
[8] Syifaa-ul ‘Aliil fii Masaa-ilil Qadaa’ wal Qadar wal Hikmah wat Ta’liil (III/1083) cet. II Daar ash-Shumai’iy, th. 1434 H/2013 H.
[9] Shahih: HR. Muslim (no. 2999) dan lainnya, dari Shuhaib Radhiyallahu anhu.
[10] Diringkas dari Tafsiir Ibnu Katsiir (IV/263), Tahqiq Sami bin Muhammad as-Salamah, cet. III Daar Thaybah, th. 1426 H.
[11] Adhwaa-ul Bayaan fii Iidhahil Qur’an bil Qur’an (VI/509), Isyraaf Syaikh Bakr Abu Zaid, cet, III Daar ‘Alamil Fawaa-id th. 1433 H.
[12] Ma’shum (terpelihara dari dosa), artinya kalau mereka salah langsung ditegur oleh Allah, mereka bertaubat, dan Allah menerima taubat mereka.
[13] Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (no. 17).
[14] Hasan Shahih:HR. At-Tirmidzi (no. 2398), Ibnu Majah (no. 4023), ad-Darimi (II/320), Ibnu Hibban (no. 699-Mawaarid), al-Hakim (I/40,41), dan Ahmad (I/172, 174, 180, 185). At-Tirmidzi berkata: Hadits ini Hasan Shahih. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahihah (no. 143).
[15] Shahih: HR. Ibnu Majah (no. 4024) dan al-Hakim (IV/307). Al-Hakim berkata: Shahih menurut syarat Muslim, dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahihah (no. 144).
[16] Hasan: HR. at-Tirmidzi (no. 2396) dan Ibnu Majah (no. 4031). Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahihah (no. 146).
[17] Himbauan untuk tidak shalat jama’ah dan jum’at di masjid itu berlaku ditempat yang terkena wabah menular saja, dan itu berlaku untuk sementara waktu saja. Adapun ditempat yang aman, tidak terkena wabah, dan bagi orang yang tidak sakit dan tidak takut, maka kembali kepada hukum asalnya, bahwa laki-laki wajib shalat berjama’ah dan Jum’at di masjid. Dan ini merupakan perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib dilaksanakan (lihat Al-Baqarah/2:43, An-Nisaa/4: 102, At-Taubah/9: 18, dan Al-Jumu’ah/62:9). Mudah-mudahan dengan shalat dan do’a kaum Muslimin di masjid-masjid Allah, maka Allah angkat wabah virus corona ini. Aamiin.
[18] Shahih: HR. Muslim (no. 8), dari Shahabat ‘Umar biin Khattab Radhiyallahu anhu.

Tidak ada komentar